Anda di halaman 1dari 25

Tugas Makalah Calon Angkatan XXXVII PPIPM UNP

EKSISTENSI LGBT YANG DIANGGAP SEBAGAI


WESTERNISASI

Subtema: Gender

Dibuat oleh:

Asyifa Andriani (21004049/2021)


Dwi Rahma Febriarty (21020012/2021)

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa.


Berkat rahmat-Nya makalah yang berjudul “Eksistensi LGBT Yang
Dianggap Sebagai Westernisasi” ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Makalah ini disusun untuk melengkapi salah satu tugas calon
angkatanXXXVII PPIPM UNP Universitas Negeri Padang, tahun 2021.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengalami banyak kendala
dan mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Fani Yusnita Sari selaku kakak pembimbing makalah calon angkatan
XXXVII PPIPM UNP yang telah memberikan banyak bantuan dan
dukungan terkait penyusunan makalah ini.
2. Orang tua dan keluarga yang telah mendukung penyusunan makalah ini
sehingga dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
perlu pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga gagasan pada makalah ini dapat
bermanfaat bagi dunia pendidikan pada khususnya dan pembaca pada
umumnya.

Padang, 5 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian LGBT............................................................................ 3
2.2 Asal Usul LGBT ............................................................................ 5
2.3 Eksistensi LGBT Sebagai Westernisasi ......................................... 7
BAB III. METODE PENULISAN ................................................................ 9
BAB IV. PEMBAHASAN
4.1 Alasan LGBT Diketegorikan Sebagai Budaya............................ 11
4.2 Faktor Yang Mempengaruhi LGBT Sebagai Westernisasi ......... 13
4.3 Upaya Pemerintah Mengurangi LGBT di Indonesia…………....17
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan.................................................................................... 20
5.2 Saran .............................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 21

ii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau disingkat dengan LGBT


kembali menjadi diskusi publik akhir-akhir ini. Kelompok yang dianggap
memiliki kelainan seksual ini direspon secara negatif oleh masyarakat umum
karena dianggap amoral dan bertentangan dengan nilai-nilai moral, agama, dan
Pancasila (Wibowo, 2015). Penolakan dari berbagai kalangan bahkan keinginan
agar kelompok tersebut dikriminalisasi melalui UU sangat keras disuarakan
khususnya kalangan pemuka agama.
Pro – kontra terhadap kalangan ini tidak bisa dihindarkan. Kalangan Pro
mengatakan LGBT merupakan ekspresi yang harus dihargai dan dilindungi oleh
negara. LGBT dianggap merupakan bagian dari HAM. Kalangan Kontra
mengatakan bahwa LGBT merupakan seks yang menyimpang dan bisa merusak
tatanan sosial. Samsu(2018) menyatakan bahwa LGBT harus mendapatkan hak
– haknya secara penuh tanpa dikurangi. Di sisi lain, ditemukan dalam penelitian
Gina & Abby (2016) bahwa di jakarta mayoritas atau 60% dari responden
mengatakan bahwa mereka mendapatkan kekerasan baik dalam bentuk
psikologis, fisik, ekonomi, dan seksual.
Paham liberalisme yang menjunjung kebebasan individu menjadi
pemicu munculnya kaum LGBT yang meskipun menurut kita tidak normal,
tapi menurut mereka normal dan bebas dilakukan sepanjang tidak merugikan
orang lain. Keterkaitan yang erat antara liberalisme dan LGBT dapat kita lihat
dengan adanya peristiwa 26 Juni 2015, yang menjadi hari bersejarah buat kaum
LGBT. Pada hari itu, putusan Mahkamah Agung AS diyakini dapat
mempengaruhi keputusan banyak negara untuk ikut membuat keputusan
serupa. Di samping itu, sudah terdapat 22 negara dari 204 negara yang telah
diakui secara de facto oleh PBB yang melegalkan pernikahan sesama jenis
secara penuh di seluruh wilayah negaranya (Freedom to Marry Organization,
2014). Degara-negara tersebut hampir sebagian besar adalah negara dengan
ideologi liberal.
Hal inilah yang dianggap masyarakat sebagai westernisasi dan

1
menyamaratakan ideologi yang ada di negara barat dengan negaranya sendiri.
Faktor utama penyebab terjadinya westernisasi adalah perkembangan teknologi
yang begitu pesat. Teknologi yang lebih maju membuat masyarakat mudah
untuk mengakses berbagai kebudayaan barat tanpa adanya filter sama sekali.
Padahal tidak semua budaya barat dapat diterapkan di Indonesia. Westernisasi
inilah yang membuat eksistensi kebudayaan nasional menjadi terancam.
Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengkaji eksistensi LGBT yang dianggap
sebagai westernisasi di indonesia. Dalam hal ini penulis mengkaji faktor apa
yang menyebabkan masyarakat indonesia menganggap lgbt sebagai budaya.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1. Mengapa LGBT dikategorikan sebagai budaya?
2. Faktor yang mempengaruhi LGBT sebagai westernisasi?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam menindaklanjuti permasalahan
LGBT yang semakin bertambah di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Mengetehaui mengapa LGBT dikategorikan sebagai budaya
2. Memahami faktor yang LGBT sebagai westernisasi
3. Mengetahui upaya pemerintah dalam menindaklanjuti permasalahan
LGBT yang semakin bertambah di Indonesia

1.4 Manfaat Penulisan


1. Manfaat bagi penulis yaitu makalah ini menjadi salah satu sarana
untuk menuangkan ide penulis.
2. Manfaat bagi pembaca yaitu makalah ini dapat menjadi sumber
informasi dan dapat menjadi sumber rujukan mengenai mengapa
LGBT dianggap sebagai budaya dan westernisasi.

