Anda di halaman 1dari 16

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Bahasan : Permasalahan


Pada Remaja Sub Pokok Bahasan : Nyeri
Haid (Dismenore) Sasaran : Nn.
Hari / tanggal : Rabu, 31 Agustus 2022
Waktu : 09.00-10.00 WITA
Tempat : Puskesmas Loa Ipuh
Penyuluh : Eldawati

I. Tujuan Intruksional umum


Setelah mengikuti penyuluhan ini, diharapkan remaja
wanita mengetahui dan memahami mengenai masalah nyeri haid
(dismenore) yang sering dialami wanita saat menstruasi, sehingga
remaja wanita dapat menangani dan mengatasi masalah nyeri
haid (dismenore) tersebut.

II. Tujuan intruksional khusus


Setelah mengikuti penyuluhan remaja dapat :
 Mengetahui dan memahami pengertian nyeri haid (dismenore)
 Mengetahui dan memahami klasifikasi nyeri haid (dismenore)
 Mengetahui dan memahami penyebab dari nyeri haid (dismenore)
 Mengetahui dan memahami tanda dan gejala dari nyeri haid
(dismenore)
 Mengetahui dan memahami cara mengatasi dan pencegahan
dari nyeri haid (dismenore)

III. Materi ( terlampir)


1. pengertian nyeri haid (dismenore)
2. klasifikasi nyeri haid (dismenore)
3. penyebab nyeri haid (dismenore)
4. tanda dan gejala nyeri haid (dismenore)
5. penanganan dan pencegahan nyeri haid (dismenore)
IV. Media penyuluhan
1. Leaf leat

V. Metode penyuluhan
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab

VI. Proses Kegiatan Peyuluhan


No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta
1 3 menit Pembukaan:

a. Membuka/ memulai a. Menjawab salam


kegiatan dengan b. Mendengarkan
mengucapkan salam c. Mendengarkan
b. Memperkenalkan diri d. Mendengarkan &
c. Menjelaskan tujuan memperhatikan
dari penyuluhan e. Menjawab
d. Menyebutkan materi pertanyaan
penyuluhan
e. Bertanya kepada keluarga
apakah sudah mengetahui
tentang nyeri haid
(dismenore)
2 35 menit Pelaksanaan:

a. Menjelaskan pengertian nyeri a. Mendengarkan


haid (dismenore) b. Mengajukan
b. Memberikan kesempatan pertanyaan
kepada peserta untuk c. Mndengarkan
bertanya d. Mengajukan
c. Menjelaskan klasifikasi pertanyaan
nyeri haid (dismenore) e. Mendengarkan
d. Memberikan kesempatan f. Mengajukan
kepada peserta untuk pertanyaan
bertanya g. Mendengarkan
e. Menjelaskan penyebab h. Mengajukan
nyeri haid (dismenore) pertanyaan
f. Memberikan kesempatan i. Mendengarkan
kepada peserta untuk j. Mengajukan
bertanya pertanyaan
g. Menjelaskan tanda dan gejala
nyeri haid (dismenore)
h. Memberikan kesempatan
kepada peserta untuk
bertanya
i. Menjelaskan cara mengatasi
dan pencegahan nyeri haid
(dismenore)
j. Memberikan kesempatan
kepada peserta untuk
bertanya

3 5 menit Evaluasi:

a. Menanyakan kepada keluarga a. Menjawab


apakah sudah mengerti tentang pertanyaan
penyuluhan yang di berikan
mengenai nyeri haid
(dismenore)

4 2 menit Terminasi:

a. Mengucapkan terima kasih a. Mendengarkan


atas peran sertanya b. Menjawab salam
b. Mengucapkan salam penutup

VII. Evaluasi
1. Evaluasi struktur
 Pre planning sudah siap beserta materi untuk peserta
 Tempat dan peralatan sudah siap
 Leaflet sudah siap

2. Evaluasi proses
 Acara penyuluhan berjalan lancar
 peserta aktif mendengarkan dan bertanya
 diskusi dan tanya jawab berjalan lancar
3. Evaluasi hasil
Remaja dapat :
 Menyebutkan pengertian nyeri haid (dismenore)
 Menyebutkan klasifikasi nyeri haid (dismenore)
 Memahami penyebab nyeri haid (dismenore)
 Memahami tanda dan gejala nyeri haid (dismenore)
 Mengatasi dan mencegah nyeri haid (dismenore)
MATERI PENYULUHAN
NYERI HAID (DISMENORE) PADA REMAJA

