Anda di halaman 1dari 16

KEADILAN WARISAN DALAM HUKUM ISLAM

DALAM PENDEKATAN FILOSOFIS


Malakah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan

Studi Islam Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Akhmad Patah, M.Ag.


Dr. Aning Ayu Kusumawati, S.Ag., M.Si.

Disusun oleh :

Ahmad Shafwan Anshari

21201012024

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum waris pada dasarnya merupakan peraturan yang mengatur
perpindahan kekayan seorang yang meninggal dunia kepada satu orang atau
beberapa orang lain.1 Islam merinci dan menjelaskan -melalui al-Qur'an al-Karim--
bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi suatu hal
yang krusial terkadang memicu permusuhan dan menimbulkan keretakan hubungan
keluarga. Penyebab utamanya adalah keserakahan dan ketamakan manusia, dan juga
karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum pembagian
warisan. Allah SWT telah mengatur pembagian waris secara lengkap karena
sesungguhnya Dialah pemilik sebenarnya harta yang dimiliki manusia. Karena itu
jika ada manusia yang membagi hartanya kepada sebelum meninggal dengan
memperturutkan hawa nafsu dan bertujuan menghalangi ahli warisnya mendapatkan
haknya, hal itu diharamkan dalam Islam.2 Yang harus dipahami dari hukum Islam
adalah adanya dasar nafyu alharaj atau meniadakan kesulitan, Karena itu semua
hukum-hukum Allah tidaklah mengandung kesulitan yang tidak dapat diatasi oleh
manusia.3
Rasulullah saw. Juga sangat menganjurkan untuk mempelajari ilmu waris
dengan sabda beliau kepada sahabat Abu Hurairah : “Wahai Abu Hurairah
pelajarilah al Faraid dan ajarkan tentangnya sesungguhnya ia adalah setengah ilmu
dan ia akan terlupakan dan akan menjadi yang pertama diperselisihkan dikalangan
umatku”
Proses kewarisan dalam Islam mengenal tiga unsur pokok yaitu:
1. Mauruts yaitu harta benda yang ditinggal oleh orang meninggal yang

1
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam: Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia (Pustaka
Setia, 2007).
2
Ali Ahmad Al-Jurjawi, ‘Hikmah Al-Tasyri’wa Falsafatuhu’, Beirut: Dar Al Fikr, t. Th, 1994
3
Ash Shddiqy ,Teungku Muhammad Hasbi, ‘Falsafah Hukum Islam’ (2, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, Cet-1, 2001).
akan dimiliki oleh ahli waris setelah dikurangi biaya perawatan,
melunasi hutang, dan melaksanakan wasiat.
2. Muwarits yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun
mati secara hukum (hukmy) berdasarkan putusan hakim atas dasar
beberapa sebab, walau mungkin ia belum mati sejati.
3. Warits yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan muwarits
karena sebab pewarisan antara lain ikatan perkawinan, hubungan
darah dan hak perwalian dengan muwarits. 4

Secara terperinci ahli waris tersusun sebagai berikut: Keturunan


garis ke atas dari orang yang meninggal; ayah ibu, nenek; Keturunan garis
ke bawah dari orang yang meninggal; anak, cucu, dan seterusnya; Keturunan
garis ke samping; saudara, paman, bibi; dan Keluarga dari perkawinan; istri
atau suami.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan filosofis?


2. Bagaimana keadilan dan hikmah warisan dalam hukum islam ditinjau
dengan pendekatan filosofis?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui maksud dari pendekatan filosofis.


2. Untuk mengetahui keadilan dan hikmah warisan dalam hukum islam
ditinjau dengan pendekatan filosofis.

4
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam: Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia (Pustaka
Setia, 2007).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Filosofis
Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran,
ilmu dan hikmah. Begitu juga filsafat dapat pula berarti mencari hakikat
sesuatu, berusaha mengkaitkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.5 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya
terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan
arti ”adanya” sesuatu. Sedangkan pengertian filsafat yang umumnya
digunakan adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal
dalam rangka memberi kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala sesuatu
yang ada. 6
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya
berusaha menjelaskan inti, hakikat sesuatu, atau hikmah, yang mengenai
sesuatu yang berada dibalik obyek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang
mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik bersifat zahiriyah. Kegiatan
berfilsafat adalah merenung tetapi merenung bukanlah melamun, .juga
bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan
dilakukan secara mendalam, radikal, universal, dan sistematik. Mendalam
artinya melakukan sedemikian rupa hingga cara disampaikan batas di mana
akal tidak sanggup Iagi. Radikal artinya sampai ke alur akarnya hingga tidak
ada lagi yang tersisa, dan sistematik. 7maksudnya adalah dilakukan secara
teratur dengan menggunakan metode berfikir tertentu dan universal
maksudnya tidak dibatasi hanya sesuatu kepentingan kelompok tertentu
tetapi untuk seluruhnya.

