Anda di halaman 1dari 126

MAKALAH

MANAJEMEN BENCANA DAN KLB


“Peraturan Dan Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia”

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK 1

Assyifah Rahmatika P 101 20 036


Dinda Rifqa Arifa A. Djuni P 101 20 072
Noviyanti P 101 20 144
Adewiyantisa P 101 20 228
Nuraini P 101 20 180
Risma P 101 20 024
Nurafdalia N P 101 20 204
Putri Esti Brata Gagola P 101 20 210
Nadya Anggraeni P 101 20 102
Deta Nispen Halawa P 101 20 090
Diky Wahyudi P 101 20 282
Ruswan Tioki P 101 20 240

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TADULAKU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Peraturan
dan Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia”

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
bidang mata kuliah manajemen bencana. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan penulis.

Kami menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Palu, 14 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB 1 ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 3
2.1 Definisi Sistem Menurut UU No. 24 Tahun 2007 .................................................... 3
2.2 Definisi Bencana Alam, Non-alam, dan Sosial Menurut UU No. 24 Tahun 2007..... 3
2.3 Penanggulangan Bencana Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 .............................. 3
2.4 Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia ........................................................ 4
BAB III ................................................................................................................................. 5
STUDI KASUS..................................................................................................................... 5
3.1 Contoh Kasus .......................................................................................................... 5
BAB IV................................................................................................................................. 8
PENUTUP ............................................................................................................................ 8
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 8
4.2 Saran....................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 9

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis (UU 24/2007).

Indonesia menyadari bahwa masalah kebencanaan harus ditangani secara serius.


Kebencanaan merupakan pembahasan yang sangat komprehensif dan multi dimensi.
Menyikapi kebencanaan yang frekuensinya terus meningkat setiap tahun, pemikiran
terhadap penanggulangan bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua
pihak. Indonesia relatif terlambat menyusun sebuah kerangka regulasi sistem
penanggulangan bencana yang komprehensif. Jika melihat kondisi geografis negara
Indonesia yang merupakan wilayah dengan ancaman bencana geologis maupun
hidrometeorologis.

Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko ancaman
bencana yang tinggi. Seperti diketahui bahwa Indonesia memilki sekitar 500 gunung api,
di mana sekitar 127 diantaranya merupakan gunung api aktif. Selain itu, Indonesia juga
memiliki sekitar 300 patahan lempeng yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia,
terutama di daerah pantai barat Sumatera, Jawa, Sulawesi, hingga ke Papua. Indonesia
juga berada pada pertemuan tiga subduksi, yaitu Indo Australia, Eurasia, dan Pasifik,
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2010 setidaknya ada 13 jenis
bencana yang selalu mengancam negeri kepulauan ini yaitu bencana geologi (gempa
bumi, tsunami, erupsi gunung berapi), bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor,
kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, puting beliung dan gelombang pasang) bencana
biologi (epidemic, wabah penyakit) dan bencana sosial (konflik sosial dan teror).

Menyikapi kebencanaan yang frekuensinya terus meningkat setiap tahun, Di


Indonesia sendiri, pemerintah telah berupaya merespon berbagai kejadian bencana di
Indonesia dengan membangun suatu peraturan dan sistem penanggulangan bencana dari
segi legislasi, kelembagaan, pendanaan.

1
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang didapatkan adalah bagaimana
peraturan dan sistem penanggulangan bencana di Indonesia.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulis dapat mengetahui peraturan dan sistem penanggulangan bencana di Indonesia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bencana Menurut UU No. 24 Tahun 2007


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.

2.2 Definisi Bencana Alam, Non-alam, dan Sosial Menurut UU No. 24 Tahun 2007
 Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor.
 Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
 Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

2.3 Penanggulangan Bencana Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007


Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Adapun Prinsip-prinsip dalam
penanggulangan bencana , yaitu:
a) cepat dan tepat;
b) prioritas;
c) koordinasi dan keterpaduan;
d) berdaya guna dan berhasil guna;
e) transparansi dan akuntabilitas;
f) kemitraan;
g) pemberdayaan;
h) nondiskriminatif;
i) nonproletisi.

3
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:

1) memberikan pelindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;


2) menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
3) menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh;
4) menghargai budaya lokal;
5) membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
6) mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan;
7) menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2.4 Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia


Secara umum, sistem penanggulangan bencana merupakan suatu kerangka konseptual
yang saling terintegrasi dengan beberapa aspek, yaitu: kerangka legislasi (regulation),
perencanaan (planning), kelembagaan (institutional), pendanaan (budjeting),
pengembangan kapasitas (capacity building) dan penyelenggaraan penanggulangan
bencana (disaster management implementation). Sistem penanggulangan bencana yang
tertuang dalam dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Sistem
Penanggulangan Bencana sudah sepatutnya diterapkan diseluruh wilayah Indonesia
mengingat Indonesia berisiko tinggi terhadap bencana (Kristian, 2018). Walaupun sistem
penanggulangan bencana secara nasional tersebut telah disusun pada dalam kerangka
konseptual, namun implementasi sistem penanggulangan bencana juga sangat bersifat
lokalitas. Masing-masing daerah memiliki kearifan lokal dalam penanggulangan bencana
maupun mengelola risiko bencana.

4
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Contoh Kasus


Contoh : “Implementasi Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 dalam Penanggulanan
Bencana di Lampung Selatan”
Penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen
bangsa, oleh karena itu perubahan pada aspek kebijakan, kelembagaan, koordinasi, dan
mekanisme memungkinkan terbukanya ruang untuk partisipasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, dunia usaha, dan masyarakat internasional. 19 Penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat dan
pascabencana. Tahap-tahap yang dilakukan mengacu pada Undang Undang Nomor 24
Tahun 2007 yang dilaksanakan dengan Peraturan Bupati Lampung Selatan Nomor 05
Tahun 2011 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Bupati Lampung Selatan
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Prosedur Tetap Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Lampung Selatan.
1) Prabencana Perwujudan nilai kemanusiaan yang dilakukan Pemerintah Daerah
berkaitan dengan hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan dan
keterampilan dilakukan melalui upaya meningkatkan kesiapsiagaan aparat desa dan
masyarakat terhadap bencana. Pemerintah Daerah melalui BPBD membuat desa
siaga bencana, yang bertujuan agar masyarakat mengetahui hal-hal yang harus
diperbuat baik saat tidak terjadi bencana maupun ketika terjadi bencana. Pelatihan
yang diadakan dnengan sasaran utamanya adalah desa-desa pinggir pantai agar
menjadi desa tangguh bencana. Kegiatan tersebut masih terbatas. Baru 5 desa yang
dilatih yakni desa Banding, Sukaraja, Waymuli, Sidomulya dan Talangbaru. Dalam
satu desa dipilih 60 orang yang dilatih, sehingga kalau terjadi bencana mereka tahu
apa yang harus dikerjakan, dan bisa membantu warga yang lain.
2) Tanggap Darurat Penetapan status tanggap darurat oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Selatan tertuang dalam Keputusan Bupati Lampung Selatan
Nomor: B/ 400/VI.02/HK/2018 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat
Penanganan Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung Selatan. Penetapan status
tanggap darurat ini dilakukan mengingat bencana tsunami yang melanda beberapa
kawasan di wilayah Kabupaten Lampung Selatan pada tanggal 22 Desember 2018
telah menyebabkan korban jiwa dan terganggunya lingkungan dan pemukiman

5
warga. Selain itu penetapan status tanggap darurat dilakukan untuk mengantisipasi
meluasnya dampak bencana, menghilangkan atau meminimalisir dampak bencana.
Penetapan status tanggap darurat berlangsung selama 7 (tujuh) hari, terhitung sejak
23 Desember 2018 sampai dengan 29 Desember 2018 dan diperpanjangan terhitung
mulai 30 Desember 2018 sampai dengan tanggal 05 Januari 2019. Meski telah
mendapat tambahan waktu masa tanggap darurat, namun Pemerintah Daerah masih
memandang perlu untuk melakukan perpanjangan kedua masa tanggap darurat,
terhitung mulai 06 Januari sampai dengan 19 Januari 2019. Implementasi nilai
kemanusiaan berkaitan prinsip-prinsip penanggulangan bencana dilakukan dengan
cepat dan tepat. Respon cepat dan tepat pada saat terjadi bencana dilakukan oleh
Pemerintah Daerah melalui BPBD dengan mendirikan posko pengendali yang
memiliki tugas pokok mengarahkan, dan dalam koordinasi dengan pihak lain, seperti
Dinas Sosial, Kesehatan, Polisi, TNI, Organisasi Masyarakat (Ormas), Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) terlibat aktif dengan berbagai upaya untuk evakuasi,
pertolongan, pemenuhan kebutuhan dasar dan pencarian orang. Nilai kemanusiaan
juga terwujud dengan memberikan prioritas dan mengutamakan kegiatan
penyelamatan jiwa manusia. Prioritas tindakan kemanusiaan berupa penyelamatan
dan evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan terhadap kelompok
rentan. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana.
3) Masa Transisi Darurat Menuju Pemulihan Pascabencana
Status Transisi Darurat ke Pemulihan adalah keadaan ketika ancaman bencana
cenderung menurun dan atau telah berakhir eskalasinya, akan tetapi gangguan
kehidupan dan penghidupan masyarakat masih tetap berlangsung. 25 Masa transisi
tersebut dalam berbagai peraturan tidak disebutkan jangka waktu maksimal dan hal-
hal yang dilakukan selama masa transisi darurat menuju pemulihan dalam
penanggulangan bencana. Berdasarkan Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor:
B/125/VI.02/HK/2019 tentang Penetapan Status Masa Transisi Darurat Menuju
Pemulihan Pasca Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung Selatan, menunjukkan
bahwa berakhirnya masa tanggap darurat penanggulangan bencana, tidak serta merta
ditetapkan masa pascabencana. Sampai dengan akhir tahun 2019 belum ada
penetapan status pascabencana yang berimplikasi pada tindakan-tindakan yang
semestinya dilakukan pada masa pascabencana. Masa Transisi Darurat Menuju
Pemulihan Pasca Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung Selatan dalam jangka
waktu 90 (sembila puluh) hari sejak tanggal 20 Januari 2019 sampai dengan 20 April

6
2019. Masa transisi diperpanjangan untuk waktu 30 (tiga puluh) hari, terhitung sejak
tanggal 21 April 2019 sampai dengan 20 Mei 2019. Setelah perpanjangan masa
transisi darurat menuju pemulihan pasca bencana tsunami berakhir, maka pada 21
Mei 2019 ditetapkan Perpanjangan Kedua Status Masa Transisi Darurat Menuju
Pemulihan Pasca Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung Selatan yang berlaku
selama 60 (enam puluh) hari, sejak tanggal 21 Mei 2019 sampai dengan tanggal 19
Juli 2019. Berdasarkan beberapa Surat Keputusan Bupati Lampung Selatan tersebut
di atas, masa tanggap darurat berlangsung selama 28 (dua puluh delapan) hari
terhitung sejak tanggal 23 Desember 2018 sampai dengan 19 Januari 2019.
Sedangkan masa transisi darurat menuju pemulihan pasca bencana tsunami
berlangsung selama 180 (seratus delapan puluh) hari, terhitung sejak 20 Januari 2019
sampai dengan 19 Juli 2019. Pada masa transisi Pemerintah Kabupaten Lampung
Selatan menyiapkan lahan-lahan yang dapat dipergunakan untuk hunian sementara
(Huntara). Penyediaan huntara di 9 titik yaitu di Desa Kunjir, Way Muli timur,
Waymuli Induk, Sukaraja, Rajabasa, Banding, eks hotel 56, Sidomulya,
KatibungTarahan dengan total huntara 357 unit.26 Pascabencana Pascabencana
merupakan masa pemulihan. Pemerintah Daerah dalam proses ke arah pemulihan
melakukan pembuatan hunian tetap (huntap). Huntap tersebut di peruntukkan bagi
korban bencana yang rumahnya termasuk dalam kriteria kerusakan berat, untuk
rumah dengan kriteria rusak sedang renovasi dibantu oleh Pemerintah Propinsi,
sedangkan untuk rumah dengan kriteria rusak ringan dibantu oleh Kabupaten.
Kriteria kerusakan berat, sedang dan ringan ditetapkan dengan Surat Keputusan
Bupati. Dalam hal ini implementasi nilai keadilan dalam penanggulangan bencana
sangat aktual. Keadilan secara proporsional harus diberikan bagi setiap warga tanpa
terkecuali.

7
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Peraturan dan sistem dalam menangani bencana alam telah diatur dan disebutkan
dalam beberapa peraturan perundangan dan diatur lebih khusus dalam Undang-undang
no. 24 tahun 2007, sehingga pemenuhan hak-hak masyarakat saat terjadinya bencana
alam lebih diperhatikan oleh negara dalam hal ini oleh pemerintah baik itu pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana mulai dari pra bencana, saat tanggap
darurat dan pascabencana telah diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007,
akan tetapi pada masa transisi menuju pemulihan belum ada peraturan yang secara jelas
mengaturnya.