A. Konsep Dasar Teori Dysmenorrhea


1. Pengertian Dysmenorrhea
Dysmenorrhea merupakan gangguan ginekologi yang sering terjadi.
Dysmenorrheaadalah nyeri yang berasal dari kram rahim yang terjadi
selama menstruasi. Rasa timbul nyeri bersamaan dengan permulaan
menstruasi dan berlangsung selama beberapa jam hngga beberapa hari
hingga mencapai puncak nyeri(Larasati & Alatas, 2016).
Dysmenorrhea sering diklasifikasikan sebagai ringan, sedang atau
berat bedasarkan intensitas relatif nyeri. Nyeri tersebut dapat berdampak
pada kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Intensitas nyeri
menurut Multidimensional Scoring of Andersch and Milsom
mengklasifikasikan nyeri dysmenorrheasebagai berikut:
a. Dysmenorrhea ringan didefinisikan sebagai nyeri menstruasi tanpa
adanya pembatasan aktifitas, tidak diperlukan penggunaan analgetik dan
tidak ada keluhan sistemik.
b. Dysmenorrhea sedang didefinisikan sebagai nyeri menstruasi yang
mempengaruhi aktivitas sehari-hari, dengan membutuhkan analgetik
untuk menghilangkan rasa nyeri dan terdapat keluhan sistemik
c. Dysmenorrhea berat didefinisikan sebagai nyeri menstruasi dengan
keterbatasan parah pada aktivitas sehari-hari, respon analgetik untuk
menghilangkan rasa sakit minimal, dan adanya keluhan sistemik seperti
muntah pingsan dan lain sebagainya (Larasati & Alatas, 2016).

2. Klasifikasi Dysmenorrhea
Dysmenorrhea dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
dysmenorrhea primer jika tidak ditemukan pasti yang mendasarinya
biasanya terjadi sebelum mencapai usia 20 tahun, dan dysmenorrhea
sekunder jika penyebabnya kelainan patologis, biasanya terjadi setelah 20
tahun (Bobby & Hotma, 2004 dalam Trimayasari, 2014)
a. Dysmenorrhea primer
Dysmenorrhea primer merupakan nyeri, kram spasmodik di
perut bagian bawah, terjadi sebelum atau selama menstruasi, dan tidak
disertai patologi panggul. Onset awal dismenore primer biasanya
terjadi dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah menarke dengan durasi
nyeri umumnya 8 sampai 72 jam. Terjadinya dysmenorrhea primer
jelas dan dapat diprediksi polanya, dimulai sebelum atau sesaat
menstruasi.
Dysmenorrhea primer terjadi karena peningkatan prostaglandin
(PG) –alfa yang merupakan suatu siklooksigenase (COX-2) yang
mengakibatkan hipertonus dan vasokontriksi pada miometrium
sehingga terjadi iskemia dan nyeri pada bagian bawah perut. Adanya
kontraksi yang kuat dan lama pada dinding rahim, hormon
prostaglandin yang tinggi dan pelebaran dinding saat mengeluarkan
darah menstruasi sehingga terjadilah nyeri saat menstruasi (Larasati &
Alatas, 2016).
Selain itu, produksi vasopressin yang berlebihan dapat
menyebabkan kontraksi pada otot uterus. Kelebihan vasopressin dapat
menstimulasi kontraksi yang sangat kuat dan dapat meningkatkan
nyeri. Selain itu, penyebab lain dari dysmenorrhea primer yaitu
cervical stenosis, misalignment pelvic girdle dan vertebrae, dan
ketidakseimbangan ketegangan dari ligamen (Oyelowo, 2007 dalam
Inayah, 2018).
b. Dysmenorrhea Sekunder
Diidentifikasi adanya kondisi patologis meliputi endometriosis,
adenomiosis, fibroid dan pelvic inflammatory disease. Onset
dysmenorrhea sekunder dapat terjadi setiap saat, biasanya >2 tahun,
setelah menarke dan tergantung pada kondisi yang mendasari, dan
dapat disertai gejala ginekologis lainnya seperti intermenstrual
bleeding dan menorrhagia. Selain itu, waktu dan intensitas nyeri
dysmenorrhea sekunder selama siklus menstruasi dapat terus menerus
atau menyebar (Iacovides et al, 2013)
Penyebab dysmenorrhea sekunder yaitu endometriosis, kondisi
yang ditandai adanya jaringan endometrium di luar rahim dan
menyebabkan peradangan lokal, jaringan bekas luka dan nyeri. Selain
itu, fibroid dimana terdapat tumor jinak pada uterus yang
menyebabkan nyeri dan membuat inflamasi pada uterus dan
menempatkan tekanan langsung pada tulang belakang. Pelvic
inflammatory disease sering mengakibatkan jaringan parut pada
endometrium dan rongga perut. Trigger point pada otot yang
mengubah ketegangan dan dinamika normal uterus (Oyelowo, 2007
dalam Inayah, 2018).
Siklus nyeri yang berulang pada wanita selama menstruasi
menyebabkan perubahan proses nyeri yang meluas jauh ke sistem
saraf pusat dan pada grup otot (Iacovides et al., 2013). Terjadinya
sentisasi sentral yang dihubungkan adanya modifikasi struktur dan
fungsional sistem saraf pusat (Bernardi et al., 2017). Sensitisasi sentral
merujuk pada peningkatan respon neuron nosiseptif pada sistem saraf
pusat dan terjadi hyperalgesia. Selain itu perubahan pada grup otot,
dimana terjadi ketegangan pada otot dasar panggul hasil dari
konvergensi somato (misalnya inervasi dari sumsum tulang belakang,
S3-S4 Levator ani dan koksigeus) dan viseral (uterus) dan muncul
gejala viseral nyeri disertai kejang dan menyebar (Kari Bo, Bary
Berghmans, 2015).

