MUARO JAMBI
PROPOSAL
Diajukan Untuk Kepada Jurusan Pai Sore Semester 6
DI SUSUN OLEH:
NIM : 1911003011
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan pemilik segala alam
pengetahuan, yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini guna memenuhi tugas individu untuk tugas mata
kuliah Praktek penbinaan dan pembimbing skripsi.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki.Oleh karena itu kami mengharapkan segala bentuk saran dan masukan yang
membangun dari berbagai pihak.Dan kami berharap semoga tugas ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................ii
BAB IPENDAHULUAN
PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................50
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1992), h.
13
juga didasarkan atas ikatan moral, nilai-nilai kesusilaan dan sopan santun
yang didukung dan dihayati bersama oleh seluruh masyarakat.
Kehidupan masyarakat yang berpegang teguh pada moralitas tak bisa
diwujudkan kecuali dari pendidikan agama.
Sebab moralitas yang mempunyai daya ikat masyarakat bersumber dari
agama, nilai-nilai dan normanorma agama. Mengingat pentingnya arti dan
peran agama bagi tata kehidupan perseorangan maupun masyarakat, maka
dalam rangka pembangunan dan pengembangan watak bangsa haruslah
bertumpu di atas landasan keagamaan yang kokoh, dan jalan untuk
mewujudkannya tiada lain kecuali hanyalah dengan menempatkan pendidikan
agama sebagai faktor dasar yang sangat penting.
Pembinaan moral manusia dan penghayatan keagamaan dalam kehidupan
seseorang sebenarnya bukan hanya sekedar mempercayai seperangkat aqidah
dan melaksanakan tata cara upacara keagamaan saja tetapi merupakan usaha
yang terus menerus untuk menyempurnakan diri pribadi dalam hubungan
vertikal kepada Tuhan dan horizontal terhadap sesama manusia sehingga
terwujudlah keselarasan, keserasian dan keseimbangan hidup menurut fitrah
kejadiannya sebagai makhluk individual, makhluk sosial, serta makhluk yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa.2
Pribadi yang seperti ini tidak datang dengan serta merta begitu saja,
melainkan harus melalui proses pendidikan yang panjang dimana unsur
agama menjadi faktor yang asasi.
Berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang
dengan sendirinya akan membantu manusia lebih mampu untuk menguasai
dan mengelola alam dengan segala potensinya. manusia menggunakan
rasionalitasnya melakukan kajian-kajian keilmuan dan teknologi, akan tetapi
tanpa kemampuan manusisa untuk menguasai diri sendiri, kamajuan yang
tadinya telah dicapai akan mengancam dan membahayakan diri sendiri.
Dalam hal ini kiranya perlu diketahui.
2
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama..., h. 17
bahwa agama tidak mengatur ilmu pengetahuan, akan tetapi agama
mewajibkan pemeluknya untuk mempelajarinya. Ilmu pengetahuan (Sciense)
hendaknya dijadikan alat untuk memupuk dan memperkokoh keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, Gradasi manusia
selain ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu pengetahuan juga di tentukan
oleh tingkat ketaqwaan/keimanannya kepada Allah SWT (Q.S 58:11). Ilmu
pengetahuan tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh.
Agama sebagai pedoman dan pengendali penggunaan ilmu pengetahuan; lebih
dari itu agama adalah sebagai pedoman dan pengendali hidup seseorang.
Agama bukan hanya sekedar ritualitas, tetapi pelaksanaannya harus benar-
benar dirasakan kegunaannya, menenangkan batin dan yakin akan berhasil
dalam mengatasi masalah-masalah hidupnya.3
Sejalan dengan hal itu dan dengan menyadari sepenuhnya akan hakekat
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, serta sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar
Tahun 1945 untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, maka pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama
pada khususnya mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan sebagai upaya mewujudkan cita-cita
nasional dibidang pendidikan seperti yang ditegaskan dalam Undang-undang
RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas, Pasal
3), disebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermanfaat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.4
Bila mengacu pada Undang-undang tersebut di atas, dapat dipahami
bahwa salah satu tujuan nasional itu adalah menghasilkan manusia Indonesia
3
Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan…, h. 18
4
UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan PP No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar(Bandung: Citra Umbara, 2008), Cet. 1, h. 6
yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, tentu hal itu tidak akan
tercapai tanpa melalui pendidikan agama. Pada hakekatnya pendidikan agama
baru dapat berjalan secara efektif apabila dilaksanakan secara integral.
Oleh sebab itu pelajaran agama merupakan pelajaran inti yang dapat
digunakan sebagai landasan dari pelajaran lainnya. Ajaran-ajara agama, nilai-
nilai dan norma-norma agama harus dapat dicerna sedemikian rupa hingga
mudah diserap oleh kehausan jiwa manusia terhadap kebutuhan spiritual.
Umumnya kelambanan daya serap terhadap agama bukan disebabkan oleh
ajaran agama itu sendiri, melainkan oleh karena keringnya cernaan terhadap
ajaran agama pada waktu disajikan kepada peserta didik.
Nampaknya, dunia modern seperti sekarang ini merindukan kehadiran
spiritualitas agama, namun banyak kalangan masyarakat modern merasakan
kurang puas terhadap doktrin-doktrin normatif yang ditawarkan oleh
lembaga-lembaga keagamaan yang ada, dengan mengemukakan salah satu
alasan bahwa kekurangmampuan pembawa misi agama untuk secara sistemik
menyesuaikan ”bahasa” yang dipergunakan dalam diskusi-diskusinya atau
pesan-pesannya dengan perkembangan keilmuan dan kemasyarakatan, hal itu
menyebabkan ”bahasa agama” terasa kering dan kurang relevan dengan
tingkat perkembangan wilayah pengalaman manusia pada abad teknologi
industri sekarang ini.5
Berkenaan dengan hal itu, Zamroni dalam Paradigma Pendidikan Masa
Depan, menjelaskan bahwa upaya untuk mewujudkan suatu sistem
pendidikan nasional yang berdasarkan pancasila harus terus dilaksanakan dan
semangat untuk itu harus terus menerus diperbaharui. Selain itu, adanya
tembok yang memisahkan antara ”dunia pendidikan” di satu pihak dan ”dunia
kerja” di pihak lainnya. selama masih adanya kesenjangan antara hasil
pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, adanya kesenjangan harapan akan
prestasi yang ada, selama itu pula problem pendidikan senantiasa dibicarakan
dan gaung tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema.