4.2 Saran
Dengan banyaknya undang-undang yang berkaitan dengan upaya penanggulangan
bencana maka dapat dikatakan aspek landasan hukum penanggulangan bencana dari segi
undang- undang sebenarnya sudah cukup, namun dibalik banyaknya undang-undang yang
menjadi landasan hukum penanggulangan bencana tersebut masih menunjukkan potensi
adanya ketidakselarasan, konflik, multitafsir dan inkonsisten. Dengan demikian
dibutuhkan para pemangku kebijakan untuk menyelaraskan UU sektoral tersebut dengan
paradigma penanggulangan bencana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 dengan tujuan agar pemberlakuan undang-undang tersebut saling mendukung dan
tidak saling tumpang tindih.

8
DAFTAR PUSTAKA

Kartika, S. D. (2017). Politik Hukum Penganggulangan Bencana. Kajian, 20(4), 329-342.

Bencana, B. N. P. (2018). Definisi Bencana. Diambil pada, 23.

Erlinawati, E. (2020). Pancasila Value in Natural Disaster Management Based on Disaster


Management. Pancasila and Law Review, 1(1), 59-70.

INDONESIA, P. R. (24). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007


tentang Penanggulangan Bencana.

Pradiptasari, A. G., Waani, J. O., & Mononimbar, W. (2015). Sistem Penanggulangan


Bencana Gunung Api Gamalama Di Permukiman Kampung Tubo Kota
Ternate. Spasial, 2(3), 33-42.

Shalih, O., & Nugroho, R. (2021). Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di


Indonesia. CAKRAWALA, 15(2), 124-138.

9
http://cakrawalajournal.org/index.php/cakrawala
Volume 15 Nomor 2 Desember 2021
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan has been accredited as a scientific
journal by the Ministry of Research-Technology and Higher Education
Republic of Indonesia: No. 28/E/KPT/2019 [SINTA-5]

Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia


Osmar Shalih, Riant Nugroho

1
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesia
2
Rumah Reformasi Kebijakan (RRK), Indonesia
DOI: 10.32781/cakrawala.v15i2.379

ARTICLE INFO Abstrak:


Evaluasi,
Tujuan penelitian ini merumuskan konsepsi reformulasi kebijakan pe-nanggulangan
Implementasi, bencana di Indonesia khususnya dihadapkan pada tantangan meningkatnya tren
bencana alam dan non alam seperti pandemi Covid-19. Penelitian ini menggunakan
Reformulasi,
pendekatan kualitatif deskriptif dengan menekankan pada studi literatur
Kebijakan, guna mengkaji beberapa metode dan pengalaman (lesson learnt) di berbagai
Sistem Penanggulangan implementasi kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia. Hasil penelitian
Bencana. adalah perlunya reformulasi kebijakan pada setiap fase kebencanaan (pra-bencana,
tanggap darurat, pascabencana) dari berbagai aspek sistem penanggulangan
Article History: bencana, yaitu legislasi-regulasi, perencanaan, kelembagaan dan pendanaan.
Adapun reformulasi kebijakan penanggulangan bencana yang diusulkan adalah
Received : 26 Juli 2021
(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Accepted : 4 Nov 2021 (dengan merefomulasi kebijakan pendanaan yang memadai untuk setiap tahapan
Publish : 22 Des 2021 penanggulangan bencana); (2) memajukan kesejahteraan umum (mereformulasi
kebijakan pascabencana yang berprinsip build back better, safer and sustainable);
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa (mereformulasi kebijakan pengarusutamaan
atau mainstreaming pengurangan risiko bencana ke seluruh lapisan masyarakat,
melalui komunikasi, edukasi dan informasi); (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (mereformulasi
kebijakan melakukan kerjasama, baik dalam dan luar negeri untuk kebencanaan);
dan ini telah sejalan dengan amanat konstitusi UUD 1945.

Abstract:
The purpose of this study is to formulate the concept of reformulation of disaster
management policies in Indonesia, especially faced with the challenge of increasing
trends in natural and non-natural disasters such as the Covid-19 pandemic. This
study uses a descriptive qualitative approach with an emphasis on literature studies
in order to examine several methods and experiences (lesson learned) in various
implementations of disaster management policies in Indonesia. The result of the
research is the need for policy reformulation in each phase of a disaster (pre-
disaster, emergency response, post-disaster) from various aspects of the disaster
management system, namely legislation, planning, institutions and funding. The
proposed disaster management policy reformulations are (1) to protect the entire
Indonesian nation and the entire homeland of Indonesia (by reformulating adequate
funding policies for each stage of disaster management); (2) promoting public
welfare (reforming post-disaster policies with the principle of build back better,
safer and sustainable); (3) educating the nation’s life (reformulating the policy of
mainstreaming or mainstreaming disaster risk reduction to all levels of society,
through communication, education and information); (4) participate in implementing
world order based on freedom, eternal peace and social justice (reformulating
policies for cooperation, both domestically and internationally for disasters); and
this is in line with the constitutional mandate of the 1945 Constitution.


Corresponding author : Hal. 124-138
Address : Jl. Pramuka Kav.38 Jakarta Timur 13120 p-ISSN 1978-0354 | e-ISSN 2622-013X
Email : osmar.shalih@gmail.com
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 15(2) 2021: 80-92 | 125

PENDAHULUAN Namun demikian, kerangka kebijakan


Agenda janji Kemerdekaan yang pertama tersebut masih memerlukan perbaikan.
adalah “Melindungi segenap bangsa Indo- Terdapat beberapa isu yang dihadapi saat
nesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. ini baik di Indonesia maupun di Dunia.
Janji ini dituangkan dalam Undang-Undang Isu tersebut, yaitu tren bencana alam dan
Nomer 24 tahun 2007 tentang Penanggu- non-alam yang semakin meningkat dari
langan Bencana. Jika melihat dari momen- waktu ke waktu dan belum dapat diprediksi
tum waktunya, Indonesia relatif terlambat secara tepat dan akurat, mengakibatkan
menyusun sebuah kerangka regulasi sistem tingginya dampak yang ditimbulkan dari
penanggulangan bencana yang komprehen- setiap bencana yang terjadi, khususnya
sif. Jika melihat kondisi geografis negara yang berskala masif hingga global seperti
Indonesia yang merupakan wilayah dengan pandemi Covid-19. Bencana non-alam
ancaman bencana geologis maupun hidro- seperti Pandemi Covid-19 belum jelas kapan
meteorologis (Kristian, 2018), (Hayatur- akan berakhir dan tentunya akan berdampak
rahmi dan Husna, 2018), (Hartono dkk., luas ke berbagai sektor dan mempengaruhi
2021). tujuan pembangunan nasional dan tentunya
Kerangka regulasi tersebut berupaya konstelasi global. Sampai dengan saat ini,
merespon berbagai kejadian bencana Indonesia merupakan salah satu negara
di Indonesia dengan membangun suatu episentrum pandemi Covid-19 jika ditinjau
sistem penanggulangan bencana dari segi dari jiwa terpapar (Hadi, 2020), (Shalih dkk,
legislasi, kelembagaan, penyelenggaraan 2020), (Shalih, 2019), value orientation and
(pra, tanggap darurat, dan pascabencana), risk preference(Hayaturrahmi dan Husna,
maupun pengganggaran (budgeting). 2018), (Hartono dkk, 2021), (Makmur dan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Hadi, 2020), (Muhyiddin dan Hadi, 2020).
Penanggulangan Bencana ditetapkan Penelitian ini menjadi penting dalam
bersama antara pemerintah dan DPR untuk hal untuk mengkaji dan memahami proses
membangun suatu sistem penanggulangan perubahan kebijakan, dimana kebijakan
bencana yang tangguh di Indonesia. berubah dari waktu ke waktu untuk
Selanjutnya ditetapkan aturan turunan mendapatkan wawasan yang lebih tentang
antara lain berupa: Peraturan Pemerintah bagaimana mengukur suatu peradaban
No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan bangsa. Momentum perubahan dan
Penanggulangan Bencana; Peraturan dinamika kebijakan, maka dapat dilihat
Pemerintah No. 22 Tahun 2008 tentang juga apakah terjadi perubahan paradigma
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan; kebijakan. Dengan demikian, menyelidiki
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2008 kompleksitas dan nuansa ide-ide kebijakan
tentang Peran Serta Lembaga Internasional diharapkan dapat memberi kita jendela ke
dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam masyarakat kita sendiri, bagaimana
dalam Penanggulangan Bencana. Dari segi ia berupaya menyelesaikan masalah dan
kelembagaan, dibentuklah Badan Nasional bagaimana solusi yang dihasilkannya
Penanggulangan Bencana pada tahun 2008 (Hogan dan Howlett, 2015). Sejalan dengan
yang memiliki fungsi pengkoordinasian hal tersebut, bahwa setiap kebijakan perlu
pelaksanaan kegiataan penanggulangan dilakukan evaluasi untuk mereformulasi
bencana secara terencana, terpadu, suatu kebijakan yang lebih baik (Kelly dan
dan menyeluruh dengan ditetapkannya Booth, 2013).
Peraturan Pesiden No. 8 Tahun 2008 Model kebijakan penanggulangan
tentang Badan Nasional Penanggulangan bencana sejak awal disusun memang
Bencana. tidak hanya menitikberatkan pada peran
126 | Osmar Shalih dkk., Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

pemerintah. Hal ini sejalan dengan konsep- limitasi kebijakan yang pada tujuannya
konsep seperti pemerintah telah beralih dari untuk mengintervensi kehidupan publik.
model perintah dan kontrol pemerintahan Pada akhirnya, perumusan kebijakan
yang kolaboratif, interaktif dan model merupakan usaha yang dilakukan
jaringan tata kelola yang kolaboratif pemerintah untuk melakukan intervensi
(collaborative governance) (Craft dan terhadap permasalahan yang ada pada
Howlett, 2012). ranah publik. Dari segi proses, perumusan
Dengan memperhatikan latar belakang kebijakan terdiri dari beberapa tahapan,
diatas, maka diperlukan suatu kebijakan antara lain: (1) menetapkan masalah/isu
penanggulangan bencana di Indonesia yang baik saat ini maupun tantangan ke depan;
tangguh (resilience) dan handal ditengah (2) melakukan analisis kebijakan; dan (3)
tantangan tren ancaman bencana alam membuat keputusan.
dan non alam yang meningkat dan dalam Sementara evaluasi formulasi
rangka menuju Indonesia Tangguh 2045 kebijakan publik yaitu berkaitan erat
sesuai Rencana Induk Penanggulangan dengan apakah formulasi tersebut
Bencana yang telah ditetapkan melalui telah dilaksanakan: (1) menggunakan
Peraturan Presiden. Tujuan artikel ini pendekatan yang sesuai dengan masalah
untuk merumuskan konsepsi reformulasi yang hendak diselesaikan, (2) mengarah
kebijakan penanggulangan bencana di pada permasalahan inti, (3) mengikuti
Indonesia. prosedur yang diterima secara optimal, dan
(4) mendayagunakan sumber daya yang ada
TINJAUAN PUSTAKA secara optimal. Salah satu teknik evaluasi
Evaluasi dan Reformulasi Kebijakan kebijakan dapat mengacu pada muatan
Dalam konteks merumuskan kebijakan kebijakan itu relevan dengan masalah yang
publik, Nugroho (2014) mengemukakan hendak dipecahkan dengan kriteria dasar
beberapa model yang dapat digunakan yaitu: yaitu adanya kesesuaian muatan dengan
model kelembagaan, model proses, model masalah, masalah strategis, dan tujuan
kelompok, model elit, model rasional, yang hendak dicapai (Nugroho, 2015).
model inkremental, model permainan, Dalam konteks proses reformulasi
model pilihan publik, model sistem, model kebijakan publik, penting untuk melakukan
demokratis, model strategis, dan model perumusan masalah. William N dunn
deliberatif (Nugroho, 2014), (Jachock, mengemukakan beberapa proses dalam
2016). Pearson (2013) menambahkan perumusan masalah, antara lain: pencarian
dalam merumuskan kebijakan publik, masalah (problem search); pendefinisian
setidaknya mencakup hal-hal sebagai masalah (problem definition), spesifikasi
berikut: identifikasi masalah kebijakan masalah (problem specification), dan
(identifying policy problems); merumuskan pengenalan masalah (problem sensing)
usulan kebijakan (formulating policy (Dunn, 1994). Lebih jauh Patton dan
proposals); melegitimasi kebijakan publik Sawicki mengusulkan 7 (tujuh) tahapan
(legitimizing public policy); Implementasi dalam merumuskan masalah, antara
kebijakan public (implementing public lain: (1) Memikirikan suatu masalah; (2)
policy); dan mengevaluasi kebijakan public Menggambarkan batasan/limitasi ma-
(evaluating public policy) (Pearson, 2013). salah; (3) Mengembangkan fakta; (4)
Perumusan kebijakan publik Mengurutkan tujuan (goals) dan sasaran
merupakan “core” atau inti dari kebijakan (objectives); (5) Mengidentifikasi ukuran
publik itu sendiri, dimana dilakukan
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 15(2) 2021: 80-92 | 127

