Anda di halaman 1dari 9

Nama : Ida Bagus Cahyadi Dharma

Nim : 045258952

Program studi : Ilmu Hukum


UPBJJ : Denpasar
Judul Makalah :Aktualisasi Ajaran Brahmawidya Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan
Hindu Di Era Digital

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mempelajari Ketuhanan sebagaimana diungkapkan dalam kitab Brahma Sutra I.I.I.,
merupakan hal yang penting, karena dinyatakan sebagai jalan yang dapat mengantar manusia
kepada kesempurnaan sampai kepada moksa. Theologi atau Brahma Vidya adalah ilmu tentang
Tuhan.Theos (bhs.Yunani) berarti Tuhan dan Logos (Bhs. Yunani) berarti Ilmu. Perlunya belajar
Ketuhanan adalah untuk mengerti dan memahami tentang Tuhan agar dapat dihindari pengertian
yang salah sejauh mungkin tentang pengertian Tuhan yang dibedakan dari hal yang bukan Tuhan.
Berdasarkan arti tersebut, dapat disimpulkan bahwa brahmawidya adalah ilmu yang
mempelajari tentang tuhan. Konsep ketuhanan dalam ajaran agama hindu dikenal dengan dua
konsep besar, yaitu nirgunam brahman dan sagunam brahman. Nirgunam brahman adalah tuhan
tidak bisa dipahami dalam berbagai wujud, tuhan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun
karena adanya keterbatasan manusia untuk memahami tuhan dalam bentuk yang tidak terbatas.
Sedangkan sagunam brahman adalah tuhan dapat dimanifestasikan dalam bentuk dewa-dewi.
Masalah Ketuhanan inilah yang akan diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam
kehidupan sosial keagamaan hindu diera digital ini sehingga dapat meningkatkan keyakinan umat
terhadap ajaran hindu dan pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa bakti umat kepada tuhan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat dari makalah ini adalah Aktualisasi Ajaran
Brahmawidya Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan Hindu Di Era Digital

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan yang dapat diangkat dari makalah ini adalah untuk memaham
Aktualisasi Ajaran Brahmawidya Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan Hindu Di Era Digital

BAB II
PEMBAHASAN

1
2.1 Konsep Brahma Widya
Kedudukan Brahma Widya (ilmu pengetahuan tentang kesejatian Brahman atau Ida Sang
Hyang Widhi Waça) dalam agama Hindu adalah sangat mendasar dan urgen. Dalam pustaka
Brahma Sutra I.1.1 diuraikan bahwa jalan untuk mencapai moksah atau nirwana adalah dengan
mengenal Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Waça secara tepat dan baik.Apabila ditinjau secara
etimologi, Brahma Widya berarti ilmu yang mempelajari tentang kesejatian Brahman atau Ida
Sang Hyang Widhi Waça dalam segala aspek-Nya.
Guna memahami “keberadaan” beliau serta segala sesuatu tentang-Nya, satu-satunya jalan
yang harus ditempuh adalah dengan mendalami pustaka-pustaka
suci.Pernyataan “Sāstrayonitwat” (Brahma Sutra I.1.3) menegaskan bahwa “Pustaka Suci Weda
dan Sastra Agama”-lah yang merupakan sumber utama untuk dapat memahami-Nya. Pernyataan
itulah yang menjadi pegangan teguh dan diyakini tanpa reserve oleh setiap pribadi Hindu, karena
kenyataannya memang tidak dapat dibantah.