5
Susanto. A., Filsafat Ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologi, Epistemologis, dan Aksiologis,
Jakarta : PT. Bumi Askara 2019, hlm. 1
6
Poerwadarminta, Kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Puataka, 1999, hlm, 451
7
Soejono Soekanto, "Sosiologi Suatu Pengantar”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986, hlm. 6
Plato (427–348 SM) menyatakan, filsafat ialah pengetahuan yang
bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–
322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya
Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu
pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan
keinginan untuk mendapatkannya. Menurut Descartes (1596–1650),
filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan
manusia menjadi pokok penyelidikannya.8

B. Filsafat Agama
Secara tradisional agama dipahami sebagai sesuatu yang
sakral, suci, dan agung. Menempatkan hal-hal yang memiliki nilai
semacam itu sebagai objek netral akan dianggap mereduksi, melecehkan
atau bahkan merusak nilai tradisional agama. Keterlibatan para pengikut
agama, secara bertingkat memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan
untuk berkorban bagi keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama
sebagai obyek kajian selalu memiliki resiko berhadapan dengan reaksi
para penganutnya, yang tidak jarang cukup fatal.9
John Hick menyatakan bahwa pemikiran filosofis mengenai
agama bukan merupakan cabang teologi atau studi-studi keagamaan,
melainkan sebagai cabang filsafat. Dengan demikian, filsafat agama
merupakan suatu aktifitas keteraturan kedua (second order activity) yang
menggunakan perangkat-perangkat filsafat bagi agama dan pemikiran
keagamaan. Pada umumnya kita dapat menyatakan pendekatan filosofis
memiliki empat cabang:10
1. Logika