masalah; (6) Menunjukan biaya dan Secara umum, sistem penanggulangan


keuntungan potensial; (7) Membahas per- bencana merupakan suatu kerangka
nyataan masalah (Patton dan Sawicki, konseptual yang saling terintegrasi dengan
1993). beberapa aspek, yaitu: kerangka legislasi
(regulation), perencanaan (planning),
Sistem Penanggulangan Bencana kelembagaan (institutional), pendanaan
Sistem penanggulangan bencana di- (budjeting), pengembangan kapasitas
bangun berdasarkan kerangka dasar (capacity building) dan penyelenggaraan
legislasi peraturan perundangan terkait penanggulangan bencana (disaster man-
Undang Undang No. 24 Tahun 2007 agement implementation) (Maarif, 2012).
tentang Penanggulangan Bencana beserta Sistem penanggulangan bencana yang ter-
turunannya (Peraturan Pemerintah, tuang dalam dalam Undang-Undang No. 24
Peraturan Presiden, Peraturan Kepala Tahun 2007 tentang Sistem Penanggulangan
BNPB, dan sebagainya) (Maarif, Bencana sudah sepatutnya diterapkan
2012). Ditinjau dari sifatnya, maka diseluruh wilayah Indonesia mengingat
penanggulangan bencana juga harus Indonesia berisiko tinggi terhadap bencana
bersifat menyeluruh (holistic). Artinya, (Kristian, 2018).
penanganan bencana tidak bersifat Walaupun sistem penanggulangan
parsial memperhatikan seluruh sendi bencana secara nasional tersebut
kehidupan. Dalam kerangka kebijakan telah disusun pada dalam kerangka
penanggulangan bencana tersebut, telah konseptual, namun implementasi sistem
dijelaskan bahwa bencana merupakan penanggulangan bencana juga sangat
urusan seluruh pihak (multi stakeholder). bersifat lokalitas. Masing-masing
Dalam perkembangannya, bencana sebagai daerah memiliki kearifan lokal dalam
urusan seluruh pihak saat ini dikenal penanggulangan bencana maupun me-
dengan model pendekatan pentahelix, ngelola risiko bencana yang dapat dilihat
yaitu akademisi melibatkan Pemerintah, pada Gambar 1 (Maarif dkk., 2012).
Akademisi, Dunia Usaha, Masyarakat, dan Berbagai lesson learnt di berbagai negara
Media. di benua Asia, Amerika, dan Afrika,
Model pendekatan pentahelix ataupun menunjukan bahwa keberhasilan program-
multiplehelix, yaitu yang melibatkan program pengurangan risiko bencana
Pemerintah, Akademisi, Dunia Usaha, berdasarkan partisipasi dan kontribusi
Masyarakat, dan Media saat ini dinilai komunitas. Komunitas lokal merupakan
sangat tepat untuk mengakomodasi aktor utama dalam penanggulangan
partisipasi seluruh pihak dengan me- bencana. Pendekatan partisipatoris, ke-
kanisme koordinasi dan kolaborasi terampilan dan pengetahuan lokal (local
(collaborative governance). Namun de- wisdom) menjadi bagian dari sistem
mikian, sebagaimana amanat peraturan penanggulangan bencana yang tidak
perundangan dimaksud, tanggungjawab terpisahkan dan berperan besar dalam upaya
utama tetap bertumpu pada Pemerintah, pengurangan risiko bencana (Maarif, 2013).
baik pada level Pusat, Provinsi, Sejalan dengan hal tersebut, dalam kerangka
Kabupaten/Kota hingga level Desa (heavy legislasi penanggulangan bencana, yaitu
government). Dari segi pentahapannya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
maka penyelenggaraan penanggulangan tentang Penanggulangan Bencana juga
bencana dimulai dari tahap prabencana, telah ditegaskan bahwa pentingnya peran
tanggap darurat dan pascabencana.
128 | Osmar Shalih dkk., Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

serta masyarakat dalam penanggulangan suatu fenomena untuk mencari suatu


bencana “bahwa setiap warga negara jawaban atas suatu rumusan masalah.
memiliki hak untuk berpartisipasi da- Penelitian kualitatif bersifat mendalam,
lam pengambilan keputusan dalam alamiah, dan menghasilkan atau
penanggulangan bencana”, dimana peran “merekonstruksi” teori atau pengetahuan
serta tersebut mencakup “pengambilan baru. Lebih jauh, penelitian kualitatif
keputusan, memberikan informasi, pe- tidak diperoleh dari prosedur statistik,
ngawasan, perencanaan, implementasi, tetapi dengan melalui pengungkapan dan
dan pemeliharaan program” (Hadi, 2020). pemahaman terhadap sesuatu fenomena
Dengan aspek yang bersifat lokalitas, sosial yang belum diketahui dengan cara
masing-masing individu diharapkan men- membangun gambaran yang holistik dan
jaga dan memelihara kelestarian alam. kompleks, diungkapkan dalam pernyataan,
Upaya tersebut harus di lakukan oleh setiapmelaporkan secara detail pandangan dari
individu dalam segala aktivitasnya untuk informan dan dilakukan pada situasi yang
menjamin kualitas hidup manusia (kita jaga alamiah (Strauss dan Corbin J, 2003),
alam, alam jaga kita). Secara konseptual, Creswell, 2013). Penelitian ini termasuk
hal ini sejalan dengan membangun upaya dalam penelitian evaluasi yang bersifat
kedasaran terhadap bencana (Ambo dan deskriptif. Dalam konteks penelitian ini,
Sulandari, 2008). Setiap perencanaan maka penekanan pada penggambaran dan
pembangunanan diharapkan memberikan pemahaman fenomena yang kompleks
keberpihakan (affirmative policy planning) yang berpengaruh terhadap kebijakan
pada keselarasan dengan alam. Perencanaan penanggulangan bencana yang ada saat
pembangunan berbasis pendekatan ekologis ini. Penulis juga melakukan eksplorasi
diharapkan mampu menjaga keseimbangan secara mendalam terhadap program,
alam (Kodar, 2020). kejadian proses serta aktivitas dalam
pelaksanaan program, khususnya terkait
METODE PENELITIAN penanggulangan bencana di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Data dan informasi diperoleh
kualitatif – deskriptif. Penelitian dengan berdasarkan studi literatur sehingga
pendekatan kualitatif bertujuan untuk diharapkan dapat saling menutupi
menafsirkan suatu fenomena menafsirkan

Sumber: Diadopsi dari Maarif (2012)


Gambar 1
Sistem Penanggulangan Bencana Indonesia
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 15(2) 2021: 80-92 | 129

kelemahan dan melengkapi data atau siapsiagaan; (b) peringatan dini; dan (c)
informasi yang dibutuhkan serta me- mitigasi bencana.
nangkap realitas masalah agar menjadi Berdasarkan evaluasi kebijakan pada
lebih diandalkan (triangulasi data dan tahap prabencana, legislasi atau regulasi
informasi). Beberapa studi pustaka yang ada belum seluruhnya regulasi
dilakukan guna mengkaji beberapa yang disusun adaptif dengan upaya
metode atau pengalaman di berbagai pengurangan risiko bencana (peka terhadap
implementasi kebijakan penanggulangan aspek kebencanaan). Berbagai studi
bencana di Indonesia. Pengalaman tersebut mengemukakan bahwa aktifitas ekonomi
digunakan sebagai lesson learnt kebijakan seperti pertambangan tidak memperhatikan
penanggulangan bencana di Indonesia. aspek risiko bencana (Wijayanto dkk.,
Teknik analisis data menggunakan 2020). Pentingnya penerapan sanksi
pendekatan kualitatif deskriptif yang (disinsentif), maupun penghargaan
didesain berdasarkan kerangka konseptual (insentif) terhadap regulasi dan legislasi
sistem penanggulangan bencana di yang disusun (Luh dkk., 2021). Penulis
Indonesia, kemudian menghasilkan juga mengusulkan perkuatan kebijakan
kesimpulan yang berguna untuk menjawab pengarusutamaan (mainstreaming)
rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu pengurangan risiko bencana ke dalam
berkaitan dengan reformulasi kebijakan legislasi atau regulasi yang disusun,
penanggulangan bencana di Indonesia. utamanya terkait pembangunan di pusat
dan daerah (RPJMN/D, RKP/D, RTR/
HASIL DAN PEMBAHASAN RTRW/RDTR, dan sebagainya).
Penanggulangan bencana meliputi tahapan Sementara untuk aspek perencanaan
prabencana, saat tanggap darurat, dan pada tahap prabencana, yaitu belum
pascabencana. Berikut ulasan mengenai sepenuhnya perencanaan pembangunan di
reformulasi kebijakan penanggulangan daerah memasukan aspek kebencanaan.
bencana pada masing-masing tahapan atau Kajian Risiko Bencana (KRB) dan
fase. Adapun secara ringkas dapat dilihat Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
pada Lampiran 1. masih belum seluruh daerah memilikinya.
Reformulasi Kebijakan pada Tahap Kedua dokumen tersebut utamanya
Prabencana digunakan sebagai dasar perencananaan
Dalam UU 24 tahun 2007 tentang sektoral. Hal ini juga sejalan dengan
penanggulangan bencana, penyelenggaraan penelitian yang dilakukan oleh Sutrisna
penanggulangan bencana dalam situasi (2020) yang mengemukakan perencanaan
tidak terjadi bencana antara lain meliputi: sektoral kesehatan, belum memperhatikan
(1) perencanaan penanggulangan ben- aspek kebencanaan dikarenakan belum
cana; (2) pengurangan risiko bencana; adanya kajian risiko bencana dan
(3) pencegahan; (4) pemaduan dalam pe- rencana penanggulangan bencana di
rencanaan pembangunan; (5) persyaratan daerah tersebut (Sutrisna, 2020). Usulan
analisis risiko bencana; (6) penegakan reformulasi kebijakan untuk aspek
rencana tata ruang; (7) pendidikan dan perencanaan pada tahap prabencana, yaitu
pelatihan; dan (8) persyaratan standar tek- perkuatan kebijakan pengarusutamaan
nis penanggulangan bencana. Sementara (mainstreaming) pengurangan risiko
dalam hal situasi situasi terdapat potensi bencana ke dalam rencana pembangunan
terjadi bencana, maka penyelenggaraan di pusat hingga ke daerah. Rencana
penanggulangan bencana meliputi: (1) ke- Penanggulangan Bencana (RPB) beserta
130 | Osmar Shalih dkk., Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

perencanaan penanggulangan yang lebih Yogyakarta (2006) kehilang 30% GPD


detail dan Kajian Risiko Bencana (KRB) dari Provinsi DIY (Samad dkk., 2020). Hal
dijadikan dasar perencanaan sektoral ini tentunya menjadi perhatian dalam hal
lainnya. masih minimnya pendanaan yang bersifat
Sementara untuk kelembagaan investasi pengurangan risiko bencana.
pada tahap prabencana, juga masih perlu Kedepan, reformulasi kebijakan pendanaan
perkuatan dalam pengurangan risiko yang diusulkan untuk tahap prabencana
bencana. Pengurangan risiko bencana harus yaituperkuatan kebijakan pendanaan
menjadi pengarusutamaan (mainstreaming) yang bersifat pro-investasi berbasis risiko
dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh (seperti dana kontijensi maupun asuransi
lapisan masyarakat harus memahami kebencanaan). Investasi pengurangan risiko
konseptual maupun implementasinya dalam bencana untuk pendanaan pembangunan
kehidupan (Cempaka dkk., 2021). Dalam yang bersifat kesiapsiagaan, mitigasi
hal upaya mitigasi untuk mengurangi risiko (struktural dan non struktural) maupun
bencana yang kemungkinan terjadi dimasa investasi lainnya yang bersifat pengurangan
yang akan datang, maka budaya hidup risiko bencana.
harmoni) dengan bencana (living harmony
with disaster risk) harus ditanamkan kepada Reformulasi Kebijakan pada Tahap
masyarakat melalui kearifan lokal yang ada Tanggap Darurat
di daerah. Langkah ini perlu dipersiapkan Dalam UU 24 tahun 2007 tentang
agar kerugian materi dan non-materi bisa penanggulangan bencana, penyelenggaraan
diminimalkan (Hartono dkk., 2021), (Samad penanggulangan bencana pada saat tanggap
dkk., 2020). Adapun reformulasi kebijakan darurat meliputi: (1) pengkajian secara
penanggulangan bencana khususnya pada cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
saat prabencana untuk aspek kelembagaan dan sumber daya; (2) penentuan status
yaitu perkuatan kebijakan pengarusutamaan keadaan darurat bencana; (3) penyelamatan
(mainstreaming) pengurangan risiko dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
bencana ke seluruh lapisan masyarakat, (4) pemenuhan kebutuhan dasar; (5)
melalui komunikasi, informasi, dan edukasi pelindungan terhadap kelompok rentan;
(KIE) serta partisipasi dan kolaborasi dan (6) pemulihan dengan segera prasarana
seluruh pihak. Kolaborasi berbagai pihak dan sarana vital.
terbukti dapat mengefektifkan upaya Salah satu tantangan dari kerangka
penanggulangan bencana (Suartini dkk., regulasi yang ada saat ini, masih terdapat
2015), (Munir, 2017), (Hakam, 2018), gap, legislasi yang belum disusun
(Tyas dkk., 2020). sebagaimana amanat UU 24 tahun 2007
Pendanaan (budjeting) pada tahap tentang penanggulangan bencana, yaitu
prabencana masih menjadi pekerjaan aturan turunan berupa Peraturan Presiden
besar. Dana kontijensi yang tersebar di terkait Status dan Tingkatan Bencana
Kementerian/Lembaga maupun diberbagai yang belum terealisasi. Hal ini menjadi
stakeholder masih belum optimal jika penting mengingat tantangan luas wilayah
dari segi outcome maupun impactnya. Indonesia yang berisiko tinggi terhadap
Pembelajaran dari bencana besar seperti bencana dan keterbatasan sumberdaya
Tsunami Aceh dan Gempa Yogyakarta (resources), sehingga perlu manajemen
berdampak pada Gross domestic yang lebih efektif dan efisien. Usulan
product (GDP). Pada saat Tsunami reformulasi kebijakan terkait kerangka
Aceh (2004), maka 3% GDP secara regulasi atau legislasi, yaitu perlu disusun
nasional menghilang, sementara Gempa aturan turunan terkait status dan tingkatan
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 15(2) 2021: 80-92 | 131

