LP Kebutuhan Eliminasi
LP Kebutuhan Eliminasi
A. Latar Belakang
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau
bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.
Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter,
kandung kemih, dan uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung
kemihsecara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang,
yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks
miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal,
setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks
miksi adalah reflex autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau
ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Eliminasi urine merupakan proses hilangnya cairan urine yang tidak terkendali
berhubungan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Tolak ukur karakteristiknya
antara lain : nyeri saat berkemih, BAK sering, kemih keluar sedikit secara terus menerus,
dorongan berkemih, nokturia, tidak mampu menahan urine, tidak mampu mengeluarkan
urine (NANDA International, Diagnosis Keperawatan 2018-2020).
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltic,mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang
normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan
bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor,
pola eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta
pertolongan dari perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit
dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak
mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal ; lingkungan
rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas, perubahan
kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawata harus
mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
B. Tujuan
1. Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi urin
2. Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi
fekal
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
a) Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami
gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu tindakan
memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan
mengeluarkan urine.
b) Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko tinggi mengalami statis padau usus besar, mengakibatkan jarang buang air
besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya
dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan
hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
B. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi
1) Masalah-masalah dalam eliminasi urin :
Retensi, yaitu, adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak
sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter
eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih.
Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam hari
(nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.
Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih
Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500
ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.
Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine
2) Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:
Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnyafrekuensi
BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, danmengejan. BAB
yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses
berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan
feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat,
tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidakberbentuk. Isi
intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat.Iritasi di dalam kolon
merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara
dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan
gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan
tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar
akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien
tergantung pada perawat.
Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang
dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut
(sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus
adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan,
pembusukan di usus yang menghasilkan CO2
Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rectum (bisa internal
atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung
dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding
pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien
merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena
saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
C. Etiologi
a) Gangguan Eliminasi Urin
Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi
output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine
yang keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.
Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan
eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang dan
dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah
urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme tubuh.
Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
Infeksi
Kehamilan
Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
Umur
Penggunaan obat-obatan
b) Gangguan Eliminasi Fekal
Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya
selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses.
Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan
ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan
feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat
mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama
setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan
makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.
Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang
adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa
alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat
perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan
dari chime.
Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit tertentu
termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen
psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn
depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi.
Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic dan
dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi
reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras.
Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengaruh terhadap eliminasi
yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari
tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi
feses. Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obata tertentu
seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-
kadang digunakan untuk mengobati diare.
Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya.
Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular
berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasajuga mengalami
perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di
antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos
colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya
(mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan
tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga
mengalami penurunan control terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak
pada proses defekasi.
Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal
cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori
untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk
merespon terhadap keinginan defekasi Ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau
mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien
bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter
ani.
D. Faktor predisposisi/Faktor pencetus
1.) Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi. Beberapa masyarakat
mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk berkemih atau defekasi.
Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Begitu pula dengan feses
menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2.) Gaya hidup. Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi
urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi
frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi
tingkah laku.
3.) Stress psikologi Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya
frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan
berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
4.) Tingkat perkembangan. Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola
berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya
tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan
tonus otot kandung kemih dan penurunan gerakan peristaltik intestinal.
5.) Kondisi Patologis. Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6.) Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat terjadi
retensi urine.
E. Patofisiologi
a.) Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada
pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal,akan
menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan
traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla
spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama
dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada
tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla
spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan
fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenic dikaitkan
dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok
spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di
bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian
segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid,
dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang
fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh
depresi refleks yang dapatdiatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth,
2018). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2018), pada komplikasi syok spinal
terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan
urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini aling berlawanan dan bergantian
secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan
pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi
bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin
dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor
yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot
detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen
kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferent ditransmisikan ke saraf sensoris
pada ujung ganglion dorsal spinal sacral segmen 2-4 dan informasikan ke batang
otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih
sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sacral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran
simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan
proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot
halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi
saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang
terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma
kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri,
epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma
pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos
operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang
adekuat.
b.) Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltic mendorong feses kedalam kolon
sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik.