5
Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam dan Pendidikan; Sebuah Wacana Kritis, (tt.p. PT. Bina
Wiraswasta Insan Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Indonesia Adi Daya, t.t.), h. 108
Ditambah lagi tantangan utama bangsa Indonesia dewasa ini dan di masa
depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Dalam kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan kita dan
upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas
sebagaimana yang diharapkan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
produktif dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing
dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini.
Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang
mampu berpikir global (think globally), dan mampu bertindak lokal (act
loccaly), serta dilandasi oleh akhlak yang mulia (akhlakul karimah).
E.Mulyasa juga mengutarakan bahwa kualitas pendidikan dipengaruhi oleh
penyempurnaan sistemik terhadap komponen pendidikan seperti peningkatan
kualitas dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum yang disempurnakan,
sumber belajar, sarana dan prasarana yang memadai, iklim pembelajaran yang
kondusif, serta didukung oleh kebijakan pemerintah, baik di pusat maupun di
daerah. Dari semuanya itu, guru merupakan komponen paling menentukan;
karena di tangan gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana,
dan iklim pembelajaran menjadi suatu yang berarti bagi kehidupan peserta
didik.9 Ketika berbicara masalah pendidikan, kita akan menemukan beberapa
faktor yang saling terikat antara yang satu dengan yang lainnya, contoh, guru
dengan murid. Keterikatan tersebut layaknya dua sisi mata uang yang berbeda
namun tidak dapat dipisahkan, guru berada di salah satu sisi dan murid di sisi
lainnya. Oleh karena itu, figur guru akan senantiasa menjadi sorotan karena
guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan.
Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya
yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan
keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses
belajarmengajar dan terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang
berkualitas. Dengan memperhatikan hal tersebut, pemerintahpun melakukan
berbagai upaya untuk mengembangkan standar kompetensi dan sertifikasi
guru, antara lain dengan disahkannya Undang-undang No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa
kedudukan guru sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan anak pada usia dini pada jalur
pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan pada Pasal 4 menjelaskan bahwa kedudukan guru sebagai
tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru
sebagai agen pembelajaran serta untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional; Kemudian ditegaskan pula pada Pasal 6, bahwa guru sebagai tenaga
profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan
mewujudkan tujuan pedidikan nasional.6
Dengan demikian, peran guru pada umumnya dan guru agama dalam
pelaksanaan pendidikan agama Islam khususnya perlu mendapatkan perhatian
dan penanganan intensif, agar tujuan yang termaktub dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional itu dapat terwujudkan, sehingga nilai-nilai positif
dapat diinternalisasikan oleh anak didik kita. Sejalan dengan itu, Dede
Rosyada memaparkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tidak
hanya bergantung pada satu pihak yaitu guru saja, tetapi juga ditentukan oleh
murid itu sendiri.
Dalam proses belajar mengajar tingkat keberhasilannya sangat ditentukan
pula oleh seberapa besar mereka merasa perlu belajar, dan seberapa besar
kesiapan mereka untuk belajar. Guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya
hanyalah fasilitas yang dapat mereka berdayakan untuk seoptimal mungkin
memperoleh pengalaman dalam rangka meningkatkan berbagai kompetensi
yang diinginkan melalui melalui proses belajar tersebut. Secara ideal, siswa-
siswi pada tingkatan sekolah menengah atau pada tingkat pendidikan dasar
berjenjang SLTP, sebenarnya bisa dimulai untuk dilatih berpikir kritis dan
kreatif sesuai dengan dunianya, karena bentuk ideal warga negara yang cerdas
tidak saja pandai menghitung dalam matematika, pandai ilmu-ilmu fisika atau
6
E. Mulyasa, ”Undang-undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen” dalam Standar Kompetensi
dan Sertifikasi Guru..., hlm. 228
ilmu kealaman lainnya, atau pandai berbagai bahasa, kalau tidak kritis dan
tidak kreatif, kecerdasannya akan kurang berguna.7
Adapun pendidikan agama di sekolah-sekolah merupakan arena yang
strategis untuk pembinaan bangsa. Manusia-manusia yang sehat jasmani dan
rohaninya, yang bertanggung jawab, cerdas, terampil, mandiri, memiliki budi
pekerti luhur, berkepribadian, disiplin dan bekerja keras serta tangguh, akan
tumbuh subur, sekiranya peserta didik mendapatkan pendidikan agama yang
cukup. Dalam proses pendidikan, sekolah dasar menempati posisi yang sangat
vital dan strategis.
Kekeliruan dan ketidak tepatan dalam melaksanakan pendidikan di tingkat
dasar ini akan berakibat fatal untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Sebaliknya, keberhasilan pendidikan pada tingkat ini akan membuahkan
keberhasilan pendidikan tingkat lanjutan. Sayangnya, berbagai pihak justeru
menempatkan pendidikan dasar lebih rendah daripada tingkat pendidikan
yang lain, terbukti antara lain, dengan adanya kualifikasi dan gaji guru
sekolah dasar yang berbeda dengan sekolah lanjutan.8
saat dikonfirmasi oleh penulis tentang hal tersebut, keduanyapun dalam
penjelasannya, juga membenarkan adanya kesenjangan antara kualifikasi dan
gaji guru sekolah dasar dengan sekolah lanjutan. Sementara itu, di lain pihak,
Faktor identifikasi dan meniru pada anakanak amat penting, sehingga mereka
menjadi terbina, terdidik, dan belajar dari pengalaman langsung. Hal ini pula
yang nantinya akan mempengaruhi lebih besar dari pada informasi atau
pengajaran lewat instruksi dan petunjuk yang disampaikan dengan kata-kata.
Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa pendidikan, pembinaan iman, dan
takwa anak belum dapat menggunakan katakata (Verbal), akan tetapi
diperlukan contoh yang langsung sebagai teladan
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang berlangsung secara alamiah. 9
Pendidikan pada masa anak-anak seharusnya sudah dilakukan oleh orang tua,
7
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. I, h. 110-111
8
12Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan..., h. 105
9
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), Cet. II, h. 56
yaitu dengan cara membiasakan mereka dengan tingkah laku dan akhlak yang
diajarkan agama. Beliau juga memaparkan bahwa, seharusnya para pendidik
senantiasa selalu memikirkan moral, tingkah laku, dan sikap yang harus
ditumbuhkan dan dibina pada anak didik. Ia tidak cukup sekedar menuangkan
pengetahuan ke otak anak-anak; hanya memikirkan peningkatan ilmiah dan
kecakapan serta meningkatkan ritus-ritus formal keagamaan semata. Bila
pembinaan kepribadian dan moral agama tidak disertakan dalam pendidikan
anak-anak, maka akan lahir manusia-manusi yang tinggi pengetahuannya
namun mereka tidak dapat memberikan manfaat yang betulbetul kepada
masyarakat.