bencana, serta peran dan tanggung jawab dengan melibatkan masyarakat pada
pada saat tanggap darurat. saat keadaan darurat bencana (Nasution,
Perencanaan pada saat tanggap 2021). Reformulasi penguatan kebijakan
darurat masih sangat minim. Sampai dengan penanggulangan bencana pada saat tanggap
saat ini, belum tersedianya perencanaan darurat, khususnya untuk kelembagaaan
atau analisis kebutuhan (need asesstment) yang diusulkan yaitu perkuat kapasitas
untuk Penanganan Darurat Bencana (PDB) Sumber Daya Manusia (SDM) dan
yang fungsinya untuk mempermudah kelembagaan Sistem Komando Penanganan
operasi darurat (seperti kajian kebutuhan Darurat Bencana (SKPDB) seluruh pihak
logistik untuk penyintas, data informasi (stakeholder) yang terlibat dalam tahap
sarana logistik yang dapat digunakan, atau fase tanggap darurat. Unsur pentahelix,
moda transportasi, informasi akses, dan yaitu pemerintah, akademisi, dunia usaha,
sebagainya yang menjadi ruang lingkup media, dan masyarakat berkolaborasi
penanganan darurat bencana). Sejalan sesuai perannya masing-masing.
dengan hal tersebut, studi yang dilakukan Isu pendanaan pada tahap tanggap
di Jawa Timur, seperti di Kabupaten Kediri darurat merupakan salah satu isu yang
yaitu dilakukan oleh Fitrianto (2020) yang sering muncul di berbagai daerah. Hal
mengemukakan bahwa Belum tersedianya ini juga disampaikan oleh (Nugraha dkk.,
rencana kontijensi bencana letusan Gunung 2020), yaitu menyampaikan kondisi
Kelud di BPBD setempat, serta belum pendanaan pada saat kebakaran hutan dan
adanya berbagai Standar Operasional lahan yang minim sehingga penanganan
Prosedur (SOP) Pemberian Bantuan Korban kedarurat bencana terhambat dan tidak
Bencana yang disebabkan oleh bencana optimal (Nugraha dkk., 2020). Minimnya
kegagalan Konstruksi; SOP Pengendalian politik anggaran dan keberpihakan
bantuan; SOP tentang relawan dalam Pemerintah Daerah (Pemda) dalam alokasi
negeri dan luar negeri (Fitrianto, 2020). Belanja Tak Terduga (BTT) juga menjadi
Reformulasi kebijakan perencanaan pada kendala di berbagai daerah (Silmi, Nur dan
saat tanggap darurat yaitu menyusun Purwanti, 2019). Dilain sisi, pendanaan
rencana kontijensi dan rencana operasi melalui BTT dianggap tidak fleksibel dan
(yang dapat segera diaktivasi) dan dapat rawan terhadap penyimpangan. Usulan
langsung digunakan secara operasional reformulasi kebijakan pendanaan pada saat
kedaruratan, utamanya pada wilayah yang tanggap darurat yaitu berupa perkuatan
berisiko tinggi bencana. kebijakan pendanaan, salah satunya skema
Dalam hal kelembagaan penang- BTT dengan Permendagri serta aturan yang
gulangan bencana pada saat tanggap operasional dan fleksibel, sehingga Pemda
darurat, berdasarkan hasil evaluasi yaitu aman (tidak takut pada saat implementasi
masih terdapat multi interpretasi terhadap BTT).
aktivitas keposkoan penanganan darurat
bencana, utamanya pembagian peran Reformulasi Kebijakan pada Tahap
antara pusat, provinsi, dan kabupaten. Pascabencana
Hambatan dan tantangan kelembagaan Dalam UU 24 tahun 2007 tentang
keposkoan pada saat tanggap darurat penanggulangan bencana, penyelenggaraan
yaitu ketidakjelasan personil hingga penanggulangan bencana pada pasca-
belum jelasnya pedoman (blue print) bencana meliputi: (1) rehabilitasi; dan (2)
serta standar operasional prosedur (SOP) rekonstruksi. Adapun rehabilitasi meliputi:
pada saat tanggap darurat (Suarjat, 2017). (1) perbaikan lingkungan daerah bencana;
Pentingnya juga penetrasi kelembagaan (2) perbaikan prasarana dan sarana umum;
132 | Osmar Shalih dkk., Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

(3) pemberian bantuan perbaikan rumah Rekonstruksi Pascabencana (R3P) masih


masyarakat; (4) pemulihan sosial psikologis; bersifat indikasi kebutuhan pascabencana,
(5) pelayanan kesehatan; (6) rekonsiliasi namun belum siap diimplementasikan
dan resolusi konflik; (7) pemulihan sosial secara langsung dalam bentuk kegiatan.
ekonomi budaya; (8) pemulihan keamanan Hal tersebut disampaikan dalam penelitian
dan ketertiban; (9) pemulihan fungsi Sutrisna (2020), bahwa tidak seluruh
pemerintahan; dan (10) pemulihan fungsi sektor berkomitmen dalam implementasi
pelayanan publik. Sementara rekonstruksi kebijakan pascabencana yang tertuang
meliputi: (1) pembangunan kembali pra- sesuai dokumen rencana rehabilitasi dan
sarana dan sarana; (2) pembangunan rekonstruksi pascabencana (Sutrisna, 2020).
kembali sarana sosial masyarakat; (3) pem- Adapun usulan re-formulasi kebijakan
bangkitan kembali kehidupan sosial budaya penanggulangan bencana untuk aspek
masyarakat; (4) penerapan rancang bangun perencanaan pada tahap pascabencana,
yang tepat dan penggunaan peralatan yaitu perlunya rencana pemulihan yang
yang lebih baik dan tahan bencana; lebih operasional (bukan bersifat indikasi
(5) partisipasi dan peran serta lembaga program), tetapi rencana aksi (action plan)
dan organisasi kemasyarakatan, dunia dengan pendekatan berbasis perencanaan
usaha, dan masyarakat; (6) peningkatan ruang (spatial planning) dan berprinsip
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; (7) build back better, safer and sustainable.
peningkatan fungsi pelayanan publik; dan Berdasarkan evaluasi, aspek
(8) peningkatan pelayanan utama dalam kelembagaan pada tahap pascabencana,
masyarakat. yaitu belum seluruh sektor komitmen
Berbagai legislasi atau regulasi dalam hal implementasi kebijakan pada saat
pada tahapan pascabencana dari tingkat pascabencana. Hal ini umumnya karena
Peraturan Pemerintah (PP) hingga keterbatasan sumberdaya (pendanaan,
Peraturan BNPB telah ada, namun belum waktu dan SDM) (Sutrisna, 2020), (Shalih
mengatur peran multipihak pada tahap dan Koestoer, 2019). Adapun usulan
pascabencana secara mendetail. Secara reformulasi kebijakan perlunya perkuatan
legislasi, telah ada Peraturan BNPB Nomor kelembagaan BNPB dan BPBD sebagai
5 tahun 2017 terkait Rencana Rehabilitasi koordinator utama pada saat rehabilitasi
dan Rekonstruksi Pascabencana (R3P). dan rekonstruksi pascabencana.
Namun demikian, legislasi tersebut belum Dalam tahapan pascabencana, maka
mengatur rinci peran multipihak dan aspek pendanaan (budjeting) berperan
cenderung BNPB selaku pelaksana utama sangat penting, yaitu merupakan faktor
rehabilitasi dan rekonstuksi pascabencana. kunci keberhasilan pembangunan kembali
Sehingga kedepan, perlu adanya perkuatan daerah terdampak bencana (Cempaka
refomulasi kebijakan berupa regulasi dkk., 2021), (Shalih dan Koestoer, 2019).
yang mengatur peran multi pihak secara Sama halnya kejadian pascabencana di
mendetail pada tahapan pascabencana. Kabupaten Trenggalek Jawa Timur. Alokasi
BNPB maupun BPBD dalam hal tersebut pendanaan yang memadai serta proses
berperan sebagai koordinator, sementara dukungan Coorporate Social Responsibility
untuk implementasi diserahkan kepada (CSR) Bank Jawa Timur mempercepat
masing-masing sektor. proses rehabilitasi dan rekonstruksi
Berdasarkan evaluasi, aspek pe- pascabencana (Wijayanto dkk., 2020).
rencanaan pada tahap pascabencana masih Adapun usulan reformulasi kebijakan
perlu dioptimlakan. Dokimen perencanaan pendanaan pada tahap pascabencana, yaitu
berupa Rencana Rehabilitasi dan perlunya alternatif pendanaan rehabilitasi
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 15(2) 2021: 80-92 | 133

dan rekonstruksi pascabencana, antara urusan bersama). Usulan reformulasi


lain dalam bentuk: pooling fund; asuransi kebijakan penanggulangan bencana di-
bencana; serta instrumen disaster risk maksud, telah sejalan dengan konstitusi
financing lainnya. negara Indonesia, yaitu Undang-Undang
Dasar 1945.
SIMPULAN
Dari pembahasan diatas, bahwa dalam DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Ambo dan Sulandari, N. W. (2008).
tentang Penanggulangan Bencana telah Kinerja Badan Penanggulangan
digambarkan suatu Sistem Penanggulangan Bencana Daerah dalam
Bencana yang bersifat Nasional dan Menangani Prabencana Gunung
merupakan satu kesatuan sistem penye- Slamet di Desa Kutabawa
lenggaraan penanggulangan bencana Kecamatan Karangrejo
yang terintegrasi meliputi aspek legislasi– Kabupaten Purbalingga Jawa
regulasi, perencanaan, kelembagaan dan Tengah. Andhini. 3–28.
pendanaan, maupun penyelenggaraan
penggulangan bencana. Adapun re- Cempaka, S., Ardiansyah, A. R.,
formulasi kebijakan penanggulangan ben- Rahmawati, L., & Yunia, M.
cana yang perlu diperkuat untuk sistem (2021). Kebijakan Pemerintah
pe-nanggulangan bencana sebagai berikut: dalam Penanggulangan Bencana
(1) Prabencana, (2) Tanggap Darurat, dan di Indonesia (Government Policy
(3) Pascabencana. Reformulasi kebijakan regarding Disaster Management
penanggulangan bencana yang diusulkan in Indonesia). 1(1), 35–45.
sepenuhnya harus bersifat: (1) melindungi Craft, J., & Howlett, M. (2012). Policy
segenap bangsa Indonesia dan seluruh formulation, governance shifts and
tumpah darah Indonesia (seperti usulan policy influence: Llocation and
kebijakan pendanaan yang memadai content in policy advisory systems.
untuk setiap tahapan mulai dari pra, saat, Journal of Public Policy, 32(2),
dan pasca); (2) memajukan kesejahteraan 79–98. https://doi.org/10.1017/
umum (seperti usulan reformulasi ke- S0143814X12000049.
bijakan pascabencana yang berprinsip
Creswell, J. W. (2013). Qualitative inquiry
build back better, safer and sustainable);
and research design. Thousand
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa
Oaks. Thousand Oaks: SAGE.
(seperti usulan reformulasi kebijakan per-
kuatan kebijakan pengarusutamaan atau Dunn, W. N. (1994). Public Policy Analysis:
mainstreaming pengurangan risiko bencana An Introduction. Prentice Hall.
ke seluruh lapisan masyarakat, melalui Fitrianto, M. R. (2020). Evaluasi
komunikasi, edukasi dan informasi); Kebijakan Penanggulangan
(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia Bencana (Studi pada BPBD
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian Kabupaten Kediri). Jurnal Ilmiah
abadi dan keadilan sosial (seperti usulan Administrasi Publik, 006(02),
reformulasi kebijakan melakukan kerja- 197–201. https://doi.org/10.21776/
sama, baik dalam dan luar negeri untuk ub.jiap.2020.006.02.4.
kebencanaan, dimana bencana sebagai
134 | Osmar Shalih dkk., Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

