Anda di halaman 1dari 10

PATHOGENESIS OF DIABETIC KIDNEY DISEASE : RECENT RESEARCH

Ria Bandiara
Divisi Ginjal Hipertensi Dept/KSM Ilmu Penyakit Dalam
FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

PENDAHULUAN
Penyakit ginjal diabetes (PGD) memiliki beban penyakit global yang tinggi dan secara
substansial meningkatkan risiko gagal ginjal dan kejadian kardiovaskular. Penyakit ginjal
diabetes (PGD) adalah penyebab utama gagal ginjal di seluruh dunia; di Amerika Serikat, PGD
menyumbang lebih dari 50% individu yang memasuki program dialisis atau transplantasi. Tidak
seperti komplikasi diabetes yang lain, prevalensi penyakit ginjal diabetes gagal terjadi penurunan
selama 30 tahun terakhir ini.1
Meskipun terdapat beberapa pengobatan saat ini, ada risiko residual substansial dari
perkembangan penyakit dengan terapi yang ada. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
patogenesis dari PGD ini terutama mekanisme molekuler yang menyebabkan PGD sehingga
dapat membantu mengidentifikasi terapi baru yang dapat memperlambat perkembangan dan
mengurangi risiko terkait PGD.2
Hiperglikemia adalah faktor etiologi utama yang bertanggung jawab untuk
perkembangan dari penyakit ginjal diabetes. Bila keadaan hiperglikemia ini menetap, terjadi
gangguan multifaktorial pada patofisiologi PGD, termasuk hipertensi, perubahan
tubuloglomerular feedback, , hipoksia ginjal, lipotoksisitas, cedera podosit, inflamasi dan
fibrotik, disfungsi mitokondria, gangguan autophagy dan peningkatan aktivitas sodium–
hydrogen exchanger, berkontribusi pada progresif sklerosis glomerulus dan penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG).1
Kontribusi kuantitatif dari masing-masing kelainan ini pada perkembangan penyakit
ginjal diabetes, serta perannya dalam diabetes tipe 1 maupun diabetes tipe 2 masih harus diteliti
lebih lanjut. Co-transporter natrium-glukosa 2 (SGLT2) inhibitor memiliki dampak
menguntungkan pada banyak kelainan patofisiologis ini. Namun, karena beberapa gangguan
patofisiologis berkontribusi terhadap timbulnya dan perkembangan penyakit ginjal diabetes,
beberapa obat yang digunakan secara kombinasi kemungkinan akan diperlukan untuk
memperlambat perkembangan penyakit secara efektif.1,2
PATOGENESIS PENYAKIT GINJAL DIABETES
Patogenesis PGD bersifat multifaktorial melibatkan struktural, fisiologis, hemodinamik
dan proses inflamasi yang berkontribusi terhadap penurunan laju filtrasi glomerulus seperti
terlihat pada gambar 1. Peningkatan aktivitas transporter SGLT2 , dimana hampir 90% dapat
mereabsorpsi glukosa dan sebagian besar reabsorpsi natrium di tubulus proksimal, menjadi peran
sentral pada awal gangguan patofisiologi PGD. Sebaliknya, inhibisi SGLT2 dapat memulihkan
gangguan tersebut dan dapat memperlambat progresifitas PGD.1