Mereka hanya akan memikirkan dan menggunakan ilmu pengetahuannya
untuk mencari keuntungan dan kesenangan diri sendiri. Akhirnya, beliau
menegaskan bahwa pendidikan agama tidak mungkin terlepas dari pengajaran
agama.
Jika penanaman jiwa agama tak mungkin dilakukan oleh orang tua di
rumah, maka harus dilakukan dengan bimbingan seorang guru.
Untuk itu pendidikan agama harus dilanjutkan di sekolah, tidak cukup oleh
orang tua saja. Apalagi dalam masyarakat masih banyak orang tua yang tidak
mengerti agama, ditambah lagi faktor kesibukan orang tua yang menyita
banyak waktu sehingga waktu yang tersedia untuk anak-anak mereka sangat
sedikit. Akibatnya peran orang tua dalam membina mental dan akhlak anak-
anak agaknya terabaikan.10
Bidang study pendidikan agama Islam merupakan bagian dari integral dari
semua program pengajaran dan merupakan usaha bimbingan dan pembinaan
guru terhadap siswa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran
agama Islam sehingga mereka menjadi manusia yang bertakwa dan menjadi
warga negara yang baik. Pendidikan agama juga perlu diberikan kepada anak
didik sejak dini, baik dalam keluarga, masyarakat maupun sekolah.
10
Maftuhu, ”Pendidikan Islam dan Kesehatan Mental”, Dalam Pusat Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perkembangan Psikologi Agama & Pendidikan Islam di Indonesia; 70 tahun Prof. Dr. Zakiah
Daradjat, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. 1, h. 103-108
Karena, Pendidikan agama berfungsi sebagai pengontrol, pembimbing,
dan pendorong bagi diri anak.
Oleh karena itu seorang guru (tentang guru agama) dituntut untuk
menumbuhkan sikap mental, perilaku dan kepribadian yang tentu saja
memerlukan pendekatan yang bijaksana dan hati-hati dari guru. Untuk itu
dibutuhkan kecakapan motivasi dan berpikir jauh kedepan, dengan
mencontohkan kepribadian dan keteladanan seorang guru itu sendiri sebagai
contoh atau model yang artinya setiap guru mampu memberikan contoh bagi
anak didiknya, bagaimana berbuat, bersikap dan bertingkah laku yang baik
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, adanya peran guru agama
yang dijadikan teladan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam tersebut
diharapkan agar siswa bisa melihat langsung contoh dari materi-materi yang
telah disampaikan.
Memberikan motivasi kepada siswa dalam merealisasikan pendidikan
agama Islam tersebut sehingga siswa terpacu untuk melaksanakannya, seperti
shalat berjamaah dan membaca al-qur`an, dilaksanakan bertujuan untuk
menambah pendidikan agama. Disinilah peran guru agama itu sangat penting
bagi pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Dengan menyadari urgensi
peran guru di atas, guru dan tenaga pendidik tersebut perlu dibina,
dikembangkan, dan diberikan penghargaan yang layak sesuai dengan tuntutan
visi, misi, dan tugas yang diembannya.
Hal ini penting, terutama bila dikaitkan dengan berbagai kajian dan hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa guru memiliki peran yang sangat
strategis dan juga turut menentukan keberhasilan pendidikan dan
meningkatkan kualitas pembelajaran, serta membentuk kompetensi peserta
didik. Berbagai kajian dan hasil penelitian tersebut dikemukan oleh E.
Mulyasa sebagai berikut:
1. Murphy, menyatakan bahwa keberhasilan pembaharuan sekolah sangat
ditentukan oleh gurunya, karena guru adalah pemimpin pembelajaran,
fasilitator, dan sekaligus merupakan pusat inisiatif pembelajaran. Karena itu,
guru harus senantiasa mengembangkan diri secara mandiri serta tidak
bergantung pada inisiatif kepala sekolah dan supervisor.
2. Brand dalam Educational leadership menyatakan bahwa hampir semua
usaha reformasi pendidikan seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan
metode pembelajaran, semuanya bergantung kepada guru. Tanpa penguasaan
materi dan strategi pembelajaran, serta tanpa dapat mendorong siswanya
untuk belajar bersungguh-sungguh, segala upaya peningkatan mutu
pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal.
3. Cheng dan Wong, (1996), berdasarkan hasil penelitiannya di Zhejiang,
Cina, melaporkan empat karakteristik sekolah dasar yang unggul
(berprestasi), yaitu:
(1) adanya dukungan pendidikan yang konsisten dari masyarakat,
(2) tingginya derajat profesionalisme di kalangan guru,
(3) adanya tradisi jaminan kualitas (quality assurance) dari sekolah, dan
(4) adanya harapan yang tinggi dari siswa untuk berprestasi.
Jalal dan Mustafa, (2001), menyimpulkan bahwa komponen guru
sangat mempengaruhi kualitas pengajaran melalui (1) Penyediaan waktu
lebih banyak pada peserta didik, (2) interaksi dengan peserta didik yang
lebih intensif/sering, (3) tingginya tanggung jawab mengajar dari guru.
Karena itu, baik buruknya sekolah sangat bergantung pada peran dan
fungsi guru.
Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut, E. Mulyasa juga
menjelaskan setidaknya terdapat tujuh indikator yang menunjukkan
lemahnya kinerja guru dalam melaksanakan tugas utamanya mengajar
yaitu: (a) rendahnya pemahaman tentang strategi pembelajaran, (b)
kurangnya kemahiran dalam mengelola kelas, (c) rendahnya kemampuan
melakukan dan memanfaatkan penelitian tindakan kelas (classroom action
research), (d) rendahnya motivasi berprestasi, (e) kurang disiplin, (f)
rendahnya komitmen Profesi, (g) serta rendahnya kemampuan manajemen
waktu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tujuan pendidikan nasional
kita sudah dirumuskan dalam undang-undang. Di sana sudah digambarkan
profil manusia dan masyarkat Indonesia yang diinginkan, yakni manusia
dan masyarakat Indonesia yang religius, etis, kreatif, berkepribadian, dan
patriotis.
