Anda di halaman 1dari 5

I.

PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini membahas mengenai pengaruh pelarut campur
(Kosolven) terhadap kelarutan suatu zat, pengaruh penambahan surfaktan terhadap
kelarutan suatu zat, dan pengaruh pH terhadap kelarutan suatu zat. Dengan tujuan
percobaan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat aktif dan
menentukan usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kelarutan suatu zat.
Larutan adalah campuran homogen antara zat pelarut dan zat terlarut.
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat melarut dalam pelarut tertentu.Larutan pada
umumnya dibagi menjadi tiga yaitu larutan jenuh adalahlarutan yang zat terlarutnya
dapat melarut dalam zat pelarutnya dalamkonsentrasi yang maksimal. Larutan le&ad
jenuh terjadi pada saat zatterlarut sudah mele&ati batas maksimal zat pelarut untuk
melarutkannyayang biasanya ditandai dengan terbentuknya endapan. Lautan tak
jenuhterjadi saat zat terlarut belum men$apai batas maksimal zat pelarut untuk
melarutkannya. (Baroroh, 2004).
Proses kelarutan diatur oleh tiga faktor. Faktor yang pertama adalah gaya
kohesi zat terlarut. Faktor kedua adalah gaya kohesi pelarut dan yang ketiga adalah
hasil interaksi antara zat terlarut yang terdisolusi dan molekul pelarut setelah
pemutusan. Faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain :
1. pH
Zat organik yang bersifat asam lemah dan basah lemah adalah zat aktif yang
sering digunakan dalam dunia pengobatan. Kelarutannya dipengaruhi pH yakni
untuk dapat larut. zat organik yang bersifat asam lemah diberikan atau
dicampurkan dulu dengan larutan basa agar berbentuk garam organik yang mudah
larut dalam air, demikian sebaliknya.
2. Temperatur
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses melarutny
melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik), dan akan menurunkan
kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran panas/kalor (reaksi
eksotermik). Temperatur ada 3 pernyataan tentang kelarutan yang dipengaruhi oleh
temperatur yaitu :
a. bila suhu dinaikkan, kelarutan akan meningkat, namun bila didinginkan dia akan
mengendap.
b. bila suhu dinaikkan, kelarutan akan meningkat.
c. bila suhu dinaikkan, kelarutan akan kecil.
3. Jenis Pelarut dan Konstanta Dielektrik
Pelarut polar akan melarutkan lebih baik zat-zat polar atau ionik, begitu pula
sebaliknya. Pelarut non polar akan melarutkan lebih baik zat-zat non polar atau
molekul. Prinsip kelarutan adalah “like dissolve like”, yaitu pelarut polar akan
melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut nonpolar akan
melarutkan senyawa nonpolar, selain itu pelarut organik akan melarutkan senyawa
organik.
4. Adanya zat lain
Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikkan kelarutan suatu
zat. Surfaktan yang digunakan dengan berbagai konsentrasi yang akan
meningkatkan kelarutan zat. Solubilisasi Miselar adalah suatu pelarutan spontan
yang terjadi pada molekul zat yang sukar larut dalam air melalui interaksi yang
reversible dengan misel dari surfaktan dalam larutan, sehingga terbentuk suatu
larutan, sehingga terbentuk suatu larutan yang stabil secara termodinamika.
Pada percobaan pertama yaitu menggunakan sampel asam salisilat yang
mempunyai sifat sukar larut dalam air. Asam salisilat dikenal juga dengan Asam
2,hidroksi-benzoat merupakan senyawa golongan fenol. Pemerian hablur, biasanya
berbentuk jarum halus atau serbuk halus; putih; rasa agak manis, tajam dan stabil di
udara. Bentuk sintetis warna putih dan tidak berbau. Kelarutannya sukar larut dalam
air dan dalam benzena. Mudah larut dalam etanol dan dalam eter. Larut dalam air
