Di
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : YASNAINI
NIM : 2021530012
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib
alAttas (Bandung: Mizan,1998) hlm.174.
1
beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa problematika yaitu berbagai
persoalan-persoalan sulit yang dihadapi baik oindividu ataupun kelompok.
Pendidikan Agama Islam PAI di sekolah yang sedang berlangsung belum semuanya
memenuhi harapan kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan kendala yang
dihadapi, maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan
agama Islam. Ini semua mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis
kebijakan umum Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama
yaitu peningkatan mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di sekolah,
peningkatan mutu itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran
pendidikan agama Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah.
Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan kita. Artinya
kalau pendidikan itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan keinginan-
keinginan kita. Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga sebagai pelaksana
bersama semua pemangku kepentingan stakeholder termasuk masyarakat, dan
orang tua. Dalam kenyataannya, pendidikan agama Islam di sekolah masih banyak
yang belum memenuhi harapan. Misalnya kalau guru memberikan pendidikan
agama Islam kepada peserta didik, maka tentu yang kita inginkan adalah peserta
didik bukan hanya mengerti tetapi juga dapat melaksanakan praktek-praktek ajaran
Islam baik yang bersifat pokok untuk dirinya maupun yang bersifat
kemasyarakatan. Pendidikan agama Islam bukan hanya memperhatikan aspek
kognitif saja, tetapi juga sikap dan keterampilan peserta didik. Peserta didik yang
mendapatkan nilai kognitifnya bagus belum bisa dikatakan telah berhasil jika nilai
sikap dan keterampilannya kurang. Begitu pula sebaliknya, jika sikap atau
keterampilannya bagus tetapi kognitifnya kurang, belum bisa dikatakan pendidikan
agama Islam itu berhasil. Inilah yang belum memenuhi harapan dan keinginan kita.
Contoh lainnya, hampir sebagian besar umat Islam menginginkan peserta didiknya
bisa membaca Al Quran, namun bisakah orang tua mengandalkan kepada sekolah
agar peserta didiknya bisa membaca Al Quran, praktek pendidikan agama Islam di
sekolah, bisa mengerti dan mampu melaksanakan pokok- pokok ajaran agama atau
kewajiban-kewajiban ‘ainiyah seperti syarat dan rukun shalat. Maka sekolah
nampaknya belum bisa memberikan harapan itu karena terbatasnya waktu alokasi
2
atau jam pelajaran di sekolah. Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah
pembelajaran pendidikan agama Islam melalui pembelajaran ekstra kurikuler dan
tidak hanya pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di
sekolah, yaitu di kelas atau di mushala. Bisa pula di rumah atau tempat yang
disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam pelajaran formal. Cara ini memang
membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan tenaga guru, tapi itulah tantangan
guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki semangat dakwah untuk
menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi
dan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua serta masyarakat.
3
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ummi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 195.
4
Kelembagaan.ristekdikti.go.id/2016/08 PP_55_2007-Pendidikan Agama Keagamaan.pdf Diakses
pada 29 Maret 2018. Jam 21.29
4
berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan hubungan antar umat
beragama. Adapun tujuan dari pendidikan agama adalah untuk berkembangnya
kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-
nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni.
Pendidikan semestinya dijadikan sebagai upaya untuk menjadikan manusia
lebih bermartabat dan dijadikan sarana untuk menyadarkan manusia akan arti
penting nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, menurut Sudarwan Danim. 5 agenda
utama pendidikan adalah proses memanusiakan manusia menjadi manusia. Proses
pemanusiaan tersebut dapat diupayakan melalui berbagai kegiatan pembelajaran
yang dapat mendorong tumbuh kembangnya kesadaran nilai-nilai kemanusiaan,
di antaranya melalui pendidikan agama. Dalam UndangUndang No.20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat 1 dijelaskan bahwa sebagai
agenda proses kemanusiaan dan pemanusiaan, pendidikan dapat dipandang dari 2
sisi, yaitu: pertama, sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk hidup pada
alam demokrasi dan, kedua, sebagai proses penyiapan peserta didik memasuki
sektor ekonomi produktif.