Ringkasnya, ciri-ciri manusia berkualitas tercakup tuntas. Ambil saja
satu dimensi manusia religius yang disebut ”beriman dan bertakwa”.
Dari hal itu maka muncullah pertanyaan bagaimana merumuskan profil
seorang yang dikatakan bertakwa itu sebagai acuan dalam pendidikan
secara praktikal?
Apakah seorang yang bertakwa itu adalah gambaran pribadi yang
penuh11
kepatuhan dalam beribadah, ataukah seseorang yang sungguh-sungguh
memiliki kepekaan dalam menangkap pesan-pesan esensial risalah diniyah?
Pilihan tentang penekanan dalam memberikan arti terhadap ”ketakwaan” itu
menjadi sangat penting, karena akan memberikan corak terhadap perwujudan
program pendidikan (Islam) yang hendak kita selenggarakan. Taruhlah
misalnya, kalau manusia takwa itu kita artikan sebagai seorang yang memiliki
”kesalehan individu” dan sekaligus memiliki ”kesalehan sosial”, maka
persoalan yang timbul berikutnya ialah: Kapan dan dalam lingkungan
pendidikan yang bagaimana, bagian-bagian dari kesalehan tersebut dapat
ditumbuhkan,12
sebagai akibat dari otonomi daerah yang berimplikasi juga terhadap
otonomi pendidikan, maka pihak sekolah mengambil satu kebaikan yaitu
dengan mengadakan shalat Dzuhur berjamaah, tahsin dan tahfidz al-Qur`an
sebagai implementasi pelaksanaan pendidikan agama bagi siswa siswinya.
Dengan melihat urgensi peran guru, khususnya guru agama dalam
melaksanakan rangkaian-rangkaian kegiatan pengajaran agama yang
dengannya diharapkan agar siswa siswinya mampu memahami dan
mengimplementasikan pendidikan agama yang telah diberikan, baik ketika
belajar di sekolah maupun diaplikasikan dalam kehidupan sehari-sehari.
11
E.Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru..., h. 9
12
Tholchah Hasan, Diskursus Islam dan Pendidikan…, h. 111
Serta dengan memperhatikan bagaimana realita kualitas pendidikan kita
dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
sehingga bisa menghasilkan SDM yang lebih berkualitas sebagaimana yang
diharapkan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang produktif dan
memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan
bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini.
Dengan dasar itulah penulis merasa perlu dan tertarik untuk meneliti
fenomena di atas yang kemudian dituangkan dalam bentuk sebuah skripsi
dengan judul: “Peran Guru Agama Dalam Pelaksanaan Pendidikan
Agama Islam Di SD 014/IX Manis Mato Kec taman rajo kab muaro
jambi
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
uraian di atas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Kurangnya peran guru agama dalam proses pelaksanaan Pendidikan
Agama Islam.
2. Kurangnya derajat profesionalisme dan rasa tanggung jawab guru
agama dalam proses pelaksanaan Pendidikan Agama Islam.
3. Kurang efektifnya metode yang digunakan guru agama dalam
pelaksanaan Pendidikan Agama Islam.
4. Adanya faktor-faktor yang menghambat proses pelaksanaan Pendidikan
Agama Islam.
5. Kurangnya jam pelajaran untuk mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam di sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari kekaburan pemahaman dan ruang lingkup yang akan
dibahas, kiranya perlu dikemukakan penjelasan istilah-istilah serta
pembatasan masalah antara lain:
1. Yang dimaksud dengan guru agama dalam penelitian ini adalah guru agama
Islam
2. Yang dimaksud dengan peran guru agama sebagai pendidik (pembimbing
dan pengajar) yaitu guru memberikan bantuan kepada peserta didik berupa
memberikan motivasi kepada peserta didik dan memberikan keteladanan bagi
siswa yang bersumber dari guru serta dapat menyampaikan materi pelajaran
kepada anak didik dengan baik.
15
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Professional, , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001), Edisi Kedua, h. 5
16
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, (Jakarta: Quantum Teaching,
2005), Cet. III, h. 6
17
E. Mulyasa, ”Undang-undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen”, dalam Standar
Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. III, h. 246
Dari pengertian walaupun redaksinya berbeda, namun
mempunyai kesamaan maksud, yaitu bahwa guru bukan hanya
sekedar pemberi ilmu pengetahuan kepada peserta didik di depan
kelas. Tetapi juga merupakan tenaga profesional yang mempunyai
kualifikasi akademik kompetensi, yang di samping memperhatikan
aspek kognitif, juga aspek afektif dan psikomotorik pada anak didik
agar timbul dan terbina secara utuh sebagai manusia berkepribadian
utuh agar maksud mendidik untuk mengantarkan peserta didik menuju
kedewasaan dapat tercapai. Serta untuk seoptimal mungkin
mengarahkan peserta didik agar mereka memperoleh pengalaman
dalam rangka meningkatkan kompetensi yang diinginkan melalui
proses belajar tersebut. Berkenaan dengan ketiga aspek tersebut di
atas,
Haidar Putra Daulay menjelaskan bahwa: Pertama, aspek
kognitif adalah upaya yang ditekankan pada pengisian otak peserta
didik (tranfer of knowledge), yaitu pemberian materi/bahan ajar yang
dimulai dari yang sederhana seperti menghafal sampai analisis. Hal ini
merupakan langkah awal untuk penanaman dan memberikan
pemahaman atas konsep-konsep dasar atau teori-teori keilmuan
kedalam otak peserta didik. Kedua, aspek afektif yang merupakan
upaya mengisi hati, melahirkan sikap positif (tranfer of value),
menumbuhkan kecintaan kepada kebaikan dan membenci kejahatan.
Hal ini berkenaan dengan masalah emosi (kejiwaan), terkait dengan
rasa suka, benci, simpati, antipati dan lain sebagainya. Dengan
demikian afektif itu adalah sikap batin seseorang. Dengan kata lain
pendidikan agama yang berorientasi kepada ranah pembentukan
afektif ini adalah pembentukan sikap mental peserta didik ke arah
menumbuhkan kesadaran beragama sebagai salah satu bentuk
penerapan hasil pelajaran yang tidak hanya pada ranah pemikiran saja,
melainkan juga memasuki ranah rasa. Karena itu sentuhansentuhan
emosional beragama perlu dikembangkan.
