Anda di halaman 1dari 5

A.

BEBERAPA TEORI MENGENAI KEJAHATAN

1. Teori Teologis
Menyatakan kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang jahat sifatnya, setiap orang normal
bisa melakukan kejahatan sebab didorong oleh roh-roh jahat dan godaan setan/iblis atau nafsu-
nafsu durjana angkara dan melanggar kehendak Tuhan. Dalam keadaan setengah atau tidak sadar
karena terbujuk oleh godaan iblis, orang baik-baik bisa menyalahi perintah-perintah Tuhan dan
melakukan kejahatan. Maka, barangsiapa melanggar perintah Tuhan dia harus mendapat
hukuman sebagai penebus dosa-dosanya.

2. Teori filsafat tentang Manusia (Antropologi Transendental)


Menyebutkan adanya dialektika antara pribadi/persona jasmani dan pribadi rohani. Persona
rohani disebut pula sebagai JIV atau jiwa, yang berarti “lembaga kehidupan” atau “daya hidup”.
Jiwa ini merupakan prinsip keselesaian dan kesempurnaan, dan sifatnya baik, sempurna serta
abadi dan tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu jiwa mendorong manusia kepada
perbuatan-perbuatan yang baik dan susila, mengarahkan manusia kepada usaha transedensi
(memanjat keatas, mengatasi realitas indriawi, tidak terhingga, melampaui unsur kebendaan) diri
dan konstruksi diri.
Selanjutnya jiwa itu menggejala atau berfenomena, mendunia atau mencebur dalam dunia
dengan jalan masuk dalam lingkungan jasmani atau menjadi unsur jasmani yang kongktet.
Jasmani manusia itu merupakan prinsip ketidakselesaian atau perubahan dan sifatnya tidak
sempurna. Prinsip ketidakselesaian ini mengarahkan manusia pada destruksi, kerusakan,
kemusnahan, dan kejahatan (hal-hal yang tidak susila). Jadi oleh sifat-sifat jasmaniahnya itu
manusia mempunyai kecenderungan-kecenderungan mengarah kepada kebinasaan, kejahatan,
dan destruksi diri apabila kecenderungan tersebut tidak dapat dikendalikan oleh JIV/jiwa.
Kecenderungan mengarah pada kebinasaan dan kejahatan ini disebut sebagai kecenderungan
“menggelinding ke bawah”, yang berlangsung dengan mudah atau otomatis. Sedang aktivitas
manusia menuju pada konstruksi diri dan transedensi diri dengan melakukan perbuatan-
perbuatan mulia dan luhur benar-benar merupakan usaha yang pelik dan berat dan setiap saat
harus diperjuangkan secara gigih agar tidak terseret “ke bawah” melakukan kejahatan.
Maka dinamika manusia itu merupakan resultant (gaya paduan) dari “otomatisme
mengelinding ke bawah” pada kejahatan dan destruksi dengan upaya mengarah pada
penyempurnaan diri atau transedensi diri. Jadi kehadiran manusia di dunia ini merupakan
perjuangan yang terus-menerus untuk membangun realitas dan mengembangkan dirinya,
mengalahkan unsur-unsur kejahatan, kerusakan dan ketidaksusilaan untuk menuju pada
“kesempurnaan”, namun dalam kenyataannya kesempurnaan itu tidak akan pernah dicapai oleh
manusia.

3. Teori Kemauan Bebas (Free Will)


Menyatakan bahwa manusia itu bisa bebas berbuat menurut kemauannya. Dengan kemauan
bebas dia berhak menentukan pilihan dan sikapnya untuk menjamin agar setiap perbuatan
berdasarkan kemauan bebas itu cocok dengan keinginan masyarakat, maka manusia harus diatur
dan ditekan dengan hukum norma-norma sosial dan pendidikan. Hukum dan hukuman biasanya
disertai ancaman-ancaman pidana yang menakutkan, agar manusia merasa ngeri dan takut
berbuat kejahatan dan tidak menyimpang dari pola kehidupan normal.
Teori Kemauan Bebas tidak menyebutkan roh-roh jahat sebagai sebab–musabab kejahatan,
akan tetapi sebab kejahatan adalah kemauan manusia itu sendiri. Jika dia dengan sadar benar
berkeinginan melakukan perbuatan durjana maka tidak ada seorangpun, tidak satu Dewa pun,
bahkan tidak juga Tuhan dan sebuah Kitab Suci pun yang bisa melarang perbuatan kriminalnya.
Orang-orang jahat yang selalu melakukan tindak durjana, bikin onar, dan kesengsaraan pada
orang lain itu perlu ditindak, dihukum, dan di didik kembali oleh masyarakat.

