Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Komunikasi Interpersonal


Komunikasi interpersonal bukan sebatas memberikan informasi kepada

orang lain tetapi lebih kepada bagaimana cara manusia memperoleh makna,

identitas dan hubungan melalui komunikasi antar manusia (Budyatna, 2015: 6).

Komunikasi interpersonal diniliai paling efektif dalam mengubah sikap,

kepercayaan, opini, dan perilaku seseorang karena efek timbal balik yang

ditimbulkan oleh proses komunikasi tersebut dapat langsung dirasakan. Hal ini

disebabkan komunikasi interpersonal umumnya berlangsung secara tatap muka.

Namun sebagaimana dalam temuan awal peneliti, bahwa PSK cenderung

susah diajak berkomunikasi. Di stasiun kereta Api Wonokromo misalnya, dengan

konsumen, para PSK hanya sebatas membicarakan tarif yang diminta untuk jasa

seksual sekali main. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan komunikasi

interpersonal yang mampu mengubah sikap, kepercayaan, opini dan perilaku

manusia. Dengan sikap yang cenderung tertutup bukan berarti PSK tidak pernah

melaksanakan komunikasi interpersonal. Agar mampu membangun suasana

komuniksi yang baik dengan para PSK, lawan bicara harus mampu membangun

pendekatan emosional terlebih dahulu.

Lukiati Komala (2009: 74) mengungkapkan bahwa komunikasi

interpersonal adalah proses tranmisi, gagasan dan informasi antara dua orang atau

lebih. Meminjam pemikiran (Daryanto dan Rahardjo: 2016) komunikasi

interpersonal diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna antara orang-orang

10
11

yang saling berkomunikasi. Pengertian proses mengacu pada perubahan dan

tindakan (action) yang berlangsung terus menerus. Komunikasi interpersonal juga

merupakan suatu pertukaran yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan

secara terus menerus.

Barnlund (dalam Harapan, Ahmad: 2014:3 ) menjabarkan komunikasi

interpersonal sebagai perilaku orang-orang pada pertemuan tatap muka dalam

situasi sosial informal dan melakukan transaksi terfokus lewat pertukaran isyarat

verbal dan non verbal yang saling berbalasan. Apabila ada proses komunikasi

yang tidak menimbulkan isyarat verbal maupun nonverbal, maka kegiatan tersebut

tidak bisa dikatakan proses komunikasi. Misalnya seseorang bermain mata dengan

patung tetapi patung tersebut tidak meresponnya maka dalam kegiatan tersebut

tidak bisa disebut komunikasi interpersonal tetapi mungkin saja ada proses

komunikasi intrapersonal karena hanya melibatkan diri sendiri.

Dalam Suranto AW (2011: 7) dijelaskan bahwa dalam komunikasi

interpersonal terdapat beberapa komponen yang secara integratif saling berperan

sesuai karakterteristik komponen itu sendiri.

Pertama, sumber atau komunikator. Merupakan orang yang mempunyai

kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan

internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang

lain. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk memperoleh pengakuan sosial

sampai pada keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain.

Dalam konteks komunikasi interpersonal komunikator adalah individu yang

menciptakan, memformulasikan, dan menyampaikan pesan.


12

Setelah sumber atau komunikator, pada komponen kedua terdapat

encoding. Encoding merupakan aktivitas internal pada komunikator dalam

menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol, kata-kata, dan sebagainya

sehingga komunikator merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara

penyampaiannya.

Selanjutnya pada komponen ketiga ada pesan. Pesan adalah seperangkat simbol-

simbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan keduanya, yang mewakili

keadaan khusus komunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Dalam

aktivitas komunikasi, pesan merupakan unsur yang sangat penting. Pesan itulah

yang disampaikan komunikator untuk diterima dan diinterpretasikan oleh

komunikan. Komunikasi akan efektif apabila komunikan menginterpretasi makna

pesan sesuai yang diinginkan oleh komunikator.

Komunikator tidak bisa menyampaikan pesan kepada komunikan tanpa

adanya saluran. Komponen keempat, saluran. Merupakan sarana fisik

penyampaian pesan dari sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke

orang lain secara umum. Dalam konteks komunikasi interpersonal, penggunaan

saluran atau media semata-mata karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan

dilakukan komunikasi secara tatap muka. Misalnya saat hendak berkomunikasi

dengan orang lain tetapi jarak berjauhan maka diperlukan saluran komunikasi agar

informasi tersebut dapat terlaksana.