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian LGBT

LGBT merupakan akronim dari kata Lesbian, Gay, Biseksual dan


Transgender, yang menunjukkan kepada bentuk – bentuk orientasi
seksual yang terdapat pada manusia. Istilah LGBT sangat banyak
digunakan untuk menunujukkan identitas diri. Istilah ini juga
diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas
seksualitas dan gender di amerika serikat dan beberapa negara
berbahasa inggris lainnya. Adapun secara khusus pengertian dari
masing-masing komponen LGBT adalah sebagai berikut, yaitu:
Lesbian
Kata Lesbian berasal dari seorang penduduk Pulau Lesbos di
Yunani, yaitu Sappho. Sappho adalah seorang penyair yang
menghasilkan puisi liris, yaitu puisi yang telah berkembang dari abad
VI SM yang sebagian di antaranya masih ada sampai sekarang. Puisi
sappho berisikan tentang cinta lesbia. Pada saat itu, percintaan
homoseksual dipahami sebagai hal yang lebih tinggi dibandingkan
percintaan heteroseksual. Istilah lesbian digunakan untuk perempuan
yang mengarahkan seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut
perempuan mencintai perempuan baik secara fisik, seksusal, emosional,
dan secara spritual.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), Lesbian adalah
wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama
jenisnya atau disebut juga wanita homoseks. Jadi, dapat disimpulkan
lesbian adalah perempuan yang secara psikologis, emosi, dan seksual
tertarik kepada perempuan lain. Seorang lesbian tidak memiliki hasrat
terhadap gender yang berbeda/laki-laki, akan tetapi seorang lesbian
hanya tertarik kepada gender yang sama/perempuan.
Gay
Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk
merujuk individu homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Pada akhir

3
abad ke-20, istilah gay telah direkomendasikan oleh kelompok-
kelompok besar LGBT dan paduan gaya penulisan untuk
menggambarkan orang-orang yang tertarik dengan orang lain yang
berjenis kelamin sama dengannya.
Kaum gay memiliki ciri-ciri yang membantu mereka untuk mengenali
dan dikenali dengan sesama gay dan di dalam masyarakat. Ciri-ciri
tersebut terkadang sengaja dibentuk oleh mereka, tapi ada juga yang
dilakukan secara tidak sengaja atau pembawaan secara naluri. Gay
lebih menyukai mengenakan pakaian ketat, karena dapat
memperlihatkan lekuk tubuh si pemakai. Bagi gay, lekukan tubuh
merupakan daya jual tersendiri. Gay lebih senang memakai warna
mencolok. Dalam berkomunikasi gaya bicaranya pun lebih feminim
dan perhiasan yang dikenakannya pun cenderung “ramai”. Bahkan itu
merupakan alat komunikasi sesama gay. Ciri lainnya adalah selalu
tertarik pada aktivitas yang biasanya dilakukan wanita.
Biseksual
Biseksualitas merupakan ketertarikan romantis, ketertarikan
seksual, atau kebiasaan seksual kepada pria maupun wanita. Istilah ini
umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk
menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun
wanita sekaligus. Biseksual adalah sebuah perilaku seksual yang
menyimpang. Pengertian Biseksual Menurut Krafft-Ebing (salah
seorang seksologis Jerman) mengistilahkan biseksual sebagai
psychosexual hermaphroditism yaitu kewujudan dua keinginan seks
yang berbeda (laki-laki dan perempuan) dimana memiliki ketertarikan
kepada kedua jenis tersebut. Biseksual merupakan perilaku sekelompok
orang yang berorientasi seks dengan sejenisnya dan lawan jenisnya
sekaligus, seperti laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan
perempuan dan laki-laki dengan perempuan.
Faktor genetis merupakan salah satu pembentuk kepribadian manusia
yang salah satunya berwujud pada kecendrungan manusia untuk
memiliki naluri seksual (Elly M.Setiady, 2011).