4. Teori Penyakit Jiwa


Menyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat psikis sehingga individu yang
berkelainan ini sering melakukan kejahatan-kejahatan. Penyakit jiwa tersebut berupa psikopat
dan defekt moral.
Psikopat adalah bentuk kekalutan mental yang ditandai dengan tidak adanya
pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi, orangnya tidak pernah bisa bertanggung jawab
secara moral dan selalu berkonflik denga norma-norma sosial serta hukum dan biasanya juga
bersifat immoral. Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu a-sosial, eksentrik (kegila-gilaan),
kurang memiliki kesadaran sosial dan inteligensia sosial, mereka amat fanatik dan sangat egoistis
juga selalu menentang norma lingkungan dan norma etis, sikapnya aneh-aneh, sering berbuat
kasar, kurang ajar dan ganas/buas terhadap siapapun tanpa suatu sebab, sikapnya senantiasa
menyakitkan hati orang lain, dan seringkali bertingkah laku kriminal.
Defekt (rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat kurang) moral atau defisiensi (kurang,
tidak sempurna, tidak ada, tidak efisien) moral dicirikan dengan : individu-individu yang
hidupnya deliquent/jahat, selalu melakukan kejahatan kedurjanaan, dan bertingkah laku a-sosial
atau anti-sosial walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan atau gangguan intelektual
(tapi ada disfungsi atau tidak berfungsinya intelegensi). Kelemahan dan kegagalannya terutama
ialah : dia tidak memiliki kemampuan untuk mengenal, memahami, mengendalikan, dan
mengatur laku yang salah dan jahat (mis-conduct), sehingga sering melakukan kekerasan,
penyerangan, dan kejahatan. Dia selalu gagal dalam usahanya mengadakan konformitas
terhadap hukum, norma, dan standar sosial yang berlaku pada saat itu. Jika individu-individu
defekt moral ini melakukan kejahatan-kejahatan maka dia tidak dianggap gila sehingga bisa
luput dari tuntutan tindak pidana, akan tetapi mereka harus mempertanggungjawabkan semua
tindakannya dan dikenai hukum.
Banyak orang yang defekt moralnya memiliki simptom-simptom psikotis khususnya berupa
penyimpangan dalam relasi kemanusiaan, sikapnya dingin beku tanpa afeksi atau perasaan. Jadi
ada kemiskinan dan sterilitas emosional terhadap sesama manusia, relasinya sangat longgar
dengan orang lain dan tidak punya harga diri. Ada kelemahan pada dorongan-dorongan instinkif
yang primer sehingga pembentukkan super egonya lemah sekali. Impuls-impulsnya tetap ada
dalam tingkat primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan, dia cepat merasa puas dan
sering dibarengi kemarahan yang meledak-ledak penuh sikap bermusuhan dan selalu melakukan
perbuatan jahat/kriminal. Jumlah pembunuh-pembunuh kejam yang moral defisien yang tidak
memiliki perasaan belas kasihan dan peri kemanusiaan ada dua kali lipat banyaknya daripada
pembunuh-pembunuh normal, juga pembakar-pembakar kronis yaitu orang-orang yang
dihinggapi pyromania (nafsu yang pathologis untuk melakukan pembakaran di mana-mana)
lebih banyak yang defekt/defisien moralnya. Pemerkosa-pemerkosa seksuil tidak wajar pada
umumnya adalah defekt moralnya.
Para narapidana yang defekt moralnya itu pada galibnya adalah kriminal-kriminal yang tidak
bisa diperbaiki lagi yaitu kaum residivis yang melakukan kejahatan-kejahatan menurut insting-
insting, impuls-impuls, dan kebiasaan-kebiasaan yang sangat primitif dan rendah. Di antara
penjahat-penjahat habitual (karena kebiasaan) dan kaum residivis tersebut, lebih kurang 82%
mengalami kerusakan psikis disebabkan oleh disposisi dan perkembangan mental yang salah,
sedang lebih kurang 18% dari mereka itu menjadi penjahat disebabkan oleh faktor-faktor
eksternal atau lingkungan.
Pada umumnya bentuk tubuh penjahat-penjahat habitual dan residivis-residivis itu lebih
kecil daripada tubuh orang normal, berat badannya juga kurang daripada bobot orang dewasa
pada umumnya dan sering kali mempunyai anomali-anomali (kelainan) jasmaniah. Jelaslah kini
bahwa pengaruh lingkungan itu sangat kecil untuk menjadikan seseorang defekt moralnya,
kemungkinan psikis yang abnormal (82%) lebih menentukan pertumbuhan menjadi defekt moral.
Selanjutnya defekt moral yang ekstrem biasanya digolongkan ke dalam tipe psikopat.