8
Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKis, 2012), hlm.163
9
Peter Connolly (ed.), hlm. 165
10
Ibid,. hlm. 167-168
Logika Berasal dari bahasa Yunani logos, secara literal logika berarti
‘pemikiran atau akal’, logika adalah seni argumen rasional dan koheren.
Logika merasuk ke seluruh proses berargumentasi dengan seseorang
menjadikannya lebih cermat dan meningkat proses tersebut. Suatu
argumen bertolak dari titik pangkal, argumen-argumen itu
memerlukan pernyataan pembuka untuk memulai. Pernyataan pembuka
ini dalam logika disebut premis. Premis adalah apa yang mengawali
argumen. Salah satu premis yang paling terkenal dalam filsafat agama
adalah yang dikemukan Anselm: “Tuhan adalah sesuatu yang tidak
ada hal lebih besar yang dapat dipikirkan selain dia”. Ketika
berkaitan dengan argumen, seorang filsuf akan melihat premis untuk
mengetahui apakah suatu argumen itu benar atau salah, dan apakah ia
koheren, karena jika premisnya keliru, tidak ada argumen yang dapat
dibangun darinya.
2. Metafisika.
Istilah ini pertama kali digunakan tahun 60 SM oleh filsuf
Yunani Andronicus. Metafisika terkait dengan hal yang paling dasar,
pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan, eksistensi, dan
watak ada (being) itu sendiri, secara literal metafisika berarti
kehidupan, alam, dan segala hal. Metafsiska mengemukakan
pertanyaan tentang apakah sesungguhnya aku, sebagai seorang
pribadi, apakah aku tubuh materiil, otak yang akan berhenti dari
keberadaannya ketika mati? Atau apakah aku itu suatu jiwa, suatu
entitas tanpa bentuk terpisah?
3. Epitemologi
Epitemologi memfokuskan kepada apa yang dapat kita ketahui, dan
bagaimana kita mengetahui. Epistemologi memberi perhatian pada
pengetahuan dan bagaimana kita memperolehnya. Plato misalnya
berpendapat tidak mungkin memperoleh pengetahuan, dan dia
menggunakan apa yang dia sebut dengan “paradok Meno” guna
menunjukkan mengapa “ seseorang tidak dapat menyelidiki apa yang dia
tahu karena dengan mengasumsikan bahwa ia tahu berarti ia tidak perlu
menyelidiki, demikian juga ia tidak dapat menyelidiki apa yang tidak dia
ketahui karena dia tidak tahu apa yang harus diselidiki.
Inti dari pernyataan Plato adalah bahwa ketika kita sampai pada
pengetahuan, kita tidak pernah memulainya dari permulaan. Seluruh
pertanyaan yang kita ajukan, segala sesuatu yang kita ketahui, memiliki
serombongan besar praanggapan dan keyakinan yang telah ada
sebelumnya. Seluruh yang kita kerjakan dan ketahui terletak dalam suatu
konteks praanggapan dan keyakinan yang luas dan sering tidak
dipertanyakan. Tidak sesuatupun dimulai dari daftar yang bersih. Segala
sesuatu selalu dibangun berdasar sesuatu lainnya. Plato juga
menunjukkan bahwa penelitian dan pencarian pengetahuan tidak pernah
berhenti, jawaban terhadap pertanyaan kita menjadi dasar bagi seluruh
pertanyaan selanjutnya, dan begitu seterusnya. Bagi Plato, pengetahuan
adalah persoalan mengingat segala sesuatu yang telah dipelajari dalam
kehidupan sebelumnya, bagi kita sekarang pengetahuan adalah persoalan
proses penelitian dan penemuan. Proses ini hanya akan berhenti jika kita
secara sewenang-wenang dan artificial menjadikannya berhenti. Itulah
mengapa kesimpulan yang kita capai hanya dapat bersifat tentatif dan
sementara.
4. Etika
Etika Secara harfiah etika berarti studi tentang “perilaku” atau studi
dan penyelidikan tentang nilai-nilai yang dengannya kita hidup, yang
mengatur cara kita hidup dengan lainnya, dalam satu komunitas lokal,
komunitas nasional, maupun komunitas global internasional. Etika
menitikberatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan tentang
kewajiban, keadilan, cinta, dan kebaikan. Dan dalam etika sebagai
concern general, muncul perhatian pada praktik-praktik partikular dalam
masyarakat, maka kita memiliki perhatian khusus pada etika bisnis, etika
medis, etika kerja, dan etika politik. Semua itu kadang disebut sebagai
persoalan yang termasuk dalam etika terapan dengan kata lain ia
menerapkan ide-ide, teori-teori, dan prinsip-prinsip etika general pada
wilayah-wilayah partikular, dan spesifik dalam kehidupan dan kerja
manusia.
Dalam bahasa Arab filsafat dikenal kata “hikmah dan hakim”, kata
ini bisa diterjemahkan dengan arti “filsafat dan filosof”. Kata “hukamul
islam” bisa berarti “falasifatul islam”. Hikmah adalah perkara tertinggi yang
bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan
metode berpikirnya.

Berfikir secara filosofis dalam memahami ajaran agama adalah


berfikir dengan maksud hikmah, hakikat atau inti suatu ajaran agama agar
dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan kefilsafatan
yang dimaksud di sini adalah melihat sesuatu permasalahan dari sudut tujuan
filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu
dengan menggunakan metode analisis filsafat. Pada dasarnya filsafat berfikir
untuk memecahkan masalah atau mempertanyakan atau meniawab sesuatu
persoalan. Namun demikian kita tidak semua berfikir untuk memecahkan
dan menjawab permasalahan dapat disebut filosof. Di samping itu filsafat
mempunyai bidang (obyek yang dipikirkan) sendiri, yaitu bidang atau
permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang terletak di antara
dunia ketuhanan yang ghaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata.11

Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang


bertujuan untuk menjelaskan inti, asas-asas, hakikat, atau hikmah mengenai
sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan kata lain, pendekatan
filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa dibalik
sesuatu yang nampak. Memahami ajaran Islam dengan pendekatan filosofis
ini dimaksudkan agar seseorang melakukan pengamalan agama sekaligus
mampu menyerap inti, hakikat atau hikmah dari apa yang diyakininya, bukan
sebaliknya melakukan tanpa makna.

