Anda di halaman 1dari 16

Dewasa ini, banyak teori yang berkembang berhubungan dengan faktor-faktor

penyebab terjadinya kejahatan. Ahli biologi menjelaskan gejala kejahatan sebagai


gejala biologis yang mempengaruhi tingkah laku manusia; ahli indokrinologi menduga
adanya pengaruh kelenjar indokrin terhadap tingkah laku manusia; ahli psikologi
menjelaskannya melalui aspek psikologis yang mempengaruhi tingkah laku manusia;
psikiater menjelaskan gejala kejahatan dipengaruhi adanya gangguan jiwa pada
pelakunya; dan ahli sosiologi menjelaskannya sebagai gejala sosial yang merugikan
masyarakat. Teori-teori yang berkembang inipun tentu berbeda-beda antara yang satu
dengan yang lainnya.
Adapun faktor penyebab terjadinya kejahatan menurut beberapa teori yaitu sebagai
berikut (Kartini Kartono,1992:136-150) :

1. Teori teologis

Teori ini menyatakan bahwa setiap orang normal bisa melakukan kejahatan sebab
didorong oleh roh-roh jahat dan godaan setan/iblis atau nafsu-nafsu durjana angkara,
dan melanggar kehendak Tuhan.

2. Teori filsafat tentang manusia

Teori ini menyebutkan adanya dialetika antara pribadi/persona jasmani dan pribadi
rohani. Persona rohani ini disebut pula sebagai jiwa. Persona rohani merupakan prinsip
keselesaian dan kesempurnaan dan sifatnya baik serta abadi dan tidak ada yang perlu
diperbaiki lagi. Oleh karena itu, persona rohani mendorong pada perbuatan-perbuatan
yang baik dan mengarahkan manusia pada usaha transendensi diri dan rekonstruksi
diri. Selanjutnya jiwa itu akan menggejala atau berfenomena dan menceburkan diri ke
dalam dunia dengan jalan masuk ke dalam limgkungan jasmani. Jasmani manusia
merupakan prinsip ketidakselesaian dan tidak sempurna. Prinsip inilah yang
mengarahkan manusia pada destruksi, kerusakan, kemusnahan, dan kejahatan.

3. Teori kemauan bebas (free will)

Teori ini menyatakan bahwa sebab terjadinya kejahatan adalah kemauan manusia itu
sendiri.

4. Teori penyakit jiwa

Teori ini menyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat psikis, sehingga


individu yang berkelainan ini sering melakukan kejahatan-kejahatan. Penyakit jiwa
tersebut berupa psikopat dan defektmoral.

5. Teori fa’al tubuh (fisiologis)

Teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah ciri-ciri jasmaniah dan bentuk
jasmaniahnya. Yaitu pada bentuk tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang,
telinga, leher, lengan, tangan, jari-jari, dan anggota badan lainnya.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat lima teori atau mahzab yang sangat
menonjol dalam kriminologi, yaitu:

1. Teori yang menitikberatkan pengaruh antropologis yang disebut mahzab Italia

Pelopor dari mahzab ini adalah Cessare Lambrosso, Enrico Ferri dan Rafaelle
Gorofalo. adapun beberapa pendapat dari para ahli penganut aliran ini yaitu:
Berdasarkan penelitiannya, Lombrosso ( A.S. Salam,2010: 36) mengklasifikasikan penjahat
kedalam 4 golongan, yaitu :
 Born criminal, yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme.
 Insane criminal, yaitu orang menjadi penjahat sebagai hasil dari beberapa
perubahan dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan mereka untuk
membedakan antara benar dan salah. Contohnya adalah kelompok idiot, embisil, atau
paranoid.
 Occasional criminal, atau Criminaloid, yaitu pelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya. Contohnya
penjahat kambuhan (habitual criminals).
 Criminal of passion, yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya
karena marah, cinta, atau karena kehormatan. Meskipun teori Lombrosso dianggap
sederhana dan naïf untuk saat ini.

Franz Joseph Gall (Kartini Kartono,1992:144) seorang pembina phrenology dan


psikologi fisiologis menyatakan:
“timbulnya kejahatan disebabkan oleh degenerasi jasmani-rohani atau oleh
retrograde/kemunduran unsur psikis dan fisik. Khususnya kejahatan itu disebabkan
oleh efek-efek degeneratif dari pusat otak.”

Marro (italia) (Kartini Kartono,1992:144) berkata:


“kriminalitas itu disebabkan oleh kerusakan gizi pada sistem syaraf di sentral
otak,sehingga mengakibatkan kerusakan fungsi dari mekanisme manusia untuk
mengadakan pengontrolan dan pengendalian diri.”
2. Teori yang menitikberatkan faktor lingkungan sosial atau mahzab Perancis

Mahzab ini dengan tegas menyatakan bahwa pengaruh paling mementukan dalam
penyebab kejahatan ialah faktor-faktor eksternal atau lingkungan sosial dan kekuatan-
kekuatan sosial. Gabriel Tarde dan Emile Durkheim menyatakan: kejahatan merupakan
insiden alamiah. Merupakan gejala sosial yang tidak bisa dihindari dalam revolusi
sosial, dimana secara mutlak terdapat satu minimum kebebasan individual untuk
berkembang, juga terdapat tingkah laku masyarakat yang tidak bisa doduga-duga untuk
mencuri keuntungan dalam setiap kesempatan. Filsuf Aristoteles menyebutkan adanya
hubungan di antara masyarakat dengan kejahatan juga Thomas Van Aquino
menyatakan timbulnya kejahatan disebabkan oleh kemiskinan.