Komponen kelima adalah penerima atau komunikan. Komunikan adalah yang

menerima, memahami, dan menginterprestasi pesan. Dalam proses komunikasi

interpersonal, penerima bersifat aktif. Selain menerima pesan juga melakukan


13

proses interpretasi dan memberikan umpan balik. Berdasarkan umpan balik dari

komunikan inilah seseorang komunikator akan dapat mengetahui keefektifan

komunikasi yang telah dilakukan, apakah makna pesan dapat dipahami secara

sama oleh kedua belah pihak yakni komunikator dan komunikan.

Keenam adalah decoding. Melalui indera penerima komunikan mendapat

macam-macam data dalam bentuk “mentah” berupa kata-kata dan simbol-simbol

yang harus diubah ke dalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna.

Secara bertahap dimulai dari proses sensasi, yaitu proses di mana indera

menangkap stimuli. Misalnya telinga mendengar suara atau bunyi, mata melihat

objek, dan sebagainya. Proses sensasi dilanjutkan dengan persepsi, yaitu proses

memberi makna atau decoding.

Komunikator kemudian tidak sekadar memberi makna pada pesan yang

diterima oleh inderanya tetapi juga memberi respon. Pada komponen ketujuh,

respon dijelaskan sebagai apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk

dijadikan sebuah tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif, netral,

maupun negatif. Respon positif apabila sesuai dengan yang dikehendaki

komunikator. Netral seperti respon itu tidak nenerima ataupun menolak keinginan

komunikator. Dikatakan respon negatif apabila tanggapan yang diberikan

bertentangan dengan yang diinginkan oleh komunikator. Pada hakikatnya respon

merupakam informasi bagi sumber sehingga ia dapat menilai efektivitas

komunikasi untuk selanjutnya menyesuaikan diri dengan stuasi yang ada.

Dalam proses komunikasi apapun hampir selalu ada noise/gangguan. Dalam

komponen ketujuh dijelaskan bahwa gangguan/noise barier beraneka ragam,untuk


14

itu harus didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat terjadi di dalam komponen-

komponen manapun dari sistem komunikasi. Noise merupakan apa saja yang

mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk

yang bersifat fisik dan phsikis.

Komponen kedelapan adalah konteks komunikasi. Komunikasi sealu

terjadi dalam suatu konteks tertentu, paling tidak ada tiga dimensi yaitu ruang,

waktu, dan nilai konteks. Ruang menunjuk pada lingkungan konkrit dan nyata

tempat terjadinya komunikasi seperti ruangan, halaman dan jalanan. Konteks

waktu menunjukkan pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan,

misalnya pagi, siang, sore dan malam. Konteks nilai, meliputi nilai sosial yang

mempengaruhi suasana komunikasi seperti ; adat istiadat, situasi rumah, norma

sosial, norma pergaulan, etika, tata krama, dan sebagainya. Agar komunikasi

interpersonal dapat berjalan secara efektif, maka masalah konteks komunikasi ini

kiranya perlu menjadi perhatian. Artinya, pihak komunikator dan komunikan

perlu mempertimbangkan konteks komunikasi ini.

Komunikasi interpersonal bersifat diadik yang melibatkan perasaan, cara

berpikir, harapan maupun pendapat, dan aksi reaksinya. Jika saja seorang

komunikator sudah cukup mengenal keadaan sosiologis dan psikologis

komunikan maka komunikator dapat menyesuaikan pesan yang sesuai dengan

kebutuhan komunikan. Oleh sebab itu, komunikasi interpersonal selalu

mengakibatkan keterpengaruhan (Moerdijati : 2012: 153).


15

Merujuk pada apa yang dikatakan Devito (2010: 285) bahwa keterbukaan

(openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif

(positivenes) dan kesetaraan (equality) menjadi tolok ukur keberhasilan

penyampaian suatu informasi.

Keterbukaan (openness ) mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari

komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus

terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Hal ini tidak berarti bahwa

orang harus membuka semua riwayat tentang hidupnya namun harus ada

kesediaan untuk mengungkapkan informasi yang biasa disembunyikan, asalkan

pengungkapan diri ini patut. Kedua, mengacu pada kesediaan komunikator untuk

bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Aspek ketiga, menyangkut

kepemilikan perasaan dan pikiran. Artinya terbuka adalah mengakui bahwa

perasaan dan pikiran yang orang lontarkan adalah memang miliknya dan harus

dipertanggung jawabkan.