mendidih dan agak sukar larut dalam kloroform. (Sulistyaningrum, 2012). Percobaan
pengaruh pelarut campur (kosolven), Kosolven merupakan pelarut yang ditambahkan
dalam suatu sistem untuk membantu melarutkan atau meningkatkan stabilitas suatu
zat. Penggunaan kosolven dapat mempengaruhi polaritas sistem, yang dapat
ditunjukkan dengan pengubahan tetapan dielektriknya (Martin, 1983).
Yang pertama dibuat terlebih dahulu 50 ml pelarut dengan 6 komposisi yang
berbeda-beda, dimana solven atau pengontrolnya adalah air dan kosolvennya terdapat
etanol dan propilen glikol. Tujuan dibuat pelarut yang berbeda-beda adalah sebagai
pembanding untuk menetapkan komposisi kosolven yang paling baik. Setelah itu
ditambahkan asam salisilat sebagai zat yang diuji kelarutannya dalam air. Fungsi
etanol dan propilen glikol adalah sebagai zat untuk meningkatkan kelarutan asam
salisilat dalam air. (Rowe, 2003). Dikocok larutan tersebut menggunakan pengocok
orbital (lab. Sheaker) selama I jam, fungsi dikocok agar larutan tersebut homogen.
Lalu disaring menggunakan kertas penyaringan, masing-masing pelarut yang telah
disaring ditentukan kadar asam salisilat dengan metode titrasi asam basa dengan
fenolftalein sebagai indikatornya, fungsi nya untuk menentukan titik ekuivalen. Titrasi
dilakukan hingga mencapai titik akhir dan titik ekuivalen, yaitu keadaan dimana
perubahan warna indikator dari titrasi harus dihentikan tepat pada saat indikator
menunjukkan warna (titik akhir titrasi), sehingga diperoleh hasil titrasi yang tepat.
Hasil pada percobaan sesuai dengan literatur, dimana pelarut campuran 5 yang berisi
30 mL air dan 20 mL etanol memiliki konstanta dielektrik sebesar 57,96 dengan
konsentrasi asam salisilatnya sebesar 0,116 N. Menunjukkan bahwa asam salisilat
terlarut dengan baik pada pelarut campuran. Jika nilai konstanta dielektrik suatu zat
saling berdekatan berarti sifat zat tersebut semakin sama, dan bisa termasuk prinsip
“like dissolve like” (Bird, 1993).
Untuk percobaan 2 yaitu pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan
suatu zat untuk menentukan konsentrasi sukrfaktan dan juga KMK (Konsentrasi Misel
Kritis). Surfaktan merupakan suatu molekul yang memiliki gugus hidrofilik dan gugus
lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.
Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian
non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan
dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Penambahan surfaktan dalam larutan akan
menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan. Konsentrasi terbentuknya misel
ini disebut Konsentrasi Misel Kritis (KMK). Tegangan permukaan akan menurun
hingga KMK tercapai. Pada percobaan ini menggunakan tween 80 karena dapat
menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan membentuk misel sehingga molekul
obat akan terbawa oleh misel larut ke dalam medium. Pertama dicampurkan antara air
dan surfaktan dengan konsentrasi yang berbeda—beda, kemudian asam salisilat
dilarutkan dalam pelarut yang sudah ditambahkan surfaktan dan lakukan pengocokan
selama 60 menit agar larutan tersebut homogen. Prosedur selanjutnya melakukan
titrasi, titrasi yang digunakan yaitu titrasi asam basa. Titrasi asam basa adalah titrasi
terhadap larutan asam salisilat terhadap larutan yang berasal dari basa dengan
menggunakan indikator fenolftalein (pp).
Pada percobaan kali ini indikator yang digunakan adalah indikator
fenolptalein, yang berfungsi untuk menetapkan atau mengetahui titik akhir titrasi atau
titik ekuivalen.
Titik ekuivalen titrasi adalah titik dimana larutan titran dan larutan uji telah bereaksi
sempurna yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna dari tidak berwarna