3. Fisiologi
a. Fisiologi Menstruasi dan Siklus Menstruasi
Peristiwa menstruasi merupakan integrasi dari hipotalamus,
hipofisis, ovarium, dan uterus. Hipotalamus menyekresi hormon
gonadtropin releasing hormon (GnRH). Hipofisis menyekresi follicel
stimulating hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH).
Berdasarkan fase yang dialami ada dua jenis, yaitu fase folikuler dan
fase luteal. Uterus sendiri mengalami tiga fase, yaitu proliferasi,
sekretorik, dan menstruasi (Guyton, A.C., 2014) .
1) Siklus Ovarium
Fase folikuler dimana pertumbuhan folikel ovarium
disebabkan oleh GnRH yang menstimulasi sekresi FSH. Setiap
bulan, 10-15 folikel primordial distimulasi untuk tumbuh. Folikel
primordial akan tumbuh menjadi folikel primer, kemudian menjadi
folikel sekunder. Hal tersebut dipengaruh oleh FSH, folikel sekunder
terus tumbuh dan membentuk rongga menjadi folikel tertier. Folikel
tertier itu sendiri menghasilkan hormon seks, yaitu progesteron,
estrogen, dan andogren. Dari ketiga hormon tersebut yang paling
banyak disintesis adalah estrogen. Satu folikel akan terus tumbuh
menjadi folikel dominan, sehingga terbentuk folikel de Graaf atas
pengaruh FSH dan LH, sedangkan yang lainnya mengalami atresia.
Ovulasi terjadi apabila sekresi LH mencapai puncak, yaitu sekitar 14
hari siklus. Peristiwa pecahnya folikel de Graaf disertai dengan
dilontarkannya ovum keluar ovarium disebut dengan Ovulasi. Ovum
selanjutnya ditangkap fimbrae tuba. Folikel yang pecah akan
terdapat sisa yang kemudian membentuk korpus rubrum (Ni
Nyoman Sumasih, 2016)
Fase Luteal dibawah pengaruh LH, korpus rubrum berubah
menjadi korpus luteum yang bewarna kekuningan dan berlemak,
serta mampu menyintesis hormon seks (progesteron, androgen,
estrogen), namun yang dominan disintesis adalah hormon
progesteron. Bila terjadi konsepsi atau kehamilan, korpus luteum ini
dipertahankan hingga terbentuk plasenta (sekitar 16 minggu) dan
disebut korpus luteum graviditatum. Apabila tidak terjadi kehamilan,
korpus luteum mengalami degenerasi, sekitar empat hari sebelum
haid berikutnya (hari ke-24 siklus haid) dan akhirnya digantikan oleh
jaringan ikat, membentuk korpus albikan (Ni Nyoman Sumasih,
2016).
2) Siklus Uterus (Ni Nyoman Sumasih, 2016)
Fase proliferasi dimana hormon estrogen yang dihasilkan oleh
ovarium dipengaruh oleh endometrium yang mengalami
pertumbuhan pesat. Ketebalan endometrium terus meningkat, terjadi
pembuluh darah dan kelenjar-kelenjar. Fase ini berlangsung hingga
terjadinya ovulasi (hari ke-5 hingga ke-14 siklus haid)
Fase sekretorik dipengaruhi oleh hormon progesteron dan
estrogen yang dihasilkan oleh korpus luteum, endometrium semakin
tebal karena peningkatan pesat vaskularisasi dan kelenjar-kelenjar
endometrium akan memanjang dan berkelok-kelok. Pada fase ini
endometrium menyekresi banyak glikogen untuk nutrisi hasil
konsepsi. Endometrium siap menerima hasil konsepsi. Jika konsepsi
tidak terjadi, akibatnya vaskularisasi akan menurun dan
menyebabkan menurunnya progesteron
Fase menstruasi dimana penurunan vaskularisasi menyebabkan
endometrium mengalami iskemia dan nekrotis. Dari jaringan
nekrotis tersebut, Vasospasme akan terjadi karena disebabkan oleh
disekresi prostaglandin. Proses ini menyebabkan endometrium
terlepas dan luruh disertai perdarahan yang dikeluarkan melalui
vagina yang disebut haid/menstruasi. Selanjutnya akan dimulai daur
baru.