4
Transgender
Secara etimologis transgender berasal dari dua kata yaitu kata trans
dan kata gender. Kata trans yaitu pindah (tangan;tanggungan)
pemindahan.1 Sedangkan kata gender yaitu jenis kelamin. Namun
pengertian kata gender dalam kamus bahasa Indonesia dan kamus
bahasa Inggris tidak secara jelas dibedakan pengertian antara kata sex
dan kata gender. Sehingga sering kali kata gender dipersamakan dengan
kata sex. Sedangkan secara terminologis transgender diartikan dengan
suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya
kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan. Beberapa
ekspresi yang dapat dilihat ialah bisa dalam bentuk dandanan (make
up), gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian
kelamin.
Istilah transgender juga bisa memasukkan mereka yang
mengidentifikasi dan atau mengekspresikan diri mereka sebagai laki-
laki atau perempuan dan atau mereka yang lahir dengan jenis kelamin
biologis ambigu yang sering difahami oleh masyarakat sebagai kelamin
ganda atau dalam dunia medis istilah ini dikenal dengan ambiguous
genitalia yang artinya kelamin yang meragukan, misalnya seseorang
yang terlahir dengan anatomi seks pria, tetapi merasa dirinya adalah
wanita. Merujuk pada istilah itu, transseksual hanya satu deret
gangguan perkembangan seksual “semua bersifat genetik”.

2.2 Asal Usul LGBT

Sulit memastikan sejak kapan mulai terjadi penyimpangan seksual


pada manusia, akan tetapi sejak dahulu manusia memang sudah
melakukan penyimpangan atau penyeberangan seksual serta menjalin
hubungan sex antara sesama jenis. Penyimpangan seksual dan
hubungan sesama jenis sudah sering dibahas di dalam kitab suci, dan
buku-buku sejarah, di mana sejak zaman dahulu homoseksual telah ada
yang dibuktikan dengan beberapa kitab suci agama yang menjelaskan

5
hal ini.

Perkembangan LGBT di Dunia

Menurut Sinyo perkembangan homoseksual di dunia mulai terjadi


pada abad ke-XI Masehi. Sedangkan istilah Lesbian, Gay, Biseksual,
dan Transgender atau yang biasa disebut dengan LGBT mulai populer
sekitar tahun 1990-an. Pada abad 18 dan 19 Masehi beberapa negara
mengkategorikan aktivitas homoseksual merupakan suatu tindak
kriminal sebagai kejahatan sodomi.
Beberapa orang kemudian mulai memperjuangkan kaum
homoseksual, salah satunya adalah Thomas Cannon. Ia diperkirakan
menjadi orang pertama yang memulai perjuangan kaum tersebut lewat
bukunya yang berjudul; Ancient and Modern Pederasty Investigated
and Exemplify’d yang diterbitkan pada Tahun 1749 di Inggris.
Tulisannya yaitu tentang gosip dan antologi lelucon yang membela
kaum homoseksual, lalu Cannon dipenjara karena tulisan tersebut dan
akhirnya ia dibebaskan dengan uang jaminan. Pada tahun 2008 diikuti
oleh Belgia, Kanada, Norwegia, Afrika Selatan, dan Spanyol (untuk
Amerika Serikat ada di dua negara bagian yaitu Massachusetts dan
Connecticut).
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa perjuangan
komunitas LGBT di dunia telah sampai pada titik kejayaannya,
khususnya di negara-negara Eropa. Bahkan organisasi terbesar dunia
seperti PBB juga telah mengakui perilaku LGBT sebagai bagian dari
hak asasi manusia yang harus dihormati. Pada awalnya perilaku
tersebut dianggap sebagai gangguan jiwa dan penyakit sosial, akan
tetapi perlahan-lahan anggapan tersebut telah dihapuskan.

Perkembangan LGBT di Indonesia

Sinyo menjelaskan kaum homoseksual mulai bermunculan di kota-kota


besar pada zaman Hindia Belanda. Di Indonesia terdapat komunitas

6
kecil LGBT walaupun pada saat zaman Hindia Belanda tersebut belum
muncul sebagai pergerakan sosial. Organisasi terbuka yang menaungi
kaum gay pertama berdiri di Indonesia tanggal 1 Maret 1982, sehingga
merupakan hari yang bersejarah bagi kaum LGBT Indonesia.
Organisasi tersebut bernama Lambda. Pada tahun 1985 berdiri juga
komunitas gay di Yogyakarta. Organisasi tersebut bernama
Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY). Tahun 1988 PGY berubah nama
menjadi Indonesian Gay Society (IGS). Tanggal 1 Agustus 1987 berdiri
kembali komunitas gay di Indonesia, yaitu berdirinya Kelompok Kerja
Lesbian dan Gaya Nusantara (KKLGN) yang kemudian disingkat
menjadi GAYa Nusantara (GN). GN didirikan di Pasuruan, Surabaya
sebagai penerus Lambda Indonesia. GN menerbitkan majalah GAYa
Nusantara.
Tanggal 22 Juli 1996, salah satu partai politik di Indonesia yaitu
Partai Rakyat Demokratik (PRD), mencatat diri sebagai partai pertama
di Indonesia yang mengakomodasi hak-hak kaum homoseksual dan
transeksual dalam manifestonya. Kemudian KLG III diselenggarakan di
Denpasar, Bali pada bulan November 1997. Hasil kongres ini adalah
peninjauan kembali efektivitas kongres-kongres sebelumnya sehingga
untuk sementara akan diadakan rapat kerja nasional sebagai gantinya.
Untuk pertama kalinya Gay Pride dirayakan secara terbuka di kota
Surabaya pada bulan Juni tahun 1999. Acara tersebut merupakan kerja
sama antara GN dan Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS).