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Ginjal Diabetes 1


Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan faktor predominan yang mendasari pengembangan PGD
seperti terlihat pada gambar 2. Pasien DM dengan HbA 1c dalam batas normal (<5,7%) tidak
menjadi PGD, dimana mikroalbuminuria terjadi pada 15-20% individu prediabetes (HbA1c 5,7-
6,4%). Sampai saat ini proporsi individu dengan mikroalbuminuria yang berkembang menjadi
makroalbuminuria dan PGK dimana nilai HbA1c masih dalam prediabetes tidak diketahui.
Strategi primer untuk mencegah pengembangan PGD sebaiknya mempertahankan nilai HbA 1c
<6,5%. Bila nilai HbA1c melebihi 7% maka insiden mikroalbuminuria mulai terjadi secara
bertahap dan akan progresif seiring dengan waktu.1
Gambar 2. Pengaruh hiperglikemia terhadap ginjal 1
Perubahan tubuloglomerular feedback
Pada kondisi normoglikemia hingga hiperglikemia ringan, ginjal mereabsorpsi hampir
semua glukosa yang terfiltrasi di glomerulus. Reabsorpsi glukosa terjadi melawan gradien dan
dikendalikan oleh simporter natrium yang terdapat di tubulus proksimal. Pada tubulus proksimal,
terdapat sodium-glucose cotransporter (SGLT) -2 dan -1, Keduanya mereabsorpsi hampir semua
glukosa hasil filtrasi. Transporter SGLT-2 bertanggung jawab terhadap hampir 90% glukosa
terfiltrasi. Sementra itu, SGLT-1 yang terekspresi oleh sel tubulus proksimal bagian akhir lumen,
mereabsorpsi 10% sisanya. Pada manusia, glucosuria terhadi ketika gula darah melebihi 180
(100 – 240) mg/dl. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa semakin berat hiperglikemia terjadi
maka akan terjadi peningkatan ekspresi SGLT yang bertujuan untuk mereabsorpsi semakin
banyak gula yang melintas di lumen tubulus. Reabsorpsi Glukosa oleh SGLT akan diikuti
dengan reabsorpsi natrium. Perbandingan stoikiometri reabsorpsi adalah 1:1. Dengan demikian,
semakin banyak glukosa yang terfiltrasi, maka reabsorpsi glukosa dan Na akan meningkat. Hal
tersebut menyebabkan sisa sedikit saja natrium yang melintas di macula densa, reseptor deteksi
keseimbangan natrium di lumen. Akibatnya, terjadi aktivasi tubulogromerular feedback.3
Glukosa dan natrium yang sudah di reabsorpsi sel tubulus akan ditranspor secara terpisah
ke pembuluh darah dari sel tubulus. Glukosa ditranspor keluar sel dengan transporter GLUT,
sedangkan natrium akan ditraspor dengan pompa Na/K-ATP-ase, sebuah tranporter aktif yang
juga banyak pada ginjal. Glukosa akan kembali ke darah. Sementara itu, natrium juga kembali ke
darah. Pada kondisi hiperglikemia kronis, keduanya akan menjadi beban filtrasi dan reabsorpsi
berikutnya.Hipertensi kapiler glomerulus memegang peran penting di dalam progresi PGD.
Pengiriman natrium klorida ke sel makula densa aparatus juxtaglomerular (JGA)
memiliki peran sentral dalam regulasi LFG dan tekanan intraglomerulus melalui fenomena
tubuloglomerular feedback. Secara khusus, berkurangnya pengiriman natrium klorida ke makula
densa meningkatkan LFG dan tekanan intra glomerulus. Sebaliknya, peningkatan pengiriman
natrium klorida ke makula densa mengurangi LFG dan tekanan intraglomerular melalui
tubuloglomerular feedback. Penurunan LFG dan tekanan intraglomerulus melibatkan pelepasan
ATP, yang menginduksi pembentukan selanjutnya dari adenosin dan aktivasi reseptor adenosin
di arteriol aferen untuk meningkatkan vasokonstriksi aferen sementara secara bersamaan,
penghambatan RAAS local menyebabkan vasodilatasi eferen .1