1. Patofisiologi
Dysmenorrhea primer diakibatkan oleh prostaglandin yang
merupakan stimulus miometrium poten dan vasokontriktor pada
endometrium. Kadar prostaglandin yang tinggi dapat meningkatkan
derajat nyeri pada saat menstruasi, tingginya kandungan
prostaglandin yang mencapai tiga kali diawali dari proses proliferal
sampai dengan proses luteal. Sehingga adanya peningkatan
prostaglandin dapat meningkatkan tonus miometrium dan kontraksi
uterus, menghasilkan hormon pituitari posterior (vasopresin) terlibat
didalam proses peluruhan pada saat menstruasi. Selain itu faktor
psikis dan pola tidur dapat berpengaruh dengan timbulnya
dysmenorrhea (Teknik et al., 2019).
Pada saat masa subur terjadi peningkatan serta terjadi
penurunan hormon pada fase follikuler (pembentukan sel telur),
kemudian terjadi peningkatan pada pertengahan fase follikuler
dimana terdapat kadar FSH (Follicle Stimulating Hormone)
sehingga dapat merangsang follikel agar memproduksi hormon
estrogen. Pada saat kadar progesteron menurun terjadi peningkatan
hormon estrogen. Pada saat terjadinya penurunan kadar progesteron
akan diikuti kenaikan kadar prostaglandin di endometrium.
Terjadinya peningkatan kontraksi pembulu darah diakibatkan oleh
prostaglandin yang telah disintesis dari luruhnya endometrium di
miometrium sehingga peningkatan kontraksi tersebut
mangakibatkan penurunan aliran darah dan memicu proses iskemi
sehingga terjadi nekrosis (kematian sel) pada sel dan jaringan di
dalam nya. (Teknik et al., 2019).
Penurunan kadar progesteron dapat menyebabkan ketidak
stabilan membran lisosom dan pelepasan enzim , prostaglandin
terjadi akibat penurunan kadar progesteron dalam jumlah banyak.
Hormon progesteron yang rendah diakibatkan oleh suatu regresi
korpus luteum sehingga menyebabkan terganggunya stabilitas
pelepasan enzim fosfolipase dan membran lisosom dimana berperan
sebagai perantara prostaglandin dengan melalui proses aktivitas
fosfolipase sehingga menyebabkan terjadi hidrolisis senyawa
fosfolipid dan menghasilkan asam arakidonat. Terjadinya
dysmenorrhea primer akibat dari hasil metabolisme asam
arakidonat. Asam arakidonat memeliki dua cara metabolisme yaitu
jalur lipoksigenase dan jalur siklooksigenase sehingga
menghasilkan prostaglandin , tromboksan dan leukotrien selain itu
dapat berperan dalam timbulnya rasa sakit pada saat menstruasi.
(Teknik et al., 2019).
Dysmenorrhea primer dapat diperparah dengan adanya
faktor stress psikologis bisa menurunkan ketahahanan terhadap rasa
sakit. Hormon estrogen diproduksi pada saat tubuh merasa stres
sedangkan peningkatan yang terjadi pada miometrium dan rasa sakit
yang muncul pada saat menstruasi diakibatkan oleh kadar
prostaglandin yang berlebih selain itu dapat meningkatnya kelenjar
adrenalin dalam sekresi kartisol sehingga otot tubuh menjadi tegang
dan otot rahim menjadi kontraksi secara berlebih. Rasa sakit pada
saat menstruasi dikarenakan terjadi kontraksi pada otot rahim
dengan jumlah besar sehingga dapat meningkatkan stres sehingga
dapat memicu aktivitas saraf simpatis. Ketika seseorang mengalami
stres hal tersebut akan mempengaruhi stimulasi hormon sehingga
terjadi respon neuroendokrin menyebabkan CRH (Kortikontrophin
Releasin Hormon) yang merupakan penghubung hipotalamus
khusus untuk merangsang sekresi ACTH (Adrenocorti Cotrophic
Hormone) yang berperan dalam meningkatkan sekresi kartisol
adrenalin (Teknik et al., 2019).
Sekresi kartisol adrenal menyebabkan beberapa kerugian
pada hormon yang berperan dalam menghambat hormon lainnya,
sekresi FSH ( Follicle Stimulating Hormone) dan LH ( Luteinizing
Hormon ) yang diakibatkan dari hormon tesebut menghambat
perkemabngan follikel sehingga memicu terganggunya sintesis dan
pelepasan progesteron . (Teknik et al., 2019).