2.2 Penghayatan Brahma Widya


Berbagai model yang dapat dilihat dalam kehidupan beragama untuk menghayati dan
menunjukkan rasa bhakti dari setiap kelompok keyakinan kepada yang diyakini sebagai kausa
prima. Berikut ini adalah beberapa model yang panghayatan terhadap Brahman atau Ida Sang
Hyang Widhi Wasa :
1. Animisme
Model keyakinan dalam Animisme adalah bahwa setiap yang ada di alam raya ini
adalah mempunyai jiwa/roh.Roh adalah wujud non fisik yang senantiasa hidup sepanjang alam
raya ini ada.Demikian juga bahwa setiap satu kesatuan wilayah ada roh yang bertanggung
jawab, melindungi, menata dan mengatur wilayah tersebut.
Karena roh sifatnya permanen, maka setiap orang wajib dan sangat menghormati roh
leluhurnya serta roh para tokoh yang ada di lingkungannya. Mereka (para roh leluhur) diyakini
senantiasa akan menuntun, membimbing dan mengarahkan para keturunannya (sang prati-
sentana) sehingga menemukan kebahagiaan hidup.
2. Dynamisme
Merupakan suatu keyakinan akan adanya roh-roh suci, benda-benda dan tempat-tempat
sakral. Bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah berjiwa (memiliki kekuatan).Di atas
segala jiwa, ada “jiwa tertinggi/jiwa utama”. Dari keyakinan akan adanya roh-roh suci dan
benda-benda serta tempat-tempat sakral ini, memunculkan adanya aktivitas perawatan
terhadap benda-benda tersebut dan perawatan terhadap tempat-tempat khusus di masing-
masing wilayah.
3. Polytheisme
Suatu keyakinan yang mengakui adanya banyak tuhan, dimana masing-masing tuhan
mempunyai sifat sendiri-sendiri. Penganut Polytheisme dalam memuja tuhan sering dan pasti
melakukan perpindahan dari satu tuhan ke tuhan yang lain apabila yang bersangkutan beralih
profesi. Oleh Max Muller (pemimpin kaum missionaris Jerman), karena kebingungannya
dalam memahami konsep-konsep pemikiran pada pustaka suci Reg Weda, model demikian
disebut Kathenoisme.
4. Monotheisme

2
Model ini menekankan akan adanya keyakinan terhadap satu tuhan. Keyakinan model
ini dapat dibedakan menjadi dua macam yang antara satu dengan yang lain sangat bertolak
belakang, yakni:
a. Monotheisme Absolut.
Model ini bercirikan:
1. Tuhan berwujud tunggal dan bersifat personal/individu serta memiliki jenis kelamin
laki-laki.
2. Dalam pemujaan selalu dituakan, harus dipuja dengan sebutan bapak, tidak boleh
dipuja sebagai: kakak, teman, adik, ibu, dan sejenisnya.
3. Memiliki tempat sendiri, yaitu sorga. Ia dapat pergi kemana-mana tetapi tempat tinggal
yang tetap adalah sorga.
4. Merupakan raja yang berkuasa penuh atas sorga dan dunia; juga penguasa atas segala
takdir.
5. Raja ini harus selalu disembah dan dipuja. Manusia harus sering dan taat menyembah
dan menghormatinya sehingga sang raja menjadi puas, dan manusia harus senantiasa
takut kepadanya.
6. Manusia harus hanya menyembahnya, tidak boleh menyembah yang lain. Apabila
menyembah yang lain, berarti penghianatan terhadap kerajaan-Nya. Bila hal ini terjadi,
maka tuhan akan menghukum dan menjebloskannya ke neraka.
7. Tuhan mempunyai musuh/saingan abadi yakni Setan/Kuasa Kegelapan. Karena itu
akan selalu terjadi persaingan antara kedua kekuatan tersebut dalam memperebutkan
manusia. Apabila manusia mau dikuasai oleh setan, maka tuhan akan murka dan pada
akhirnya manusia akan dijebloskan ke neraka abadi.
8. Kehendak tuhan di sorga, agar diketahui oleh manusia, maka dikirim para rasul.
Manusia harus menuruti kehendak tersebut, apabila menentang atau menyimpang,
maka akan dijebloskan ke neraka.
b. Monotheisme Non Absolut.
Model ini menunjukkan ciri-ciri:
1. Tuhan adalah tunggal, tetapi boleh dipuja dalam banyak nama serta boleh diposisikan
sebagai ayah, ibu, guru, pemimpin, teman, kekasih, kakak, dan sejenisnya.
2. Tuhan yang tunggal memiliki berbagai manifestasi atau perwujudan. Fungsi
perwujudan adalah agar para penyembahnya dapat menghayati keberadaan beliau.
3. Tuhan tidak menentukan segalanya, beliau hanya menguasai beberapa takdir saja,
seperti: umur planet, gerakan alam, pertumbuhan mahluk, dsb.
4. Tuhan tidak mempunyai musuh abadi, juga tidak murka apabila manusia melakukan
penyimpangan. Tuhan hanya memantulkan apa adanya seperti apa yang dilakukan
mahluk ciptaannya (ibarat cermin).
5. Manusia menjadi baik atau jahat, cerdas atau bodoh, kaya atau miskin, dan sejenisnya
tergantung dari dirinya sendiri. Bukan karena rayuan setan, cobaan dari tuhan, bukan
pula karena takdir tuhan.
6. Manusia masuk sorga atau jatuh ke dalam neraka juga karena dirinya sendiri, bukan
karena hukuman dari tuhan.
7. Tuhan mengayomi seluruh ciptaannya dengan penuh kasih sayang. Beliau bersifat
netral ibarat cermin datar memantulkan setiap bayangan yang ada di depannya.