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi
suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati
anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka
feses keluar. Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam
rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian
kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –sinyal parasimpatis
ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang
akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada
dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal
dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan
posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks
defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi
secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan
feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.
F. Tanda dan gejala
1.) Tanda Gangguan Eliminasi urin
Retensi Urin
1. Ketidak nyamanan daerah pubis.
2. Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3. Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4. Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
5. Ketidaksanggupan untuk berkemih
Inkontinensia urin
1. pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
2. pasien sering mengompol
2.) Tanda Gangguan Eliminasi Fekal
Konstipasi
1. Menurunnya frekuensi BAB
2. Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3. Nyeri rectum
Impaction
1. Tidak BAB
2. anoreksia
3. Kembung/kram
4. nyeri rectum
3.) .Diare
1. BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa.
4. feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
4.) Inkontinensia Fekal
1. Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
2. BAB encer dan jumlahnya banyak
3. Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal
4. cord dan tumor spingter anal eksternal
5.) Flatulens
1. Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
2. Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
3. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
6.) Hemoroid
1. pembengkakan vena pada dinding rectum
2. perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3. merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4. Nyeri
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan foto rontgen
Pemeriksaan laboratorium urin dan feses
KONSEP ASPEK LEGAL ETIK
A. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau
pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk
respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi
saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya.
B. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan
kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
C. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang
benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
ekualitas pelayanan kesehatan.
D. Tidak Merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
E. Nilai dan Norma Masyarakat
Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat nilai dan norma masyarakat sangat
penting dan perlu ada pada diri masing-masing.malah masyarakat yang sedar tentang
nilai dan norma masyarakat berusaha keras dalam mengukuhkan nilai-nilai
masyarakat.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
A. Aspek biologis
1.) Usia. Kebutuhan eliminasi, baik eliminasi urine, salah satunya dipengaruhi oleh
usia yang mengacu pada pertumbuahan dan perkembangan individu. Misalnya,
kemampuan untuk mengontrol mikturisi berbeda sesuai dengan tahap
perkembangan individu. Pada manusia lanjut usia,sering mengalami nokturia,
frekuensi berkemih meningkat,dan lain-lain.
2.) Aktivitas fisik Immobilisasi dapat menyebabkan retensi urine, dan penurunan
tonus otot.
3.) Riwayat kesehatan dan diet. Kajian riwayat penyakit atau pembedahan yang
pernah dialami pasien yang dapat mempengaruhi eliminasi, seperti nefrolitiasis,
colostomi, dan lain-lain.Dikaji juga riwayat diet yang dijalani klien, seperti jenis
makanan yang dikonsumsi, jumlah, frekuensi, dan lamanya diet yang dijalani.
4.) Penggunaan obat-obatan Pengkajian meliputi jenis obat, dosis, dan sudah berapa
lama mengonsumsi obat tersebut.Penggunaan obat-obatan ini perlu dikaji karena
beberapa jenis obat dapat mempengaruhi eliminsi urine dan fekal. Masalah
eliminasi urine sering terjadi dikaitkan dengan ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, maka perlu dikaji dengan mengenai turgor kulit dan mukosa mulut.Bila
dikaitkan dengan organ sistem perkemihan, maka perlu dikaji ginjal, vesika
urinaria, dan meatus.Hal yang dikaji seperti adakah nyari di daerah pinggul,
distensi kandung kemih, perkusi kandungan kemihpada kondisi penuh
menimbulkan bunyi tumpul, adakah nyeri tekan pada kandung kemih, pengkajian
pada keadaan meatus uretra, seperti adakah kemerahan, luka, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan laboratorium
o Warna urine normal bervariasi dari warna pucat, agak kekuningan sampai kuning
coklat (seperti warna madu). Warna bergantung pada kepekatan urine (Potter &
Perry, 2018)
o Pendarahan pada ginjal atau ureter menyebabkan urine menjadi merah gelap. Bila
urine berwarna merah terang, menunjukkan adanya pendarahan pada kandung
kemih atau uretera.Selain itu,perubahan warna urine juga dapat dipengaruhi oleh
konsumsi obat.Oleh karena ituperlu dikaji obat yang dikonsumsi.