2. Kompikasi
Komplikasi dysmenorrhea menurut (Studi et al., 2017) yaitu:
Dysmenorrhea dapat menimbulkan beberapa gejala antaralain mual,
muntah ,diare, cemas , stres , nyeri kepala , lesu sampai dengan pingan.
Mekipun dismeore primer tidak engancam nyawa apabila di biarkan dapat
berakibat buruk bagi penderita seperti depresi , infertilitas , ganguan fungsi
seksual penurunan kualtas hidup.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan melalui ultrasonografi
transvaginal dan magnetic pencitraan resonansi (MRI) untuk
menyampingkan kemungkinan endometriosis ataupun adenomyosis
(Bernardi, 2017).
4. Pelayanan yang dibutuhkan (Sapti, 2019)
Dalam kasus desminore ini peran bidan adalah konseling tentang
kesehatan reproduksi, cara menguangi rasa nyeri dan anamnesa yang benar
serta pemeriksaan yang tepat agar dapat mengatasi keluhan pada klien
dengan desminore.
Dalam memberikan konseling tentang kesehatan reproduksi ini
bidan harus menjelaskan bahwa desminore adalah gangguan nyeri perut
yang terjadi pada saat menstruasi yang sifatnya tidak berbahaya untuk
kesehatan, jika tidak mengganggu aktivitas sehari hari maka tidak perlu
diberikan obat sebagai analgesic atau pengurang nyeri, dan bisa dilakukan
alternatif lain dalam mengatasi desminore.
Untuk mengurangi rasa nyeri yang terjadi bidan selain memberikan
obat dapat juga memberikan konseling berupa penerapan pola hidup sehat
dan juga pengompresan pada bagian yang nyeri dengan menggunakan air
hangat. Penerapan pola hidup sehat yang dimaksud adalah menghindari
stres yang dapat menimbulkan kecemasan, memiliki pola makan yang
teratur, istirahat cukup, tidak merokok, tidak meminum-minuman keras,
tidak makan makanan dan minuman yang mengandung kafein,
meningkatkan konsumsi sayur, buah, daging ikan dan yang mengandung
vitamin B6.
Dalam melakukan anamnesis bidan juga harus benar dan
melakukan pemeriksaan secara tepat karena jika pada saat pemeriksaan
ditemukan kelainan anatomis yang kemungkinan mengarah ke
endometriosis maka bidan dapat dengan sera melakukan rujukan dan
kolaborasi dengan Sp.OG.