Kemudian tolok ukur keberhasilan penyampaian informasi selanjutnya

adalah empati. Henry Backrack (dalam Devito, 2010: 286) mendefinisikan empati

sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang

lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu. Orang yang

empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan

sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka di masa mendatang. Pengertian

yang empatik ini akan membuat seseorang lebih mempu menyesuaikan

komunikasinya.
16

Tidak sebatas menaruh empati terhadap lawan bicara, sikap saling

mendukung/supportivness menjadi salah satu indikator keberhasilan penyampaian

informasi. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat

sikap mendukung. Sikap mendukung ditandai dengan sikap :

Pertama, deskriptif bukan evaluatif. Adalah mempersepsikan suatu

komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian mengenai suatu

kejadian tertentu dan tidak merasakannya sebagai ancaman. Sebaliknya sikap

evaluatif seringkali membuat orang bersikap defensif/bertahan.

Kedua, spontan bukan strategik. Orang yang spontan dalam komunikasinya dan

terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya biasanya memperoleh

reaksi yang sama. Sebaliknya, bila seseorang menyembunyikan perasaannya yang

sebenarnya, maka orang pun akan bereaksi secara defensif.

Ketiga provisional. Artinya bersikap tentatif dan berpikiran terbuka serta bersedia

mendengar pandangan yang berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika

keadaan mengharuskannya. Bila seseorang bersikap yakin tak tergoyahkan dan

berpikiran.

Selanjutnya yang menjadi tolok ukur keberhasilan penyampaian informasi

adalah sikap positif/positiveness. Sikap positif dalam komunikasi interpersonal

ada dua cara yaitu: Pertama menyatakan sikap positif. komunikasi interpersonal

akan terbina jika orang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Serta

perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk

interaksi yang efektif. Kedua Dorongan positif umumnya berbentuk pujian atau
17

penghargaan, dan terdiri atas perilaku yang biasanya kita harapkan. Dorongan

positif ini mendukung citra pribadi seseorang dan membuatnya merasa lebih baik.

Yang menjadi tolok ukur keberhasilan penyampaian informasi yang

terakhir adalah kesetaraan atau equality. Komunikasi interpersonal akan lebih

efektif bila suasananya setara. Artinya harus ada pengakuan secara diam-diam

bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing

pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.

II.2. Self Disclosure

Konsep mengenai self disclosure/pengungkapan diri dijelaskan oleh

DeVito (2010: 64) yang mengartikan self disclosure sebagai salah satu jenis

komunikasi ketika informasi tentang diri yang biasa dirahasiakan diberitahu

kepada orang lain. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu informasi

yang diutarakan tersebut harus informasi yang biasanya disimpan atau

dirahasiakan dan informasi tersebut harus diceritakan kepada orang lain baik

secara tertulis dan lisan.

Lebih lanjut Berg dan Archer (dalam DeVito : 2010) mengungkapkan

bahwa pengungkapan diri seseorang cenderung lebih akrab dilakukan sebagai

tanggapan atas pengungkapan diri orang lain. Meminjam pemikiran Darlega

Girzelak (dalam Suciati : 2014) bahwa pengungkapan diri dianggap sesuatu yang

tidak jauh berbeda dengan keterbukaan diri, sebab pengungkapan diri berbicara

tentang diri semata dan bukan wilayah orang lain. namun meskipun demikian

keduanya membangun sebuah hubungan yang baik dalam komunikasi


18

interpersonal. Littlejohn (2009:307) mengemukakan bahwa setiap orang punya

kepemilikan informasi pribdi, kita yang berhak untuk mengendalikan informasi

tersebut. Kita yang membuat keputusan tentang apa yang harus diungkap dan

kepada siapa informasi tersebut diungkapkan.

II.2.1. Dimensi Self Disclosure

Merujuk (Devito: 1997: 40) dimensi self disclosure terdiri dari : Pertama

adalah ukuran atau jumlah self disclosure. Ukuran self disclosure didapat dari

frekuensi seseorang melakukan self disclosure dan durasi pesan-pesan yang

bersifat self disclosure atau waktu yang diperlukan untuk menyatakan

pengungkapan tersebut.

Dimensi yang kedua adalah Valensi self disclosure. Valensi merupakan

kualitas positif dan negatif dari self disclosure. Individu dapat mengungkapkan

diri dengan baik dan menyenangkan (positif), atau dengan tidak baik dan tidak

menyenangkan (negatif), kualitas ini akan menimbulkan dampak yang berbeda,

baik pada orang yang mengungkapkan diri maupun pada pendengarnya.