Hadi, S. (2020). Pengurangan Risiko Kelly, L., & Booth, C. (2013).Administrative


Pandemi Covid-19 Secara Behavior. Dictionary of Strategy:
Partisipatif: Suatu Tinjauan Strategic Management A-Z. https://
Ketahanan Nasional terhadap doi.org/10.4135/9781452229805.
Bencana. Jurnal Perencanaan n17.
Pembangunan: The Indonesian Kodar, M. S. (2020). Nusantara ( Jurnal Ilmu
Journal of Development Planning, Pengetahuan Sosial ). Nusantara:
4(2), 177–190. https://doi. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial,
org/10.36574/jpp.v4i2.109. 7(2), 408–420.
Hakam, A. M. (2018). Evaluasi Penanganan Kristian, R. (2018). Faktor-Faktor
Banjir Rob di Kota Semarang oleh Penghambat Implementasi
Pemer intah Kota Semarang ”. Kebijakan Penanggulangan
Journal of Politic and Government Bencana Erupsi Gunung Sinabung.
Studies, 8(1), 281–290. Retrieved Talenta Conference Series: Local
from https://ejournal3.undip. Wisdom, Social, and Arts (LWSA),
ac.id/index.php/jpgs/article/ 1(1), 099–103. https://doi.
view/22798. org/10.32734/lwsa.v1i1.149.
Hartono, D., Khoirudin Apriyadi, R., Luh, N., Astariyani, G., & Sudiarawan, K.
Winugroho, T., Aprilyanto, A. (2021). Evaluation Of Regional
A., Hadi Sumantri, S., Wilopo, Policy Arrangements in The Time
W., & Surya Islami, H. (2021). of The Covid-19 Pandemic in
Analisis Sejarah, Dampak, dan Denpasar City. 8 (April), 65–71.
Penanggulangan Bencana Gempa
Bumi pada Saat Pandemi Covid-19 Maarif, S. (2012). Pikiran dan Gagasan
di Sulawesi Barat. PENDIPA Penanggulangan Bencana di
Journal of Science Education, 5(2), Indonesia. In Bintek Manajemen
218–224. https://doi.org/10.33369/ Penyusunan Peta Rawan Bencana.
pendipa.5.2.218-224. Maarif, S. (2013). Meningkatkan Kapasitas
Hayaturrahmi, R., & Husna, C. (2018). Masyarakat Dalam Mengatasi
Kesiapsiagaan Sumber Daya Risiko Bencana Kekeringan.
dan Kerja Sama dalam Sistem Jurnal Sains Dan Teknologi
Penanggulangan Gawat Darurat Indonesia, 13(2), 65–73. https://
Terpadu pada Manajemen doi.org/10.29122/jsti.v13i2.886.
Bencana. JIM Fkep, III(3), 19–27. Maarif Syamsul,Pramono Rudy ,
Hogan, J., & Howlett, M. (2015). Policy Kinseng Rilus A., S. E. (2012).
paradigms in theory and practice : Ancaman Bencana Alam (Studi
discourses, ideas and anomalies in Kasus Ancaman Bencana
public policy dynamics. Palgrave Gunung Merapi). Jurnal Dialog
Macmillan. Penanggulangan Bencana, 3,
1–13.
Jachock, W. W. (2016). Graham T . Allison
’ s Three Dimensions of Decision
-Making Revisited : A Case Study
of Rice Price Policy in Thailand.
513–529.
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 15(2) 2021: 80-92 | 135

Makmur, M. T., & Hadi, S. (2020). Patton, C. V., & Sawicki, D. S. (1993).
Strategi Pemulihan Perekonomian Basic Methods of Policy Analysis
Terdampak Covid-19 Melalui and Planning. Prentice Hall.
Perencanaan Pembangunan Pearson. (2013). Politics and the
Sumber Daya Manusia Unggul. Policymaking Process. Pearson:
1(1), 117–126. Policy and the Policymaking
Muhyiddin, & Hadi, S. (2020). Process, 12–26. Retrieved from
Sinergi Prioritas Program www.mysocialworklab.com.
Kerja Pemerintah 2020-2024 Samad, A., Erdiansyah, E., & Wulandari,
dengan Kerangka Ketahanan R. (2020). Evaluasi Kebijakan
Nasional dalam Penanganan Pemerintah Pasca Bencana (Studi
Covid-19. Media Perencana, Kasus Bencana di Sulawesi
1(1), 127–136. Retrieved Tengah). Publik (Jurnal Ilmu
from https://mediaperencana. Administrasi), 9(1), 15. https://doi.
perencanapembangunan.or.id/ org/10.31314/pjia.9.1.15-24.2020.
index.php/mmp/article/view/8/8.
Shalih, O. (2019). Membangun Ketahanan
Munir, M. (2017). Evaluasi Pelaksanaan (Resiliensi) Bencana pada Ka-
Program Desa Tangguh Bencana wasan Pariwisata (Studi Kasus:
di Kabupaten Kendal Tahun 2016. Kabupaten Pandeglang Pasca
Journal of Politic and Government Tsunami Selat Sunda 2018). https://
Studies, 6 (3), 421–430. Retrieved doi.org/10.31227/osf.io/v3yxs.
from https://ejournal3.undip.
ac.id/index.php/jpgs/article/ Shalih, O., & Koestoer, R. (2019). Pola
view/16746/16082. Pendanaan Rehabilitasi dan Re-
konstruksi Pascabencana. Majalah
Nasution, Z. . (2021). Evaluasi Kebijakan Geospasial, 17 (2). https://doi.
Penanganan Covid-19 di Kota org/10.17605/OSF.IO/3X5YE.
Surabaya: Studi Kasus Kebijakan
PSBB. Ganaya: Jurnal Ilmu Sosial Shalih, O., Setiadi, H., Nurlambang, T.,
Dan Humaniora, 4(1), 98–115. & Sumadio, W. (2020). Toward a
community resilience framework
Nugraha, S. A., Febriyanti, D., & for disaster risk management. a
Kencana, N. (2020). Evaluasi case study: Landslide Cisolok
Penanggulangan Bencana Ke- in Sukabumi 2018 and Sunda
bakaran di Kota Palembang Strait Tsunami in Pandeglang
(Studi Kasus Pada Badan 2018. E3S Web of Conferences,
Penanggulangan Bencana Daerah 156. https://doi.org/10.1051/
Provinsi Sumatera Selatan Tahun e3sconf/202015601011.
2016-2018). Jurnal Pemerintahan
Dan Politik, 5(2). https://doi. Silmi, N. R., Nur, T., & Purwanti, D.
org/10.36982/jpg.v5i2.1033. (2019). Implementasi Kebijakan
Penanggulangan Bencana Daerah
Nugroho, R. (2014). Public Policy. di Kota Sukabumi. JOPPAS:
Jakarta: Elex Media Komputindo Journal of Public Policy and
(Gramedia). Administration Silampar, 1(1),
Nugroho, R. (2015). Policy Making. 30–40.
Jakarta: PT Elex Multimedia.
136 | Osmar Shalih dkk., Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

Strauss dan Corbin J. (2003). Dasar-Dasar Tyas, R. A., Pujianto, P., & Suyanta, S.
Penelitian Kualitatif : Tatalangkah (2020). Evaluasi manajemen
dan Tekni-teknik Teorisasi Data. Program Sekolah Siaga Bencana
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (SSB). Jurnal Akuntabilitas
Suarjat, J. (2017). Evaluation The Manajemen Pendidikan, 8(1), 10–
Effectivenness of Disaster Rapid 23. https://doi.org/10.21831/jamp.
Response Unit. 8 (1). v8i1.28850.

Suartini, K., Noak, P. A., & Winaya, I. K. Wijayanto, M., Muchsin, S., & Hayat.
(2015). Evaluasi Kinerja Badan (2020). Evaluasi Kebijakan
Penanggulangan Bencana Daerah Bencana Alam (Studi Pengaruh
(Bpbd) Kabupaten Badung Kegiatan Penambangan Pasir
dalam Bidang Pencegahan dan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Kesiapsiagaan Bencana Tahun Masyarakat Studi di Kabupaten
2014. Citizen Charter. Retrieved Lumajang) Muchamad Arif
from https://www.neliti.com/ Wijayanto , Slamet Muchsin dan
1 2

publications/28609/evaluasi- Hayat3 Program Studi Administrasi


kinerja-badan-penanggulangan- Publik, Fakultas Ilmu Ad. Jurnal
bencana-daerah-bpbd-kabupaten- Respon Publik, 14(4), 36–39.
badung-dalam.
Sutrisna, E. (2020). Evaluasi implementasi
kebijakan penanggulangan ben-
cana hidrometereologi bidang
kesehatan di kabupaten aceh
utara. 4, 176–186.
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 15(2) 2021: 80-92 | 137

Tabel 1. Evaluasi dan Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia


Tahapan Aspek Evaluasi Kebijakan Reformulasi Kebijakan
Prabencana legislasi Belum seluruhnya regulasi yang Perkuatan kebijakan pengarusu-
(regulation) disusun adaptif dengan upaya tamaan (mainstreaming) penguran-
pengurangan risiko bencana gan risiko bencana ke dalam regu-
(peka terhadap aspek kebenca- lasi yang disusun, utamanya terkait
naan) pembangunan di pusat dan daerah
(RPJMN/D, RKP/D, RTR/RTRW/
RDTR, Amdal, dan sebagainya)
perencanaan belum sepenuhnya perencanaan perkuatan kebijakan pengarusu-
(planning) pembangunan di daerah memas- tamaan (mainstreaming) pengu-
ukan aspek kebencanaan rangan risiko bencana ke dalam
rencana pembangunan di pusat
hingga ke daerah
kelembagaan belum sepenuhnya mindset perkuatan kebijakan pengarusu-
(institutional) pengurangan risiko bencana tamaan (mainstreaming) pengu-
masuk ke dalam sendi kehidu- rangan risiko bencana ke seluruh
pan (paradima lama: reaktif jika lapisan masyarakat, melalui komu-
terjadi bencana, belum bertindak nikasi, edukasi dan informasi
proaktif/mitigatif)
pendanaan masih minimnya pendanaan perkuatan kebijakan pendanaan
(budjeting) yang bersifat investasi pengu- yang bersifat pro investasi risiko
rangan risiko bencana (seperti dana kontijensi maupun
asuransi kebencanaan). Investasi
pengurangan risiko bencana untuk
pendanaan pembangunan yang
bersifat mitigasi (struktural dan non
struktural)
saat tanggap legislasi amanat UU 24/2007 untuk perlu disusun aturan turunan terkait
darurat (regulation) menyusun aturan turunan terkait status dan tingkatan bencana, serta
status dan tingkatan bencana peran dan tanggung jawab pada saat
belum disusun tanggap darurat
perencanaan belum tersedianya perencanaan/ menyusun rencana kontijensi dan
(planning) analisis kebutuhan saat PDB rencana operasi (yang dapat segera
yang mempermudah operasi diaktivasi) yang dapat langsung
darurat (kajian kebutuhan logis- digunakan secara operasional ke-
tic untuk penyintas, data infor- daruratan
masi sarana logistik yang dapat
digunakan, moda transportasi,
informasi akses, dsbg)
kelembagaan masih multiinterpretasi terhadap perkuat kapasitas SDM dan kelem-
(institutional) aktivitas keposkoan penanga- bagaan sistem komando penan-
nan darurat bencana, utamanya ganan darurat bencana (SKPDB)
pembagian peran antara pusat, seluruh stakeholder yang terlibat
provinsi, dan kabupaten dalam penangananan darurat (saat
tanggap darurat)
pendanaan kurangnya keberpihakan pemda perkuatan kebijakan pendanaan,
(budjeting) dalam pendanaan operasi PDB salah satunya skema BTT dengan
(pendanaan BTT yang tidak Permendagri serta aturan yang
fleksibel); operasional dan fleksibel, sehingga
Pemda aman (tidak takut pada saat
implementasi BTT)
138 | Osmar Shalih dkk., Reformulasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

Tahapan Aspek Evaluasi Kebijakan Reformulasi Kebijakan


Pascabencana legislasi berbagai aturan penyelenggaraan perlunya legislasi/regulasi yang
(regulation) dari tingkat Peraturan Pemerin- mengatur peran multi pihak secara
tah (PP) hingga Peraturan BNPB mendetail pada tahapan pascaben-
telah ada, namun belum menga- cana
tur peran multi pihak pada tahap
pascabencana secara mendetail
perencanaan rencana rehabilitasi dan rekon- perlunya rencana pemulihan yang
(planning) struksi pascabencana (R3P) lebih operasional (bukan bersifat
masih bersifat indikasi kebutu- indikasi program), tetapi rencana
han pascabencana, namun belum aksi (action plan) dengan berbasis
siap diimplementasikan secara spatial planning berprinsip build
langsung dalam bentuk kegiatan back better, safer and sustainable.
kelembagaan koordinasi pada pascabencana perlunya perkuatan kelembagaan
(institutional) belum terlalu efektif untuk BNPB dan BPBD sebagai koordina-
mengkoordinasikan seluruh tor utama pada saat rehabilitasi dan
elemen bangsa maupun sumber- rekonstruksi pascabencana
daya yang tersedia
pendanaan kebutuhan pendanaan pemuli- perlunya alternatif pendanaan reha-
(budjeting) han pascabencana lebih besar bilitasi dan rekonstruksi pascaben-
dibandingkan resources APBN/ cana, a.l:
APBD (cenderung tidak mema- pooling fund
dai) . asuransi bencana dan instrumen
disaster risk financing lainnya.
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Shanti Dwi Kartika Politik Hukum Penanggulangan Bencana 329
POLITIK HUKUM PENGANGGULANGAN BENCANA

LEGAL POLITICS OF NATURAL DISASTER HANDLINGS

Shanti Dwi Kartika


(Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi/P3DI
Sekretariat Jenderal DPR RI, Nusantara II, Lantai 2, DPR RI,
Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270, Indonesia;
email: shanti.dk@gmail.com)

Naskah Diterima: 17 Oktober 2015, direvisi: 30 November 2015,


disetujui: 10 Desember 2015

Abstract
Indonesia is identified as a country with very high potential of natural disaster. Such disaster can give impact to national economy,
welfare, and state politics, so that people urge the government to pay better attention to disaster management by providing
adeqquate legal instruments. This situation has further led to the making of Law No. 24/2007 on Disaster Management. Nevertheless,
there several problems remain regarding basic legal politics of the Law No. 24/2007 and substance of the legal politics in disaster
management. Both kinds of the problems should be, according the writer, properly addressed by using legal approaches. This essay
argues that legal politics of natural disaster handling is the construction law and the legal establishment on disaster management.
In substance, this legal politics provide a paradigm shift in disaster management. There are also problems regarding contradiction
among related existing laws, authority, and institutions in disaster management. Therefore, it is necessary to review the legal policy
of disaster management and revision of the Law No. 24/2007.
Keywords: natural disaster, disaster management, the legal politics, Law No. 24/2007.