Ketiga, aspek psikomotorik/perbuatan (tranfer of activity), yaitu
timbulnya keinginan untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang
buruk berdasarkan konsep bahan yang telah diperolehnya sebagai
implementasi dari materi-materi yang telah diajarkan melalui proses
pembelajaran yang direfleksikan dan teraktualisasikan ke dalam
tindakan atau praktik kehidupannya sehari-hari.18
Sementara itu, agama merupakan sesuatu yang menyangkut
kepentingan mutlak setiap manusia. Oleh karena itu, setiap orang
beragama terlibat dengan agama yang dipeluknya, maka tidaklah
mudah menarik sebuah definisi yang mencangkup semua agama. Hal
tersebut karena setiap orang yang beragama cenderung memahami
agama menurut ajaran agamanya sendiri. Hal ini pula ditambah
dengan fakta bahwa dalam kenyataan agama di dunia ini amat
beragam. Namun, karena ada segi agama yang sama, suatu rumusan
umum dapat dikemukakan dengan pengertian bahwa agama adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan
hubungan dengan Dia melalui upacara, penyembahan, permohonan,
dan membentuk sikap hidup manusia sesuai dengan dasar ajaran
agama tersebut.19
Di lain sisi, definisi agama dalam pengertian agama Islam,
secara terminologi sebagaimana yang diutarakan oleh Abullah Al-
Masdoosi (cendikiawan muslim asal Fakistan); menurut pandangan
Islam, agama ialah kaidah hidup yang diturunkan kepada ummat
manusia, sejak manusia digelar ke atas buana ini, dan terbina dalam
bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-Qur`an yang
diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, satu kaidah hidup
yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup
manusia baik spritual maupun materi. 23 Maret 2022, Pkl. 10.30 19
18
HaidarPutra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), hal 30
19
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2000), Cet III, h.39-
40
Sedangkan kata Islam sendiri, berasal dari kata aslama-
yuslimuislaman artinya tunduk, patuh, menyerahkan diri.
Kata Islam diambil dari kata dasar salama atau salima yang
artinya selamat, sejahtera, tidak cacat, tidak tercela. Islam adalah nama
yang diberikan oleh Allah sendiri, sebagaimana ayat Al-Qur`an
menyebutkan Innad-dina`indallahi Al-Islam (Q.S, 3:19). Islam
merupakan agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-
rasulnya untuk diajarkan kepada manusia yang dibawa dari generasi
ke generasi berikutnya.
Yang disampaikan secara estafet bak mata rantai yang
sambung-menyambung, tetapi dalam satu kesatuan tugas yaitu
menyampaikan risalah ilahiyah (tauhid) yang berisikan ajaran dan
peringatan bagi manusia serta dilengkapi dengan hukum-hukum dan
ketentuan-ketentuan dari Allah sesuai dengan hajat dan kebutuhan saat
itu.
Maka ketika Islam datang kepada Nabi Muhammad SAW,
Islam menjadi agama universal atas berbagai suku golongan di muka
bumi dan akan disampaikan kepada manusia sampai akhir zaman
dalam satu komando Lailaha illallah Muhammadarrasulullah. Islam
bukan sekadar akhlak, ritual ibadah harian, bukan juga hanya untuk
memenuhi segi spiritual kehidupan manusia saja, akan tetapi
merangkumi semua segi dari kehidupan ini9 Agama dalam Islam
adalah cara hidup, cara berfikir, berideologi, dan bertindak. Agama
meliputi sistem-sistem politik, ekonomi, sosial, undangundang dan
ketata-negaraan. Agama berperan dalam membentuk pribadi insan
kamil disamping juga membentuk masyarakat yang ideal, agama
menitik beratkan pembentukan moral dan spiritual sebuah masyarakat
tetapi tidak lupa juga membangun tamadun dan membina empayar
yang kukuh dan berwibawa dimata dunia. Lebih daripada itu Islam
adalah cara hidup (way of life).
Agama Islam memberi jawaban kepada pertanyaan abadi
kehidupan (eternal question of life) pertanyaan tersebut adalah
darimanakah asal-usul manusia? Kemanakah mereka akan pergi dan
apakah arti kehidupan ini? Dari awal Islam telah memberikan kepada
persoalan tersebut dengan jelas.
Bahkan menyediakan jalan bagaimana manusia harus hidup
agar mereka tidak sia-sia dan sesat dengan menerangkan bahwa satu-
satunya cara untuk selamat adalah dengan menuju kearah al-sirat al-
mustaqim (jalan yang lurus) Inilah yang dinamakan agama menurut
Islam, jadi apa yang dianggap agama oleh barat adalah bukan agama
(tidak lengkap) menurut Islam, ataupun Islam bukan hanya sekadar
agama dalam pengertian Barat yang sempit.20
Jadi, dari penjelasan tentang definisi guru dan agama di atas
dapat dipahami bahwa guru agama Islam adalah seorang pendidik
yang mengajarkan pendidikan agama Islam yang mencakup mata
pelajaran AlQur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqh dan Sejarah
Kebudayaan Islam agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat
memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta
menjadikannya sebagai pandangan hidup. Selain itu, di samping
melaksanakan tugas pengajaran, yaitu memberikan pengetahuan
keagamaan, ia juga melaksanakan tugas pendidikan dan pembinaan
bagi peserta didik, ia membantu pembentukan kepribadian, pembinaan
akhlak, di samping menumbuhkan dan mengembangkan keimanan
dan ketakwaan para peserta didik, Serta ia pun harus memperbaiki
mana yang kurang baik pada mereka, karena anak didik datang ke
sekolah telah membawa berbagai nilai dan pengalaman keagamaan
yang diperolehnya dari orang tuanya masing-masing.
Ada yang sudah baik, tapi ada juga yang kurang, bahkan
mungkin ada yang tidak baik sama sekali, sesuai dengan keadaan
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. (Jakarta: CV.
20
21
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2007) hal 621
22
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), (Bandung,
Citra Umbara, 2008), Cet. I, h. 74
berkelanjutan sejalan dengan perkebangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni.