Memposisikan pendidikan sebagai sarana untuk menyiapkan peserta didik
memasuki wilayah ekonomi produktif merupakan hal semu, karena proses
pembelajaran di sekolah tidak mendorong terbentuknya semangat dan kesadaran
peserta didik tentang arti penting kemandirian dan keterampilan dalam menghadapi
kehidupan nyata. Sementara itu dunia industri menuntut profil lulusan pendidikan
yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan kebutuhan
perusahaan. Sebagai akibatnya banyak dunia pendidikan di Indonesia yang berpikir
secara pragmatis dengan mengikuti logika “kapitalisme” dan mengabaikan
pentingnya membangun kesadaran yang humanis.
Jadi dari sekian definisi di atas dapat disimpulkan bahwa PAI adalah suatu
upaya sadar dan terencana dalam memberikan bantuan guna menyiapkan peserta
didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani dan bertakwa
5
Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003),
hlm.4.
5
dan berakhlakul karimah dalam menjalankan ajaran Agama Islam dari sumber
utamanya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits yang melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan latihan serta penggunaan pengalaman.
6
C. Cara Mengatasi Problematika PAI di Sekolah Umum
Untuk mengatasi problematika pelaksanaan pendidikan agama islam di
sekolah dapat diupayakan beberapa solusi yang diharapkan mampu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi sebagaimana yang akan diuraikan ini:
1. Upaya mengatasi problematika peserta didik dalam PAI
Untuk mengatasi berbagai problem peserta didik dalam pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah, dapat dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Solusi terhadap problem yang terdapat pada peserta didik sangat
dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai subjek yang melakukan
kegiatan belajar baik siap dalam kondisi fisik atau psikis (jasmani atau
mental) individu yang memungkinkan dapat melakukan belajar.
b. Adanya motivasi terhadap peserta didik baik motivasi intrinsik yaitu
motivasi yang datang dari peserta didik atau motivasi ekstrintik yaitu
motivasi yang datang dari lingkungan di luar diri peserta didik. Dalam
hubungan ini motivasi dapat dilakukan dengan jalan menimbulkan atau
mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan kegiatan
belajarnya. Para pendidik diharapkan mampu menumbuhkan dan
mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan kegiatan
belajar-mengajar.Dengan demikian peserta didik akan memperoleh
kepuasan dan unjuk kerja yang baik. (Muhammad Surya, 2003) Untuk
dapat menjamin belajar dengan baik peserta didik harus memiliki
perhatian terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya. Sebaliknya jika
bahan pelajaran tidak menarik, maka akan membosankan. Hal itu akan
mengakibatkan prestasi belajar peserta didik di sekolah akan jadi turun.
Karena itu pendidik harus mengusahakan agar bahan pelajaran yang
diberikan dapat menarik perhatian siswanya. Jika perlu diberi selingan
dengan humor, agar peserta didik tidak merasa jenuh menerima mata
pelajaran.
c. Mengingat adanya hambatan terhadap peserta didik tersebut maka
sebaiknya pendidik mengadakan test untuk mengetahui kemampuan
7
peserta didik. Apabila mayoritas peserta didik memiliki kemampuan
intelegensi tinggi, maka bagi peserta didik yang intelegensi rendah
perlu diusahakan memberikan pelajaran tambahan atau peserta didik
yang intelegensi rendah perlu diusahakan dengan cara jalan lain yaitu
dengan menempatkan peserta didik pada kelas yang memiliki
kemampuan rata rata yang sama.
2. Upaya Mengatasi Problem Pendidik dalam PAI.
a. Penghasilan pendidik dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena
rendahnya gaji pendidik akan mengakibatkan terhambatnya usaha
dalam meningkatkan profesionalitas kualitas pendidik.
b. Seorang pendidik memahami tabiat, kemampuan dan kesiapan peserta
didik.
c. Seorang pendidik harus mampu menggunakan variasi metode
mengajar dengan baik, sesuai dengan karakter materi pelajaran dan
situasi belajar mengajar.