Glukosa yang difiltrasi akan direabsorpsi di tubulus proksimal oleh 2 buah transporter glukosa
yang dependen terhadap natrium yaitu SGLT1 dan SGLT2, dimana hampir 90% glukosa di
absorpsi oleh SGLT2. Pada pasien diabetes dengan kontrol gula yang buruk, meningkatnya
beban filtrasi glukosa menyebabkan peningkatan reabsorpsi glukosa yang berpasangan dengan
natrium di tubulus proksimal dan menurunnya pengiriman natrium ke macula densa.3,4
Diabetes menginduksi hiperreabsorpsi glukosa di tubulus proksimal yang dihasilkan dari
reabsorpsi glukosa yang ditingkatkan melalui kotranspor natrium-glukosa 2 dan 1 (SGLT2 dan
SGLT1) dan pertumbuhan tubulus proksimal, yang juga menyebabkan peningkatan reabsorpsi
natrium, klorida dan cairan di tubulus proksimal . Penurunan kadar natrium, klorida dan kalium
yang dikirim ke makula densa ([Na + / Cl− / K +] MD) menyebabkan hiperfiltrasi glomerulus
melalui umpan balik tubuloglomerular. Pengiriman cairan yang berkurang ke nefron distal
meningkatkan hiperfiltrasi melalui penurunan tekanan balik hidrostatik di ruang Bowman
(PBOW). Penghambatan SGLT mengurangi hiperreabsorpsi tubulus proksimal diabetes dan
dengan demikian melemahkan hiperfiltrasi glomerulus seperti terlihat pada gambar 3.3,4
Gambar 3. Hiperfiltrasi Akibat Hiperglikemia Pada Diabetes Melitus3

Peran penghambat SGLT2 dalam memproteksi ginjal


Mekanisme potensial yang bertanggung jawab untuk perlindungan ginjal dengan
SGLT2 inhibitor telah banyak ditinjau. Selain manfaat yang jelas karena penurunan tekanan
darah dan penurunan berat badan, SGLT2 inhibitor juga mempromosikan jaur anti-inflamasi dan
anti fibrotik dan memperbaiki oksigenasi ginjal dan mengurangi hipertensi glomerulus dan
hiperfiltrasi. Pada model eksperimental DMT1 dan DMT2 telah menghubungkan SGLT2
inhibitor dengan pengurangan stres oksidatif, penanda iflamasi (nuclear factor kB, interleukin 6,
monocyte chemoattractant protein-1, macrophage infiltration) dan fibrosis (fibronektin,
transforming growth factorb), dan perubahan bukti histologis nefropati. Pada tingkat struktural,
SGLT2 inhibitor mengurangi injuri glomerulus dan tubulointerstitial pada beberapa model
hewan diabetes. 5,6
Selain memodifikasi faktor-faktor yang mempromosikan inflamasi dan fibrosis, SGLT2
inhibitor dapat mengurangi keadaan hipoksia ginjal yang merupakan karakteristik dari diabetes.
Diabetes dikaitkan dengan keadaan hipoksia ginjal diinduksi oleh peningkatan pengiriman
glukosa ke tubulus proksimal. Sebagai akibatnya, lebih banyak energi dikeluarkan untuk
menyerap kembali beban glukosa yang lebih tinggi, menyebabkan berkurangnya tekanan oksigen
di ginjal. Dengan demikian, pengobatan dengan SGLT2 inhibitor memperbaiki tekanan oksigen
kortikal tetapi dengan mengorbankan hipoksia meduler, mungkin karena peningkatan pengiriman
zat terlarut di distal, dan penghambatan SGLT2 yang selektif juga dapat mengurangi cedera
iskemik ginjal seperti terlihat pada gambar 4.4 Yang menarik korelasi klinis potensial dari
ameliorasi pengiriman oksigen di tubular proksimal berhubungan dengan perubahan hematokrit.
Sano dkk. menyatakan bahwa peningkatan hematokrit dengan penghambatan SGLT2 adalah
karena normalisasi oksigenasi kortikal ginjal, dengan demikian memulihkan fungsi sel normal
untuk sel penghasil eritropoietin, yang meningkatkan kadar hematokrit. Peningkatan atau
preservasi fungsi sel penghasil eritropoietin dalam ginjal dapat berkontribusi sebagian pada
peningkatan hematokrit diamati dalam uji klinis yang berlangsung seiring waktu. 4,5,7

