Anda di halaman 1dari 18

Laporan Praktikum

Dasar-dasar Ekologi

DEKOMPOSISI

NAMA : LIA ASMIRA


NIM : G011 17 1304
KELAS : DASAR-DASAR EKOLOGI C
KELOMPOK :6
ASISTEN : 1. FIRSYA NATASYA
2. HERLIN

DEPARTEMEN BUDIDAYA TANAMAN


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dekomposisi merupakan proses penghancuran atau penguraian bahan organik
mati yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika menjadi bahan-bahan
mineral dan humus koloid organik. Dekomposisi berlangsung selama bertahun-
tahun dan biasanya dimanfaatkan untuk kesuburan tanah (Atmojo, 2003).
Dekomposisi terbentuk melalui suatu proses kimia dan fisika yang mereduksi
secara kimia bahan organik yang telah mati pada vegetasi dan binatang.
Dekomposisi bahan organik mempunyai dua tahap proses yaitu ukuran partikel
dari bagian bunga ke batang dari pohon besar, dipecah ke dalam spesies yang
lebih kecil yang dapat direduksi secara kimia, biasanya sampai aktifitas organisme
spesies kecil ini dari bahan organik yang direduksi dan dimineralisasi untuk
melepaskan unsur dasar dari protein, karbohidrat, lipid dan mineral yang
dikonsumsi, diserap oleh organisme dari sistem (Indriani, 2008).
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar nama pupuk di antaranya
pupuk kompos. Pupuk kompos adalah pupuk hasil penguraian organisme-
organisme sehingga menyebabkan dekomposisi bahan yang semulanya berbentuk
menjadi lebih halus dan bermanfaat bagi masyarakat. Kandungan yang terdapat
dalam dekomposisi bahan organik bervariasi. Ada kandungan protein dengan
bahan-bahan yang lebih kompleks menjadi siap pakai. Kandungan-kandungan
yang terdapat dalam tubuh mahluk hidup diantaranya kandungan air dan oksigen
bahan baku kompos merupakan hal yang sangat penting (Dewilda, 2016).
Semua organisme hidup dibumi akhirnya akan mati. Banyak tanaman secara
alami melengkapi siklus hidup mereka dan mati dalam waktu satu tahun. Jika
setiap organisme yang mati tidak membusuk dan membusuk, permukaan bumi
akan segera tertutup lapisan mendalam mayat akan tetap utuh selamanya. Situasi
yang sama akan timbul jika limbah hewan dan tumbuhan tidak pernah membusuk.
Hal ini tidak akan terjadi karena organisme mati dan limbah hewan menjadi
makanan atau habitat bagi beberapa organisme lain untuk hidup (Indriani, 2008).
Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, contohnya pH,
iklim (temperatur dan kelembaban), komposisi kimia dari serasah, dan mikro
organisme tanah. Beberapa literatur menyebutkan bahwa laju dekomposisi di
daerah tropis relatif lambat, hal ini dimungkinkan karena dedaunan pohon di
tropis bersifat sclerophyllous. Daun sclerophyllous antara lain daun-daun yang
kuat dan memiliki rasio luas dan beratnya rendah yang relatif tahan terhadap
pembusukan. Setidaknya selama tahap pertama dekomposisi (Sulistiyanto, 2005).
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan praktikum untuk
mempelajari dekomposisi dan prosesnya, sehingga kita dapat memanfaatkan hasil
dari dekomposisi untuk penyuburan pada tanaman atau untuk mendukung
menjalankan aktifitas kita sehari-hari.
1.2. Tujuan dan Kegunaan
Praktikum dasar-dasar ekologi tentang Dekomposisi ini bertujuan untuk
mengetahui proses dan tingkat dekomposisi daun dari beberapa vegetasi pohon.
Adapun kegunaan praktikum ini adalah diharapkan dapat memberikan
pemahaman tentang proses dekomposisi serta faktor-faktor yang mempengaruhi
laju dekomposisi bahan tanaman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dekomposisi Secara Umum