o Warna urine coklat gelap dapat disebabkan karena tingginya konsentrasi bilirubin
akibat disfungsi hepar.Kejernihan Urin yang tampak normal tampak transparan
saat dikeluarkan.Pada klien yang mempunyai penyakit ginjal, urine yang nampak
keruh atau berbusa akibat tingginya konsentrasi protein dalam urine.selain itu,
urine pada orang yang menderita penyakit ginjal juga tampak pekat dan keruh
akibat adanya bakteri.
o Bau Urine,memiliki bau yang khas. Semakin pekat warna urine, semakin kuat
baunya. Urine yang dibiarkan dalam jangka waktu lamaakan mengeluarkan bau
amonia (Potter&Perry 2018)
o Nilai normal urine, hasil urinalisis antara lain:Ph 4,6-8,0 protein < 10 mg/100
ml;glukosa tidak ada berat jenis 1,010-1,030, tidak ada keton, tidak ada bakteri,
dan lain-lain(Potter & Perry,2018).
II. Analisa Data
Data Dasar adalah kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan klien,
kemampuan klien untuk mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri, dan hasil
konsultasi dari medis atau profesi kesehatan lainnya. Data Fokus adalah data tentang
perubahan-perubahan atau respon klien terhadap kesehatan dan masalah kesehatannya
serta hal-hal yang mencakup tindakan yang dilaksanakan terhadap klien. Pengumpulan
data adalah pengumpulan informasi tentang klien yang dilakukan secara sistematis untuk
menentukan masalah-masalah, serta kebutuhankebutuhan keperawatan dan kesehatan
klien Pengumpulan informasi merupakan tahap awal dalam proses keperawatan. Dari
informasi yang terkumpul, didapatkan data dasar tentang masalahmasalah yang dihadapi
klien. Selanjutnya data dasar tersebut digunakan untuk menentukan diagnosis
keperawatan, merencanakan asuhan keperawatan, serta tindakan keperawatan untuk
mengatasi masalah-masalah klien.
o Tujuan Pengumpulan Data
1. Memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan klien
2. Untuk menentukan masalah keperawatan dan kesehatan klien.
3. Untuk menilai keadaan kesehatan klien.
4. Untuk membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah selanjutnya.
o Tipe Data :
1. Data Subjektif. Data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap
suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak bisa ditentukan oleh perawat,
mencakup persepsi, perasaan, ide klien tentang status kesehatannya.misalnya tentang
nyeri, perasaan lemah, ketakutan, kecemasan,frustasi,mual,perasaan malu.
2. Data Objektif. Data yang dapat diobservasi dan diukur, dapat diperoleh
menggunakan panca indera (lihat, dengar, cium, raba) selama pemeriksaan fisik.