Abstrak
Indonesia diidentifikasikan sebagai negara dengan potensi terjadinya bencana alam sangat tinggi. Bencana tersebut dapat
berpengaruh pada perekonomian nasional, kesejahteraan, dan politik negara sehingga timbul tuntutan dari masyarakat untuk
mendorong pemerintah memperhatikan aspek penanggulangan bencana melalui instrumen hukum. Hal itu kemudian melahirkan
politik hukum di negara ini dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Namun, masih terdapat
permasalahan dalam penanggulangan bencana, seperti masalah mendasar dalam politik hukum UU No. 24 Tahun 2007 dan substansi
dari politik hukum penanggulangan bencana. Kedua hal itu dikaji dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Kajian
ini menunjukkan bahwa politik hukum penanggulangan bencana merupakan pembangunan hukum dan pembentukan hukum baru
dalam penanggulangan bencana. Secara substansi, politik hukum ini memberikan perubahan paradigma dalam penanggulangan
bencana. Kajian ini juga menunjukkan terdapat kontradiksi antara peraturan perundang-undangan, kewenangan, dan kelembagaan
dalam penanggulangan bencana. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan hukum penanggulangan
bencana dan perubahan UU No. 24 Tahun 2007.
Kata kunci: bencana alam, penanggulangan bencana, politik hukum, UU No. 24 Tahun 2007.

I. PENDAHULUAN Sumatera Utara, Gunung Kelud di Kediri Provinsi


A. Latar Belakang Jawa Timur, Gunung Sangeangapi di Bima Provinsi
Nusa Tenggara Barat, Gunung Slamet di Jawa Tengah,
Indonesia merupakan negara yang rawan
dan Gunung Gamalama di Ternate Provinsi Maluku
bencana alam maupun sosial. Berdasarkan data
Utara; ketiga, tanah longsor seperti yang terjadi di
dari Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB),
Banjarnegara; keempat, kebakaran lahan dan hutan
bencana yang terjadi sampai dengan tahun 2015,
di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
antara lain banjir (31.3%), puting beliung (19.4%),
Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan; serta
tanah longsor (16.3%), kebakaran (13.2%), dan
kelima, kecelakaan transportasi.
kekeringan (8.9%).1 Adapun bencana yang terjadi
Bencana yang terjadi di tanah air terus
pada akhir 2013 hingga 2015 berupa pertama, banjir
mengalami grafik peningkatan. Selama tahun
di sejumlah daerah seperti Jakarta, Manado, Pati;
2015 sampai dengan Agustus 2015 telah terjadi
kedua, gunung meletus yaitu Gunung Sinabung di
1229 bencana yang berupa banjir, tanah longsor,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2015,
1 gelombang pasang/abrasi, gempa bumi, kebakaran,
Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana per Jenis Bencana kebakaran hutan dan lahan, kecelakaan transportasi,
1815-2015, (online), (http://dibi.bnpb.go.id/, diakses 6 kekeringan, erupsi gunung api, puting beliung,
Desember 2015).
330 Kajian Vol. 20 No. 4 Desember 2015 hal. 329 - 342

dengan korban meninggal dan hilang sebanyak 226 tindih dan kesenjangan koordinasi penanggulangan
jiwa, korban menderita dan mengungsi sebanyak bencana.3
765.694 jiwa, dan kerusakan permukiman sebanyak Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
10.714 unit.2 Pemerintah telah membentuk dan memberlakukan
Bencana alam dan sosial tersebut dipengaruhi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
oleh faktor-faktor geografis, geologis, hidrologis, Penanggulangan Bencana (UU No. 24 Tahun 2007),
demografis, dan kemajemukan bangsa ini yang sejak 26 April 2007. Undang-undang ini menjadi
memungkinkan terjadi bencana. Untuk bencana sumber hukum utama bagi penyelenggaraan
alam, sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis penanggulangan bencana, yang kemudian
Indonesia yang terletak pada pertemuan lempeng ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan, antara
besar di dunia yaitu, Lempeng Eurasia, Lempeng lain Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008
India-Australia, dan Lempeng Pasifik; serta kenyataan tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
bahwa Indonesia terletak pada rangkaian ring of fire. (PP No. 21 Tahun 2008), Peraturan Pemerintah Nomor
Bencana juga dipengaruhi oleh pola perilaku orang 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan
perorangan maupun sekelompok orang yang kurang Bantuan Bencana (PP No. 22 Tahun 2008), Peraturan
mempunyai kesadaran akan lingkungan, sehingga Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran
berpengaruh pada faktor hidroklimatologi dan Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-
kerusakan ekosistem. Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana (PP No.
Selain itu, bencana dapat berdampak besar 23 Tahun 2008), dan Peraturan Presiden Nomor 8
terhadap perekonomian, kesejahteraan sosial, dan Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
politik suatu negara. Untuk itu, pemerintah mempunyai Bencana (Perpres No. 8 Tahun 2008).
peran yang penting dalam penanggulangan bencana Selain diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007, bencana
meskipun penanggulangan bencana merupakan merupakan materi muatan yang bersinggungan
tanggung jawab dari seluruh elemen masyarakat. pengaturannya dengan beberapa peraturan perundang-
Namun, bencana yang terjadi tersebut belum undangan yang mengatur tentang pemanfaatan,
sepenuhnya dapat ditanggulangi. Ada beberapa pengelolaan, dan pelestarian sumber daya alam seperti
persoalan yang muncul dari penanggulangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
bencana, antara lain bencana sulit untuk diprediksi, dan Batubara (UU Minerba), Undang-Undang Nomor
peralatan yang digunakan untuk mengamankan dan 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU Perkebunan),
mengevakuasi korban bencana masih terbatas dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
minim, koordinasi antara pemerintah pusat dengan Kehutanan (UU Kehutanan), dan Undang-Undang
pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA),
belum maksimal dan optimal, penanganan bencana dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
masih menggunakan paradigma yang bersifat parsial, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU
pemerintah belum melaksanakan fungsinya dengan PWP3K). Sehubungan dengan peraturan perundang-
baik dalam perlindungan korban bencana. undangan yang mengatur bencana tersebut, telah
Pemerintah telah berupaya untuk membuat dilakukan beberapa penelitian, termasuk studi tentang
kebijakan dan regulasi terkait dengan penanganan urgensi undang-undang penanggulangan bencana
bencana tersebut. Penanggulangan bencana di di Indonesia oleh Heru Susetyo tahun 20054 dan
Indonesia harus segera diatasi dengan memperkuat harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang
instrumen hukum penanganan bencana. Namun penanggulangan bencana oleh Bayu Dwi Anggono
demikian masih terdapat beberapa masalah utama tahun 2010.5
terkait hal ini antara lain pertama, aspek kebijakan Studi yang dilakukan oleh Susetyo (2005)
menunjukkan belum ada hukum formal yang dan Anggono (2010) telah membahas urgensi
koheren dan komprehensif sebagai aturan dasar UU No. 24 Tahun 2007 dan harmonisasi undang-
penanganan bencana; kedua, kerancuan penataan undang. Studi pertama mengemukakan salah
kelembagaan; ketiga, kurangnya kemampuan

3
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, 2007,
teknis, keterbatasan alokasi sumber daya, potensi Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
masyarakat belum dikerahkan secara optimal; tentang Penanggulangan Bencana, (online), (www.mpbi.
keempat, law enforcement peraturan pencegahan org/files/rupb, diakses 15 September 2014), hal. 63.
bencana kurang jelas; dan kelima, terjadi tumpang
4
Heru Susetyo, “Urgensi Undang-Undang Penanggulangan
Bencana di Indonesia,” Lex Jurnalica Vol. 3 No. 1 April 2005.

2
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2015, Statistik
5
Bayu Dwi Anggono, ”Harmonisasi Peraturan Perundang-
Bencana Indonesia 2015, (online), (http://dibi.bnpb.go.id/, undangan di bidang Penanggulangan Bencana,” Mimbar
diakses 3 Oktober 2015). Hukum Volume 22, Nomor 2, Juni 2010.
Shanti Dwi Kartika Politik Hukum Penanggulangan Bencana 331
satu pangkal permasalahan dari ketidakefektifan B. Perumusan Masalah
penanganan bencana di Indonesia adalah ketiadaan Indonesia mempunyai tingkat kerawanan yang
kebijakan dan regulasi di tingkat pusat mengenai tinggi terhadap terjadinya bencana, baik bencana
penanganan bencana, sehingga memerlukan alam, bencana non-alam, maupun bencana sosial.
undang-undang penanggulangan bencana yang Dalam rangka mengantisipasi bencana yang terjadi,
sifatnya amat mendesak.6 Ini disebabkan kebijakan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan hukum
penanggulangan bencana di Indonesia belum berupa UU No. 24 Tahun 2007 sebagai peraturan
dilakukan secara komprehensif, serta belum sesuai perundang-undangan yang memuat norma hukum
dengan penanganan bencana di dunia internasional tentang penanggulangan bencana. Adanya kebijakan
dan kebutuhan hukum masyarakat. Pengaturan hukum (legal policy) tersebut menunjukkan
bencana masih tersebar dalam beberapa peraturan bahwa telah ada politik hukum nasional untuk
perundang-undangan, sehingga perlu dilakukan penanggulangan bencana.
harmonisasi setelah UU No. 24 Tahun 2007 Adapun kondisi saat ini mengidentifikasikan
diimplementasikan. Atas dasar itu, studi kedua terjadi persoalan dalam penanggulangan bencana
berpendapat bahwa UU No. 24 Tahun 2007 berkaitan seiring dengan perubahan kebutuhan hukum di
erat dengan peraturan perundang-undangan lain negara ini. Penanggulangan bencana dinilai tidak
yang mengatur sumber daya alam, sehingga terjadi berjalan efektif sehingga timbul persoalan hukum
tumpang tindih dan ketidakselarasan dan perlu yang berkaitan dengan regulasi, kewenangan, dan
dilakukan harmonisasi antara UU No. 24 Tahun kelembagaan. Selain itu telah lahir beberapa undang-
2007 dengan undang-undang sektoral agar mampu undang dan rancangan undang-undang yang terkait
memberikan kepastian hukum bagi stakeholders.7 dengan lingkungan kebencanaan.
Kedua studi tersebut menunjukkan bahwa Berdasarkan kedua hal tersebut, terhadap
penanggulangan bencana saat ini menghadapi penanggulangan bencana ini perlu dilakukan kaji
permasalahan hukum karena ketidakefektifan ilmiah atas aspek hukum penanggulangan bencana
penanggulangan bencana yang diakibatkan oleh secara menyeluruh dilihat dari sudut pandang politik
ketidakselarasan norma hukum, serta benturan hukum. Untuk itu, tulisan ini akan menelaah dan
kewenangan dan kurangnya koordinasi antar- menganalisa (review) penanggulangan bencana dari
lembaga yang bertanggung jawab terhadap politik hukum penanggulangan bencana. Tulisan ini
terjadinya bencana. Hal ini disebabkan oleh memfokuskan pada pembahasan mengenai politik
banyaknya peraturan perundang-undangan hukum penanggulangan bencana di Indonesia,
yang mengatur norma terkait dengan bencana yang berkaitan dengan politik hukum pembentukan
dan memberikan kewenangan kepada beberapa UU No. 24 Tahun 2007 dan aspek substansi dari
beberapa kementerian/lembaga/pemerintah daerah penanggulangan bencana.
untuk melakukan penanggulangan bencana. Selain
itu, telah terjadi perkembangan dan perubahan C. Tujuan Penulisan
kebutuhan hukum dalam masyarakat Indonesia,
Kajian dalam tulisan ini ditujukan untuk
dengan disahkannya beberapa undang-undang yang
mengetahui aspek hukum dari penanggulangan
terkait dengan lingkungan strategis kebencanaan.
bencana, khususnya mengenai politik hukum
Undang-undang tersebut antara lain Undang-Undang
penanggulangan bencana ditinjau dari pembentukan
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang
UU No. 24 Tahun 2007 dan aspek substansi
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
penanggulangan bencana. Kajian ini diharapkan
Daerah, serta diajukannya RUU tentang Pencarian
dapat menambah pengetahuan mengenai
dan Pertolongan. Hal tersebut menimbulkan adanya
penanggulangan bencana dan menjadi masukan
kebutuhan-kebutuhan yang perlu diatur dalam
bagi Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan
peraturan perundang-undangan. Untuk itu, DPR
fungsi legislasi dan pengawasan terhadap
RI dengan BNPB pada 9 Januari 2015 mengadakan
pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan
Rapat Kerja Komisi VIII. Rapat kerja tersebut telah
penanggulangan bencana.
menyepakati untuk melakukan perubahan UU No. 24
Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini
Tahun 2007 dalam kerangka penguatan kelembagaan
didasarkan pada sebuah kajian normatif empiris yang
penanggulangan bencana yang dilakukan oleh BNPB
membahas politik hukum penanggulangan bencana,
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
dengan menggunakan analisis dari peraturan
perundang-undangan dan implementasi peraturan
tersebut. Tulisan ini bersifat deskriptif, dengan