11
Nawawi, Ahmad, Pengantar Studi Islam (Prespektif Metodologi), Yogyakarta, Azzagrafika, 2015,
hlm. 102
C. Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Kewarisan Islam mengatur semua peralihan harta dari seseorang
yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Tentang peralihan harta
tersebut terdapat beberapa nama yang digunakan untuk menyebut perihal
tersebut, dalam literatur hukum Islam misalnya, ditemui istilah fara’id, fiqh
al-mawarits, dan hukm alwarith.12 Sedangkan dalam literatur hukum
Indonesia, ditemukan beberapa kata yang digunakan untuk peralihan harta
tersebut dengan nama-nama yang merupakan serapan dari bahasa Arab,
seperti waris, warisan, pusaka, dan hukum Kewarisan.13
Dalam pengertian bahasa, kata ‚waris‛ berasal dari bahasa Arab
waritsa yaritsu-wartsan atau irtsan yang berarti “mempusakai”. Adapun
secara terminologi, waris diartikan sebagai ketentuan tentang pembagian
harta pusaka, orang yang berhak menerima waris serta jumlahnya. Istilah
warits sama dengan fara’id yang berarti kadar atau bagian.14 Dalam istilah
hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan mengambil kata asal
“waris” dengan ditambahi awalan “ke” dan akhiran “an”. Penggunaan kata
“hukum” di awal kata tersebut, mengandung arti aturan-aturan yang
mengikat, dan penggunaann kata “Islam” di belakang mengandung arti dasar
yang menjadi rujukan demikian, hukum kewarisan Islam dapat diartikan
sebagai seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan Sunah
tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati
kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
untuk semua yang beragama Islam.

D. Keadilan dalam Asas Hukum Waris Islam


Amir Syarifuddin dan Mohammad Daud Ali mengatakan bahwa
hukum waris Islam yang digali dari al Qur’an dan hadits rasulullah saw.
mempunyai 5 asas, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas

12
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2004), hlm. 5.
13
Ibid, hlm. 6
14
Azyumardi Azra, et al., Ensiklopedi Islam, Jilid VII (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005),
hlm. 260.
keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian. 15
1. Asas ijbari mengandung arti bahwa peralihan harta dari seorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris
atau ahli waris. Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan
(compulsory) yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri.16 Unsur
paksaan sesuai dengan arti terminologis ini terlihat dari segi bahwa ahli
waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya
sesuai dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan ketentuan
hukum perdata dimana peralihan harta warisan tergantung kepada
kemauan pewaris dan kerelaan ahli waris yang menerima. Asas ini tidak
akan memberatkan karena dalam Islam ahli waris hanya berhak
menerima harta warisan dan tidak memikul hutang si mati. Dalam hukum
perdata ahli waris dimungkinkan menolak warisan karena pewaris juga
menanggung resiko melunasi hutang si mati.
Asas ijbari memiliki beberapa segi, yaitu segi peralihan harta dalam
arti bahwa harta warisan berpindah kepemilikan dengan sendirinya, dan
bukan dialihkan seorangpun kecuali Allah. Begitu juga dari segi jumlah,
dimana tidak seorang pun mempunyai hak menambah atau mengurangi
bagian yang telah ditentukan Allah. Asas ini juga mencakup penerima
peralihan harta dimana mereka yang berhak telah ditentukan Allah
dengan pasti, sehingga manusia tidak boleh memasukkan pihak yang
tidak berhak sebagai ahli waris, atau mengeluarkan ahli waris yang
berhak. Asas ini merupakan makna dari ayat 7, 11, 12 dan 176 surat al
Nisa’.17
2. Asas bilateral ini mengandung pemahaman tentang ke arah mana saja
peralihan harta tersebut diberikan di kalangan ahli waris. Dalam konteks
hukum kewarisan Islam, asas bilateral berarti bahwa harta warisan

15
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2004), hlm. 5
16
Daud All Muhammad, ‘Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, (Rajagrafindo, 2007).
17
Amir Syarifudin, hlm. 5
beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat keturunan
laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan kerabat perempuan. Asas ini
dapat dilihat dari makna ayat 7, 11, 12 dan 176 surat al Nisa’. Ayat-ayat
tersebut menjelaskan bahwa peralihan harta beralih kebawah (anak-
anak), ke atas (ayah dan ibu) dan ke samping (saudara) dari kedua belah
pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan perempuan, dn menerima
warisan dari dua garis keluarga pula.
3. Asas individual menyatakan bahwa harta warisan diberikan kepada
masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Setiap ahli
waris menerima bagiannya secara tersendiri tanpa terikat dengan ahli
waris lain. Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap individu
dipandang mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan
menjalankan keahlian, yang dalam ushul fikih disebut ahliyat al wujub.
13 Ayat 11, 12 dan 176 surat al Nisa’ menjelaskan secara terperinci hak
masing-masing ahli waris secara individual menurut bagian tertentu dan
pasti. Memang dalam beberpa bentuk terlihat bagian secara kelompok
atau bersama seperti anak laki-laki bersama dengan anak perempuan
seperti dalam surat al Nisa’ ayat 11, atau saudara laki-laki dan saudara
perempuan dalam ayat 176 surat al Nisa’, atau saudara yang berserikat
dalam mendapatkan harta warisan bila si meninggal tidak mempunyai
ahli waris langsung seperti digambarkan ayat 12 surat al Nisa’. Tetapi
bentuk kolektif ini hanya untuk sementara yaitu sebelum terjadi
pembagian yang bersifat individual.18
Di antara ahli waris yang tidak memenuhi kententuan untuk bertindak
atas hartanya (seperti belum dewasa), maka harta warisan yang
diperolehnya berada dibawah kuasa walinya dan dapat dipergunakan
untuk belanja seharihari anak tersebut seperti dijelaskan Allah dalam
surat al Nisa’ ayat 5. Bisa dipahami pula bahwa ahli waris yan telah
dewasa dapat menahan atau tidak memberikan harta warisan secara