menjadi warna merah muda (Martin, 1993). Larutan yang telah disaring kemudian di
titrasi dengan larutan NaOH dan indikator fenolftalein hingga diperoleh titik
ekuivalen. Volume NaOH yang dibutuhkan untuk menitrasi asam salisilat dalam
berbagai konsentrasi pelarut dan surfaktan, berbeda-beda. Dari data yang sudah
diperoleh semakin besar konsentrasi surfaktan yang ditambahkan ke dalam larutan
asam salisilat maka semakin besar volume NaOH yang dibutuhkan.
Setelah dilakukan titrasi berdasarkan percobaan yang telah dilakukan,
diperoleh konsentrasi dari setiap larutan seri yang mengandung Tween 80 yaitu pada
bobot 0 gram sebesar 0,0155 N; bobot 0,6 gram sebesar 0,0215 N; bobot 0,8 gram
sebesar 0,026 N; bobot 2,0 gram sebesar 0,037 N; bobot 4,0 gram sebesar 0,058 N;
bobot 6,0 gram sebesar 0,05 N; bobot 8,0 gram sebesar 0,051 N. Berdasarkan
literatur, surfaktan pada konsentrasi rendah yang akan memberikan efek penurunan
tegangan permukaan, sedangkan pada konsentrasi tinggi atau konsentrasi di atas
konsentrasi misel kritis akan membentuk misel. Saat misel telah terbentuk kelarutan
zat tersebut akan semakin besar (Bird, 1993). Hal ini sesuai dengan hasil percobaan
bahwa semakin besar konsentrasi kelarutan asam salisilat maka semakin besar pula
konsentrasi surfaktan. dapat diketahui konsentrasi surfaktan terbaik untuk melarutkan
asam salisilat yaitu pada bobot 4,0 dengan konsentrasi sebesar 0,058 N.
Pada percobaan terakhir yaitu pengaruh pH terhadap kelarutan asam salisilat.
Dibuat 100 mL larutan dapar fosfat dengan berbagai pH yaitu 5, 6 , 7, 8, dan 9.
Tujuan dibuat larutan dapar fosfat pH berbeda untuk menentukan dan
membandingkan pH yang paling baik dalam kelarutan asam salisilat. Diambil masing-
masing 25 mL dari setiap larutan pH lalu ditambahkan 0,5 gram asam salisilat.
Larutan dikocok dengan lab sheaker selama 1 jam, supaya larutan larut sempurna atau
tidak adanya endapan dalam larutan. . Disaring larutan agar didapat larutan yang
jernih dan tidak adanya endapan asam salisilat. Masing-masing larutan asam salisilat
yang sudah disaring kemudian dititrasi dengan metode titrasi asam basa. Titrasi asam
basa adalah suatu titrasi dengan menggunakan reaksi asam dan basa (reaksi
penetralan). Dititrasi dengan NaOH 0,1 N dan digunakan indikator fenolftalein yang
akan memberikan warna merah merah muda. Fenolftalein akan berubah warna ketika
telah mencapai titik akhir titrasi dan titik ekuivalennya. (Sudjadi, 2007).
Data kelarutan memiliki fungsi untuk menentukan jenis sediaan cairan yang
akan dibuat. Hasil percobaan yang didapat data kelarutan asam salisilat yang tertinggi
pada pH 6, dimana kelarutan asam salisilat di konsentrasi tertinggi yaitu 0,078 N.
Namun, berdasarkan literatur sebaiknya asam salisilat memiliki kelarutan konsentrasi
tinggi pada pH 9 karena asam salisilat merupakan asam lemah dimana kelarutan akan
meningkat, dan baik nya di pH basa. (Moechtar, 2009)

DAFTAR PUSTAKA

Baroroh, U. L. (2004). Diktat Kimia Dasar 1. Banjar Baru: Universitas Lambung Mangkurat.

Bird, d. T. (1993). Kimia Fisika: Untuk Universitas. Jakarta: Erlangga.

Martin, A. J. (1983). Physical Pharmacy: Physical Chemical Principles in The


Pharmaceutical Sciences, 3rd Ed, 827, 846-847.

Martin, d. (1993). Farmasi Fisika. Jakarta: UI Press.

Moechtar. (2009). Farmasi Fisik Bagian Larutan dan Dispersi. . Yogyakarta: UGM.

Rowe, D. (2003). Handbook of Pharmaceutical Excipients, 4th Ed. . London: The


Pharmaceutical Press

Sudjadi. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulistyaningrum, K.S., Nilasari, H., dan Effendi, H.E. (2012): Penggunaan Asam Salisilat
dalam Dermatologi, J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7

Anda mungkin juga menyukai