Berkenaan dengan hal itu, berbagai upaya peningkatan
program pendidikan kini terus direncanakan, dilaksanakan dan terus
dievaluasi untuk mencapai hasil maksimal. Hal ini tidak lain adalah
perwujudan atau refleksi dari adanya tugas yang mulia yang diemban
oleh Departemen Pendidikan Nasional dan merupakan salah satu
lisensi kebijakan.
pemerintah untuk para guru dalam kelayakan pelaksanaan
pendidikan, sehingga profesionalisme yang dimaksudkan dapat
tercapai, yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kualitas pendidikan bagi generasi muda bangsa Indonesia yang
diharapkan mampu memiliki pengetahuan, ketrampilan dan akhlak
mulia agar mampu tetap survive dalam persaingan ketat di era
globalisasi yang mau atau tidak mau harus dihadapi oleh bangsa ini.
Lebih luas lagi, profesionalisme guru tersebut adalah sebagai
konsekuensi logis, bahwa profesi keguruan merupakan concern dunia
pendidikan.
Hal ini pula mengisyaratkan bahwa guru sebagai ujung
tombak pengemban tugas mendidik anak-anak bangsa, yang juga
merupakan agen pembangunan dan sekaligus agen pembaharuan
ditutut agar tidak ketinggalan zaman dengan begitu pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun sebaliknya dituntut
agar mampu berkreativitas dan berinovasi seiring dengan kemajuan
ilmu dan teknologi.
Artinya bahwa dalam melaksanakan tugas mendidik bangsa,
guru dituntut mampu melaksanakan tugas secara profesional, efisien
dan efektif. Dengan kata lain guru dari TK, SD,SLTP dan SMA
dituntut oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional memeliki
kualifikasi ideal, yaitu bersertifikat S1/D IV.
Menurut Anwar Jasin yang dikutip oleh Mujtahid salah
seorang dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang; kualifikasi guru
dapat ditilik dari tiga hal. Pertama, memiliki kemampuan dasar
sebagai pendidik. Kualitas seperti ini tercermin dari diri pendidik.
Adapun persyaratan yang harus dimiliki oleh jiwa pendidik antara
lain:
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Berwawasan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 16
c. Berkepribadian dewasa, terutama dalam melaksanakan
fungsinya, sebagai orangtua kedua, in loco parentis, bagi
siswa-siswanya
d. Mandiri (independen judgement), terutama dalam
mengambil keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran
dan pengelolaan kelas.
e. Penuh rasa tanggungjawab, mengetahui fungsi, tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pendidik dan pelatih, serta
mampu memutuskan sesuatu dan melaksanakan tugasnya
sesuai dengan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya, serta
tidak menyalahkan orang lain dalam memikul konsekuensi
dari keputusannya terutama yang berkaitan dengan
pembelajaran dan pengelolaan kelas.
f. Berwibawa, mempunyai kelebihan terhadap para siswanya
terutama penguasaan materi pelajaran dan ketrampilan
megerjakan sesuatu dalam pembelajaran dan pengelolaan
kelas.
g. Berdisiplin, mematuhi ketentuan peraturan dan tata tertib
sekolah dan kelas.
h. Berdedikasi, memperlihatkan ketekunan dalam
melaksanakan tugas membimbing, mengajar dan melatih para
siswanya, sebagai pengabdi atau ibadat. Kedua, memiliki
kemampuan umum sebagai pengajar. Sebagai pengajar,
seorang guru, di samping memiliki kemampuan dasar sebagai
pendidik, juga perlu dan harus memiliki kemampuan sebagai
prasyarat untuk mencapai kemampuan khusus dalam rangka
memperoleh kualifikasi dan kewenangan mengajar.
Kemampuan umum itu terdiri dari atas penguasaan antara
lain:
a. Ilmu pendidikan atau pedagogik, didaktik dan metodik
umum, psikologi belajar, ilmu-ilmu keguruan lain yang
relevan dengan jenis jenjang pendidikan.
b. Bahan kajian akademik yang relevan dengan isi dan bahan
pelajaran (kurikulum) yang diajarkannya.
c. Materi kurikulum (isi dan bahan pelajaran) yang relevan
dan cara-cara pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman
kegiatan belajar mengajar.
d. Kemahiran mengoperasionalkan kurikulum (GBPP)
termasuk pembuatan satuan pelajaran, persiapan mengajar
harian, merancang KBM, dan lain-lain.
e. Kemahiran pembelajaran dan mengelola kelas.
f. Kemahiran memonitor dan mengevaluasi program, proses
kegiatan dan hasil belajar.
g. Bersikap kreatif dan inovatif dalam melaksanakan
kurikulum, serta mengatasi masalah-masalah praktis pembelajaran dan
pengelolaan kelas.
Ketiga, mempunyai kemampuan khusus sebagai pelatih.
Kemampuan khusus ini bertujuan untuk melatih para siswanya agar
terampil menguasai materi pelajaran. Terutama mata pelajaran yang
membutuhkan keterampilan langsung dari siswa. Karena itu, untuk
memperoleh kewenangan mengajar, guru berkewajiban menjabarkan
program pembelajaran yang tertera dalam rancangan kurikulum ke
dalam sistem belajaran yang yang lebih bersifat operasional. Untuk
mempermudah dalam proses belajar mengajar, para guru diminta
memiliki keahlian khusus dalam mendesain pengajaran secara
mandiri.
Materi atau mata pelajaran butuh penjabaran teknis yang
harus dilakukan guru, supaya dapat diterima oleh peserta didik dengan
mudah. Dengan demikian, modal kualifikasi kependidikan yang
ditawarkan di atas, diharapkan bisa meringankan tugas guru dalam
menghadapi masa depan dapat terwujudkan secara tepat dan cermat.
Sebab, jika tingkat kompetitif guru yang dihadapi dengan kualifikasi
kependidikan, maka eksistensi guru akan tetap survive dengan
sendirinya. Bahkan prospek masa depannya juga akan semakin baik
serta banyak yang akan membutuhkan dan mencarinya. Dari beberapa
persyaratan guru yang dikemukan di atas menunjukkan bahwa seorang
guru terutama guru agama bukan hanya orang yang berilmu
pengetahuan saja, akan tetapi harus beriman dan bertakwa kepada
Allah SWT, sebab guru agama adalah figur Rasulullah SAW bagi
ummat Islam yang diteladani segala tingkah lakunya serta memiliki
kompetensi, dimana dalam Undang-undang No 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, Pasal 10 ayat 1 bahwa: ”Kompetensi guru
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadiaan, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. 23 Adapun
kompetensi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal tersebut
dijelaskan bahwa: .
Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kemampuan
tersebut meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pegembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki.