3
5. Pantheisme
Konsepsi ketuhanan pada model ini menyatakan bahwa jiwa yang terdapat pada setiap
mahluk pada akhirnya akan kembali kepada tuhan (manunggaling kawula lan Gusti). Selain
itu, tuhan juga mau mengambil perwujudan dalam berbagai bentuk duniawi, bukan saja
sebagai manusia, tetapi juga sebagai manusia setengah binatang, sebagai binatang, bahkan
sebagai tumbuh-tumbuhan.
Ada tiga macam perwujudan umum yang dipakai oleh tuhan, seperti:
a. Anthrophomorphes; tuhan mengambil wujud sebagai manusia super, yakni manusia
dengan berbagai kelebihan/keistimewaan, seperti: sangat sakti, dapat memurti, melakukan hal-
hal diluar kemampuan manusia biasa, dsb.
b. Semi Anthrophomorphes; tuhan mengambil wujud setengah atau sebagian manusia
sebagian binatang, seperti: Narasimha, Ganeça, dsb.
c. Unanthrophomorphes; tuhan mengambil wujud penuh sebagai binatang atau sebagai
tumbuh-tumbuhan, seperti: Kurma Awatara, Matsya Awatara, Soma, dsb.
6. Henotheisme
Model ini menyatakan bahwa dewa yang banyak itu adalah tunggal adanya, dan yang
tunggal itu adalah banyak adanya.
Ciri-ciri dari konsep model ini adalah:
1. Tuhan ada pada posisi: paling tinggi, paling mulia, paling utama dan seluruh alam beserta
isinya menyatu dengannya.
2. Tuhan merupakan perwujudan keindahan dan kemegahan seluruh alam, termasuk
kebajikan dan kemuliaan yang terdapat dalam diri manusia.
3. Pemujaan dilakukan dalam bentuk yang maha utama dalam usaha menggambarkan
kemaha-kuasaan tuhan, walaupun nama-nama tuhan yang digunakan berbeda-beda.
4. Keberadaan tuhan adalah dalam posisi netral dan memenuhi seluruh alam yang ada.
5. Dewa yang banyak itu adalah satu, sehingga tidak ada kontradiksi dalam penampilan satu
dewa terhadap dewa yang lain. Yang ada hanyalah perbedaan tugas masing-masing.
6. Dalam kehidupan beragama senantiasa disertai nilai-nilai keindahan dan kesemarakan.
7. Monisme
Konsep ini menjelaskan bahwa tuhan adalah tunggal, tetapi melingkupi seluruh alam
ini.Tuhan juga adalah inti dan kesejatian dari segala yang ada.Segala yang ada muncul dari
tuhan.
“Sarwam khalu idam Brahman” (Bŗhad Aranyaka Upanisad), artinya bahwa
segalanya ada dalam tuhan dan tuhan ada dalam segalanya.Tuhan ada pada setiap mahluk,
apapun jenis mahluk itu.Sebaliknya, seluruh mahluk, apapun jenisnya, ada atau hidup dalam
tuhan.
8. Atheisme

4
Atheisme dalam hal ini tidak sama dengan atheisme komunis dari Karl Mark (tidak
percaya akan adanya tuhan). Di sini atheisme artinya tidak bertuhan/perlu lagi mencari tuhan,
karena yang bersangkutan telah sampai kepada tuhan.