Dekomposisi merupakan proses yang sangat kompleks yang melibatkan
beberapa faktor. Sampah daun dan kayu yang mencapai tanah akan membusuk
dan secara bertahap akan dimasukkan ke dalam horizon mineral tanah melalui
aktivitas organisme tanah. Bahan organik yang ada di permukaan tanah dan
bercampur dengan mineral tanah adalah sumber yang penting bagi fosfor,
kalsium, kalium, magnesium, dan nutrisi lainnya. Pelepasan hara dari
pembusukan bahan organik di dalam tanah merupakan langkah penting dalam
fungsi ekosistem. Jika nutrisi diuraikan terlalu cepat, akan hilang melalui
pencucian tanah atau penguapan. Sebaliknya, jika dekomposisi terlalu lambat,
hara yang disediakan bagi tumbuhan jumlahnya sedikit maka hasilnya
pertumbuhan tanaman akan terhambat (Sulistiyanto, 2005).
Nutrisi dikembalikan ke tanah dalam bentuk sampah yang dilarutkan melalui
kegiatan penguraian atau yang dikenal dengan istilah dekomposisi. Dekomposisi
serasah adalah perubahan fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh
mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya) atau sering
disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal
dari hewan dan tanaman menjadi senyawa organik sederhana (Sulistiyanto, 2005).
Runtuhan serasah daun (litterfall) merupakan sumber utama dalam siklus
hara di dalam ekosistem hutan. Daun dan serasah lain yang jatuh sedikit demi
sedikit terkumpul di tanah hutan sampai proses dekomposisi di mulai.
Dekomposisi akan terus berlangsung dengan adanya penambahan serasah. Energi
yang dihasilkan dari fotosintesis akan mengalir ke ekosistem melalui beberapa
jalur. Variasi aliran hara ini berhubungan dengan keragaman spesies tumbuhan.
Keragaman spesies tumbuhan berhubungan erat dengan kecepatan dan jumlah
energi yang dialirkan ke sistem (Harmitha, 2011).
Proses dekomposisi berjalan secara bertahap, dimana laju dekomposisi paling
cepat terjadi di minggu pertama. Hal ini dikarenakan pada serasah yang masih
baru masih banyak persediaan unsur-unsur yang merupakan makanan bagi
mikroba tanah atau bagi organisme pengurai, sehingga serasah cepat hancur dan
laju dekomposisi memiliki proses yang relatif cepat. Proses yang relatif cepat juga
biasanya dipengaruhi oleh faktor lain seperti kelembaban udara, organisme yang
bertugas mengurai seperti flora dan fauna, serta kandungan kimia yang terdapat di
dalam serasah yang biasanya berbeda-beda (Dewilda, 2016).
2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi
Sulistiyanto (2005), mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda
antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi
oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia
dari serasah. Kecepatan dekomposisi seresah daun dan rumput dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah:
2.2.1. Tipe serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam seresah seperti kandungan
lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe serasah mempengaruhi kemampuan
suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa kompleks yang
terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan lebih susah untuk
didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah senyawa
berikutnya yang relatif cepat didekomposisi.
2.2.2. Temperatur
Kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada suhu 24ºC. Suhu
merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi mikroorganisme
yang hidup lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar 10°C akan
meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat. Akan tetapi
penambahan suhu maksimal dapat mematikan organisme pendegradasi serasah.
2.2.3. Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH, dimana aktivitas selulase
yang tinggi. pH optimum untuk aktivitas selulase berkisar antara 4,5-6,5. Enzim
pada umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum
suatu enzim ditandai dengan menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari
kurva yang disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH
pada aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada
enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH.
2.3. Proses Dekomposisi Beserta Manfaat Dekomposisi
Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh
makrobentos terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati selanjutnya menjadi
ukuran yang lebih keil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang
dilakukan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan partikel-partikel organik.
Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer mengeluarkan
enzim yang dapat menguraikan bahan organik menjadi protein (Hanum, 2014).
Manfaat bahan organik yang terbentuk karena adanya proses penguraian
kembali bagi kehidupan kita sehari-hari terutama untuk tanaman pertanian adalah
membuat pH, tekstur dan struktur tanah menjadi lebih baik sehingga apapun yang
di butuhkan tanaman terpenuhi dengan adanya dekomposisi. Disamping itu tanah
dan tanaman yang telah didekomposisi terlihat tampak subur dan menambah
kadar humus dalam tanah serta mempercepat pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, serta sampah di lapisan bumi semakin berkurang (Atmojo, 2003).
2.4. Rumus Perhitungan Laju Dekomposisi
Sesuai dengan penurunan dari rumus Olson (1963 dalam Indriani 2008),
maka rumus laju dekomposisi serasah adalah sebagai berikut:

R = W0 – Wt
T
Keterangan :
R = Laju komposisi (g/hari)
W0 = Berat kering sampel serasah awal(g)
Wt = Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)
T = Waktu pengamatan (hari)
BAB III
METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu


Praktikum dasar-dasar ekologi tentang Dekomposisi dilaksanakan di
Teaching Farm, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. Waktu
pelaksanaan pada hari Rabu tanggal 11 Oktober 2017 pukul 16.00 WITA sampai
selesai. Pengamatan, penimbangan dan pengovenan dilakukan pada hari senin
tanggal 20 November 2017 pukul 18.30 WITA.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada pelaksanaan praktikum ekologi tentang
dekomposisi adalah cangkul, sekop, cutter, oven, timbangan digital dan alat tulis
menulis.
Adapun bahan yang digunakan pada pelaksanaan praktikum ini adalah 6
jenis daun vegetasi pohon (daun mangga, daun jati, daun ubi kayu, daun rumput
gajah, daun asam jawa dan daun sirih wangi), 12 polybag ukuran 30 × 40 cm,
label, plastik gula dan tanah.
3.3. Prosedur Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan,
2. Menyiapkan polybag berisi tanah 1/2 bagian.
3. Menyiapkan 6 jenis daun vegetasi pohon (daun mangga, daun jati, daun ubi
kayu, daun rumput gajah, daun asam jawa dan daun sirih wangi) yang telah
kering dan segar. Mengamati sifat fisik dan kimia daun sebelum dicacah
4. Mencacah dan menimbang, kemudian masukkan kedalam kantong plastik
yang telah dilubangi, masing-masing 2 kantong.
5. Memasukkan kantong ke dalam polybag sesuai perlakuan lalu timbun dengan
tanah hingga penuh.
6. Setelah 1 bulan, mengambil kantong pertama pada setiap polybag, perhatikan
kembali sifat fisik dan kimia daun tersebut, keringkan dalam oven kemudian
timbang beratnnya. Polybag tersebut ditimbun kembali dengan tanah.
7. Setelah 2 bulan, ambillah kantong kedua pada polybag, perhatikan kembali
sifat fisik dan kimia daun, keringkan dalam oven lalu timbang beratnya.
8. Komponen yang diamati yaitu laju dekomposisi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1 Dekomposisi Daun Kering
1. Dekomposisi daun mangga kering

Gambar 1.1. Daun mangga kering


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun mangga sebelum di dekomposisikan warnanya coklat muda dengan
tekstur yang kering dan rapuh. Sedangkan setelah di dekomposisikan warna daun
mangga menjadi gelap dan lembab.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
W t = 7,3 gr
T = 30 hari
R = 10 – 7,3 = 0,09 gram/hari
30
2. Dekomposisi daun jati kering

Gambar 1.2. Daun jati kering


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun jati sebelum didekomposisikan warnanya coklat terang dan bertekstur
kasar serta kering, sedangkan setelah didekomposisikan warnanya menjadi gelap
dan luas permukaannya mengecil.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
W t = 6,76 gr
T = 30 hari
R = 10 – 6,76 = 1,108 gram/hari
30
3. Dekomposisi daun singkong kering

Gambar 1.3. Daun singkong kering


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun singkong sebelum didekomposisikan bertekstur agak kasar dan kering,
setelah didekomposisikan luas permukaannya mengecil dan agak basah.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
W t = 6,39 gr
T = 30 hari
R = 10 – 6,39 = 0,120 gram/hari
30
4. Dekomposisi daun rumput gajah kering

Gambar 1.4. Daun rumput gajah kering


a. Perbandingan:
Daun rumput gajah kering sebelum didekomposisikan bertekstur kaku dan
kering, namun setelah didekomposisikan teksturnya agak lembab.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
W t = 3,87 gr
T = 30 hari
R = 10 – 3,87 = 0,204 gram/hari
30
5. Dekomposisi daun asam jawa kering

Gambar 1.5. Daun asam jawa kering


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun asam jawa sebelum didekomposisikan berwarna cokelat terang, kering
dan rapuh, namun setelah didekomposisikan warnanya agak gelap dan agak basah.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
W t = 11,83 gr
T = 30 hari
R = 10 – 11,83 = - 0,061 gram/hari
30
6. Dekomposisi daun sirih wangi kering

Gambar 1.6. Daun sirih wangi kering


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun sirih wangi sebelum didekomposisikan memiliki tekstur agak kasar dan
rapuh, namun setelah didekomposisikan warnya lebih gelap dan agak basah.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
W t = -1,03 gr
T = 30 hari
R = 10 – (-1,03) = 0,37 gram/hari
30
4.1.2 Dekomposisi Daun Basah
1. Dekomposisi daun mangga basah