Gambar 4. Pengaruh pleiotropic dari SGLT2 inhibitor4


Efek reno-protektif SGLT2 inhibitor pada pasien diabetes telah ditunjukkan di beberapa
uji klinis. Dari penelitian EMPA-REG OUTCOME pada pasien DMT2 dengan eLFG rata-rata
74.1 mL/min/1.73 m2 dan empagliflozin, sebagai hasil sekunder dan tambahan dari adanya
pengurangan kejadian kardiovaskular, memperbaiki luaran ginjal termasuk mengurangi progresi
kejadian makrolabuminuria, meningkatnya kadar kreatinin dua kali lipat, dan mengurnagi
kejadian inisiasi terapi pengganti ginjal atau kematian yang terkait dengan penyakit ginjal.8

Patogenesis Molekuler Baru


Penelitian molekuler dan seluler terbaru mengeksplorasi bidang patofisiologi baru dari
diabetes dan PGD, termasuk: regulasi genetik dan epigenetik, disfungsi mitokondria dan autofagi
podosit seperti diperlihatkan pada gambar 5 .9 Dengan adanya mekanisme ini, target pengobatan
PGD dapat lebih spesifik.
Gambar 5. Patofisiologi molekuler dan seluler pada PGD9
Regulasi genetic dan epigenetic
Bukti yang berkembang mendukung peran penting mekanisme genetic dan mekanisme
epigenetik di dalam patofisiologi PGD. Modifikasi epigenetik terdiri dari metilasi DNA,
noncoding RNA dan modifikasi histone pascatranslasi (PTM s). Hiperglikemia, hipoksia,
inflamasi, dan sitokin terbukti mampu memodifikasi profil epigenetic. Beberapa gen memiliki
derajat metilasi DNA yang berbeda antara pasien DM tipe 2 dengan PGD dan tanpa PGD. Gen
UNC13B telah terbukti terlibat di dalam patogenesis awal PGD dan apoptosis sel glomerulus
yang disebebakan hiperglikemia. Selain itu, hipermetilasi gen RASALI meningkatkan aktivasi
Ras di sel fibroblas dan kemudian mengarah proliferasi jaringan dan fibrosis. Dari studi ini
membuktikan pentingnya metilasi DNA dalam mengatur gen terkait terjadinya PGD, dan
memberikan kemungkinan terapeutik target genetik di dalam manajemen PGD.1,9
MicroRNAs (miRNAs) adalah RNA noncoding kecil, yang mempromosikan represi
translasi atau degradasi mRNA. Beberapa miRNA dianggap memiliki efek pada ginjal karena
mereka berlimpah jumlahnya di ginjal. Di antara miRNA terkait PGD, kadar miRNA-192
meningkat pada tahap awal PGD, dan miRNA-192 menyebabkan peningkatan regulasi gen kunci
yang terkait dengan patogenesis PGD, termasuk Cola2 dan Col4a1, dalam sel mesangial. Selain
itu, miRNA-192 dapat mempromosikan autoregulasi TGF-b1 dalam sel mesangial dengan
mengatur miRNA lain dan memperkuat respons p53 ke TGFb1.9
PTM Histon mengatur ekspresi gen melalui asetilasi lisin, metilasi lisin dan fosforilasi.
Asetilasi histon terlibat dalam induksi miRNA-192 pada PGD. Dalam keadaan dibawah normal
dan diabetes, regulasi miRNA dimediasi dengan adanya perubahan dalam asetilasi histon
epigenetic. Metilasi histon dikaitkan dengan ekspresi gen TGF-b1 yang memediasi ekspansi
matriks ekstraseluler dalam kondisi di bawah normal dan kondisi kadar glukosa yang tinggi.
Nuclear factor (erythroid-derived 2)-like 2 (Nrf2) adalah faktor transkripsi dari keluarga leucine
zipper . Nrf2 memiliki fungsi penting untuk mengatur dan mengaktifkan antioksidan intraseluler
untuk menetralkan ROS dan mempertahankan homeostasis redoks. Beberapa penelitian
mengungkapkan efek perlindungan Nrf2 pada diabetes melalui penghambatan dari TGF- b1,
menurunkan produksi ECM dan menurunkan regulasi cyclin-dependent kinase inhibitor 1A.9