Dimensi yang ketiga adalah kecermatan dan ketepatan. Kecermatan atau

ketepatan self disclosure akan dibatasi oleh sejauh mana individu mengetahui

atau mengenal dirinya sendiri. Selanjutnya self disclosure akan berbeda

tergantung pada kejujuran. Individu dapat secara total jujur atau dapat melebih-

lebihkan atau berbohong

Dimensi selanjutnya adalah tujuan dan maksud. Individu akan


19

menyingkapkan apa yang ditujukan untuk diungkapkan, sehingga dengan sadar

individu tersebut dapat mengontrol self disclosure.

II.2.2. Fungsi Self Disclosure

Adapun fungsi dari self disclosure menurut Derlega & Grzelak (dalam

Suciati 2014: 29) antara lain sebagai berikut:

Pertama sebagai fungsi ekspresi/expression. Dalam kehidupan, tidak

jarang manusia mengalami kekesalan atau kekecewaan, baik yang menyangkut

masalah pribadi, pekerjaan atau dalam hubungannya dengan orang lain. Untuk

membuang kekesalan ini, sering kali seseorang bercerita tentang masalahnya

kepada orang lain yang dipercaya. Segala macam ekspresi dapat dilakukannya

mulai dari tertawa hingga menangis, sedih sampai bahagia, terkejut sampai

dengan terheran-heran atau cemburu sekalipun. Dengan ekspresi ini beban dalam

hati seperti keluar karena sudah tersalurkan lewat luapan emosi.

Kedua, penjernihan diri/self clarification. Dengan saling berbagi dan

menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi kepada orang lain, kita

berharap mendapatkan penjelasan dan pemahaman orang lain tentang

permasalahan yang dihadipinya sehingga pikiran menjadi lebih jernih dan dapat

melihat duduk persoalanya dengan baik. Semuanya menjadi terang mana kala

mengetahui persoalan sesorang bukan atas gosip yang beredar, tetapi dari yang

bersangkutan. Salah paham dan prasangka buruk sangat mungkin terhindarkan

ketika klarifikasi berasal dari sumbernya secara langsung.


20

Ketiga, Keabsahan sosial/Social Validation. Setelah selesai

mengungkapkan permasalahan, biasannya partner akan memberikan tanggapan

tentang permasalahan tersebut. Tanggapan tersebut bisa berupa dukungan atau

bahkan nasihat. Penanggap akan melakukan respon yang menurut mereka tepat

sebagai sebuah solusi.

Fungsi self disclosure keempat adalah kendali sosial. Berdasarkan

tanggapan yang muncul dari partner, maka seseorang akan memilih untuk

mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya. Ia

akan melakukan kontrol, mana topik yang harus ia buka, mana yang tidak.

Pertimbangan ini semata-mata untuk melihat efek yang mungkin terjadi. Mungkin

sekali apabila ia membuka topik khusus, harga dirinya akan turun, dianggap

sombong, atau mungkin menyinggung orang lain. Oleh karenanya sangat baik

apabila kontrol ini selalu dilakukan dalam rangka menjaga hubungan.

Kelima, perkembangan hubungan/relationship development. Sebuah saran

yang harus diikuti untuk merintis suatu hubungan dalam rangka meningkatkan

derajat keintiman adalah berbagai rasa informasi kepada orang lain serta

mempertahankan kepercayaan yang dimiliki. Namun demikian penting juga untuk

dicatat bahwa seseorang komunikator tidak boleh sembarang melakukan

keterbukaan diri dalam rangka mencapai peningkatan hubungan tersebut.

Biasanya mereka memiliih orang-orang yang sekiranya bisa menjadi pendengar

yang baik, yang juga memiliki keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih

dekat dengannya
21

II.2.3. Faktor Self Disclosure

Tidak semua individu mampu melakukan self disclosure begitu saja,

karena tingkat kepribadian yang dimiliki seseorang cenderung berbeda-beda.

Untuk itu, peneliti merujuk pada teori (Devito, 2010: 65) yang mengemukakan

enam faktor yang mempengaruhi self disclosure :

Faktor pertama, besaran kelompok atau jumlah audiens. Semakin besar-

besaran kelompok dalam pengungkapan diri maka akan semakin sulit dalam

pemantauannya sebab respon yang diberikan akan semakin banyak. Tetapi

semakin kecil besaran kelompoknya maka pengungkapan diri semakin muda

dilakukan.

