tepat setahun kepergianmu dan aku masih tidak percaya kamu sudah tiada di dunia ini. Kejadian itu masih jelas terekam di benakku dan terus menghantuiku, aku masih dibuat syok ketika mengingatnya.
Tengg….
Bunyi bel menandakan saatnya warga
sekolah pulang. Seperti biasa, aku menunggumu untuk pulang bersama dan hang out di coffeeshop. Tapi kali ini kamu lebih lama dari biasanya, lalu aku memutuskan untuk mencarimu kembali ke dalam kelas mu. Dengan keringat penat mencarimu ke sana kemari, akhirnya aku menemukanmu sedang asyik berbicara dengan orang lain.
“Millston!” panggilku. “Mill!”
Berulang kali aku memanggil, tapi kamu tidak menghiraukanku. Entah kamu sadar ataupun tidak, yang pasti dadaku sakit karena melihatmu yang tampaknya semakin nyaman mengobrol dengan seorang perempuan. Sayangnya dia membelakangiku, aku tidak bisa melihat siapa yang menjadi teman mengobrol mu, tapi dia terlihat tidak asing.
Cukup lama aku mengintip, kamu bangkit
dari kursi dengan pergelangan yang siap menarik sesuatu dari saku celana. Oh, ponsel rupanya, kamu mendekatkan ponselmu ke telinga dan… ponselku berdering dengan namamu sebagai pemanggil hubungan telepon! Tak ingin membuatmu menunggu, jadi langsung kuangkat.
“Sha, Sabtu ini bisa jalan bareng gue?
Ada film baru, nih.”
Senyumku lantas terbentuk. “Bisa, dong.
Apa, sih yang nggak bisa buat Millston. Lo jemput gue apa ketemuan di sana? Kita berdua aja, ‘kan?” tanyaku memastikan. “Ada, deh. Nanti lo juga tau, langsung ketemuan di tempat, ya.”
“Okay dokey. See you, Mill”
Sabtu siang berikutnya, kami bertemu
sesuai di tempat yang sempat kami janjikan. Aku terkesiap melihatmu datang bersama seseorang yang kukenal, dia teman sebangkuku, damielle… kalian kelihatan lebih dari teman dengan kontak mata yang hangat, canda tawa yang kalian lontarkan juga terkesan begitu. Apa memang perasaanku yang salah saja?
Sakit, Mill. Kenapa lo nggak nganggep
gue ada setelah bertahun-tahun gue bersahabat sama lo? Kenapa lo nganggep gue begini.. gue yang selalu ada buat lo.
Tidak terasa, kelopak mataku dikerumuni
mendung yang diakhiri dengan hujan di sekitarnya. Aku menangis sembari menutup wajahku, malu, menunduk, dan hanya bisa mendengar kalian berkomentar mengenai film yang sedang berjalan. Millston, apa gunanya kehadiranku di sini sekarang? Kamu dan Elle tetap berdampingan sampai di tempat parkir, bergurau sambil sesekali melirik ke arahku seakan memberikan sedikit perhatian padaku juga. Kalau aku tahu Elle bersamamu, aku tidak akan langsung memutuskan ikut. Aku hanya pengganggu di antara kalian saja, sekaligus… lebih baik aku tidak tahu daripada aku mengetahuinya.
“Laper… cari tempat makan, yuk!”
“Kafetaria yang di sana aja,” kataku
berusaha menimbrung, menunjuk pada sebuah kafetaria yang letaknya tidak jauh dari sini. Kami hanya perlu menyeberang, berjalan lurus sedikit, dan sampailah di tempat tujuan.
“Arsha udah request, nggak bisa
diganggu gugat. Ke sana duluan, gih. Gue ada urusan.”
Aku beralih menatapmu. “Kenapa nggak
bareng aja?”
“Sebentar, mau ke toko bunga dulu. Gue
yang bayar, pesen apa aja biar gue yang urus.” Kemudian, kamu berlari meninggalkan kami di tempat. Kayaknya kamu ragu, jadi kamu sempat membalikkan badan sambil melambaikan tangannya. “Nanti gue nyusul!”
“Dia bakal nyusul, ayolah, Sha. Perut gue
nggak tahan, nih.”
Aku jadi manggut, menurut perkataan
Elle sembari melihat punggung laki-laki yang baru saja masuk ke sebuah toko tanaman. Entah kenapa perasaanku tidak enak, seperti akan ada hal buruk yang akan terjadi. Jadi aku berusaha menyingkirkannya dengan segelas milshake, beruntung pleayanan di sini cepat dan ramah.