2.3 Eksistensi LGBT sebagai westernisasi

Pengertian Westernisasi
Westernisasi adalah proses meniru atau adopsi budaya barat di berbagai
bidang seperti industri, teknologi, hukum, politik, gaya hidup, dan
ekonomi.Kata westernisasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu west
artinya barat. Sedangkan menurut istilah, kata ini menjelaskan usaha
meniru gaya hidup seperti orang Eropa Barat atau Amerika. Bangsa
Eropa dan Amerika dianggap sebagai bangsa maju, sehingga beberapa

7
orang meniru gaya hidup ala barat ini. Generasi muda menganggap
negara Barat lebih maju, sehingga mereka bisa meniru sampai
menerapkan gaya hidup ala western. Definisi lain westernisasi yaitu
asimilasi budaya atau sebuah proses, untuk mengenalkan praktik
peradaban Barat di Indonesia.
Banyak produk – produk budaya populer yang masuk ke dalam
negeri seperti film-film tentang LGBT menggeser paradigma dan
membuat persepsi bahwa hal tersebut sudah lumrah dan dianggap
sebagai sesuatu yang wajar. Yang mengerikannya kebanyakan tren
LGBT menyerang anak-anak muda karena diindikasi sebagai usia yang
paling mudah mengikuti arus. Budaya ini justru menjadi tren dunia
karena kerap dipromosikan sebagai gaya hidup yang menyenangkan.

8
BAB III. METODE PENULISAN

3.1 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara yang dilakukan
oleh penulis untuk mengumpulkan data dari beberapa sumber untuh
memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan
penelitian. Metode yang digunakan dalam karya tulis ini meliputi metode
studi kepustakaan, metode menyimak dan metode observasi.
Metode studi kepustakaan (library research) yakni mengkaji
sumber-sumber yang berkaitan dengan LGBT di Indonesia terhadap
pandangan hak asasi manusia, Pancasila, dan agama baik hasil penelitian,
kebijakan, dan dokumen yang mendukung. Sumber data primer yang
digunakan dalam penelitian ini bersumber dari artikel ilmiah, berita media
massa, dan sumber sekunder berasal dari sumber-sumber lain yang
mendukung. Data kemudian diolah dan dianalisis secara induktif.
Metode menyimak merupakan metode dengan cara mengamati atau
menyimak secara terperinci dari hal-hal yang berhubungan dengan objek
penelitian. Metode observasi merupakan pengamatan yang berupa studi
kasus atau pembelajaran yang dilakukan dengan sengaja, terarah, urut dan
sesuai dengan tujuan. Pencatatan pada kegiatan pengamatan tersebut
merupakan hasil observasi yang dijelaskan dengan rinci, tepat, akurat,
teliti, objekif dan bermanfaat.

3.2 Metode Analisis Data


Metode analisis data merupakan tahap penulis untuk menganalisa
sumber-sumber objek yang telah ditemukan dan memilah data yang
berkaitan dengan objek yang dianalisa. Analisis data menggunakan
beberapa metode sebagai berikut:
1. Metode Deskriptif
Yaitu sistem pemecahan masalah dengan mengumpulkan dan
menyusun data, kemudian di analisa dan d intterpretasikan.
2. Metode Deduktif

9
Yaitu cara pengambilan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat
umum ke hal-hal yang bersifat khusus.
3. Metode Induktif
Yaitu pengambilan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus ke
hal-hal yang bersifat umum.

3.3 Tahap Hasil Analisis Data


Tahap analisis data merupakan kegiatan mengolah dan
mengorganisir data yang diperoleh melalui observasi partisipan,
wawancara mendalam dan dokumentasi, setelah itu dilakukan
penafsiran data sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti. Hasil
analisis data berkaitan dengan cara membandingkan atau membuktikan
teori yang menjadi patokan dengan data yang melatarbelakangi munculnya
teori tersebut. Hasil tahap analisis data kemudian disajikan menggunakan
metode deskriptif, yaitu metode yang memjelaskan hasil penelitian secara
terperinci yang disajikan dalam bentuk susunan-susunan kalimat
(kualitatif).

10
BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Alasan LGBT dikategorikan Sebagai Budaya


Secara budaya, orang Indonesia telah mengakui keragaman seksual
dan gender sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Sejak era
sebelum Islam masuk, orang-orang Bugis telah mengakui lima jenis
gender. Mereka membagi masyarakat berdasarkan gendernya
menjadi laki-laki (oroane), perempuan (makkunrai), laki-laki menyerupai
perempuan (calabai), perempuan menyerupai laki-laki (calalai), dan
pendeta androgini (bissu). Kemiripan juga terjadi di provinsi yang sama
pada masyarakat Toraja. Mereka mengakui gender ketiga, yang disebut to
burake tambolang.

