Anda di halaman 1dari 3

Buku; Peradaban Islam yang Hilang

Fokus tulisan ini akan bercerita tentang buku sebagai komponen dan penanda dari kemajuan
peradaban Islam di masa lampau. Buku dalam format yang kita kenal seperti sekarang ini,
bentuk dan fisiknya, dan bagaimana ia bisa diakses oleh publik secara umum.

Sebelum pembuatan kertas menjadi industri, pengetahuan sudah berkembang dalam dunia
Islam, dengan tradisi lisan yang dominan. Catatan hanya dalam bentuk perkamen-perkamen
yang hanya bisa diakses oleh kalangan terbatas.

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, salah satu legasi utamanya bagi peradaban adalah sikap
inklusif dan terbuka terhadap yang lain. Dalam beberapa kasus, seperti dalam peristiwa
Khandaq, Nabi Muhammad saw. terbuka dan menerima strategi perang dengan membangun
parit, dari usulan Salman Alfarisi, yang diadopsi dari strategi perang bangsa Persia. Beberapa
anjurannya untuk menuntut ilmu dan mencari wawasan seluas-luasnya, menjadi landasan
masyarakat Muslim yang masih muda itu, untuk bergerak maju seiring dengan perluasan
wilayah kekuasaan yang sangat agresif.

Pertemuan masyarakat Muslim dengan kertas, dimulai pada pertengahan abad 8 Masehi,
hampir 300 tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Saat itu, wilayah Islam sudah terbentang
dari India hingga Afrika Barat, dan Sebagian Eropa, yaitu semenanjung Iberia, Sisilia dan
sebagian Eropa Timur. Dan kisah itu dimulai oleh Perang Talas, yang berlangsung di Samarkand.

Perang ini terjadi pada tahun 751 M, dan kaum muslim berhasil menawan beberapa orang dari
Cina, yang ahli dalam pembuatan kertas. Mengetahui hal tersebut, para ahli kertas itu diberi
fasilitas untuk memperlihatkan keterampilan mereka. Akan tetapi, bahan baku utama
pembuatan kertas yang dikenal oleh para ahli dari Cina itu adalah pohon Murbei, yang tidak
bisa didapatkan di wilayah Samarkand atau wilayah Islam lainnya. Hal tersebut kemudian
melahirkan inovasi baru yang sangat penting. Kaum Muslim memperkenalkan bahan baku lain
dari pohon linen, kapas dan serat, menjadikan bambu sebagai pengering kertas yang masih
lembab, dan menambahkan pemutih dan bahan kimia lainnya. Pada tahap pemotongan kertas,
kaum muslim memperkenalkan inovasi baru dengan menggunakan kanji gandum, sehingga
permukaan kertas menjadi lebih licin dan bisa ditulis dengan tinta.

Dari Samarkand, Industri kertas meluas ke wilayah-wilayah Islam lainnya. Tahun 793 M, pada
masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, percetakan kertas pertama dibangun di Baghdad.
Selanjutnya di Damaskus, Tiberia, Cairo, Tripoli, Fez, Sisilia Islam hingga Jativa dan Valencia
Islam di Spanyol.

Pada akhir abad ke 10, pabrik-pabrik kertas terapung, telah dibangun di sepanjang sungai Tigris.
Pada tahun 1151 Jativa, Spanyol Islam, yang saat itu dikenal sebagai salah satu pusat industri
kertas terkemuka di dunia, telah memperkenalkan teknologi kincir air untuk menggerakkan
alat-alatnya. Eropa baru membuat pabrik kertas pertama di Fabrino, Italia, pada tahun 1276.
Selanjutnya di Nurenberg pada tahun 1390.

Munculnya industry kertas lalu melahirkan profesi baru yang saat itu dikenal dengan nama
Warraqin (spesialis kertas). Yaitu mereka yang mengelola distribusi kertas, sekaligus menuliskan
beragam manuskrip berdasarakan pesanan pembelinya. Fungsinya seperti percetakan dan
penerbit buku pada zaman ini. Selanjutnya, para Warraqin ini mendirikan kios-kios penjualan
yang menjamur di kota-kota utama Islam.

Al-Ya’qubi, seorang sarjana Muslim terkenal dari akhir abad 9, mencatat bahwa ada lebih dari
seratus toko buku di kawasan pinggiran kota Baghdad. Toko-toko buku itu selanjutnya
bertransformasi menjadi tempat diskusi akademis yang dihadiri para sarjana muslim dari
berbagai wilayah. Salah satu toko buku terkenal di Baghdad dinamai dengan An-Nadim, dengan
koleksi ribuan buku dan manusukrip. Format buku-buku itu berbentuk lembaran-lembaran
kertas yang diikat dengan sampul yang terbuat dari kulit. Persis, atau hampir mirip dengan buku
yang kita kenal pada zaman modern.

Setelah toko-toko buku, yang muncul selanjutnya adalah perpustakaan, dengan Baitul Hikmah
sebagai yang paling terkenal dan mendapat dukungan penuh dari negara. Baitul Hikmah tidak
hanya berfungsi sebagai kolektor buku, namun juga berperan besar dalam penerjemahan buku-
buku dari bahasa asing dan menjadi pusat penelitian dan diskusi akademis. Pada saat lembaga
ini dihancurkan oleh tentara Mongol pada tahun 1258, ada 39 lembaga sejenis di kota Baghdad.
Dan hampir setiap lembaga-lembaga tersebut menyediakan ruangan khusus bagi para penulis,
warraqin atau penyalin buku. Bukan hanya di Baghdad, perpustakaan bisa dengan mudah di
dapatkan di kota-kota Islam lainnya, seperti Fez, Kairo, Damaskus, Samarkand, Cordoba dan
Bukhara.

Ada tradisi yang patut dicermati dalam proses penerjemahan dan penyalinan buku-buku pada
saat itu. Bahwa para penerjemah dan penyalin buku itu, hampir semuanya menyertakan
catatan kritisnya terhadap buku-buku yang digarapnya. Setelah selesai, mereka akan
menyerahkannya kepada penulis aslinya, untuk diperiksa dan diperbaiki, dan mendapatkan
persetujuannya. Lalu berdasarkan kesepakatan bersama, penulis akan mendapatkan royalti.

Hingga abad ke 15, penerbitan buku di dunia Islam masih dominan jika dibandingkan dengan
belahan dunia lainnya. Dari abad 7 hingga abad 15, selama 800 tahun, ilmu pengetahuan dan
buku mendapatkan penghormatan yang luar biasa. Berawal dari wahyu (Al-Qur’an) pertama,
Iqra’, Nabi Muhammad saw. telah meletakkan pondasi besar bagi sebuah peradaban agung,
yang berlandaskan ajaran luhur agama dan ilmu pengetahuan, dengan buku sebagai instrumen
utamanya. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan tumbuh subur dan berkembang. Arsitektur,
kedokteran, seni dan sastra, filsafat, dan seterusnya. Disamping tentu saja, dalam bidang
agama. Setelah abad 15, buku sebagai instrumen peradaban berangsur-angsur menghilang dari
dunia Islam. Bukan dari segi kuantitas, namun secara kualitas. Dan tugas kita semua untuk
mengembalikan sejarah, menjadikan buku sebagai entitas utama peradaban. Semoga bisa.
Penulis: Ahmad Najibul Khairi
Lengkapi gelar dan bio singkat.

Anda mungkin juga menyukai