Anda di halaman 1dari 9

Dear, Millston

Karya: Abigail Tanase 9B

Hai, Millston. Ini aku, Dhyarsha. Hari ini


tepat setahun kepergianmu dan aku masih tidak
percaya kamu sudah tiada di dunia ini. Kejadian
itu masih jelas terekam di benakku dan terus
menghantuiku, aku masih dibuat syok ketika
mengingatnya.

Tengg….

Bunyi bel menandakan saatnya warga


sekolah pulang. Seperti biasa, aku menunggumu
untuk pulang bersama dan hang out di
coffeeshop. Tapi kali ini kamu lebih lama dari
biasanya, lalu aku memutuskan untuk mencarimu
kembali ke dalam kelas mu. Dengan keringat
penat mencarimu ke sana kemari, akhirnya aku
menemukanmu sedang asyik berbicara dengan
orang lain.

“Millston!” panggilku. “Mill!”


Berulang kali aku memanggil, tapi kamu
tidak menghiraukanku. Entah kamu sadar
ataupun tidak, yang pasti dadaku sakit karena
melihatmu yang tampaknya semakin nyaman
mengobrol dengan seorang perempuan.
Sayangnya dia membelakangiku, aku tidak bisa
melihat siapa yang menjadi teman mengobrol
mu, tapi dia terlihat tidak asing.

Cukup lama aku mengintip, kamu bangkit


dari kursi dengan pergelangan yang siap menarik
sesuatu dari saku celana. Oh, ponsel rupanya,
kamu mendekatkan ponselmu ke telinga dan…
ponselku berdering dengan namamu sebagai
pemanggil hubungan telepon! Tak ingin
membuatmu menunggu, jadi langsung kuangkat.

“Sha, Sabtu ini bisa jalan bareng gue?


Ada film baru, nih.”

Senyumku lantas terbentuk. “Bisa, dong.


Apa, sih yang nggak bisa buat Millston. Lo
jemput gue apa ketemuan di sana? Kita berdua
aja, ‘kan?” tanyaku memastikan.
“Ada, deh. Nanti lo juga tau, langsung
ketemuan di tempat, ya.”

“Okay dokey. See you, Mill”

Sabtu siang berikutnya, kami bertemu


sesuai di tempat yang sempat kami janjikan. Aku
terkesiap melihatmu datang bersama seseorang
yang kukenal, dia teman sebangkuku, damielle…
kalian kelihatan lebih dari teman dengan kontak
mata yang hangat, canda tawa yang kalian
lontarkan juga terkesan begitu. Apa memang
perasaanku yang salah saja?

Sakit, Mill. Kenapa lo nggak nganggep


gue ada setelah bertahun-tahun gue bersahabat
sama lo? Kenapa lo nganggep gue begini.. gue
yang selalu ada buat lo.

Tidak terasa, kelopak mataku dikerumuni


mendung yang diakhiri dengan hujan di
sekitarnya. Aku menangis sembari menutup
wajahku, malu, menunduk, dan hanya bisa
mendengar kalian berkomentar mengenai film
yang sedang berjalan. Millston, apa gunanya
kehadiranku di sini sekarang?
Kamu dan Elle tetap berdampingan
sampai di tempat parkir, bergurau sambil sesekali
melirik ke arahku seakan memberikan sedikit
perhatian padaku juga. Kalau aku tahu Elle
bersamamu, aku tidak akan langsung
memutuskan ikut. Aku hanya pengganggu di
antara kalian saja, sekaligus… lebih baik aku
tidak tahu daripada aku mengetahuinya.

“Laper… cari tempat makan, yuk!”

“Kafetaria yang di sana aja,” kataku


berusaha menimbrung, menunjuk pada sebuah
kafetaria yang letaknya tidak jauh dari sini. Kami
hanya perlu menyeberang, berjalan lurus sedikit,
dan sampailah di tempat tujuan.

“Arsha udah request, nggak bisa


diganggu gugat. Ke sana duluan, gih. Gue ada
urusan.”

Aku beralih menatapmu. “Kenapa nggak


bareng aja?”

“Sebentar, mau ke toko bunga dulu. Gue


yang bayar, pesen apa aja biar gue yang urus.”
Kemudian, kamu berlari meninggalkan kami di
tempat. Kayaknya kamu ragu, jadi kamu sempat
membalikkan badan sambil melambaikan
tangannya. “Nanti gue nyusul!”

“Dia bakal nyusul, ayolah, Sha. Perut gue


nggak tahan, nih.”