Antropolog Hetty Nooy-Palm menyatakan masyarakat Toraja


percaya bahwa para pemimpin agama yang paling penting dalam budaya
mereka adalah seorang wanita, atau burake tattiku, dan seorang pria
berpakaian sebagai seorang wanita, atau burake tambolang. Di masa lalu,
pemimpin agama transgender di Toraja dan Bugis memainkan peran
penting dalam komunitas mereka. Bissu dan to burake. Mereka memimpin
upacara spiritual atau ritual panen di desa-desa. Masyarakat akan
mengagumi dan menghormati sebuah desa yang memiliki to burake.
Namun, tradisi ini telah terkikis oleh nilai-nilai modern dan
pendidikan yang dibawa oleh kolonialisme.

Di Jawa Timur, pertunjukan tarian tradisional Reog


Ponorogo menunjukan hubungan intim antara dua
karakter, warok dan gemblak. Penari laki-laki utama, atau warok, harus
mengikuti aturan maupun ritual fisik dan spiritual yang ketat. Dalam
aturan ini, seorang warok dilarang berhubungan seksual dengan seorang
wanita. Tetapi dia diizinkan untuk melakukan hubungan intim dengan
karakter anak laki-laki muda, atau gemblak, dalam pertunjukan tarian
tersebut. Meski pun warok dan gemblak terlibat dalam perilaku sesama

11
jenis, mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai homoseksual.
Saat ini, karakter gemblak mulai dimainkan oleh perempuan. Dalam
pertunjukan drama tradisional Jawa lainnya seperti ludruk dan wayang
orang, laki-laki memainkan peran perempuan atau sebaliknya adalah hal
yang biasa.

Perubahan gender dalam konteks global

Tradisi keberagamaan gender di Indonesia yang kaya dan unik


telah berkurang karena kolonialisme. Kolonialisme mendefinisikan ulang
konsep gender dan seksualitas menurut agama dan nilai-nilai modern.
Agama modern sangat menekankan heteroseksualitas dalam pernikahan.
Seks dianggap sebagai masalah moral, sehingga seks yang terjadi di luar
pernikahan atau antara pasangan non-heteroseksual adalah tindakan yang
tidak bermoral. Homoseksualitas telah dilarang di bawah kolonialisme
Belanda. Meski pun Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus
tentang homoseksualitas, homoseksualitas pada umumnya tidak dapat
diterima.

Namun, globalisasi telah membawa dimensi baru terhadap identitas


seksual dan gender. Kategori baru seperti lesbian, gay,
transgender, queer dan interseks telah masuk dalam kosa kata kita.
Istilah LGBT mulai populer beberapa tahun belakangan, terlepas dari pro-
dan-kontranya. Orang-orang memperkenalkan istilah seperti lesbi, yang
mengacu pada lesbian, dan tomboi, atau perempuan maskulin. Di
Sumatera Barat, mereka mengembangkan istilah seperti butch, femme,
dan andro yang mengacu pada lesbian urban. Ada juga istilah-istilah
seperti hunter (lesbian maskulin) dan lines atau lesbian feminin dari
Sulawesi Selatan. Istilah lain termasuk waria (wanita
transgender), priawan (pria transgender), transmen (pria trans)
dan transpuan (wanita trans). Istilah baru ini menunjukkan bahwa reaksi
orang-orang terhadap keberagaman gender cukup bervariasi. Diskusi
dinamis seputar topik ini juga menunjukkan “hasrat seksual yang lebih
dari sekadar pengkategorian gender saja”. Perdebatan yang muncul

12
menunjukkan bagaimana teknologi dan globalisasi telah berhasil
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap gender dan identitas seksual
yang mengikuti konteks budaya lokal.

4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi LGBT sebagai westernisasi

Faktor-faktor berkembangnya LGBT

Para penganut LGBT sebenarnya sudah dapat dilihat dan dirasakan


keberadaanya di lingkungan masyarakat Indonesia, karena dari pergaulan
saja para sebagian penganut LGBT sudah mulai berani menunjukkan jati
diri mereka secara terbuka, baik itu secara langsung maupun tidak.
Sejatinya perkembangan para penganut LGBT ini tidak hanya berlaku di
Indonesia saja, namun hampir diseluruh penjuru dunia.

1. Faktor Internasional

a. Liberalisme, Globalisasi, dan HAM

Liberalisme yang merupakan salah satu produk filsafat dari masa


Pencerahan di Eropa sangat berpengaruh dalamperkembangan kehidupan
masyarakat global saat ini. Liberalisme memandang bahwa legitimasi
politik dipengaruhi oleh besarnya penghormatan negara kepada hak asasi
manusia warga negaranya. (Burchill et al, 2005). Liberalisme merupakan
ideologi yang mengedepankan kebebasan bagi setiap individu. Individu
dengan segala hak kebebasannya diberi kesempatan sebebas-bebasnya dan
seluas- 150 luasnya untuk mengaplikasikan dirinya sendiri secara penuh
tanpa penghalang.