23
E. Mulyasa, ”Undang-undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen”, dalam standar..., h. 229
Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah
kemampuann kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan
berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Mengenai kompetensi
kepribadian ini, tercakup pula di dalamnya bahwa kepribadian guru
tersebut tidak hanya menjadi dasar bagi guru untuk berperilaku, tetapi
juga akan menjadi model keteladanan bagi para siswanya dalam
perkembangannya.24
Kepribadian terpadu dapat menghadapi segala persoalan
dengan wajar dan sehat, karena segala unsur dalam pribadinya bekerja
seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekerja dengan tenang, setiap
permasalahan dapat dipahaminya secara obyektif, memahami
kelakuan anak didik sesuai dengan perkembangan jiwa yang sedang
dilaluinya. Perasaan dan emosinya tampak stabil, optimis dan
menyenangkan.
Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak
merasa diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah
lakunya. Apalagi bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah orang
yang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan
kepribadian anak didik. Cara guru berpakaian, berbicara, berjalan dan
bergaul yang juga mempunyai pengaruh terhadap anak didik.
Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru tidak baik, pada umumnya
akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena anak mudah
terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.25
Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah
kemampuan penguasan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Kompetensi profesional guru ini dapat dicerminkan dengan
kemampuan penguasaan materi pelajaran, kemampuan penelitian dan
penyusunan karya ilmiah, kemampuan pengembangan profesi, dan
pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan, yang
24
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),
Edisi II, h. 169
25
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), Cet. Ke-4, h. 10-13 23
memungkinkannya untuk membimbing peserta didik untuk memenuhi
Standar Nasional Pendidikan. Yang dimaksud dengan kompetensi
sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan
peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.
Bagi seorang guru agama, selain diperlukan syarat-syarat
untuk menjadi guru dan memiliki kompetensi guru, juga guru
hendaknya mengetahui pula sekedar ciri perkembangan jiwa agama
pada anak dalam tiap tahap pada umur, serta mengetahui pula latar
belakang dan pengaruh pendidikan, serta lingkungan di mana si anak
lahir dan di besarkan. Agar ia dapat melaksanakan tugasnya, dengan
cara yang berhasil guna dan berdaya guna untuk mencapai tujuan
pendidikan agama yang telah ditentukan.26
3. Peran Guru Agama
Peranan adalah dari kata dasar “peran” yang ditambahkan
akhiran “an”. Peran memiliki arti ”perangkat tingkah yang diharapkan
dimiliki untuk orang yang berkedudukan di masyarakat”, sedangkan
peranan adalah ”bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan”. 27
Kata ”peran” bisa juga di artikan dengan pemeran, pelaku, dan
pemain; sedangkan ”peranan” dapat diartikan dengan fungsi,
kedudukan atau bagian kedudukan.
Peranan adalah sesuatu yang menjadi bagian atau yang
memegang pimpinan yang terutama (di dalamnya terjadi sesuatu hal).
Peranan berarti ”bagian yang harus dilakukan di dalam suatu
kegiatan”.28 Peran dan kompetensi guru dalam proses belajar
mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukan oleh
Adams dan Decey dalam Basic Principles of Student Teaching, antara
26
Ibid hal 24-25
27
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007),
h. 870
28
Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama terhadap Pemecahan Problem Remaja, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2009), Cet I, hal 9
lain: guru sebagai pembimbing, pengajar, pemimpin, pengelola kelas,
dan evaluator.29
A. Guru Sebagai Pembimbing
29
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Professional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Edisi Kedua, h.
9 28
d) Menyediakan kondisi dan kesempatan bagi siswa untuk
memperoleh hasil yang lebih baik.
32
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam...,hal. 4
33
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2004), Cet I, h. 132
Sedangkan menurut H.M Arifin, dalam ”Kapita Selekta Pendidikan
(Islam dan Umum), adalah usaha pembinaan dan pengembangan
pendidikan agama dimana dititik beratkan pada internalisasi nilai iman,
Islam dan Ihsan dalam pribadi manusia muslim yang berilmu
pengetahuan luas. Jadi, pendidikan agama Islam adalah suatu usaha dan
upaya pendidikan jasmani dan rohani yang bernafaskan Islam guna
menyiapkan peserta didik agar dapat merealisasikan nilai-nilai Islam
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari baik untuk dirinya sendiri atau
pun kepada orang lain.
2. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah mempunyai landasan
dasar yang kuat. Dasar tersebut menurut Zuhairini dkk dapat ditinjau
dari berbagai segi, yaitu:
a. Dasar Yuridis/Hukum. Dasar pelaksanaan pendidikan agama
berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung
dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama
di sekolah secara formal. Dasar yuridis tersebut terdiri dari dasar
ideal, yaitu dasar falsafah negara Pancasila yaitu Ketuhanan yang
Maha Esa. Dasar struktural/konstitusional, yaitu UUD`45 dalam
Bab XI Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara
berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa;
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut
agama dan kepercayaannya itu.
b. Aspek Sosio-Psikologis,
yaitu dasar yang berkenaan dengan aspek kejiwaan kehidupan
bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa manusia dalam hidupnya,
baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat
dihadapkan pada hal-hal yang terkadang membuat hatinya tidak
tenang sehingga memerlukan adanya pegangan hidup (agama).
Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang
mengakui adanya Zat yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung
dan tempat mereka memohon pertolongan-Nya. Hal semacam ini
dirasakan oleh masyarakat yang masih primitif maupun masyarakat
modern.
c. Aspek Religius, yaitu dasar/landasan yang bersumber dari ajaran
agama. Menurut ajaran Islam pendidikan agama adalah perintah
Tuhan dan merupakan perwujudan ibadah kepada-Nya. Seperti
perintah untuk menyeru dan mengajak manusia kepada jalan yang
benar dengan hikmah dan pelajaran yang baik (Q.S. 16:104), perintah
untuk menyampaikan ajaran agama kepada orang lain walau hanya
sedikit (Al-Hadits).34
Berkenaan dengan aspek religius ini, Zakiah Daradjat
mengemukakan bahwa dasar-dasar pendidikan agama Islam meliputi
beberapa hal, yaitu:
1) Al-Qur’an
2) Sunnah Sunnah
34
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis…, hal. 132-134 41
berisi pedoman untuk kemaslahatan manusia dalam berbagai aspek
kehidupan dan untuk membina umat manusia seutuhnya atau muslim
yang bertakwa. Semuanya tergambar dalam kepribadian dan cara
hidup Rasulullah. Untuk itu guru pendidikan agama Islam diharapkan
mampu menunjukkan kualitas ciri-ciri kepribadian yang baik
sebagaimana tergambar dalam kepribadian Rasulullah Saw yang
menjadi suri tauladan bagi umat manusia.