18
Amir Syarifudin, hlm. 6
individual kepada ahli waris yang belum dewasa, dengan ketentuan tetap
memperhatikan sifat individualnya dengan mengadakan perhitungan
terhadap bagian masing-masing ahli waris, memelihara bagian ahli waris
yang belum cakap mengelolanya, dan mengembalikan harta tersebut
kepada yang berhak saat ia telah cakap mengelola hartanya.
Menghilangkan bentuk individualnya dengan mencampurkan harta
warisan tanpa perhitungan dan dengan sengaja menjadikan hak
kewarisan itu bersifat kolektif berarti menyalahi ketentuan yang berlaku
diatas, dan itu adalah dosa besar menurut ketentuan Allah.
4. Asas keadilan berimbang. Asas ini mengandung arti harus senantiasa
terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang
diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya.
Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding
dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa
perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Baik
pria dan wanita mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh warisan
dalam Islam. Ini tentu berbeda dengan hukum waris pra Islam dimana
wanita tidak mendapat hak mewarisi, bahkan mereka diwariskan.
Perihal jumlah bagian antara laki-laki dan perempuan, memiliki dua
bentuk yaitu adakalanya jumlahnya sama seperti ibu dan ayah mendapat
bagian seperenam 1/6 dalam keadaan si mati meninggalkan saudara
kandung (lihat surat an-Nisa’ 11), atau laki-laki mendapat bagian lebih
banyak dibanding perempuan, seperti bagian antara anak laki-laki dan
perempuan. Pada kondisi kedua dimana laki-laki mendapatkan bagian
lebih banyak, hal ini bukan berarti ketidak adilan, karena dalam Islam
keadilan bukan hanya diukur dari jumlah yang didapat saat menerima
hak waris, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan kegunaan dan
kebutuhan atau hak dan kewajiban.19 Bahkan pembagian waris yang
berkaitan jumlah dapat dilakukan dengan formua 1:1 atau yang

19
Ibid
disepakati. Hal ini diakomodasi Kompilasi Hukum Islam pasal 183
dijelaskan dimana ahli waris dapat bersepakat dalam pembagian harta
waris setelah masing-masing menyadari bagiannya. Menurut Atho
Mudzhar hal ini hal ini demi memperhatikan tradisi dan budaya
masyarakat Indonesia. Ahmad azhar Basyir juga mendukung hal ini,
selama ahli waris merelakan dan berkompromi jika ada bagian mereka
yang harus dilepaskan. Jika ahli waris mempertahankan haknya, maka ia
tidak boleh dipaksa dan kepadanya diberikan haknya dari bagian harta
warisan. Dia juga mempersyaratkan agar perdamaian membagi harta
warisan harus tidak dilatarbelakangi menolak ketentuan al Qur’an dan
hadith agar tidak termasuk orang yang durhaka kepada Allah dan rasul-
Nya.20
5. Asas semata akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam
mengandung pengertian bahwa peralihan harta seseorang kepada orang
lain hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia.21 Ini
berarti harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dalam
sebutan pewarisan, selama orang tersebut masih hidup. Juga berarti
bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada
orang lain, baik secara langsung ataupun yang akan dilaksanakan setelah
kematiannya tidak bisa disebut harta warisan. Ini berarti kewarisan Islam
adalah akibat kematian seseorang atau yang dikenal dalam hukum
perdata barat sebagai ab intestato dan tidak mengenal kewarisan
berdasarkan wasiat yang dibuat oleh seseorang yang masih hidup yang
dikenal sebagai kewarisan secara testamen. Asas ini berkaitan erat
dengan asas ijbari, yakni seseorang tidak boleh sekehendaknya saja
menentukan penggunaan hartanya setelah kematiannya. Dalam Islam
seseorang boleh menentukan pemanfaatan hartanya setelah ia mati
melalui wasiat dengan batasan tertentu. Aturan wasiat terpisah dari