5. Teori fa’al Tubuh (Fisiologis)


Teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah : ciri-ciri jasmaniah dan bentuk
jasmaniahnya yaitu pada bentuk tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang, telinga, leher,
lengan, tangan, jari-jari, kaki, dan anggota badan lainnya. Semua ciri fisik itu mengkonstitur
kepribadian seseorang dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal. Penganut-penganut teori
ini antara lain ialah Dr. G Frans Joseph Call (Sosiolog), Agus Compte dan M. B. Samson,
khususnya mazhab Italia dengan pelopornya Cecare Lombroso (1835-1909) seorang profesor
ilmu kedokteran kehakiman, ahli penyakit jiwa sekaligus seorang antropolog terkenal di
Universitas Turin banyak melakukan penyelidikan dan pengukuran terhadap tengkorak-
tengkorak dan individu-individu dengan kekejaman luar biasa, maka Lambroso mencatat adanya
kelainan-kelainan pada bentuk tengkorak, dahi, rahang, gigi-gigi, dan tulang pipi. Pada
umumnya penjahat-penjahat sadis itu mempunyai ciri-ciri jasmaniah khusus dan mereka itu
dikelompokkan dalam “tipe Lambroso” atau tipe kriminal. Kebanyakan dari para kriminal itu
mengidap penyakit ayan/epilepsi sejak lahir, ringkasnya sebab-musabab kejahatan-kejahatan itu
terletak pada konstitusi jasmaniah yang mempengaruhi kehidupan jiwani yang sudah ada sejak
lahir. Sebenarnya pelopor-pelopor dari kriminologi modern adalah : Cecare Lambroso, Enrico
Ferri (1856-1928) dan Rafaella Garofalo yang secara bersama-sama membangun Sekolah Italia
(mazha Italia), Lombroso berkeyakinan bahwa orang-orang kriminal itu mempunyai konstitusi
psikofisik dan tipe kepribadian yang abnormal yang jelas bisa dibedakan dari orang-orang
normal.
Mereka memiliki stigmata (ciri-ciri, tanda selar) karakteristik, yang sifatnya bisa :
a) Fisiologis – anatomis : dengan ciri-ciri khas pada tubuh dan anggota serta
anomali/kelainan jasmaniah;
b) Psikologis : dengan ciri-ciri psikopatik, neurotik atau gangguan sistem syaraf,
psikotik atau gila, dan defekt moral.
c) Sosial : bersifat anti-sosial dan mengalami disorientasi sosial.
Pengikut-pengikut Lombroso kemudian menjelaskan tipe-tipe kriminal dengan prinsip-
prinsip atavisme. Prinsip ini menyatakan adanya proses kemunduran kepada pola-pola primitif
dari speciesnya yaitu tiba-tiba muncul ciri-ciri milik nenek moyang yang semula lenyap selama
berabad-abad dan kini timbul kembali. Teori avatisme ini mencoba membuktikan dan
membandingkan ciri-ciri karakteristik yang anatomis dan organik dia antara penjahat-penjahat
dengan orang-orang primitif. Ternyata bahwa ciri-ciri dan tingkah laku kaum kriminal itu mirip
sekali dengan tingkah laku orang primitif yang liar-kejam, barbarik, bengis, dan lalim.

Anda mungkin juga menyukai