6
Heru Susetyo, loc.cit. menggunakan data primer dan data sekunder yang

7
Bayu Dwi Anggono, loc.cit.
332 Kajian Vol. 20 No. 4 Desember 2015 hal. 329 - 342

bersifat kualitatif. Data disusun secara sistematis dan Definisi yang hampir sama juga diberikan oleh UU
dianalisis secara kualitatif. Hasil analisis data dibahas No. 24 Tahun 2007 sebagaimana diatur dalam Pasal
dengan menggunakan pendekatan undang-undang 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007 yang menyatakan
(statute approach) dan pendekatan konseptual bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa
(conceptual approach), sehingga memperoleh yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
kesimpulan yang menjelaskan politik hukum penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
penanggulangan bencana. faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
D. Bencana dan Norma Hukum jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
Indonesia sebagai negara yang rawan terhadap benda, dan dampak psikologis. Definisi bencana
terjadinya bencana telah mempunyai kemauan tersebut mengandung tiga aspek dasar, yaitu:10
politik (political will) untuk menangulangi bencana a. terjadinya peristiwa atau gangguan yang
yang terjadi. Political will tersebut telah diwujudkan mengancam dan merusak (hazard);
ke dalam peraturan perundang-undangan melalui b. peristiwa atau gangguan tersebut mengancam
sebuah proses perumusan kebijakan (legal policy) kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari
sebagai bagian dari politik hukum negara ini. Hal ini masyarakat; dan
menunjukkan adanya korelasi antara politik hukum c. ancaman tersebut mengakibatkan korban, kerugian,
dengan penanggulangan bencana. Berdasarkan dan melampaui kemampuan masyarakat untuk
hal tersebut, kajian dalam tulisan ini menggunakan mengatasi dengan sumber daya yang dimilikinya.
kerangka pemikiran yang berhubungan dengan Selain ketiga aspek dasar itu, bencana
bencana dan norma hukum. dipengaruhi oleh adanya pemicu (trigger), yaitu
Ada beberapa definisi tentang bencana, di ancaman bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability),
antaranya diberikan oleh International Strategy kapasitas (capacity), dan risiko bencana (disaster
for Disaster Reduction (ISDR) dan Asian Disaster risk).11 Berdasarkan trigger tersebut, jenis bencana
Preparedness Centre (ADPC) sebagai organisasi dikelompokkan dalam enam kelompok yaitu bencana
internasional yang fokus pada bencana. Bencana geologi, bencana hydro-meteorologi, bencana biologi,
menurut (ISDR), yaitu:8 bencana kegagalan teknologi, bencana lingkungan,
“gangguan serius terhadap suatu sistem, dan bencana sosial. Adapun faktor-faktor penyebab
komunitas, atau masyarakat yang menyebabkan bencana menurut UU No. 24 Tahun 2007 ada tiga, yaitu
kerugian manusia, material, ekonomi, atau
faktor alam dan tanpa ada campur tangan manusia,
lingkungan yang meluas melampaui kemampuan
suatu komunitas atau masyarakat yang terkena
faktor non-alam (non-natural disaster), dan faktor
dampak untuk mengatasinya dengan sumber sosial/manusia (man-made disaster). Ini sesuai dengan
daya sendiri (a serious disruption of the pengelompokan bencana berdasarkan sumber atau
functioning of a community or a society causing penyebabnya dari United Nations for Development
widespread human, material, economic, or Program (UNDP). UNDP sebagaimana dikutip oleh Ramli
environmental losses which exceed the ability of (2010) mengelompokkan bencana atas 3 (tiga) jenis,
the affected community/society to cope using its yaitu bencana alam, bencana non-alam, dan bencana
own resources).” sosial.12 Faktor terjadinya bencana secara umum
ADPC juga memberikan definisi tentang bencana disebabkan adanya interaksi antara ancaman bahaya
dalam formulasi, yaitu:9 (hazard) dengan kerentanan (vulnerability). Kerentanan
“the serious disruption of the functioning of oleh ADPC, sebagaimana dikutip oleh Nurjanah (2012),
society, causing widespread human, material or dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu kerentanan
environmental losses, which exceed the ability fisik (physical vulnerability), kerentanan sosial (social
of the affected communities to cope using their vulnerability), kerentanan ekonomi (economic
own resources.” vulnerability), kerentanan lingkungan (enviromental

8
Nurjanah, R. Sugiaharto, dkk, Manajemen Bencana, vulnerability), dan kerentanan kelembagaan
Bandung: Penerbit Alfabeta, 2012, hal.10. (institutional vulnerability).13 Bencana perlu dikelola

9
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Laporan secara terencana melalui suatu proses yang disebut
Akhir Telaah Sistem Terpadu Penanggulangan manajemen bencana sebagai upaya penanggulangan
Bencana di Indonesia, Jakarta, (online), (http://www.
bappenas.go.id/unit-kerja/staf-ahli/bidang-sumber- 10
Ibid.
daya-alam-lingkungan-hidup-dan-perubahan-iklim/ 11
Nurjanah, R. Sugiaharto, dkk, op.cit, hal. 14-32.
contents-bidang-sumber-daya-alam-lingkungan-hidup- 12
Soehatman Ramli, Pedoman Praktis Manajemen Bencana
dan-perubahan-iklim/2473-telaah-sistem-terpadu- (Disaster management), Jakarta: Dian Rakyat, 2010, hal. 17.
penanggulangan-bencana-di-indonesia-kebijakan-strategi-
13
Nurjanah, R. Sugiaharto, dkk, loc.cit, hal. 22.
dan-operasi/, diakses 6 Mei 2014).
Shanti Dwi Kartika Politik Hukum Penanggulangan Bencana 333
bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana ini Tiga hal yang perlu dilihat dari hukum positif (ius
merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan constitutum), yaitu pertama, apakah suatu ketentuan
kebijakan pembangunan yang mengantisipasi risiko merupakan ketentuan hukum yang berlaku, untuk
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, itu perlu dilihat dari ketentuan hukum sebagai situasi
tanggap darurat, dan rehabilitasi.14 materiil dan proses pembentukan sebagai situasi
Penanggulangan bencana apabila dilihat dari formil, kedua, kedudukan dari ketentuan hukum yang
aspek hukum tidak bisa dilepaskan dari politik berlaku, untuk itu perlu dilihat dari hukum sebagai
hukum yang berkaitan dengan bencana dan norma suatu sistem (an orderly arrangement of element into
hukum yang mengaturnya. Politik hukum ini a whole), yaitu kedudukan hukum dalam kehidupan
merupakan aktivitas yang menentukan pola atau masyarakat tergantung pada kedudukan hukum
cara membentuk hukum, mengawasi bekerjanya dalam sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat,
hukum, dan memperbarui hukum untuk mencapai dan ketiga, perubahan dalam masyarakat. Atas dasar
tujuan negara.15 Selain itu, politik hukum ini oleh itu, politik hukum meneruskan arah perkembangan
Mahfud MD diartikan sebagai:16 tertib hukum dari hukum positif (ius constitutum)
“legal policy atau garis (kebijakan) resmi yang bertumpu pada kerangka landasan hukum
tentang hukum yang akan diberlakukan, baik yang dahulu menuju pada tercapainya hukum yang
dengan pembuatan hukum baru maupun seharusnya berlaku (ius constituendum).
dengan penggantian hukum lama, dalam rangka Politik hukum material ini dipengaruhi oleh
mencapai tujuan negara.” kepentingan-kepentingan, keadaan masyarakat dan
Berdasarkan definisi politik hukum tersebut, pemikiran yang melatarbelakangi terjadinya proses
politik hukum merupakan piihan hukum yang akan perubahan hukum, keadaan hukum yang ada pada
diberlakukan atau tidak diberlakukan sebagai suatu saat itu, dan hukum yang ditetapkan.19 Ini berarti
kebijakan hukum (legal policy) untuk mencapai bahwa politik hukum tidak bisa lepas dari hukum yang
tujuan yang telah ditetapkan oleh negara. Politik bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan
hukum untuk menentukan suatu legal policy yang (in the making) karena dipengaruhi oleh perubahan
akan atau telah dilaksanakan oleh Pemerintah sosial dalam masyarakat, termasuk perkembangan
meliputi pembangunan hukum dan pelaksanaan kebutuhan hukum masyarakat dan dinamika norma
ketentuan hukum. Politik hukum dalam membuat hukum.
legal policy ditentukan oleh hukum positif, hukum Dinamika norma hukum ini dipengaruhi oleh
yang dicita-citakan, perubahan masyarakat, proses dimensi politik yang berasal dari penguasa untuk
perubahan hukum, dan produk yang dihasilkan dari menghasilkan kebijakan hukum (legal policy) dalam
proses perubahan tersebut. bentuk peraturan perundang-undangan. Legal policy
Politik hukum dapat dipahami secara komprehensif yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai
dari aspek proses pembentukannya, aspek substansinya tujuan negara dapat berupa pembuatan hukum baru
atau isi kebijakannya, dan penegakan hukumnya atau penggantian hukum lama. Legal policy yang akan
dalam suatu sistem hukum. Mengenai sistem hukum atau telah dilaksanakan secara nasional mencakup
ini, Lawrence M. Friedman mengartikan sebagai pengertian bagaimana politik mengintervensi hukum
satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada
yaitu: struktur (structure), substansi (substance), dan di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.20
budaya hukum (legal culture).17 Berkaitan dengan Ini berarti hukum dipandang sebagai norma yang
unsur substansi dalam sistem hukum tersebut, kajian bersifat imperatif atau keharusan yang bersifat das
politik hukum mengkaji kebijakan pemerintah dalam sollen dan sebagai subsistem yang dalam kenyataan
menetapkan hukum, dengan isi kebijakan sebagai dasar (das sein) sangat ditentukan oleh politik, baik dalam
pembenaran untuk menetapkan hukum positif dan perumusan materi maupun dalam implementasi dan
proses dalam menentukan kebijakan.18 penegakannya.21
Selain itu, substansi hukum dari produk

14
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
hukum sangat dipengaruhi oleh karakter politik
tentang Penanggulangan Bencana.
15
Hendra Karianga, Politik Hukum dalam Pengelolaan yang membentuknya. Karakter produk hukum ini
Keuangan Daerah, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2013, hal. 23.
19
Ibid.
16
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT.
20
Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, loc.cit., hal.
Raja Grafindo Persada, 2010, hal. 1. 9.
17
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, New
21
Martha Pigome, ”Implementasi Prinsip Demokrasi dan
York & London: W.W. Norton & Company, 1984, hal. 5. Nomokrasi dalam Struktur Ketatanegaraan RI Pasca
18
Siswono S., Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika Amandemen UUD 1945,” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11
(UU Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta: Rineka Cipta, 2012, hal. 63. No. 2 Mei 2011, hal. 339.
334 Kajian Vol. 20 No. 4 Desember 2015 hal. 329 - 342