Kedua, perasaan menyukai. Dalam pengungkapan diri, seseorang lebih

ingin terbuka kepada orang lain yang disukainya. Apabila pelaku self disclosure

mencintai lawan bicaranya maka pelaku akan dengan senang hati melakukannya.

Faktor yang ketiga adalah efek diadik. Seseorang melakukan

pengungkapan diri bila bersama orang yang melakukan pengungkapan diri pula.

Efek diadik ini mungkin membuat seseorang merasa lebih aman, dan nyatanya

memperkuat perilaku pengungkapan diri.

Faktor keempat adalah kompetensi, di mana orang yang lebih kompeten

lebih banyak melakukan pengungkapan diri ketimbang yang tidak kompeten.

Faktor kelima berkaitan dengan kepribadian. Orang-orang yang pandai bergaul


22

(sociable) dan ekstrover melakukan pengungkapan diri lebih banyak dari pada

mereka yang kurang pandai bergaul dan lebih introvert. Orang yang kurang berani

bicara pada umumnya juga kurang mengungkapkan diri dari pada mereka yang

merasa lebih nyaman dalam berkomunikasi.

Faktor keenam adalah topik. Kecenderungan memilih topik pembicaraan,

seseorang lebih cenderung membuka diri tentang topik pekerjaan atau hobi dari

pada tentang kehidupan seks atau situasi keuangan. Umumnya, makin pribadi dan

makin negatif suatu topik, makin kecil peluang untuk diungkapkan.

II.2.4. Risiko Self Disclosure

Banyaknya manfaat pengungkapan diri jangan sampai membuat kita buta

terhadap risiko-risikonya Bochner (dalam Devito:2011: 69).Risiko tersebut antara

lain, yang pertama, penolakan secara pribadi dan sosial. Bila seseorang

melakukan pengungkapan diri biasanya kepada orang yang dipercaya. Seseorang

melakukan pengungkapan diri pada orang yang dianggap akan bersikap

mendukung pengungkapan dirinya. Namun, akan terjadi suatu penolakan secara

pribadi jika hal yang diungkapkan tidak disukai atau bertentangan oleh pendengar.

Risiko yang kedua adalah kerugian material. Risiko ini bisa terjadi kepada

siapa saja, saat orang yang mendengar pengungkapan diri merasa dirugikan saat

itu mereka bisa melakukan apa saja yang merugikan penutur.

Risiko selanjutnya adalah kesulitan intrapribadi. Bila reaksi orang lain tidak

seperti yang diduga, kesulitan intrapribadi dapat terjadi. Bila seseorang ditolak
23

dan bukan didukung, bila orang-orang yang kita kenal menghindari kita, maka

kita berada dalam jalur kesulitan intrapribadi.

II.2.5. Tingkat Kesadaran Self Disclosure

Untuk mengukur tingkat kesadaran ini peneliti merujuk pada Johari

Windows dengan beberapa tingkatanya (Devito 1997 :57) . Dimulai dari daerah

terbuka, daerah buta, daerah tersembunyi dan daerah gelap.

Daerah terbuka, mencerminkan keterbukaan pada dunia secara umum,

keinginan untuk diketahui. Kuadran ini mencakup semua aspek diri yang

diketahui dan diketahui oleh orang lain. Daerah ini adalah dasar bagi kebanyakan

komunikasi antara dua orang.

Daerah buta, meliputi semua hal mengenai diri yang dirasakan orang lain

tetapi tidak dirasakan diri sendiri. Saat diri cenderung memonopoli percakapan

tanpa disadari atau menganggap diri jenaka tetapi orang lain menganggap gurauan

itu canggung. Daerah gelap dapat memuat setiap rangsangan komunikatif yang

tidak disengaja.

Daerah tersembunyi, di mana diri memiliki sesuatu yang tidak ingin

disampaikan kepada orang lain hal tersebut menjadi rahasia pribadi. Daerah tidak

diketahui, merupakan hal-hal yang belum ditelusuri oleh diri sendiri dan orang

lain sehingga tidak diketahui. Daerah gelap, di mana pada bagian ini diri dan

orang lain tidak mengetahui apa-apa.