3. Upaya Mengatasi Problem Manajemen dalam PAI.
Dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah, seharusya terjalin
hubungan antara sekolah dengan orang tua peserta didik dimaksudkan
agar orang tua mengetahui berbagai kegiatan yang direncanakan dan
dilaksanakan di sekolah untuk kepentingan peserta didik dan juga orang
tua peserta didik mau memberi perhatian yang besar dalam menunjang
program program sekolah.
Terjalinnya sekolah dengan masyarakat bertujuan memelihara
kelangsungan hidup sekolah dan memproleh bantuan dan dukungan dari
masyarakat dalam rangka mengembangkan pelaksanan program program
sekolah.
4. Upaya Mengatasi Problem Sarana dan Prasarana dalam PAI.
Sarana pendidikan sangat menunjang dalam proses belajar mengajar, hal
ini akan menunjang tercapainya tujuan pembelajaran Pendidikan Agama
Islam di madrasah.diantaranya adalah Gedung sekolah yang memadai
sehingga membuat peserta didik senang dan bergairah belajar di dalam
8
sekolah. Sekolah harus memiliki perpustakaan dan dimanfaatkan secara
optimal baik oleh pendidik atau peserta didik. Adanya alat alat peraga
yang lengkap akan sangat membantu pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya alat sarana untuk ibadah.
Jadi dari sekian banyak problema maka disitu pasti ada solusi yang
dimana akan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada,
tinggal kemauan dari hati mau tidak untuk berubah dan mengatasi
masalah yang ada dalam lingkup pendidikan di sekolah.
9
perlu dibina dalam bentuk kelompok kerja guru mata pelajaran yang dikenal
dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk meningkatkan
kemampuannya, karena peningkatan kemampuan itu harus dilakukan secara
terus-menerus, belajar sepanjang hayat, minal mahdi ilallahdi. Apalagi zaman
sekarang perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat yang jika tidak diikuti
maka guru akan ketinggalan informasi. Di MGMP digunakan sebagai forum
meningkatkan kemampuan secara internal melalui upaya diskusi kelompok atau
belajar kelompok.
Peningkatan kemampuan guru juga diberikan kepada guru-guru yang belum
mencapai gelar S – 1 sesuai dengan Undang-Undang yaitu memberikan
kesempatan melanjutkan pendidikan tanpa banyak meninggalkan tugas-tugas di
sekolah yaitu dengan merancang suatu program pendidikan dualmode system.
Dualmode system adalah dua modus belajar yaitu menggunakan modul sebagai
bahan belajar mandiri (BBM), kemudian ada kuliah secara tatap muka di tempat
yang sudah ditunjuk dan disepakati antara mahasiswa dengan dosennya.
Dualmode system itu hakekatnya sama dengan Universitas Terbuka yang
melaksanakan belajar jarak jauh, namun berbeda dengan kelas jauh dari suatu
perguruan tinggi. Kalau kelas jauh perguruan tinggi membuka kelas di luar
kampusnya, sehingga menyulitkan untuk mengontrol kualitas pembelajaran dan
kualitas lulusannya. Program belajar jarak jauh belajarnya menggunakan sarana
atau alat, dengan alat utamanya berupa modul. Jadi yang dipelajari adalah modul
sebagai bahan kuliah. Di dalam modul itu ada tujuan pembelajarannya yang
harus dicapai setelah menyelesaikan satu materi pelajaran, ada materi pelajaran
yang diajarkannya kemudian langsung dilengkapi dengan format evaluasinya.
Mereka belajar sendiri dan mengukur kemampuan sendiri. Tetapi pada waktu-
waktu tertentu mereka diberikan kesempatan untuk berkumpul di suatu tempat
yang ditentukan, kemudian dosennya datang untuk memberikan respons, tanya
jawab, diskusi, dan pengayaan terhadap modul yang sudah dipelajari tersebut.