5. Penatalaksanaan
Menurut (Magelang, 2019) tindakan penanganan untuk mengurangi
dismenore dengan memberikan penjelasan dalam mengerti tentang
dismenore kemudian dengan memberikan terapi farmakologi seperti obat
analgesik , terapi hormon , terapi dengan obat anti prostaglandin non
steroid serta pengobatan non farmakologi .
a. Pemahaman tentang dismenore
Perlu dilakukan penjelasan pada remaja bahwa dismenore bukan
termasuk kelainan yang mengerikkan untuk kesehatan , dengan
dilakukan diskusi dan penjelasan tentang apa itu dismenore dan cara
untuk mengendalikan nyeri agar tidak berdampak serius diharapkan
dapat memberikan gambaran pada penderita agar tidak salah
mengartikan mengenai ddismenore.
b. Pemberian obat analgesik
Pengobatan analgesik dapat di berikan sebagai terapi
simptomatik, obat - obatan yang selalu diberikan adalah jenis preparat
kombinasi aspirin, fenasetin dan kafein penggunaan pengobatan
tersebut yang tersebar adalah novalgin, ponstan, acid amenophen
untuk 10 menggunakan obat dalam mengatasi intensitas nyeri
sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter .
c. Terapi Hormonal
Arahan diberikan terapi hormon untuk merangsang ovulasi hal
tersebut bersifat sementara hanya untuk meunjukkan bahwa dismenore
yang di derita merupakan dismenore primer. Dengan mengonsumsi
salah satu jenis pil kombinasi dengan kontrasepsi.
d. Terapi obat nonsteroid (Antiprostaglandin)
Terapi tersebut tergolong jenis indometasin , ibuprofen dan
naproxen sebaiknya pengobatan diberikan sebelum mengalami
menstruasi di hari pertama menstruasi konsultasikan pada dokter
terlebih dahulu.
e. Pengobatan Non Frmakologi
Terapi tersebut dianggap lebih efektif karena tidak menimbulkan
efek samping, terdapat banyak terapi non farmalogi yang dapat
dilakukan diantaranya dengan melakukan kompres hangat pada daerah
nyeri, minum air putih yang cukup, menggunakan terapi musik atau
relaksasi, menggunakan aromaterapy dan beberapa latihan fisik.
Menurut Herry dalam Setyorini (2017) mengemukakan bahwa
senam dysmenorrhea adalah salah satu cara untuk mengurangi nyeri
akibat menstruasi tanpa menggunakan obat-obatan penghilang nyeri
atau analgetik, karena senam dysmenorrhea dapat menghasilkan
endhorpin yang berfungsi sebagai obat penenang alami dan dapat
membuat rasa nyaman.
National Academy of Sports and Medicine dalam Penney (2016)
juga mengungkapkan bahwa kegel exercise dapat mengurangi nyeri
menstruasi dengan cara merelaksasikan uterus, karena dengan kegel
exercise terjadi vasedilatasi pembuluh darah diotot dasar panggul dan
uterus, semingga aliran darah menjadi lancer, uterus dan otot dasar
panggul menjadi rileks dan nyeri berkurang.
Menurut penelitian dari Azizah (2015) teknik relaksasi nafas
dalam juga efektif karena merupakan tehnik pengendoran atau
pelepasan ketegangan, teknik nafas dalam juga dapat meningkatkan
ventilasi paru dan meningkatkan oksigen darah. Sedangkan menurut
penelitian dari Ambarwati (2015) teknik nafas dalam sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa teknik relaksasi nafas dalam juga dapat
menurunkan intensitas nyeri adalah karena teknik nafas dalam
merupakan salah satu keadaan yang mampu merangsang tubuh untuk
mengeluarkan opoid endogen sehingga terbentuk system penekan
nyeri yang akhirnya akan menyebabkan penurunan intensitas nyeri

Anda mungkin juga menyukai