20
Ritonga, Iskandar. Hak-hak wanita dalam putusan peradilan agama. Program
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Departemen Agama RI, 2005.
21
Amir Syarifudin, hlm. 9
aturan hukum waris dalam Islam.22

E. Hikmah Waris Islam


Waris dalam Islam terdapat didalamnya hikmah yang sangat besar,
yaitu menguatkan ikatan kekerabatan dan hubungan antar manusia. Al-
Jarjawi menyebutkan secara terperinci, antara lain hikmah kewarisan suami
istri adalah karena kehidupan rumah tangga membutuhkan kerjasama yang
erat antara keduanya baik dalam mengurus rumah tangga ataupun mendidik
anak. Karena itu ketika salah satu diantara suami atau istri meninggal, maka
sudah selayaknya mereka saling mewarisi.
Di antara hikmah bagian laki-laki dua kali bagian perempuan,
Muhammad Ali al-Shobuni menyebutkan:23
1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dalam
hal nafkahnya wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya,
anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kerabat laki-lakinya.
2. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di
dunia ini. Sebaliknya, lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk
memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang
diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
3. Nafkah (pengeluaran) laki-laki jauh lebih besar dibandingkan wanita.
Dengan demikian, kebutuhan laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki
harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan wanita.
4. Laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya,
menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan
sandang. Dan ketika memiliki anak, laki-laki berkewajiban untuk
memberinya sandang, pangan, dan papan.
5. Kebutuhan pendidikan bagi anak, pengobatan jika anak atau istri sakit
dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada laki-laki. Sementara

22
Daud All Muhammad, ‘Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, (Rajagrafindo, 2007).
23
Al-Jurjawi, Ali Ahmad, ‘Hikmah Al-Tasyri’wa Falsafatuhu’, Beirut: Dar Al Fikr, , 1994
wanita tidaklah demikian.
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak
untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun
kerabatnya). Dengan alasan bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang
membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas
menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta
peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang
kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan
musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan,
sebagaimana mereka mengharamkan warisan kepada anak-anak kecil.
Karena itu ketika Islam memberikan hak waris kepada wanita (dan anak-
anak) tidak lebih sebegai wujud kasih sayang Allah kepada mereka, dan
untuk menghilangkan hukum waris jahiliyah. Begitu juga dengan bagian
kewarisan orang tua, sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah atas kehadiran
manusia di bumi melalui orangtua, sehingga orang tua adalah manusia yang
paling dekat kekerabatannya.

Kesimpulan

Dalam kewarisan Islam selalu terdapat keseimbangan antara hak dan


kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus
dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang setara
dengan kewajiban yang ditanggung masing-masing dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak
menentukan hak kewarisan dalam Islam. Baik pria dan wanita mendapatkan hak
yang sama untuk memperoleh warisan dalam Islam. Hal ini berbeda dengan hukum
waris pra Islam dimana wanita tidak mendapat hak mewarisi, bahkan mereka
diwariskan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jurjawi, Ali Ahmad, ‘Hikmah Al-Tasyri’wa Falsafatuhu’, (Beirut: Dar Al Fikr,
1994).
Amir, Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2004).

Azyumardi Azra, et al., Ensiklopedi Islam, Jilid VII (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005).
Ash Shddiqy ,Teungku Muhammad Hasbi, ‘Falsafah Hukum Islam’ (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, Cet-1, 2001).
Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, (Rajagrafindo, 2007).
Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKis, 2012).
Nawawi, Ahmad, Pengantar Studi Islam (Prespektif Metodologi), (Yogyakarta,
Azzagrafika, 2015).

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus umum bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Puataka,


1999).
Supriyadi, Dedi Sejarah Hukum Islam: Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia (Pustaka Setia, 2007).
Susanto. A., Filsafat Ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologi, Epistemologis,
dan Aksiologis, (Jakarta : PT. Bumi Askara 2019).

Soekanto, Soejono, "Sosiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


1986)
Ritonga, Iskandar. Hak-hak wanita dalam putusan peradilan agama. Program
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, 2005.

Anda mungkin juga menyukai