Aku jadi manggut, menurut perkataan


Elle sembari melihat punggung laki-laki yang
baru saja masuk ke sebuah toko tanaman. Entah
kenapa perasaanku tidak enak, seperti akan ada
hal buruk yang akan terjadi. Jadi aku berusaha
menyingkirkannya dengan segelas milshake,
beruntung pleayanan di sini cepat dan ramah.

“Sha, lo suka sama Millston, ‘kan?”

Tersedak, minumanku rasanya


menggelincir dengan arus besarnya. Melihatku
yang terbatuk-batuk, Elle menyuguhkan sebotol
air mineral yang sempat kami pesan sebelumnya.
Dia memintaku untuk meminum nya, tapi aku
tidak meneguknya.
“Eh, kenapa? Sorry-sorry, seharusnya
nggak langsung ulti, ya.”

“Maaf, ya, kalo gue sama Millston


kesannya lebih deket dari temen. Gue nggak tau
kalian ada hubungan apa, yang pastinya… gue
ngerasa nggak enak aja, gue cuma–”

“Apasih, Sha. Gue nanya apa malah


dijawab apa, jujur aja. Lo suka sama Millston,
‘kan?”

Aku menghembuskan nafas, daripada


mengundang kontra karena aku ketahuan
mengalihkan topik. Sepertinya lebih baik aku
jujur dengan perasaanku sendiri, aku memang
menyukaimu, Millston. Dari cara kamu
memperlakukanku dan selalu ada kalau aku
butuh, aku menyukaimu yang sering bercerita,
aku suka Millston yang kukenal dari dulu sampai
sekarang.

“Iya…,” jawabku sembari melirik


seseorang yang melambaikan tangan ke arah sini,
dia tampak senang ketika aku melakukan kontak
mata dengannya. Dia Millston, itu kamu dengan
sebuket bunga mawar putih yang impresi
pertamanya semerbak segar. “Gue suka
Millston.”

“Dia juga suka sama lo, Sha.”

Senyumku terbentuk perlahan, memikat


senyum mu yang tertarik untuk membalasnya
juga. Dengan langkah berirama seperti anak kecil
memegang barang kesayangannya, kamu
menyeberang. Aku mengembuskan nafas, lalu
kualihkan perhatianku pada Elle sampai–

BRUKKK!!

Perhatianku dikembalikan, yang kulihat


hanya tangkai bunga-bunga mawar polos yang
kini ternodai cairan segar dari pemiliknya.
Millston… tergeletak dengan sebuket bunga yang
seharusnya dibawakan kemari, penabrakan lari
itu mengundang banyak perhatian. Tanpa
berpikir panjang, saat itu aku bangkit dari tempat
dan berlari mendekat. Aku memangku kepalamu
yang sebagiannya terluka dengan darah yang
masih mengalir akibat benturan keras.
“Bertahan, Millston. Lo kuat, ambulan
bakal dateng. Jangan khawatir, gue di sini buat lo.
Gueee… gue nggak bakal ke mana-mana, lo
aman sekarang.” Aku meyakinkan.

“Sha.”

“Millston gue kuat, Millston pasti bisa.


Sebentar, ya, Mill,” kataku berusaha
menenangkan, melihat area sekitar yang mulai
mengerumuni kami dengan tatapan iba. “Kalian
ngapain? Ayo, telepon yang bersangkutan!
Ambulannya udah dipanggil, ‘kan? Tolong bawa
teman saya ke rumah sakit secepatnya… Elle,
bantuinn!”

“Sha….”

“Millston, diem. Gue sama lo, gue bakal


di sini terus. Sabar, ya, Mill.. sebentar, tolong.”

“Gue… nggak bisa.”

Aku langsung menatap matanya, kami


bertukar pandang cukup lama sampai telapak
tangannya menyentuh daerah pipiku. Maaf buat
aku yang nangis, Millston. Aku cengeng.
“Gue mohon… jaga diri lo, hati-hati,”
tuturnya. “Maaf, seharusnya bunga ini buat lo.”

“Millston, gue sayang sama lo….”

“Gue juga,” jawabnya tersenyum kecil.


“Gue ngantuk, Sha.”

Tangisku hancur, aku memelukmu seerat


mungkin sampai berat badanmu terasa tidak lagi
membebaniku saat kita saling berdekapan.
Momen di mana seharusnya kita menikmati hari-
hari yang indah, lantas ditutup secepat mungkin
dengan akhir yang menyedihkan.

Antara aku dan kamu. Millston, kamu


menjadi kenangan terindah yang tidak akan
kulupakan sampai kapan pun. Aku yakin, Tuhan
punya rencana baik untuk kita berdua. Aku
menunggumu sampai kita dipertemukan lagi,
sampai jumpa.

Anda mungkin juga menyukai