Autofagi Podosit
Studi terbaru menunjukkan bahwa autofagi terlibat dalam patogenesis cedera podosit
terkait diabetes dan renoprotektif pada nefropati diabetik. Autofagi mengontrol kualitas
sitoplasma dengan mendegradasi protein, peroksidase, dan mempertahankan homeostasis
intraseluler. Aktivasi autofagi podosit memiliki efek perlindungan pada PGD melalui
autophagy-related (Atg) protein conjugation system dan target regulasi rapamycin (mTOR).
Atg12 adalah protein mirip ubiquitin yang terlibat dalam pembentukan autophagosome
pembentukan, dan aktivasi autophagy membutuhkan konjugasi Atg12 ke Atg5.9,10
b-arrestin adalah adaptor negative G protein-coupled receptors (GPCRs) dan
memperburuk cedera podosit melalui penghambatan autophagy melalui menurunkan regulasi
konjugasi Atg12-Atg5 pada PGD. Oleh karena itu, modulasi jalur ini mungkin merupakan
pendekatan terapi baru untuk tatalaksana pasien dengan PGD. 9,10
mTOR sangat penting untuk regulasi pertumbuhan sel, dan aktivasi mTOR dapat
menekan autofagi. Di hulu mTOR, ada dua protein kinase yang terpisah, phosphatidylinositol 3-
kinase I (PI3K-I)/protein kinase B(Akt/PKB) dan AMP-activated protein kinase (AMPK), yang
diatur oleh kondisi yang berbeda. PI3K terdiri dari tiga isoform, yaitu PI3K-I, PI3K-II, dan
PI3K-III. PI3K-I menghambat autofagi sementara PI3K-III mengaktifkannya. Aktivasi PI3K
kelas I dipicu oleh interaksi insulin atau faktor pertumbuhan dan berinteraksi dengan reseptor
insulin atau reseptor tirosin kinase. Aktivasi Akt/PKB dan penyakit ginjal polikistik , dan
penghambatan selanjutnya kompleks tuberous sclerosis 1 dan 2 (TSC1/2) mendorong aktivasi
mTOR. Akhirnya, autofagi podosit dapat ditekan.9,10

Disfungsi Mitokondria
Pandangan tradisional tentang hubungan disfungsi mitokondria dengan komplikasi DM
melibatkan efek hiperglikemia yang merusak sel DNA. Hiperglikemia mempromosikan
kelebihan rantai transpor elektron dan selanjutnya menyebabkan kerusakan DNA dan
mengurangi aktivitas GAPDH melalui peningkatan produksi ROS. Oleh karena itu, proses
glikolisis menjadi terganggu dan menyebabkan akumulasi semua glikolitik intermediet. Fluks
metabolik digeser ke proses alternatif yang lain , termasuk peningkatan aktivitas di jalur poliol,
produksi prekursor AGE, aktivasi PKC,dan aktivitas jalur heksosamin. Sebagai hasilnya terjadi
fibrosis, trombosis, kerusakan DNA, disfungsi seluler, kebocoran vaskular, angiogenesis dan
inflamasi, serta penurunan pertahanan stres oksidatif yang secara Bersama-sama menyebabkan
kerusakan ginjal.1,9,10
Mekanisme alternatif keterlibatan mitokondria dalam penyakit ginjal diabetes dikaitkan
dengan penurunan superoksida di mitokondria. Kadar ROS yang tinggi terkait dengan
berbahaya bagi banyak jenis sel sudah dikenal sebelumnya. Pada PGDditemukan memiliki
pengurangan kandungan mitokondria dan berkurangnya aktivitas kompleks rantai elektron.
Kadar superoksida mitokondria yang normal mampu mempertahankan aktivasi AMPK dan
fosforilasi eNOS. Oleh karena itu, produksi superoksida mitokondria dapat menjadi indikator
mitokondria yang sehat dan fisiologis fosforilasi oksidatif. Respon terhadap paparan kelebihan
glukosa atau stres nutrisi, terdapat penurunan mitokondria superoksida, fosforilasi oksidatif,
dan pembentukan ATP mitokondria di ginjal. Berkurangnya superoksida mitokondria
menyebabkan penurunan aktivitas AMPK dan fosforilasi eNOS, dan kemudian merangsang
proses inflamasi melalui NF-kB dan disfungsi vaskular. Pengurangan persisten dari aktivasi
kompleks fosforilasi oksidatif mitokondria dikaitkan dengan pelepasan oksidan, sitokin
proinflamasi dan profibrotic dari sumber nonmitokondria. Akhirnya, terjadi manifestasi dari
disfungsi organ.9,10
Menurut teori ini, kadar ROS mitokondria yang lebih tinggi atau lebih rendah, respons
bifasik, meningkatkan risiko kerusakan jaringan. Konsep ini dalam istilah mitokondria hormesis.
Stimulasi biogenesis mitokondria dan aktivitas transpor rantai elektron mitokondria
menyebabkan hasil yang bermanfaat pada PGD. Pemulihan fungsi mitokondria dan produksi
superoksida melalui aktivasi AMPK sekarang telah dikaitkan dengan peningkatan penanda
disfungsi ginjal pada diabetes. Pendekatan yang merangsang AMPK melalui olahraga,
pembatasan kalori, atau obat-obatan dapat menghasilkan peningkatanaktivitas fosforilasi
oksidatif mitokondria , memulihkan produksi superoksida fisiologis mitokondria, dan
mempromosikan penyembuhan organ.9,10