2.3 Pemujaan Brahma Widya


Pemujaan dilakukan terhadap Brahman/Ida Sang Hyang Widhi dilakukan dalam dua model,
yakni:
1. Trancendental atau Nirguna Brahman (Impersonal God).
Sang Hyang Widhi Waça dipuja/dihayati dalam posisi “acintyarūpa” artinya diluar daya
jangkau/kemampuan pikir manusia. Sang Hyang Widhi Wasa:serba maha, serba bukan, serba
seluruh, dsb. Serba di luar daya jangkau pikir manusia maupun mahluk lain, yang dalam teks
Kawi dinyatakan “tan kagrahita dening manah mwang indriya”. [Reg Weda X.90.1].
2. Immanen atau Saguna Brahman (Personal God).
Sang Hyang Widhi Wasa dipuja/dihayati dalam posisi berwujud sehingga dapat dijangkau oleh
rasa atau daya pikir manusia. Dalam posisi ini beliau dipuja dengan menggunakan berbagai
gelar/nama “nāmarūpa”. Beliau dipuja dalam seribu gelar/nama “sahasranāma” [Reg Weda
I.164.46]. Pemujaan model ini disebut “Saguna Upāsana”.
Beberapa gelar diantaranya:
a. Sang Hyang Acintya = Ia yang tak terpikirkan.
b. Sang Hyang Jagatnatha = Ia yang menjadi raja segala raja.
c. Sang Hyang Jagatkarana = Ia yang menyebabkan adanya alam raya.
d. Sang Hyang Paramakawi = Ia yang maha penyusun/pengarang.
e. Sang Hyang Parama Wisesa = Ia yang penguasa utama.
f. Sang Hyang Pramesti Guru = Ia yang guru segala guru.
g. Sang Hyang Taya = Ia yang tanpa panca indriya.
h. Sang Hyang Tri Purusha = Ia yang memiliki tiga kesucian tertinggi.
i. Sang Hyang Tri Murti = Ia yang memiliki tiga wujud utama.
j. Sang Hyang Tri Lokasarana = Ia yang menjadikan adanya Tri Loka.
k. Sang Hyang Prajapati = Ia yang menjadi raja semua mahluk.
l. Sang Hyang Tuduh = Ia yang maha mengatur.
m. Sang Hyang Tunggal = Ia yang satu-satunya.
n. Sang Hyang Wenang = Ia yang maha menentukan.
o. Sang Hyang Widhi Waça = Ia yang maha kuasa.

2.4 Sarana Pemujaan


Dalam Hindu terdapat berbagai macam persembahyangan, doa (Sanskerta: prārthanā) atau
puja. Dilakukan berdasarkan beberapa hari suci dalam agama Hindu atau pemujaan pada dewa
atau arwah yang dihormati.Persembahyangan dapat dilakukan dalam kuil keluarga maupun pura
di lingkungannya. Ritual terkadang melibatkan api atau air sebagai lambang kesucian. Pembacaan
suatu bait mantra terus menerus dengan notasi dan waktu tertentu, atau juga meditasi dalam yang
diarahkan pada dewa yang dituju. Pemujaan dalam Hindu dapat ditujukan kepada arwah seseorang
suci yang dimuliakan, dewata, salah satu atau seluruh Trimurti, yaitu dewa tertinggi dalam Hindu,
atau meditasi untuk mencapai kebijaksanaan sejati, mencari ketiadaan tak berbentuk seperti yang
dilakukan para resi dan orang suci pada dahulu kala. Beberapa tarian sakral juga dianggap sebagai
salah satu prasyarat kelengkapan suatu upacara keagamaan.

5
Salah satu sarana didalam pemujaan itu sendiri adalah sesajen dalam Hindu disebut
canang.Canang merupakan upakara yang sangat sering digunakan dalam kehidupan beragama
umat hindu khususnya di Bali. Hampir setiap hari dapat kita jumpai adanya umat yang
menghaturkan canang sebagai wujud bhakti dan syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi
Wasa.Walaupun bentuk dan ukuranya kecil, canang memiliki peranan yang sangat penting,
sehingga canang juga disebut Kanista atau inti dari upakara. Sebesar apapun upakara tersebut maka
tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan canang.
Canang terdiri dari dua suku kata yang berbahasa kawi yaitu "ca" yang berarti indah dan
"nang" yang berarti tujuan. Jadi canang adalah sebuah sarana dalam bahasa Weda yang bertujuan
untuk memohon keindahan (sundharam) kehadapan Tuhan Yang Maha Esa.Dalam ajaran agama
Hindu di Bali, canang mempunyai beberapa bentuk dan fungsi sesuai dengan kegiatan upacara
yang diadakan. Canang adalah sebuah penjabaran nilai - nilai Weda yang disimboliskan melalui
unsur - unsur yang terdapat di dalam Canang, antara lain :

1. Ceper
Canang yang dialasi oleh ceper sebagai simbol Ardha Candra, sedangkan canang yang dialasi oleh
tamas kecil adalah simbol dari Windhu
2. Porosan
Didalam canang terdapat sebuah porosan sebagai simbol silih asih, yang mempunyai makna bahwa
setiap umat harus mempunyai hati (posros) yang berisikan cinta kasih dan welas asih serta rasa
syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
3. Jajan, Tebu dan Pisang
Didalam ceper berisikan jajan, tebu dan pisang sebagai simbol dari Tedong Ongkara yang
melambangkan kekuatan Upetti, Stiti dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta
4. Sampan Urasari
Diatas raka - raka tadi disusunkan sebuah sampian urasari (di beberapa daerah disebut Duras) yang
melambangkan kekuatan Windhu dan ujung - unjung sampian tersebut merupakan perlambangan
Nadha