“Sha, lo suka sama Millston, ‘kan?”
Tersedak, minumanku rasanya
menggelincir dengan arus besarnya. Melihatku yang terbatuk-batuk, Elle menyuguhkan sebotol air mineral yang sempat kami pesan sebelumnya. Dia memintaku untuk meminum nya, tapi aku tidak meneguknya. “Eh, kenapa? Sorry-sorry, seharusnya nggak langsung ulti, ya.”
“Maaf, ya, kalo gue sama Millston
kesannya lebih deket dari temen. Gue nggak tau kalian ada hubungan apa, yang pastinya… gue ngerasa nggak enak aja, gue cuma–”
“Apasih, Sha. Gue nanya apa malah
dijawab apa, jujur aja. Lo suka sama Millston, ‘kan?”
Aku menghembuskan nafas, daripada
mengundang kontra karena aku ketahuan mengalihkan topik. Sepertinya lebih baik aku jujur dengan perasaanku sendiri, aku memang menyukaimu, Millston. Dari cara kamu memperlakukanku dan selalu ada kalau aku butuh, aku menyukaimu yang sering bercerita, aku suka Millston yang kukenal dari dulu sampai sekarang.
“Iya…,” jawabku sembari melirik
seseorang yang melambaikan tangan ke arah sini, dia tampak senang ketika aku melakukan kontak mata dengannya. Dia Millston, itu kamu dengan sebuket bunga mawar putih yang impresi pertamanya semerbak segar. “Gue suka Millston.”
“Dia juga suka sama lo, Sha.”
Senyumku terbentuk perlahan, memikat
senyum mu yang tertarik untuk membalasnya juga. Dengan langkah berirama seperti anak kecil memegang barang kesayangannya, kamu menyeberang. Aku mengembuskan nafas, lalu kualihkan perhatianku pada Elle sampai–
BRUKKK!!
Perhatianku dikembalikan, yang kulihat
hanya tangkai bunga-bunga mawar polos yang kini ternodai cairan segar dari pemiliknya. Millston… tergeletak dengan sebuket bunga yang seharusnya dibawakan kemari, penabrakan lari itu mengundang banyak perhatian. Tanpa berpikir panjang, saat itu aku bangkit dari tempat dan berlari mendekat. Aku memangku kepalamu yang sebagiannya terluka dengan darah yang masih mengalir akibat benturan keras. “Bertahan, Millston. Lo kuat, ambulan bakal dateng. Jangan khawatir, gue di sini buat lo. Gueee… gue nggak bakal ke mana-mana, lo aman sekarang.” Aku meyakinkan.
“Sha.”
“Millston gue kuat, Millston pasti bisa.
Sebentar, ya, Mill,” kataku berusaha menenangkan, melihat area sekitar yang mulai mengerumuni kami dengan tatapan iba. “Kalian ngapain? Ayo, telepon yang bersangkutan! Ambulannya udah dipanggil, ‘kan? Tolong bawa teman saya ke rumah sakit secepatnya… Elle, bantuinn!”
“Sha….”
“Millston, diem. Gue sama lo, gue bakal
di sini terus. Sabar, ya, Mill.. sebentar, tolong.”
“Gue… nggak bisa.”
Aku langsung menatap matanya, kami
bertukar pandang cukup lama sampai telapak tangannya menyentuh daerah pipiku. Maaf buat aku yang nangis, Millston. Aku cengeng. “Gue mohon… jaga diri lo, hati-hati,” tuturnya. “Maaf, seharusnya bunga ini buat lo.”
“Millston, gue sayang sama lo….”
“Gue juga,” jawabnya tersenyum kecil.
“Gue ngantuk, Sha.”
Tangisku hancur, aku memelukmu seerat
mungkin sampai berat badanmu terasa tidak lagi membebaniku saat kita saling berdekapan. Momen di mana seharusnya kita menikmati hari- hari yang indah, lantas ditutup secepat mungkin dengan akhir yang menyedihkan.
Antara aku dan kamu. Millston, kamu
menjadi kenangan terindah yang tidak akan kulupakan sampai kapan pun. Aku yakin, Tuhan punya rencana baik untuk kita berdua. Aku menunggumu sampai kita dipertemukan lagi, sampai jumpa.