3. Mahzab bio-sosiologis yang merupakan campuran mahzab Italia dan Perancis

Enrico Ferri adalah seorang pembantu Lambrosso yang merupakan pelopor mahzab
ini. Ia menyatakan bahwa kejahatan tidak hanya disebabkan oleh konstitusi biologis
yang ada pada diri individu saja tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor eksternal. ada 3
faktor penyebab kejahatan menurut Ferri (Kartini Kartono,1992:142-143), yaitu:

1. individual (antropologis) yang meliputi: usia, jenis kelamin, status sipil,


profesi atau pekerjaan, tempat tinggal atau domisili, tingkat sosial, pendidikan,
konstitusiorganis dan psikis.
2. Fisik (natural,alam) : ras, suku, iklim, fertilitas, disposisi bumi, keadaan
alam diwaktu malam dan siang hari, musim, kondisi meteorik atau keruang
angkasa, kelembaban udara, dan suhu.
3. Sosial, meliputi: kepadatan penduduk, susunan masyarakat, adat
istiadat, agama, orde pemerintah, kondisi ekonomi, industri, pendidikan,
jaminan sosial, dan lain-lain.

4. Teori susunan ketatanegaraan

beberapa filsuf dan negarawan yaitu plato (427-347 S.M.) aristoteles (384-322 S.M.)
dan Thomas Moore dari Inggris (1478-1535) beranggapan bahwa struktur
ketatanegaraan dan falsafah negara itu turut serta menentukan ada tidaknya kejahatan.

Menurut William Chambils (A. S. Alam, 2010: 75) ada hubungan antara kapitalisme
dan kejahatan seperti dapat ditelaah pada beberapa butir di bawah ini:

1. Dengan diindustrialisasikannya masyarakat kapitalis, dan celah antara


golongan borjuis dan proletariat melebar, hukum pidana akan berkembang
dengan usaha memaksa golongan proletariat untuk tunduk.
2. Mengalihkan perhatian kelas golongan rendah dari eksploitasi yang
mereka alami.
3. Masyarakat sosialis akan memiliki tingkat kejahatan yang lebih rendah
karena dengan berkurangnya kekuatan perjuangan kelas akan mengurangi
kekuatan-kekuatan yang menjurus kepada fungsi kejahatan.

5. Mahzab spiritualis

Mahzab ini mencari sebab-sebab kejahatan pada faktor tidak beragamanya individu.
Menurut mahzab ini, ketidakpercayaan pada tuhan yang maha kuasaitu menimbulkan
banyak ketakutan, kecemasan, dan kebingungan. Dan sebagai akibatnya, sering timbul
agresivitas dan sifat asosial, yang mudah menjerumuskan manusia kepada kejahatan-
kejahatan. Orang yang atheistis sering dibayang-bayangi oleh pikiran-pikiran yang
kacau balau dan ide yang kegila-gilaan. Terjadilah kemudian disorganisasi dan
disintegrasi kepribadian, tanpa memiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang wajar. Dan
pengkondisian sedemikian ini mendekatkan dirinya pada perbuatan-perbuatan yang
jahat.
MAKALAH : Kriminologi Kejahatan dan Faktor
Penyebab Kejahatan
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai

perbuatan- perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si

pelaku disebut sebagai penjahat.

Ada empat pendekatan yang pada dewasa ini masih ditempuh dalam menjelaskan

latar belakang terjadinya kejahatan, adalah :

1. Pendekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang mencoba menjelaskan sebab atau

sumber kejahatan berdasarkan faktor-faktor dan proses biologis.

2. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar hukum memberi

respons terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta masalah-masalah

kepribadian yang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.

3. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan dalam hubungannya dengan

poses-proses dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang secara

khusus dikaitkan dengan unsur-unsur didalam sistem budaya.

4. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan tipologi penjahat dalam

hubungannya dengan peranan sosial pelanggar hukum, tingkat identifikasi dengan

kejahatan, konsepsi diri, pola persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau yang

bukan penjahat, kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara melakukan

dan hubungan prilaku dengan unsur-unsur kepribadian serta sejauh mana kejahatan

merupakan bagian dari kehidupan seseorang.


B. Rumusan Masalah

Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum

internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan

penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan

penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah

secara luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai

tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang

dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya

kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti

yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan

Yugoslavia

Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun

2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU

tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi

kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari

serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut

ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.

Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran

HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran

HAM berat lainnya ialah Genosida, Kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

C. Tujuan Penulisan

1. Mengenal dan memahami ciri-ciri, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan


2. Mengetahui latar belakang terjadinya kejahatan, teori-teori tentang kejahatan, dan juga

upaya untuk menanggulanginya

3. Meningkatkan pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan akibat adanya kejahatan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kejahatan
Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun

2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut

dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap

kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang

meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara

langsung terdapat penduduk sipil.