Paham liberalisme ini yang kemudian menjadi pemicu munculnya LGBT


dan para penganut LGBT untuk bebas melakukan apapun itu selama tidak
merugikan orang ataupun individu lainnya. Hak-hak individu memang
patut untuk dilindungi tetapi hak individu juga dibatasi oleh hak individu
lainnya. Hubungan yang erat antara liberalisme dan LGBT dapat dilihat
saat terjadi peristiwa 26 Juni 2015 yang dimana Mahkamah Agung
Amerika Serikat membuat keputusan yang bersejarah bagi para penganut

13
LGBT. Keputusan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis di Amerika
Serikat menjadi pengaruh yang besar terhadap keputusan banyak negara
untuk ikut membuat keputusan serupa.

Di samping itu, sudah terdapat 22 negara dari 204 negara yang telah diakui
secara de facto oleh PBB yang melegalkan pernikahan sesama jenis secara
penuh di seluruh wilayah negaranya (Freedom to Marry Organization,
2014). Negara-negara tersebut hampir sebagian besar adalah negara
dengan ideologi liberal.

b. Globalisasi

Globalisasi dapat menghubungkan orang di mana saja tanpa terhalang


batas negara yang kemudian memunculkan saling ketergantungan di
seluruh dunia. Globalisasi ditandai dengan pergerakan orang, benda, dan
ide-ide secara cepat dan dalam skala besar melintasi batas-batas
kedaulatan.

Held (dalam Williams et al, 2006: 548) mendefinisikan globalisasi sebagai


perluasan, pendalaman, dan percepatan saling keterkaitan semua Negara
Tahun Norwegia 1993 Belanda 1996 Belgia 2003 Spanyol 2005 Afrika
Selatan 2006 Swedia 2008 Portugal, Meksiko 2009 Islandia, Argentina,
Uruguay 2010 Selandia Baru, Prancis, Denmark, Brazil, Inggris, dan
Wales 2013 Luksemburg, Finlandia 2014 Irlandia,Amerika Serikat 2015
152 aspek kehidupan sosial kontemporer seluruh dunia mulai dari budaya,
kriminal, keuangan hingga spiritual.

Dalam sebuah dunia global, hubungan yang terjadi antar orang dan
antaride muncul dan tumbuh sebagai akibat dari kemajuan komunikasi,
perjalanan, maupun perdagangan yang menimbulkan kesadaran bersama di
antara individu-individu. Pada kondisi ini, banyak para ahli dan pengamat
percaya negara semakin kehilangan kontrol atas nasib mereka dan diserang
oleh kekuatan di luar perbatasan dan di luar kendali negara. (Indonesian
Perspective, Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2016): 31- 47) Menurut
Mansbach dan Rafferty (2012: 888) globalisasi memiliki ciri-ciri antara
lain:

14
(1) penyebaran komunikasi global,

(2) meningkatnya kompetensi manusia dan partisipasinya dalam politik


global,

(3) munculnya pasar global,

(4) penyebaran budaya sekuler dan konsumerisme di seluruh dunia,

(5) munculnya Bahasa Inggris sebagai bahasa globalisasi,

(6) meluasnya permintaan akan lembaga-lembaga dan norma- norma


demokrasi,

(7) jaringan antar kelompok yang menjadi cikal-bakal masyarakat sipil


global.

Dengan adanya globalisasi, kelompok LGBT memiliki peluang untuk


melakukan propaganda secara masif melalui saluran-saluran komunikasi
global untuk mempromosikan eksistensinya. Baik itu melalui media sosial
maupun media-media mainstream. Facebook dan Twitter merupakan dua
media sosial 153 yang sering digunakan untuk kampanye LGBT dan
sifatnya global, sehingga memungkinkan komunitas LGBT di seluruh
dunia untuk terkoneksi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Munzir Hitami, bahwa merebaknya


prilaku LGBT merupakan akibat makin terbukanya informasi yang
berkembang yang sangat liberal itu dan media justru mengeksposnya
secara besar-besaran.

c. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia yang biasa disingkat HAM adalah hak yang ada pada
setiap individu dengan bentuk berbagai macam latar belakang, baik agama,
bahasa, kebangsaan, jenis kelamin, warna kulit, etnis, dan lain sebagainya.
Hak ini dapat berlaku dimanapun, kapan pun, dan kepada siapa pun. Hak
asasi manusia merupakan sebuah konsep hukum yang normatif. Setiap
individu berhak untuk mendapatkan apa yang memang sudah menjadi
haknya tanpa pengecualian.

15
Hak asasi manusia saling terikat, berhubungan dan saling bergantung.
(UNHCR, 2016). Hak asasi manusia secara universal dijamin oleh hukum,
baik hukum nasional maupun hukum internasional yang dapat berupa
perjanjian. Didalam hak asasi manusia ada yang namanya penggolongan
tripologi kewajiban hak asasi manusia yang digolongkan menjadi dua,
yaitu kewajiban positif dan kewajiban negatif.