Begitu pula ujiannya diisi langsung oleh dosen. Inilah yang disebut dengan
belajar jarak jauh plus tatap muka.
10
Dengan demikian guru-guru tidak terlalu berat meninggalkan waktu
sekolah, tetapi tetap harus datang ke tempat-tempat yang telah ditunjuk untuk
kuliah tatap muka. Secara Undang-Undang pun kegiatan ini legal, karena ada
pasal atau Bab dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003 pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ (Perguruan
Tinggi Jarak Jauh). Dalam Undang-Undang itu secara lebih spesifik
mengizinkan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan
pendidikan melalui cara Perguruan Tinggi Jarak Jauh dengan memanfaatkan
teknologi komunikasi dan informasi, misalnya dengan memanfaatkan perangkat
komputer dengan internetnya seperti e-learning atau e-mail. Belajar jarak jauh
ini tidak boleh diselenggarakan atau dibuka oleh perguruan tinggi yang tidak
ditugasi, jadi harus dikendalikan atau dikoordinasikan.
Ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan guru,
pertama adanya jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua yang rutin
mengikuti kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP). Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan agama Islam di
sekolah tidak berjalan begitu saja dan kemampuannya juga tidak meningkat.
Sebagai orang Islam kita berpegang kepada suatu kaidah yang menyatakan
bahwa kalau hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka celaka. Kalau hari ini
sama dengan hari kemarin, maka rugi, dan kalau hari ini lebih bagus dari hari
kemarin, maka beruntung. Maka harus ada upaya-upaya untuk terus menerus
belajar minal mahdi ilallahdi. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa jadilah
kalian orang yang mengajar, atau jadilah orang-orang belajar atau kalau tidak
kedua-duanya sekurang-kurangnya mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat
yaitu tidak mengajar, tidak belajar, dan tidak mendengar. Untuk itulah guru yang
harus selalu meningkatkan kualitas dirinya.
3. Melakukan Evaluasi.
Mengenai evaluasi pendidikan agama Islam ini terkadang terjadi hal-hal
yang di luar dugaan. Misalnya ada peserta didik yang jarang sekolah, malas dan
merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama, tetapi ketika dievaluasi dia
mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang
rajin belajar agama. Artinya yang salah itu adalah evaluasinya karena yang
dilakukan hanyalah mengukur unsur kognitifnya saja. Oleh karena itu evaluasi
pendidikan agama Islam jangan hanya mengandalkan evaluasi kemampuan
kognitif saja, tetapi harus dievaluasi juga sikap, prakteknya atau keterampilan
(psikomotor) dan sikapya (afektif). Guru melakukan pengamatan terhadap
perilaku sehari-hari peserta didik tersebut apakah peserta didik itu shalat? Kalau
dilaksanakan apakah shalatnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi ini
sebetulnya menentukan status peserta didik tentang hasil belajarnya itu apakah
sudah mencapai tujuan yang ingin dicapai atau tidak. Kalau tujuan agama itu
adalah supaya peserta didik bisa menjalankan agama Islam dengan baik maka
13
evaluasinya harus sesuai, dan evaluasinya itu bukan hanya hafal tentang kaidah-
kaidah tentang kemampuan kognitif saja tetapi juga yang bersifat praktikal.
Berkaitan dengan evaluasi pendidikan agama Islam, ada usulan yang kuat dari
berbagai kalangan agar pendidikan agama Islam sebaiknya masuk pada ujian
nasional, sehingga menjadi bahan untuk dipertimbangkan peserta didik lulus
atau tidak lulus di suatu lembaga pendidikan. Ujiannya jangan sekedar
mengukur kemampuan kognitif melainkan juga kemampuan yang bersifat
psikomotor, praktek dan perilaku, serta sikap peserta didik sebagai orang yang
menganut ajaran agama Islam.
14
BAB III
PENUTUP
15
DAFTAR PUSTAKA
16