Misalnya frekuensi nadi, pernafasan, tekanan darah, edema, berat badan, tingkat
kesadaran. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dianalisa masalah keperawatan
yang paling mungkin muncul dari penderita berdasarkan diagnosa keperawatan
NANDA Internasional (2018-2020) Diagnosa Keperawatan :
1. Gangguan Pola Eliminasi: Inkotentinensia Urine Ketidakmampuan individu yang
biasanya kontinen untuk mencapai toilet tepat waktu guna menghindari pengeluaran urine
yang tidak disengaja. Faktor yang Berhubungan :
- Perubahan faktor lingkungan
- Gangguan Kognisi
- Gangguan Penglihatan
- Keterbatasan neuromaskular
- Faktor psikologis
- Kelemahan struktur penyokong panggul
2. Resiko Cedera Beresiko mengalami cedera sebagai akibat dari kondisi lingkungan
yang berinteraksi dengan sumber-sumber adaptif dan pertahanan individu Faktor yang
berhubungan : Internal:
Profil darah yang tidak normal (mis; leukositosis atau leukopenia)
Gangguan faktor pembekuan
Disfungsi biokimia (mis;disfungsi sensori)
Penurunan kadar hemoglobin - Usia perkembangan (fisiologis,psikososial)
Disfungsi efektor
Penyakit imun atau autoimun
Disfungsi integratif
Malnutrisi
Fisik(mis;kulit rusak,hambatan)
Psikologis (orientasi afektif)
Sel sabit
Talasemia
Hipoksia jaringan
Eksternal :
Biologis
Tingkat imunisasi komunitas
Mikroorganisme Kimia
Obat-obatan(misalnya,agen farmasi,alcohol,kafein,nikotin, bahan
pengawet,kosmetik,dan pewarna)
Zat gizi (misalnya,vitamin,dan jenis makanan)
Racun
Polutan Fisik
Rancangan,struktur dan penataan komunitas,bangunan,atau peralatan
Jenis kendaraan atau transportasi
Individu atau penyedia layanan kesehatan (agens nosokomial;pola pengaturan
staf,pola kognitif,dan psikomotor
3. Nyeri Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan aktual atau potensial atau digambarkandengan istilah kerusakan (International
Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas
ringan atau berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan
durasinya lebih dari enam bulan Faktor yang berhubungan : - Ketunadayaan fisik atau
psikososial kronis (misalnya,kanker metastasis,cedera neurologis dan arthritis.
III. Rumusan Masalah
Pengkajian fungsi eliminasi urine klien yang dilakukan terus menerus
menunjukkan pola data yang memungkinkan perawat untuk merumuskan masalah yang
relevan dan akurat. Perawat berpikir secara kritis dengan merefleksikan pengetahuannya
tentang klien sebelumnya, meninjau kembali karakteristik penentu yang teridentifikasi,
menerapkan pengetahuan tentang fungsi urine, dan kemudian membuat perumusan
masalah yang spesifik.
IV. Perencanaan
Perencanan dalam mengembangkan suatu rencanakeperawatan, perawat
menetapkan tujuan dan hasil akhir yang diharapkan untuk setiap diagnosis.Rencana
menggabungkan aktivitas untuk meningkatkan kesehatan dan intervensi terapeutik untuk
klien yang mengalami masalah eliminasi urine.Intervensi preventif mungkin dibutuhkan
oleh klien yang beresiko mengalami masalah perkemihan.Perawat juga merencanakan
terapi sesuai dengan tingkat keparahan risiko pada klien. Dalam proses keperawatan,
penting untuk mempertimbangkan lingkungan rumah klien dan eliminasi rutinnya yang
normal saat merencanakan terapi untuk klien. Merencanakan asuhan keperawatan juga
melibatkan suatu pemahaman tentang kebutuhan klien untuk mengontrol fungsi
tubuhnya.Perubahan eliminasi urine dapat menjadi sesuatu yang memalukan, membuat
tidak nyaman, dan sering membuat klien frustasi.Perawat dan klien bekerja sama untuk
menetapkan langkah guna mempertahankan keterlibatan klien dalam asuhan keperawatan
untuk mempertahankan eliminasi urine yang normal.(Marilyn E,2019)
V. Analisa data
2. Resiko cedera
3. Nyeri
2. Resiko cedera pada pasien berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis yaitu
penurunan kekuatan otot tungkai bawah ditandai dengan pasien tidak menggunakan
pispot/pampers melainkan ke toilet.
3. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan ditandai dengan pasien tampak gelisah,
dan fokus pada diri sendiri.
Nyeri
Daftar Pustaka
http://911medical.blogspot.com/2007/06/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
masalah.html
pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/
www.kiva.org
Http://www.jevuska.com/2007/04/19/retensi-urine-post-partum
Siregar, c. Trisa , 2004, Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi BAB, Program Studi
Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2018. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT:MOSBY