Selain itu ada juga beberapa definisi tentang kejahatan menurut para ahli,

diantaranya :

1. Menurut B. Simandjuntak, kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang

merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan

dalam masyarakat.

2. Menurut Van Bammelen, kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila

dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu

masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan

menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja

diberikan karena kelakuan tersebut.


3. Menurut R. Soesilo, ia membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan

pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan

adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang- undang.

Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan

atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan

masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

4. Menurut J.M. Bemmelem, ia memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial

yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam

masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus

menjatuhkan hukuman kepada penjahat.

5. Menurut M.A. Elliot, ia mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam

masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi

hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.

6. Menurut W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat

anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian

penderitaan.

7. Menurut Paul Moedikdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan pelanggaran norma

hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang

merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).

8. Menurut J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks

Dalam Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu,

merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan

dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif),

yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu
perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan

hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

Walter C. Recless membedakan karir penjahat ke dalam penjahat biasa, penjahat

berorganisasi dan penjahat profesional. Penjahat biasa adalah peringkat terendah dalam

karir kriminil, mereka melakukan kejahatan konvensional mulai dari pencurian ringan

sampai pencurian dengan kekerasan yang membutuhkan keterampilan terbatas, juga

kurang mempunyai organisasi. Penjahat terorganisasi umumnya mempunyai organisasi

yang kuat dan dapat menghindari penyelidikan, serta mengkhususkan diri dalam bisnis

ilegal berskala besar, Kekuatan, kekerasan, intimidasi dan pemerasan digunakan untuk

memperoleh dan mempertahankan pengendalian atas kegiatan ekonomi diluar hukum.

Adapun penjahat professional lebih mempunyai kemahiran yang tinggi dan mampu

menghasilkan kejahatan yang besar dan yang sulit diungkapkan oleh penegak hukum.

Penjahat-penjahat jenis ini mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih

membutuhkan keterampilan daripada kekerasan.

B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan


Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba,

diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya

dalam masalah "urban crime"), antara lain:

a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/ kekurangan

perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yanag tidak cocok/serasi.

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena 81

proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial

c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga


d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke

kota-kota atau ke negara-negara lain.

e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan

adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial,

kesejahteraan clan lingkungan pekerjaan

f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong

peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas

lingkungan/bertetangga

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi

sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat

kerjanya atau lingkungan sekolahnya

h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperlukan

karena faktor-faktor yang disebut diatas

i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan

penadahan barang-barang curian

j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap

yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak

toleransi.

C. Tipe Kejahatan
Marshall B. Clinard dan Richard Quinney memberikan 8 tipe kejahatan yang

didasarkan pada 4 karakteristik, yaitu :

a. Karir penjahat dari si pelanggar hukum

b. Sejauh mana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok

c. Hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah


d. Reaksi sosial terhadap kejahatan.

Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut :

1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan

kriminil seperti pembunuhan dan perkosaan. Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai

penjahat dan seringkali belum pemah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya,

melainkan karena keadan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya.

2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk kedalamnya

antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya

sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.

3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada

umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang

dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan

bagian dari pekerjaan sehari-hari.

4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dan sebagainya.

Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegai itu sangat penting dalam

mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat.

5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai

penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat,

misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal

dan terbatas.

6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk

pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya

sebagai part time- Carreer dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan.
Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal

ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar.

7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran,

perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebaigainya. Pelaku yang

berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama

mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari

masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga

masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal dilingkungan-

lingkungan pemukiman yang baik.

8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka

memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain

serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering juga cenderung

terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat

terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.

D. Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali

muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan

hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum

(hak puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam

menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh

Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :

Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya

pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya,

pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka
pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang

bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan

melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain

pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.

Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk

membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-

manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak

pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah

berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :

a. teori absolut atau teori pembalasan

b. teori relatif atau teori tujuan

c. teori gabungan

E. Teori-teori Kejahatan
1. Teori Belajar Sosial

Teori Differential Association dari Sutherland, pada pokoknya, mengetengahkan

suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan

dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari melalui interaksi pelaku

dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar

itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan, motif-motif, dorongan-

dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran argumentasi yang mendukung

dilakukannya kejahatan.

2. Teori Kontrol Sosial

Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di dalam

masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar hukum. Dalam
kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang bersifat positif, yakni

Attachment, Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang diyakini merupakan

mekanisme penghalang bagi seseorang yang berniat melakukan pelanggaran hukum.

3. Teori Label

Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk

mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan

dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan

pelaku kejahatan.

Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan

permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua,

pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah

dilakukan oleh pelaku kejahatan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah ‘politik

kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter

Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application)

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat

mass media (influencing views of society on crime and punishment/massa media).


Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi

dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal' (bukan/diluar

hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas upaya-upaya yang

disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal.

Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat

jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi,

sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum

kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif

pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.

B. Saran
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat akan
pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu
antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai