PENGERTIAN PATOLOGI
A. Pengertian Patologi
Patologi merupakan ilmu yang mempelajari penyakit, meliputi pengetahuan dan pemahaman
dari perubahan fungsi dan struktur pada penyakit, mulai dari molekuler sampai pengaruhnya
pada setiap individu. Patologi merupakan subjek yang selalu mengalami perubahan,
penyempurnaan dan perluasan dalam memahami pengetahuan tentang penyakit. Patologi
bertujuan utama untuk mengidentifikasi sebab suatu penyakit, untuk program pencegahan
suatu penyakit. Dalam makna yang paling luas, patologi secara harfiah adalah biologi
abnormal, studi mengenai proses-proses biologic yang tidak sesuai, atau studi mengenai
individu yang sakit atau yang terganggu. Dalam konteks kedokteran manusia, patologi tidak
hanya merupakan ilmu dasar atau teoritik, tetapi juga merupakan spesialis kedokteran klinis.
Patologi adalah kajian dan diagnosis penyakit melalui pemeriksaan organ, jaringan, cairan
tubuh, dan seluruh tubuh (autopsi). Patologi juga meliputi studi ilmiah terkait proses
penyakit, disebut patologi umum.
Pengertian Patologi dalam bahasa ilmu kedokteran adalah, suatu penyakit yang di akibatkan
oleh kerusakan sel atau organ dalam tubuh manusia karena penyakit.
B. Pembagian Patologi
Patologi ialah ilmu yang mempelajari tentang penyakit. Patologi dibagi dalam 3 macam
ilmu, yaitu : Patologi Anatomi, Patologi Klinik, dan Patologi Forensik.
Untuk membahas pengertian patologi dalam ilmu sosial dapatlah muncul suatu pertanyaan,
apakah patologi sosial dan masalah sosial itu ?
Patologi adalah : segala yang terjadi di masyarakat menyangkut penyakit masyarakat dan
Pada abad ke 19 dan awal ke 20 para Sosiolog mendefinisikan patologi sebagai berikut :
Patologi Sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan,
stabilitas local, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun
bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Dr. Kartini Kartono (2001).
Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari warga masyarakat sebagai
mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang lain.
Masalah adalah suatu pengertian yang menyatakan antara harapan dan kenyataan (desain dan
desolen) atau dapat diartikan menurut Eko Hadi Wiyono dalam Kamus Bahasa Indonesia
(EYD) 2007, masalah adalah : persoalan atau sesuatu yang harus dipecahkan atau sesuatu
yang harus diselesaikan.
Sosial adalah yang berkenan dengan khayalan yang berkenan dengan masyarakat berkenan
dengan umum seperti suka menolong dan merugikan orang lain.
Patologi berkaitan dengan penyakit sosial murni yang juga berkaitan dengan moralitas seperti
: kemiskinan, kejahatan, pelacuran, alkoholisme, kecanduan, perjudian, dan tingkah laku
yang berkaitan dengan semua peristiwa tadi dinyatakan sebagai gejala penyakit sosial yang
harus diberantas. Dr. Kartini Kartono (2001).
Untuk mengantisipasi munculnya gejolak sosial yang mengakibatkan penyakit sosial maka
adat-istiadat dan kebudayaan itu mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap
tingkah laku anggota masyarakatnya.
Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dan
“buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal. Culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama
artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata latin artinya dengan kebudayaan, atau
mengerjakan, yaitu mengelolah sawah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colere atau
culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengelolah dan mengubah
alam.
Jadi tingkah laku yang yang dianggap tidak cocok, melanggar norma adat-istiadat, atau tidak
terintegrasi dengan tingkah laku umum dianggap sebagai Masalah Sosial.
Dalam konteks seperti ini muncul pertanyaan, siapakah diantara kita semua ini yang berhak
menyebutkan peristiwa sosial itu sebagai gejala “patologi” atau sebagai “masalah sosial”?
Orang yang dianggap “Kompeten” menilai tingkah laku orang lain sebagai Patologis itu
antara lain : pejabat, politisi, pengacara, hakim, polisi, dokter, rohaniawan, dan kaum
ilmuwan dibidang sosial. Sekalipun mereka adakalanya membuat kekeliruan dalam
membuat analisa dan penilaian terhadap gejala sosial, namun mereka itu pada
umumnya dianggap mempunyai peranan menentukan dalam memastikan baik
buruknya pola tingkah laku masyarakat. Mereka juga berhak untuk menunjukkan
aspek-aspek kehidupan sosial yang harus atau perlu diubah dan diperbaiki.
Ada orang berpendapat, bahwa pertimbangan nilai (Value judgment) mengenai baik
buruknya itu sebenarnya bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang objektif sebab
penialain itu sifatnya sangat subjektif. Karena itu ilmu pengetahuan murni harus
meninggalkan generalisasi-generalisasi etis dan penilaian etis (susila, baik dan buruk).
Sebaliknya kelompok lain berpendapat , bahwa dalam kehidupan seharui-hari manusia
dan kaum ilmuwan tidak mungkin jika tidak menggunakan pertimbangan nilai. Sebab
opini mereka selalu saja merupakan keputusan yang dimuati dengan penilaian-
penilaian tertentu.
Untuk menjawab dua pendapat diatas dengan penilaian tertentu maka ada tiga jawaban yaitu :
Dan kemudian untuk menjawab dua pendirian kontroverisial bertentangan ini, kita akan
tinjau masalah ini lebih dalam :
Pertama, ilmu pengetahuan itu sendiri selalu mengandung nilai-nilai tertentu, sebab
menyangkut masalah mempertanyakan dan memecahkan kesulitan hidup secara
sistematik itu selalu dengan jalan menggunakan metode dan teknik-teknik yang
berguna dan bernilai. Disebut bernilai karena dapat memenuhi kebutuhan manusiawi.
Kedua, ada keyakinan etis pada diri manusia bahwa penggunaan teknologi dan ilmu
pengetahuan modern untuk menguasai alam (kosmos dan jagad alam) itu diperlukan
sekali demi kesejahteraan dan pemuasan kebutuhan hidup pada umumnya. Jadi ilmu
pengetahuan dengan sendirinya memiliki sistem nilai.
George Lundberg, tokoh yang dianggap dominan dalam aliran neo-positifisme dalam
sosiologi berkeyakinan bahwa ilmu pengetahuan itu sifatnya otoriter karena ilmu
C.C North, seorang sosiolog lain dalam bukunya Social Problems and Social Planning
menyatakan bahwa dalam usaha pencapaian tujuan serta sasaran hidup bernilai bagi suatu
kebudayaan masyarakat harus diserakan etik sosial guna menentukan cara pencapaian sasaran
tadi. Jadi cara dan metode pencapaian itu secara etis susila harus bisa
dipertanggungjawabkan, sebabnya ialah manusia normal itu dibekali oleh alam dengan
budidaya dan hati nurani sehingga ia dianggap mampu menilai baik dan buruknya setiap
peristiwa.
Masalah-masalah sosial itu pada hakekatnya juga merupakan fungsi-fungsi struktural dan
totalitas sistem sosial. Formulasi alternatif untuk melengkapi arti “masalah sosial” ialah
“Disorganisasi Sosial”. Disorganisasi sosial kadang kala disebut pula sebagai disentergrasi
sosial dan selalu diawali dengan analisa-analisa mengenai perubahan-perubahan dan proses-
proses organik. Teori cultural lag (kelambatan budaya atau kelambatan kultural) menyatakan
sebagai berikut: apabila bermacam-macam bagian dari kebudayaan berkembang secara tidak
imbang atau tidak sesuai dengan perkembangan terknologi dan ilmu pengetahuan maka
kebudayaan tadi akan mengalami proses kelambatan kultural (cultural lag, kelambatan
budaya). Kondisi sosial semacam ini bisa disamakan dengan disorganisasi sosial atau
disintegrasi sosial.
Lenyapnya intimitas organic dari relasi sosial itu dianggap pertanda utama dari Masyarakat
yang tengah mengalami proses disorganisasi atau disintegrasi yang kemudian digantikan
dengan pola individualisme ekstrem dan nafsu pementingan diri sendiri.
Sebagai pionir-pionir dibidang sosiologi adaah : W.I Thomas dan Charles. H. Cooley, yang
banyak menyoroti masyarakat primer yang kecil strukturnya dengan intelerasi yang intim
dan menemukan abnormalitas dalam masyarakat sekunder yang terorganisir secara formal
seperti yang terdapat di kota-kota besar. Cooley menganggap kehidupan sosial itu sebagai
proses organic dalam nama terdapat interaksi yang timbal balik dengan masyarakat dengan
individu.
Adanya formalisme atau yang disebut disorganisasi sosial menurut Cooley karena hilangnya
wibawa sebagai pejabat atau penentu kebijakan dalam suatu organisasi yang tidak tanggap
terhadap kebutuhan para anggota masyarakat yang akibatnya banyak memproduksi tingkah
laku sosiopatologis.