Kewajiban postif disini adalah menuntut suatu negara untuk mengambil


tindakan dalam melindungi setiap individu di negaranya dari tindak
pelanggaran hak asasi manusia. Kewajiban 154 negatif disini
mengharuskan negara untuk tidak melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang diakui oleh perjanjianperjanjian yang telah disepakati.
Konsepsi HAM dari perspektif liberalisme secara formal dapat dibaca
dalam Deklarasi Kemerdekaan 13 Negara-negara Amerika 1776.
Selanjutnya Lafayette, orang Prancis yang aktif dalam perang
kemerdekaan Amerika mengembangkan lebih lanjut Deklarasi Amerika ke
dalamDeclaration de l’Homme et du Citoyen pada tahun 1989 di Paris.

Terdapat dua deklarasi yaitu Deklarasi Kemerdekaan Negara-negara


Amerika dan Declaration de l’Homme et du Citoyen yang menyebutkan
bahwa makhluk yang dilahirkan adalah individu yang bebas merdeka,
setiap individu memiliki hak yang sama, bebas untuk berpendapat, bebas
untuk melakukan apapun selama tidak merugikan orang lain, kedudukan
yang sama dalam hal dan bidang apapun. Tidak boleh ada tindakan
represif terhadap setiap individu selama masih ada didalam
Undangundang. (Cranston, 1983).

HAM menjadi dasar bagi pendukung komunitas LGBT. Salah satu hak
mendasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia adalah kebebasan untuk
mencintai individu lain dan melakukan legalisasi hubungan percintaan
mereka dalam lembaga sosial berupa pernikahan tanpa melihat jenis
kelamin, suku, ras, agama, atau kelompok sosial yang melatarbelakangi
keduanya (Tahmindjis, 2014: 121).

Presiden Barack Obama memberikan pernyataan bahwa LGBT merupakan

16
bagian dari HAM, untuk merayakan martabat setiap manusia, dan untuk
menggarisbawahi bahwa setiap manusia berhak untuk hidup yang bebas
dari ketakutan, kekerasan, dan diskriminasi terlepas dari siapa mereka dan
siapa yang mereka cintai. Pernyataan tersebut di sampaikan pada perayaan
Hari Internasional Melawan Homofibia dan Transfobia (IDAHOT) yang
dirayakan setiap tahun sejak 17 Mei 1990, tanggal dihapuskannya
homoseksual dari kategori penyakit mental oleh Organisasi Kesehatan
Dunia WHO.

4.3 Upaya Pemerintah Mengurangi LGBT di Indonesia

1. Undang-undang

Secara khusus belum ada Undang-undang yang mengatur apa pun


mengenai perilaku, kelompok, kaum, dan sebagainya mengenai fenomena
LGBT. Sebenarnya ada Undang-undang yang terkait dalam fenomena
LGBT ini, namun tetap tidaklah secara kusus membahasnya, diantaranya:

a. Undang-undang Perkawinan (UU No.1/1974) dengan tegas


menetapkan hanya terdapat dua jenis gender saja, yaitu pria dan
wanita.

b. Undang-undang Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006)


juga menetapkan dua jenis gender pada isi kartu tanda penduduk.

c. Undang-undang Perlindungan Anak. Hubungan seks suka sama


suka antara orang dewasa (dalam No. 23/2002 ditetapkan sebagai
umur 18 tahun) yang memiliki jenis kelamin atau gender yang
sama tidak dianggap melanggar pasal pidana 98 dalam KUHP

d. Undang-undang Pornografi (UU No. 44/2008) memasukkan istilah


"persenggamaan yang menyimpang" sebagai salah satu unsur
pornografi. Meskipun larangan berlaku terhadap produksi dan

17
penyebaran pornografi, undang-undang ini dipahami oleh banyak
pria gay dan wanita lesbian sebagai hukum yang memidanakan
hubungan seks homoseksual.

e. Peraturan Pemerintah tentang adopsi No. 54/2007 secara tegas


menetapkan bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa
pasangan homoseksual. Adopsi anak oleh orang yang belum kawin
tidak diperkenankan.

f. Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU No. 39/1999), tidak ada


Undang-undang anti-diskriminasi yang didasarkan pada orientasi
seksual atau identitas gender.

2. Kebijakan Pemerintah

Ada beberapa kebijakan pemerintah Indonesia yang terkait dengan


fenomena LGBT.

 Kementerian Kesehatan bagian divisi Direktorat Kesehatan


Jiwa mengeluarkan klasifikasi terhadap homoseksual yang
dimana dalam Pedoman Diagnosa dan Klasifikasi Gangguan
Jiwa (PPDGJ) homoseksual diubah menjadi dua, yaitu ego
distonik dan homoseksual ego sintonik. Kondisi dari ego
distonik pada dasarnya hanya dimana kondisi individu yang
menentang 109 dan tidak menerima kondisi seksualitasnya
yang masuk kedalam kategori gangguan jiwa.

 Dalam Peraturan Menteri Sosial tahun 2012 (Permensos No.


8/2012) diatur tentang individu yang dianggap sebagai
penyebab masalah dalam kesejahteraan sosial dan lingkungan
masyarakat. Mereka adalah individu yang perilaku seksualnya
terhalang dalam lingkungan sosial, seperti gay, waria (wanita
transgender), dan lesbian.

18
Menurut laporan kominfo tahun 2016 Kementerian Agama (Pemerintah)
konsisten menjalankan konstitusi untuk tidak melayani perkawinan sejenis
merujuk pada Undang-Undang Perkawinan. Kebijakan ini merupakan
sikap tegas pemerintah merespon wacana keberadaan komunitas Lesbian,
gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia yang saat ini terus
menggelindingkan isu-isu dan kampanye atas hak-haknya.

Sikap konsisten untuk tidak memberikan pelayanan perkawinan sejenis ini


disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat Pertemuan
Terbatas membahas keberadaan LGBT di Indonesia dengan Dewan
Pertimbangan Presiden yang dipimpin oleh anggota Wantimpres KH.
Hasyim Muzadi di Jakarta, Rabu (18/2). Selain Menag, hadir sebagai
pemapar Menkes Nila F Moeloek, Pejabat Eselon I dari Kemensos dan
Kominfo mewakili menterinya masing-masing, akedemisi Adian Husaini
dan Pendakwah Bachtiar Nasir. Ikut mendampingi Menag Stafsus Menag
Hadi Rahman.

Selain menolak melayani perkawinan sejenis, kebijakan Kemenag lain


yang disampaikan Menag yakni memperkuat benteng keluarga melalui
edukasi pranikah dan optimalisasi BP4 (Badan Penasehat, Pembinaan dan
Pelestarian Perkawinan) dan melakukan sinergi dengan ormas keagamaan
memberikan pemahaman yang produktif tentang LGBT. Dan sebagai
rencana aksi lanjutan, tandas Menag, pemerintah akan memasukkan materi
LGBT dalam pelajaran di lembaga pendidikan Islam, menggalakkan
program edukasi dan kursus pranikah serta mempromosikan bahwa
pernikahan adalah lembaga sakral yang mewujudkan ketentraman jiwa.

19
BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Indikator orang orang yang telah mengikuti trend LGBT dapat dilihat dari segi
busana dan aksesoris, tingkah laku, cara bergaul, dan pola pikir. Trend lesbian
akan cenderung untuk memakai busana dan aksesoris yangumum digunakan oleh
pria juga digunakan oleh remaja putri. Dan pola pikir yang maskulin.Trend gay
akan cenderung untuk memakai busana dan aksesoris wanita. Penganut trend gay
juga lebih sering bergaul dengan pereorang yang mempunyai ketertarikan
seksual terhadap dua jenis kelamin yang berbeda sekaligus. Dengan kata lain,
orang yang biseksual adalah orang yang memiliki orientasi heteroseksual dan
homoseksual serta pola pikir yang feminin. Trend trasgender dapat diamati saat
laki-laki mengikuti trend gay dan biseksual, sedangkan perempuan mengikuti
trend lesbian dan biseksual. Banyak faktor yang mempengaruhi adanya LGBT
ini dapat dilihat dari faktor internasional yaitu adanya globalisasi, liberalisme
dan HAM.

Upaya pemerintah dalam menanggulangi LGBT di Era Westernisasi adalah


menolak melayani perkawinan sejenis, kebijakan Kemenag lain yang
disampaikan Menag yakni pemerintah akan memasukkan materi LGBT dalam
pelajaran di lembaga pendidikan Islam, menggalakkan program edukasi dan
kursus pranikah serta mempromosikan bahwa pernikahan adalah lembaga sakral
yang mewujudkan ketentraman jiwa.

B. SARAN

1. Untuk pemerintah, harus siap memberikan atau mengalokasi anggaran


bagi lembaga yang konsen terhadap rehabilitasi atau pencegahan terhadap
kelompok LGBT agar pergerakan mereka menjadi sempit.
2. Untuk masyarakat, mulai sedikit lebih peduli dengan lingkungan sekitar

20
dan lebih bijak mengadapi maupun mengadopsi budaya barat yang mulai
berkembang. Hendaknya tetap tegakkan normanorma budaya timur yang
semakin hari semakin bergeser.
3. Untuk orangtua, sebagai sasaran atau yang merasakan secara lingkungan
harus menjaga anak-anak dari pergaulan lingkungan dan membatasi
tontonan yang bersifat merusak moral dan pertumbuhan pola pikir anak.
4. Untuk remaja, diharapkan dapat memanfaatkan usia produktifnya untuk
melakukan hal-hal positif dan berkarya agar dapat bermanfaat bagi
orang-orang sekitar dan membanggakan keluarga, terus menggali potensi
diri dan hasilkan prestasi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Musti'ah. (2016). Lesbian Gay Bisexual and Transgender (LGBT). Jurnal Pendidikan
Sosial, 3(2), 258-273.

Yudiyanto. (2016). Fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender. NIZHAM, 63-
73.
Hartanto. (2016). Hegemoni dalam Emansipatory. Indonesian Perspective, 31-47.

Winulis, S. (2016). Memaknai Perilaku Lgbt Di Indonesia. Journal ofAl-ulum, 50-62.

Purba, A. (2016). Tinjauan Teologis Terhadap Fenomena Penyimpangan Seksual. TEDC.,


10(2), 142-146.

22

Anda mungkin juga menyukai