Gambar 2.1. Daun mangga basah


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun mangga sebelulm didekomposisikan berwarna hijau segar sedangkan
ketika didekomposisikan warnanya berubah menjadi lebih gelap dan basah.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
Wt = 11,96 gr
T = 30 hari
R = 10 – 11,96 = - 0,065 gram/hari
30
2. Dekomposisi daun jati basah

Gambar 2.2. Daun jati basah


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun jati sebelum didekomposisikan berwarna hijau segar sedangkan ketika
didekomposisikan warnanya berubah menjadi lebih gelap dan basah.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
Wt = 11,88 gr
T = 30 hari
R = 10 – 11,88 = - 0,062 gram/hari
30
3. Dekomposisi daun singkong basah

Gambar 2.3. Daun singkong basah


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun singkong sebelum didekomposisikan berwarna hijau segar sedangkan
ketika didekomposisikan warnanya berubah menjadi lebih gelap dan basah.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
Wt = 9,36 gr
T = 30 hari
R = 10 – 9,36 = 0,021 gram/hari
30
4. Dekomposisi daun rumput gajah basah

Gambar 2.4. Daun rumput gajah basah


a. Perbandingan:
Daun rumput gajah sebelum didekomposisikan berwarna hijau segar sedangkan
ketika didekomposisikan warnanya berubah menjadi lebih gelap dan basah.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
Wt = 9 gr
T = 30 hari
R = 10 – 9 = 0,03 gram/hari
30
5. Dekomposisi daun asam jawa basah

Gambar 2.5. Daun asam jawa basah


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun asam jawa sebelum didekomposisikan berwarna hijau segar sedangkan
ketika didekomposisikan warnanya berubah menjadi lebih gelap dan basah
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
Wt = 11,87 gr
T = 30 hari
R = 10 – 11,87 = 0,39 gram/hari
30
6. Dekomposisi daun sirih wangi basah

Gambar 2.6. Daun sirih wangi basah


Keterangan:
a. Perbandingan:
Daun sirih wangi sebelum didekomposisikan berwarna hijau segar sedangkan
ketika didekomposisikan warnanya berubah menjadi lebih gelap dan basah.
b. Penjelasan rumus:
W0 = 10 gr
Wt = 8,34 gr
T = 30 hari
R = 10 – 8,34 = 0,05 gram/hari
30
4.2. Pembahasan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan data berupa laju
dekomposisi pada 6 jenis vegetasi tanaman yang kemudian dibedakan atas daun
basah dan daun kering agar kemudian dapat dibandingkan kecepatan laju
dekomposisinya. Alasan memilih serasah daun sebagai subject pengamatan adalah
karena serasah daun memiliki periode biologi yang lebih pendek daripada bagian
tanaman lainnya seperti ranting, bunga dan buah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Andrianto (2015), yang menyatakan bahwa produksi terbesar dekomposisi
berasal dari serasah daun karena serasah daun memiliki periode biologi yang lebih
singkat (cepat gugur) dibandingkan komponen serasah lainnya (ranting, bunga
dan buah) selain itu, serasah daun juga cenderung lebih mudah digugurkan oleh
hembusan angin dan terpaan hujan.
Dari hasil yang telah dipaparkan diatas, diketahui bahwa setiap daun
memiliki laju dekomposisi yang berbeda-beda bahkan jika daun tersebut sejenis,
namun masih memiliki perbedaan karena kondisi basah atau keringnya daun.
Daun singkong contohnya, laju sekomposisi pada daun singkong kering adalah
0,120 gr/hari sedangkan pada daun singkong basah memiliki laju dekomposisi
0,021 gr/hari, dari perbedaan daun singkong ini dapat diketahui bahwa setiap
vegetasi memiliki laju dekomposisi yang berbeda-beda. Hal ini didukung oleh
pendapat Indriani (2008), yang menyatakan bahwa produksi serasah berbeda-beda
untuk setiap jenis daunnya, perbedaan tersebut diakibatkan oleh adanya perbedaan
umur dari tumbuhan dan tingkat kesuburan yang dapat mempengaruhi secara
tidak langsung, semakin tua tumbuhan maka produksi serasahnya semakin
menurun namun lajunya akan meningkat, begitupun sebaliknya.
Plot yang digunakan sebagai media untuk mengubur serasah daun yang
diamati ternyata memiliki peran yang cukup besar bagi laju dekomposisi serasah
daun. Lubang permukaan pada plot dan kertas gula membantu udara masuk
dengan mudah ke dalam tanah dan serasah untuk membantu dekomposisi
berlangsung, selain itu lubang pada plot juga berguna sebagai pengendali
kerapatan tanah yang digunakan. Temperatur udara mempengaruhi produksi
serasah. Menurut Indriani (2008), Temperatur udara dalam tanah berhubungan
langsung dengan laju dekomposisi serasah daun, dimana pada suhu rendah
produksi serasah meningkat karna tingginya kelembaban, sementara pada suhu
tinggi akan memperlambat dekomposisi karna rendahnya kelembaban tanah.
Pada pengamatan, didapatkan hasil bahwa laju dekomposisi tercepat adalah
berasal dari sampel daun jati kering yaitu 1,108 gr/hari. Dari hasil pengamatan ini
dapat dibuktikan bahwa teori Sulistiyanto (2005), mengenai laju dekomposisi
dipengaruhi oleh tipe serasah, pengaruh pH dan iklim dapat dibenarkan. Namun,
ternyata ada faktor lain yang berpengaruh cukup besar bagi laju dekomposisi yaitu
umur tumbuhan. Sesuai dengan pernyataan Indriani (2008), bahwa ada perbedaan
yang cukup signifikan antara vegetasi daun yang satu dengan yang lainnya.
Semakin tua tumbuhan membuat produksinya menurun, namun akan
mempercepat proses penguraiannya didalam tanah karna ada perbedaan tipe
kandungan didalamnya. Seperti yang diketahui, tanaman jati adalah tanaman yang
memerlukan waktu yang sangat lama untuk tumbuh dan berkembang, karena
itulah laju nya lebih cepat daripada daun yang lainnya karena daun yang dijadikan
sebagai parameter pengamatan adalah daun jati yang sudah sangat tua.
BAB V
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan di lapangan, dapat disimpulkan
bahwa dekomposisi merupakan proses penghancuran atau penguraian bahan
organik mati yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika menjadi bahan-
bahan mineral dan humus koloid organik. Dekomposisi berlangsung selama
bertahun-tahun dan biasanya dimanfaatkan untuk kesuburan tanah. Laju
dekomposisi dipengaruhi oleh tipe serasah, iklim dan pH tanah. Daun adalah
parameter pengamatan yang paling baik digunakan karena memiliki usia biologi
yang singkat dibangdikan organ tumbuhan yang lain. Cepat atau lambatnya laju
dekomposisi juga berganting pada tua atau muda nya umur tumbuhan.
4.2. Saran
Saat pengamatan dimulai hingga pengamatan selesai dilakukan, praktikan
harus telaten mencatat data pengamatan dan mengambil gambar dokumentasi
untuk tiap serasah daun yang akan diamati
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Feri. Dkk. 2015. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove
(Rhizophora sp.) di Desa Durian dan Desa Batu Menyan Kecamatan
Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Jurnal Sylvia Lestari. Vol.3 No.1
hal:9-20. Universitas Lampung press: Bandar Lampung.

Atmojo, Suntoro Wongso. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan


Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret press:
Surakarta.

Dewilda, Yommi. Dkk. 2016. Studi Optimasi Kematangan Kompos Dari Sampah
Organik Dengan Penambahan Bioaktivator Limbah Rumen dan Air Lindi.
Seminar Nasional Sains dan Teknologi Lingkungan OP-016: Padang.

Hanum, Aisyah. Dkk. 2014. Laju Dekomposisi Serasah Daun Trembesi (Samanea
saman) dengan Penambahan Inokulum Kapang. Jurnal SAINS dan Seni
POMITS Vol.3, No.1. Institut Teknologi Sepuluh November: Surabaya.

Harmitha, 2011. Laju Dekomposisi dan Mineralisasi Biomassa Serasah di Lantai


Hutan Hujan Tropik Padang Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Andalas: Padang.

Indriani, Yulian. 2008. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove
API-API (Avicennia marina Forsk. Vierh) di Desa Lontar, Kecamatan
Kemiri, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Skripsi FKIP. Institut
Pertanian Bogor press: Bogor.

Sulistiyanto, Y. dkk. 2005. Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari serasah
pada dua sub-tipe hutan rawa gambut : Kalimantan Tengah. Jurnal
Manajemen Hutan Tropica 11 (12): 1-14
LAMPIRAN

Gambar 1. Berat awal dekomposisi Gambar 2. Proses penimbangan awal

Gambar 3. Sebelum dekomposisi Gambar 4. Setelah dekomposisi

Gambar 5. Proses penimbangan akhir Gambar 6. Proses pengovenan

Anda mungkin juga menyukai