24

II.3. PSK dan Komunikasi dalam Keluarga

PSK diartikan sebagai sebuah profesi yang kurang berkenan bagi

masyarakat karena keroyalan relasi seksualnya dalam bentuk penyerahan diri pada

banyak laki-laki demi mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya.

PSK juga bisa diartikan salah tingkah atau gagal menyesuaikan diri pada norma-

norma yang berlaku dalam tatanan kehidupan bermasyarakat Kartini Kartono

(2015: 207).

Regar dan Kairupan (2016: 3) mengatakan, dari sudut pandang kehidupan

sosial tidak semua masyarakat bisa menerima posisi PSK dalam lingkungan

masyarakat, karena dapat mempengaruhi kepribadian masyarakat, khususnya

anak-anak yang sedang berkembang. Secara tidak langsung, PSK yang juga

manusia biasa, dalam bergaul dengan yang lain mengalami diskriminasi dalam

berteman, PSK tersebut dijauhi dalam pergaulan masyarakat. Hal ini

menunjukkan PSK tersebut hanya berteman dengan sesama profesinya yaitu, antar

sesama PSK saja. PSK juga dipandang sebagiaan masyarakat sebagai merusak

rumah tangga orang dan penyebar penyakit.

Lebih jauh Kartini Kartono menyatakan bahwa pada peristiwa pelacuran

ada dorongan-dorongan seks yang tidak terintegritas dengan kepribadian. Artinya,

implus-implus seks itu terkendali oleh hati nurani. Selanjutnya, dipakailah teknis-

teknis seksual yang amat kasar dan provokatif dalam sanggama dan sangat

impersonal karena berlangsung tanpa afeksi, tanpa perasaan, tanpa emosi, dan

kasih sayang sehingga dilakukan dengan cepat dan tanpa orgasme pada pihak
25

wanita/PSK-nya.

Kartini Kartono (2015: 243) memaparkan peristiwa sosial penyebab

timbulnya praktik prostitusi. Diantaranya, praktik prostitusi muncul karena tidak

adanya undang-undang yang melarang melakukan hubungan seks sebelum

pernikahan atau diluar pernikahan. Di Indonesia yang diancam dengan hukuman

hanya praktik germo (Pasal 296 KUHP) dan mucikari (Pasal 506 KUHP). Praktik

prostitusi sering dijadikan komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun

germo dan oknum tertentu memanfaatkan pelayanan seks sebagai alat yang jamak

guna (multipurpose) untuk tujuan komersialisasi di luar perkawinan. Selain itu

dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat-saat

orang mengenyam kesejahteraan hidup dan ada pemutarbalikan nilai-nilai

pernikahan sejati.

Peristiwa sosial munculnya praktik prostitusi pun disebabkan banyaknya

orang menghina martabat kaum wanita dan harkat manusia, kebudayaan

mengeksploitasi kaum lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil. Ekonomi

laissez-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum jual dan

permintaan yang diterapkan pula dalam relasi seks, peperangan dan masa-masa

kacau (dikacau oleh gerombolan-gerombolan pemberontak) di dalam negri

meningkatkan jumlah pelacur.

Pembangun proyek-proyek di daerah-daerah pertambangan ternyata tidak luput

dari peristiwa sosial munculnya praktik prostitusi. Adanya proyek pertambangan

dengan konsentrasi kaum pria, mengakibatkan adanya ketidakseimbangan rasio


26

dan wanita di daerah tersebut. Selain itu perkembangan kota-kota, daerah-daerah

dan pelabuhan dan industri yang cepat dan menyerap banyak tenaga kerja serta

pegawai pria. Juga urbanisasi tanpa adanya jalan keluar bagi pekerjaan para

wanita kecuali menjadi PSK, serta bertemunya macam-macam kebudayaan asing

dan kebudayaan setempat. Di daerah perkotaan dan ibukota, mengakibatkna

perubahan sosial yang cepat. Sehingga masyarakatnya menjadi sangat instabil.

Motif-motif yang melatarbelakangi tumbuhnya pelacuran pada wanita itu

beraneka ragam. Di bawah ini disebutkan beberapa motif yang melatarbelakangi

timbulnya PSK menurut (Kartini Kartono, 2009 : 245), antara lain : Pertama,

adanya kecendrungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan

diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek.

Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf sehingga menghalalkan

pelacuran.

Kedua, Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam

kepribadian, dan keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa

puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami. Ketiga, Tekanan ekonomi,

faktor kemiskinan, ada pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan

status sosial yang baik.