2) Ijtihad
35
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan..., h. 19-24
manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan,
ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat
melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.36 Menurut
Muhaimin, dari tujuan pendidikan agama Islam tersebut terdapat
beberapa dimensi yang harus ditingkatkan dalam kegiatan
pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu:
a. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama
Islam.
b. Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta
keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
c. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan
oleh peserta didik dalam menjalankan ajaran Islam.
d. Dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam
yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh
peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya
untuk menggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan
nilainilainya dalam kehidupan pribadi sebagai manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta
mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Sementara itu, menurut Hasan Langgulung tujuan pendidikan
agama Islam bermuara pada penyerahan diri kepada Tuhan yang
Maha Esa. Sama artinya dengan do`a yang selalu kita baca dalam
tiap shalat yaitu ”..sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku, semuanya adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”,
begitu pula dengan firman Allah ”tidaklah Aku menciptakan jin
dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku” (Q.S.
51:56 ).
Menyembah atau ”ibadah” dalam pengertian yang luas
berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia
36
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam…, h. 135
menurut petunjuk Allah. Mengembangkan sifat-sifat ini pada
manusia ialah ibadah. Baik itu ibadah formal (ibadah makhdloh)
misalnya Allah memerintahkan manusia melakukan shalat lima
waktu, dengan demikian manusia menjadi suci, dari segi rohani,
pikiran dan jasmaninya. Begitu pula dengan ibadah-ibadah formal
lainnya seperti puasa, zakat, dan haji. Kalau diikuti pula dengan
ibadahibadah non formal (ibadah ghairu makhdloh) seperti
berdagang, menuntut ilmu, bersosialisasi yang semuanya dilakukan
menurut syaratsyarat yang ditentukan oleh syariah tentulah sifat-
sifat Tuhan yang lainnya pun berkembang pada diri manusia dan
semakin mendekati kesempurnaan.37
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat dipamami bahwa
tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk menjadikan siswa
mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan pendidikan
agama Islam dalam artian mampu mengaktualisasikan nilai-nilai
ajaran agama dalam perilaku kehidupan sehari-hari. menumbuhkan
dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan melalui pemberian
pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta
didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang
terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaan, berbangsa dan
bernegara, serta merupakan usaha yang terus menerus untuk
menyempurnakan diri pribadi dalam hubungan vertikal kepada
Tuhan dan horizontal terhadap sesama manusia sehingga
terwujudlah keselarasan, keserasian dan keseimbangan hidup
menurut fitrah kejadiannya sebagai makhluk individual, makhluk
sosial, serta makhluk yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa.
37
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), Cet. V (Edisi
Revisi), h. 297-300 44
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
D. Instrumen Penelitian
Untuk mendapatkan informasi mengenai peran guru agama dalam
pelaksanaan pendidikan agama Islam sebagai pembimbing, pengajar,
pengelola kelas, dan peran guru agama sebagai evaluator, maka dalam
penelitian ini menggunakan instrumen penelitian dalam bentuk angket dan
wawancara. Angket ini berbentuk quesioner yang diperuntukan kepada
siswa.
Adapun untuk mendapatkan informasi mengenai; (1) Peran guru
agama sebagai pembimbing, yaitu: (a) Guru menjadi motivator, adalah
untuk mengetahui frekuensi guru memberikan motivasi kepada siswa. (b)
Guru menjadi tauladan (keteladanan) yaitu untuk mengetahui keteladanan
guru dalam bentuk akhlak. (2) Peran guru agama sebagai pengajar, yaitu
melalui pengkajian agama Islam dengan memberikan materi pendidikan
agama Islam. (3) Peran guru agama sebagai pengelola kelas, yaitu:
(a) Mengelola kelas dengan menciptakan lingkungan belajar yang
baik.
(b) Mengelola kelas dengan penggunaan dan pemeliharaa fasilitas,
yaitu apakah fasilitas sudah digunakan secara optimal atau belum dan
apakah fasilitas yang ada dipelihara dengan baik atau belum. (4) Peran
guru agama sebagai evaluator, yaitu dengan mengevaluasi hasil nilai ujian
siswa dan menambah pengetahuan pendidikan agama Islam bagi siswa.
Maka, penulis menggunakan instrumen penelitian dalam bentuk
wawancara yang diperuntukan kepada guru agama dan kepala sekolah 38
E. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan dalam menghimpun dan
mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
1. Study Dokumenter
Adalah pengumpulan dan pengambilan data yang di
peroleh melalui pengumpulan dokumen-dokumen. Yaitu
pengumpulan data-data dan informasi yang diperlukan dalam
membantu penyelesaian penelitian ini, seperti sejarah
berdirinya, struktur organisasi, keadaan guru, siswa dan
karyawan, serta kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di SD
014/IX Manis Mato Kec taman rajo kab muaro.
2. Wawancara
Pengumpulan data dengan melakukan wawancara secara
langsung kepada responden untuk memperoleh informasi yang
berhubungan dengan masalah penelitian yang sedang dikaji
atau pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh
informasi langsung dari sumbernya.
Dalam hal ini, penulis mengadakan wawancara secara
langsung kepada.
kepala sekolah dan guru bidang study pendidikan agama
Islam di SD 014/IX Manis Mato untuk mengetahui peran guru
agama dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah
tersebut.
3. Angket atau Quesioner
Sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan
tentang pribadinya atau halhal yang dia ketahui.3 Angket ini
ditujukan kepada siswa-siswi SD 014/IX Manis mato, dan
38
digunakan untuk memperoleh data tentang peran guru agama
dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah
tersebut. Adapun angket tersebut menggunaan pertanyaan-
pertanyaan tertutup dan semi terbuka dengan alternatif jawaban
selalu, kadangkadang dan tidak pernah. Untuk pertanyaan semi
terbuka dengan meminta alasan responden terhadap alternatif
jawaban yang dipilihnya.
39
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu pendekatan Praktek,,,,, h 151 55
d. Kesimpulan; Kesimpulan yang penulis maksud adalah
memberikan kesimpulan dari hasil analisa dan interpretasi
data.
Kesimpulan
PUSAKA