DAFTAR RUJUKAN
1. De Fronzo RA, Reeves WB, Awad AS. Pathophysiology of diabetic kidney disease: impact
of SGLT2 inhibitors. Nature Review Nephrology 2021;17:319-33
2. Tuttle KR, Agarwal A, Alpers CA, Bakris GL,Brosius FC, Kolkhof P et al. Molecular
mechanisms and therapeutic targets for diabetic kidney disease. Kidney International (2022)
102, 248–260
3. Vallon V, Thomson SC. The tubular hypothesis of nephron filtration and diabetic kidney
disease. Nature Review Nephrology 2020. http//doi.org/10.1038/s41581-020-0256-y
4. Oe Y, Vallon V. The Pathophysiological Basis of Diabetic Kidney Protection by Inhibition
of SGLT2 and SGLT1. Kidney Dial. 2022; 2: 349–368
5. Shaffner J, Chen B, Malhotra DK,Dworkin LD, Gong R (2021) Therapeutic Targeting of
SGLT2: A New Era in the Treatment of Diabetes and Diabetic Kidney Disease. Front.
Endocrinol 2021;12:749010
6. Azim UA, El Din S, Salem MM, Abdulazim DO. Sodium-glucose cotransporter 2 inhibitors
as the first universal treatment of chronic kidney disease. Nefrologia 2022;42(4):390-403
7. Heerspink HJL, Kosiborod M, Inzucchi SE, Cerney DZI.Renoprotective effects of sodium-
glucose c otransporter-2 inhibitors. Kidney International 2018; 94: 26–39
8. Wanner C, Inzucchi SE, Lachin JM, Fitchett D, Mattheus M, von Eynatten M et al.
Empagliflozin and Progression of Kidney Disease in Type 2 Diabetes. N Engl J Med
2016;375:323-34. DOI: 10.1056/NEJMoa1515920
9. Lin, Y.-C., Chang, Y.-H., Yang, S.-Y., Wu, K.-D., Chu, T.-S., 2018. Update of
pathophysiology and management of diabetic kidney disease. J. Formos. Med. Assoc. 117,
662–675. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jfma.2018.02.007
10. Zoja C, Xinaris C and Macconi D. Diabetic Nephropathy: Novel Molecular Mechanisms and
Therapeutic Targets. Front. Pharmacol. 2020;11:586892. doi: 10.3389/fphar.2020.586892

Anda mungkin juga menyukai