Selain karena masalah ekonomi alasan keempat, dilatarbelakangi rasa

melit dan keingintahuan gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks,

yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan bandit seks.
27

Kelima, ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu

dalam dunia pelacuran. Dan yang keenam dikarenakan adanya kebutuhan seks

yang normal akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami. Misalnya karena suami

impoten, lama menderita sakit, banyak istri-istri lain atau bertugas di tempat jauh

sehingga sang suami jarang mendatangi istri yang bersangkutan. lama bertugas di

tempat yang jauh, dan lain-lain.

Horton dan Hunt (dalam Sunarto : 2004: 111) memaparkan fungsi

keluarga sebagai berikut: Pertama,keluarga sebagai penyalur dorongan seks.

Artinya tidak ada masyarakat yang memperbolehkan siapa saja untuk seks

sebebas-bebasnya dalam masyarakat. Kedua, reproduksi berupa pengembangan

keturunan pun selalu dibatasi dengan aturan yang menempatkan kegiatan ini

dalam keluarga. Ketiga,keluarga berfungsi untuk menyosilisasikan anggota baru

masyarakat sehingga dapat memerankan apa yang diharapkan darinya. Keempat,

keluarga mempunyai fungsi afeksi : keluarga memberikan cinta kasih pada

seorang anak. Kelima, keluarga memberikan status pada seorang anak yaitu status

dalam suatu kelas tertentu.

Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan

membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik yang

menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan

masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam

kesabaran dan kejujuran serta keterbukaan Friendly: (dalam Sejati dan Chusmeru :

2012: 3). Berbicara mengenai komunikasi dalam keluarga, si PSK berkeluarga ini
28

mungkin terdapat proses komunikasi yang terjalin antara sang suami dan sang

isteri yang berprofesi sebagai PSK tersebut. Sehingga sang suami dapat

memberikan ijin kepada sang isteri untuk melakukan pekerjaan sebagai PSK

berkeluarga.

II.4. Fenomenologi

Fenomenologi dikenal sejak menjelang abad ke-20. Sedangkan pada abad

ke-18 barulah fenomenologi pertama kali digunakan. Awal digunakan fenonelogi

sebagai teori penampakan, yang menjadi dasar pengetahuan empiris (penampakan

yang diterima secara inderawi). Secara disiplin ilmu, fenomenologi mempelajari

struktur pengalaman dan kesadaran. Secara harfiah, fenomenologi adalah studi

yang mempelajari fenomena seperti penampakan, segala hal yang muncul dalam

pengalaman kita, cara kita mengalami sesuatu, dan makna yang kita miliki dalam

pengalaman kita. Bagi penganut positivistik, esensi metedologi adalah fakta

sebagai objek real. Sementara bagi fenomenologi, dunia itu salah satu makna yang

dikonstruksikan secara intersubjektif

Meminjam pemikiran Kuswarno Engkus ( 2009: 34) bahwa, dalam

fenomenologi yang memahami pengalaman seseorang yakni dirinya sendiri,

metode penelitian yang digunakan adalah metode filsafat. Metode ini mencakup

analisis konseptual, analisis linguistik, metode hermeneutik dan praksis, metode

kritis historis, filsafat literatur, dan logika formal. Metode tersebut mendasari

beberapa aspek pendekatan kualitatif dan ilmu pengetahuan.


29

Fenomenologi bertujuan untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang

mengalaminya secara langsung dan berkaitan atau berkaitan dengan sifat-sifat

alami pengalaman manusia, dan makna yang ditempelkan padanya. Dengan

demikian penelitian fenemenologi harus menunda proses penyimpulan mengenai

sebuah fenomena. Pada dasarnya fenomenologi cenderung untuk menggunakan

paradigma penelitian kualitatif sebagai landasan metodologisnya. Fenemenologi

sebagai sebuah metode penelitian menawarkan sebuah koreksi terhadap tekanan

positivitik pada konseptualisasi dan metode penelitian, khususnya dalam ilmu

sosial termasuk komunikasi.

Husserl (dalam Kuswarno : 2009 : 48) mengemukakan tahapan-tahapan

penelitian fenomenologi antara lain. Epoche, reduksi fenomenologi, Variasi

imajinasi serta sintesis makna dan esensi.

Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari prasangka. Dengan epoche,

peniliti menyampingkan penilaian, bias dan pertimbangan awal terhadap sebuah

objek. Epoche merupakan pemutus hubungan pengetahuan dan pengalaman

peneliti terhadap apa yang akan diteliti. Karena epoche memberikan cara pandang

baru terhadap objek, maka peneliti bisa menciptakan ide, perasaan, kesadaran dan

pemahaman yang baru, sehingga akan memudahkan peneliti untuk memahami

orang lain.

Ketika epoche adalah langkah awal untuk memurnikan objek, maka

selanjutnya ada reduksi fenomenologi yang menjelaskan dalam susunan bahasa

bagaimana objek itu terlihat. Fokusnya terletak pada kualitas dari pengalaman.
30

Reduksi fenomenologi kemudian membawa peneliti kembali kepada

penilaian/asumsi awal, dan mengembalikan sifat-sifat alamiahnya. Reduksi

fenomenologi tidak sebatas cara untuk melihat, namun juga mendengar suatu

fenomena dengan kesadaran dan hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara melihat

dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.

Dalam penelitian fenomenologi, setelah reduksi fenomenologi adalah

variasi imajinasi. Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang

mungkin dengan memanfaatkan imajinasi. Sementara variasi imajinasi adalah

mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka

rujukan, pemisahan dan pembalikan dan pendekatan terhadap fenomena dari

perspektif, posisi, peran, dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk

mencapai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman. Dengan kata lain

menjelaskan struktural esensial dari fenomena.

Tahap terahkir menurut Husserl adalah integrasi intutif dasar-dasar

deskripsi dan struktural ke dalam satu pernyataan yang menggambarkan hakikat

fenomena secara keseluruhan. Dengan demikian tahapan ini merupakan tahap

penegakkan pengetahuan mengenai hakikat.

Fenomenologi di sini berusaha untuk memahami bagaimana proses

pengungkapan diri PSK terhadap anaknya. Pada dasarnya fenomenologi adalah

suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman

manusia. Dalam hal ini manusia aktif memahami dunia di sekelilingnya sebagai

sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut,


31

dalam artian memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Fenomenologi

meyakini bahwa setiap orang mempunyai pemahaman yang berbeda tentang

sebuah realitas. Berbedanya pemahaman-pemahaman ini diakibatkan oleh

pengalaman masing-masing individu yang juga berbeda. Dalam fenomena ini

peneliti berusaha untuk bersikap netral tanpa menghakimi profesi PSK sebagai

sesuatu yang tidak diterima oleh norma dalam masyarakat. Peneleiti akan

memberikan ruang sepenuhnya kepada PSK agar memaknainya sendiri. Baik

memaknai pekerjaan atau pengungkapan dirinya.

II.5. Kerangka Konseptual

Dalam proses interkasi sehari-hari, PSK cenderung berusaha menutupi


pekerjaannya terhadap keluarga dan anak. Sikap tertutup ini didasari rasa takut
akan diasingkan dari keluarga dan takut anaknya merasa malu jika mengetahui
pekerjaan ibunya sebagai PSK yang dalam tanda kutip tabu di masyarakat. Dalam
temuan peneliti bahwasannya seorang PSK bernama Bu Lily yang bekerja di rel
kereta api Wonokromo sangat jarang berkomunikasi dengan anak dan menutupi
pekerjaan.

Fenomena yang ditemukan peneliti, bisa ditelaah menggunakan perspektif


komunikasi interpersonal di mana komunikasi interpersonal tidak sebatas
memberikan informasi kepada orang lain tetapi lebih pada bagaimana cara
manusia memperoleh makna, identitas dan hubungan melalui komunikasi manusia.
Dalam komunikasi interpersonal terdapat teori self disclosure/pengungkapan diri.

Dalam temuan peneliti, PSK masih menyembunyikan pekerjaan dari tetangga,


keluarga dan anaknya. Informasi yang ditutup-tutupi tersebut bisa tersalurkan
dengan melakukan pengungkapan diri/self disclosure, dimana informasi tentang
diri yang biasanya dirahasiakan diberitahu kepada orang lain. Tujuannya untuk
perkembangan hubungan/relationship development agar ada peningkatan derajat
keintiman.
32

Peneliti ingin menggali bagaimana pengalaman dan pemaknaan PSK terhadap


self disclosure/pengungkapan diri terhadap anaknya. Karna tentunya ada proses
yang begitu panjang dalam melakukan hal tersebut.

Akhirnya akan ditemukan bagaimana pengalaman dan pemaknaan terhadap proses


self disclosure PSK kepada anak

Anda mungkin juga menyukai