5. Bunga
Diatas sampian urasari disusunkan anekan bunga dengan susunkan sebagai berikut :
• Bunga berwarna Putih disususnkan di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara
• Bunga berwarna Merah disusunkan di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma
• Bunga berwarna Kuning disusunkan di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa
• Bunga berwarna Biru atau Hijau disusunkan di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu
• Kembang Rampai disusunkan ditengah - tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca
Dewata

6
Dengan demikian Canang mempunyai makna sebagai sarana permohonan umat Hindu
kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ogkara) dan memohon kekuatan beliau dalam
manifestasi Sang Hyang Ista DewataKesemuanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spiritual
pribadi atau mencapai pencerahan spiritual. Hindu dapat bersembahyang kepada kebenaran dan
keberadaan absolut tertinggi yang disebut Brahman, atau secara umum ditujukan kepada salah satu
manifestasinya dalam Trimurti, yakni Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa
pemelihara, Shiwa sebagai dewa pelebur. Atau diarahkan pada Awatara, penitisan Wishnu di atas
bumi yaitu Rama dan Krishna. Pemujaan juga dapat ditujukan pada shakti dewa, yakni dewi-dewi
pasangan sang dewa. Umat Hindu biasanya bersembahyang dengan mengatupkan kedua telapak
tangan dengan khidmat yang disebut 'pranam' dalam bahasa Sanskerta.

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Konsep Brahma Widya.
Brahmavidya adalah pengetahuan tentang Ketuhanan dalam Agama Hindu, pemahaman
tentang Tuhan itu penting dan perlu karena dengan mengenal Tuhan secara tepat dan baik
dapat mengantarkan kepada jalan kesempurnaan sampai kepada moksa.
2. Penghayatan Brahma Widya.
Didalam penghayatan Brahma Widya memang diketahui memiliki beberapa model
penghayatan atau kepercayaan dalam beragama. Tetapi dibalik semua itu memiliki tujuan
yang sama, yaitu sama-sama memiliki suatu kepercayaan yang diyakini, disembah, dan dipuja
oleh tiap penganutnya sebagai yang Maha Kuasa.
3. Pemujaan Brahma Widya.
Bentuk apapun yang dipuja, bukan bentuknya yang dipuja tetapi nilai-nilai halus dibalik
bentuk yang memberikan arti pada bentuk tersebut. Leluhur kita telah memberikan berbagai
Dewa bukan untuk keisengan. Mereka telah memberikan konsep yang bermacam macam dari
Tuhan Utama yang sama, dengan mempertimbangkan keterbatasan pikiran, intelek dan
tuntutan emosi manusia.
4. Sarana Pemujaan.
Memperhatikan tentang sarana pemujaan dalam upacara, maka sesungguhnya makna dari
upakara yadnya atau bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan antara lain
merupakan cetusan hati manusia (umat hindu) untuk menyatakan terima kasihnya kepada
Hyang Widhi, dimana perasaannya itu diwujudkan dengan isi dunia, yang berupa air, api,
bunga, buah-buahan, dan sebagainya merupakan perwujudan Hyang Widhi Wasa dengan
manifestasinya merupakan alat juga upakara yadnya atau bebanten merupakan pelajaran
untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan ke Maha Kuasaannya untuk menentukan dan
memberikan anugrah kepada umat Hindu.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://tugasinternetkampus.blogspot.com/2011/07/theologi-hindu-brahma-vidya.html
(diakses tgl. 17 Okt. 2022)
http://vaprakeswara.wordpress.com/2010/04/03/theologi-hindu/
(diakses tgl. 17 Okt. 2022)
http://manyul83.blogspot.com/2010/12/theologi-hindu_15.html
(diakses tgl. 18 Okt. 2022)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sembahyang
(diakses tgl. 18 Okt. 2022)
http://upadhana.blogspot.com/2014/05/catur-marga-yoga.html
(diakses tgl. 18 Okt. 2022)
http://www.idapedandagunung.com/viewtopic.php?f=7&t=82
(diakses tgl. 19 Okt. 2022)
Ni Nyoman Sudiani. BMP MKWU4105. 2022. Tangerang Selatan : Penerbit Universitas
Terbuka. Hal 3.6 - 3.17

Anda mungkin juga menyukai