dibedakan ke dalam tiga golongan oleh Philippe a. hak untuk hidup serta mempertahankan hidup
Nonet dan Philip Selznick, yaitu:22 dan kehidupannya, sebagaimana ditentukan
“(1) law as the servant of repressive power, dalam Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945;
(2) law as a differentiated institution capable b. hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
of taming repression and protecting its own bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
integrity, and (3) law as a facilitation of response hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh
to social need and aspirations.” pelayanan kesehatan, sebagaimana ditentukan
Berdasarkan ketiga karakter hukum tersebut, dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945;
suatu produk hukum dikategorikan ke dalam tiga dan
tipe hukum, yaitu hukum represif, hukum otonom, c. negara bertanggung jawab terhadap
dan hukum responsif. Hukum represif bercirikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
bahwa produk hukum yang dihasilkan diintervensi pemenuhan hak asasi manusia, sebagaimana
oleh kekuatan politik. Hal ini berbeda dengan hukum ditentukan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI
otonom yang tercipta karena keseimbangan dengan Tahun 1945.
politik sehingga terjadi legitimasi keadilan, sedangkan Kewajiban negara ini dilaksanakan oleh seluruh
hukum responsif tercipta dalam suasana politik yang kementerian/lembaga dan pemerintah daerah di
demokratis untuk mencapai suatu tujuan sosial. bawah kepemimpinan presiden selaku pemegang
kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam
II. PEMBAHASAN Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Tanggung
Pada bagian ini, tulisan mengenai aspek hukum jawab negara ini belum sepenuhnya dilaksanakan
penanggulangan bencana dibahas mengenai: oleh pemerintah dalam hal terjadi bencana di
politik hukum penanggulangan bencana dilihat dari negeri ini, meskipun Pemerintah telah mempunyai
pembentukan UU No. 24 Tahun 2007 dan aspek kemauan politik dalam penanggulagan bencana dan
substansi dari politik hukum penanggulangan bencana. berupaya untuk membuat kebijakan (legal policy)
berupa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946
A. Politik Hukum Pembentukan UU No. 24 Tahun tentang Keadaan Bahaya sebagaimana telah dicabut
2007 dengan Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959
Politik hukum nasional ini harus dapat yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 52
mendorong dan mengisi semua unsur di dalam sistem Prp Tahun 1960 tentang Keadaan Bencana (UU KB).
hukum nasional agar bekerja sesuai dengan cita- UU KB tersebut menjadi tidak berlaku lagi dengan
cita bangsa, tujuan negara, cita hukum, dan kaidah diundangkannya UU No. 24 Tahun 2007.
penentuan hukum di negara Republik Indonesia.23 Kebijakan penanganan bencana tersebut belum
Tujuan negara Indonesia tersirat dalam konstitusi mengatur penanganan bencana secara koheren dan
negara pada bagian Pembukaan UUD NRI Tahun komprehensif. Selain itu, kebijakan yang ada masih
1945, salah satunya yaitu adalah melindungi segenap bersifat sektoral bergantung pada kebijakan eksekutif
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan sebagai komitmen pemerintah terhadap penanganan
negara ini didasarkan pada lima dasar negara bencana. Hal ini menjadi arah dan komitmen politik
sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila yang di dalam politik hukum pembentukan UU No. 24 Tahun
dalamnya mengandung cita-cita hukum (rechtsidee) 2007. Ini menunjukkan telah ada arah dan komitmen
bangsa Indonesia. Ini mengandung makna bahwa politik yang tercermin pada kebijakan, baik secara
dalam dimensi penyelenggaraan negara menuntut konstitusional, undang-undang, peraturan daerah,
peran dan tanggung jawab optimal dari negara untuk kebijakan eksekutif, maupun unsur sektoral.24
melindungi rakyatnya, baik berupa pelindungan Selain landasan filosofis yuridis tersebut,
atas hidup maupun kehidupan rakyat, termasuk di politik hukum pembentukan UU No. 24 Tahun 2007
dalamnya pelindungan terhadap bencana alam. dilatarbelakangi dengan adanya pertimbangan
Cita-cita hukum (rechtsidee) tersebut melahirkan bahwa penanganan bencana masih belum optimal
hak konstitusional warga negara dan tanggung jawab dan terkesan lambat karena bersifat parsial, sektoral,
negara sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun dan kurang terpadu.25 Upaya penanggulangan
1945, antara lain: bencana sebelum berlaku UU No. 24 Tahun 2007
masih bersifat tanggap darurat (emergency response)
22
Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society dengan pemberian bantuan fisik, sehingga diperlukan
in Transition: Toward Responsive Law, New Jersey:
Transaction Publishers, 2001, hal. 14.
24
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, 2007,
23
Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Naskah Akademik.., op.cit.
Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006, hal. 13.
25
Ibid.
Shanti Dwi Kartika Politik Hukum Penanggulangan Bencana 335
suatu dasar hukum yang mengatur fungsi, peran, Lapindo di Sidoarjo pada 2006, serta gempa bumi
dan sistem dalam penanggulangan bencana. Ini di Sumatera Barat dan Bengkulu pada Mei 2007. Ini
menunjukkan terjadi ketidakefektifan pelaksanaan merupakan faktor yang mempengaruhi politik hukum
tanggung jawab negara dalam penanganan bencana. pembentukan UU No. 24 Tahun 2007. Kebijakan
Ketidakefektifan penanganan bencana tersebut hukum (legal policy) penanggulangan bencana juga
disebabkan oleh ketiadaan kebijakan dan regulasi di dipengaruhi oleh faktor manusia seperti konflik
tingkat pusat mengenai penanganan bencana.26 Pada vertikal yang terjadi di beberapa daerah pada kurun
waktu itu, regulasi yang digunakan sebagai dasar waktu 1996-2002.28
hukum penanggulangan bencana secara nasional Jika dilihat berdasarkan faktor penyebab,
hanya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 bencana yang sering terjadi di Indonesia dipengaruhi
tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan oleh ancaman bahaya (hazard) yang menimbulkan
Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keputusan resiko, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan,
Presiden Nomor 111 tentang Perubahan Atas kebakaran lahan dan hutan, angin badai, gempa
Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang bumi, tsunami, letusan gunung berapi, gerakan
Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana tanah, erosi, kebakaran gedung dan pemukiman,
dan Penanggulangan Pengungsi, dan Pedoman gelombang ekstrim dan abrasi, cuaca ekstrim,
Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan kegagalan teknologi, epedemi dan wabah penyakit,
Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan pencemaran lingkungan, dan konflik sosial.29
Sekretaris Bakornas PBP Nomor 2 Tahun 2001.27 Peristiwa dalam masyarakat itu berdampak pada
Regulasi tersebut belum mengatur secara lengkap: jumlah korban yang sangat besar, lumpuhnya
(1) prinsip-prinsip penanggulangan bencana, pelayanan dasar dan pemerintahan, tidak
(2) mekanisme penanggulangan bencana baik berfungsinya infrastruktur dasar, serta hancurnya
tahap sebelum bencana (pre-disaster phase), sistem sosial ekonomi. Serangkaian bencana yang
selama bencana (impact phase), maupun (post terjadi melahirkan kedasaran mengenai kerawanan
disaster phase), (3) hubungan antar-lembaga dan kerentanan bencana di Indonesia. Kerentanan
untuk penanggulangan bencana, dan (4) hierarki (vulnerability) terhadap bencana di Indonesia
penanganan bencana secara nasional (national ditentukan oleh aspek letak suatu komunitas dari
disaster management centre), provinsi (provincial pusat ancaman, tingkat kepadatan dan jumlah
disaster management centre), dan kota/kabupaten penduduk, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, laju
(municipal disaster management centre). Ini berarti pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah,
bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan produk domestik regional bruto, dan tenaga
yang terkait dengan penanggulangan bencana belum kerja.30 Ini merupakan indikator untuk menentukan
dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang kuat kerentanan sosial dan ekonomi (social and economic
dan menyeluruh karena tidak sesuai dengan kondisi vulnerability). Tingkat kerentanan ini tidak didukung
dan keadaan masyarakat dan bangsa Indonesia. dengan pola penanggulangan bencana dan sikap
Selain itu, wilayah negara yang sangat rawan reaktif dari seluruh elemen bangsa pada waktu
terhadap bencana menjadi salah satu pertimbangan itu dirasakan tidak memadai lagi, sehingga timbul
dalam pembuatan legal policy untuk penanggulangan kebutuhan hukum untuk mengembangkan sikap
bencana ini. Wilayah negara yang rawan bencana yang lebih proaktif, menyeluruh, dan mendasar
tersebut menimbulkan kekhawatiran pada dalam menyikapi bencana.31
terhambatnya pembangunan nasional, sehingga Bencana yang terjadi dan kebutuhan akan
perlu diupayakan penanggulangannya secara adanya instrumen hukum yang komprehensif
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan komprehensif. tersebut menimbulkan keprihatinan semua lapisan
Kebutuhan untuk kehadiran instrumen hukum masyarakat, sehingga mendorong Pemerintah agar
dalam penanggulangan bencana juga dipengaruhi lebih memperhatikan aspek bencana dan upaya
oleh adanya momentum periode bencana alam 28
Ibid.
1989-2007, seperti gempa bumi di Nabire pada 26 29
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik
November 2004, tsunami di Sumatera Utara dan Indonesia, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
Nangroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004, 2010-2014, Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan
gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006, erupsi Bencana, 2010, hal. 9-25.
Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa 30
Ibid. hal. 26-29.
Yogyakarta pada Juni 2006, semburan lumpur panas
31
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI, Ringkasan
Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di

26
Heru Susetyo, op.cit., hal. 25-26. Indonesia (Kebijakan, Strategi, dan Operasi), (online),

27
Ibid. (www.bappenas.go.id/index.php/download_file/
view/14057/3930/, diakses 6 Mei 2014).
336 Kajian Vol. 20 No. 4 Desember 2015 hal. 329 - 342

penanganannya dengan cepat dan tepat. Hal 32


DPR melakukan proses pembentukan legal policy
ini dipengaruhi oleh kondisi Indonesia yang pada yang melahirkan UU No. 24 Tahun 2007 sebagai
saat itu belum mempunyai kebijakan dasar dalam dasar hukum bagi penanggulangan bencana di
bentuk undang-undang yang secara koheren dan Indonesia. Ini berarti bahwa UU No. 24 Tahun 2007
komprehensif mengatur penanganan bencana dan ini merupakan keputusan bersama antara DPR RI
kerangka kerja kebijakan yang ada tidak lagi relevan dengan Presiden RI sebagai produk hukum dari hasil
dengan konteks demokrasi dan otonomi daerah.33 Ini proses politik untuk penanggulangan bencana di
telah menyadarkan bangsa Indonesia akan perlunya Indonesia.
memiliki suatu sistem penanggulangan bencana Berdasarkan pada analisis tersebut, aspek
yang komprehensif secara nasional dalam suatu hukum penanggulangan bencana dipengaruhi oleh
sistem penangglangan bencana (disaster system politik hukum pembentukan UU No. 24 Tahun
management).34 2007 dalam menentukan arah dan komitmen
Kebutuhan akan adanya sistem penanggulangan penanggulangan bencana di negeri yang mempunyai
bencana nasional secara komprehensif tersebut tingkat kerawanan bencana sangat tinggi. Politik
muncul karena kebijakan penanganan bencana hukum pembentukan UU No. 24 Tahun 2007 bersifat
sebelum berlakunya UU No. 24 Tahun 2007 secara responsif, karena pembentukan kebijakan hukum
materi masih bersifat sektoral, terfragmentasi, dan penanggulangan bencana yang berupa UU No.
terfokus pada penanggulangan tanggap darurat.35 24 Tahun 2007 didasarkan pada cita-cita hukum
Kebijakan dan peraturan yang terkait dengan (rechtidee) bangsa Indonesia sebagai hukum yang
bencana menunjukkan indikasi konflik karena seharusnya berlaku (ius constituendum), yang terjadi
tumpang tindih pengaturan, kelembagaan, dan dalam suasana politik demokratis.
kewenangan sehingga mengakibatkan inkonsistensi Politik hukum pembentukan UU No. 24 Tahun
dan multitafsir dalam peraturan perundang- 2007 didasarkan pada beberapa pertimbangan,
undangan. Hal ini berarti penanggulangan bencana yaitu pertama, negara bertanggung jawab untuk
secara normatif perlu dibenahi. Proses ini dapat melaksanakan kewajiban konstitusional demi
dilakukan dengan suatu legal policy yang berupa terwujudnya tujuan negara, yang salah satunya
pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui pelindungan atas bencana yang
penanggulangan bencana yang dituangkan dalam terjadi di negeri ini; kedua, Indonesia dengan posisi
undang-undang yang komprehensif dan didukung dan kondisi wilayah negaranya memenuhi keempat
dengan peraturan pelakasanaannya yang bersifat pemicu (trigger) bencana sehingga diperlukan suatu
operasional dan teknis implementatif. upaya penanggulangan bencana yang komprehensif
Ketiga landasan tersebut menunjukkan bahwa integral dengan berdasarkan pada manajemen
tanpa kebijakan yang jelas tidak akan ada norma risiko, dan ketiga, ketentuan peraturan perundang-
yang dapat digunakan untuk menentukan tujuan undangan yang ada belum dapat dijadikan sebagai
dan memotivasi perilaku politis-birokratis untuk landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak
mencapainya.36 Atas dasar itu, lahir keinginan politik sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum
(political will) untuk memberikan landasan hukum masyarakat dalam penanggulangan bencana.37
bagi penanggulangan bencana secara menyeluruh Selain pertimbangan tersebut, pembentukan UU
tidak hanya berdasarkan risiko bencana dengan No. 24 Tahun 2007 ditujukan untuk melindungi
penanganan secara tanggap darurat. Political will masyarakat dari ancaman bencana; menyelaraskan
ini ditindaklanjuti dengan proses perancangan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
peraturan perundang-undangan (legislative drafting) dan menjamin terselenggaranya penanggulangan
untuk menghasilkan suatu legal policy berupa UU bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi,
No. 24 Tahun 2007. Untuk memenuhi kebutuhan dan menyeluruh.38
hukum dan memperbaiki pola penanggulangan Berdasarkan pertimbangan dan tujuan
bencana tersebut, Pemerintah bersama dengan pembentukan UU No. 24 Tahun 2007 tersebut, arah
politik hukum pembentukan UU No. 24 Tahun 2007

32
Soehatman Ramli, Pedoman Praktis Manajemen Bencana..,
op.cit., hal. 14. adalah pelaksanaan tanggung jawab negara dalam
33
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, 2007, melindungi warga negara dari bencana, melalui sistem
Naskah Akademik..., op.cit. penanggulangan bencana yang lebih komprehensif
34
Syamsul Maarif, ”Bencana dan Penanggulangannya dari dan penyelarasan norma hukum terkait dengan
Aspek Sosiologis,” Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana,
Vol 1, No. 1, Tahun 2010, hal. 4.
37
Konsiderans Menimbang Undang-Undang Nomor 24 Tahun
35
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, 2007, 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Naskah Akademik..., loc.cit.
38
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
36
Ibid. Penanggulangan Bencana.
Shanti Dwi Kartika Politik Hukum Penanggulangan Bencana 337
bencana yang tersebar dalam peraturan perundang- Kelima arena hukum tersebut tersebar pada
undangan. Tanggung jawab negara ini dilaksanakan beberapa peraturan perundang-undangan di tingkat
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan undang-undang. Kelimanya bersumber pada UUD
membentuk BNPB sebagai lembaga yang diberikan NRI Tahun 1945 yang merupakan hierarki tertinggi
fungsi pengarah dan pelaksana penanggulangan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
bencana yang berkoordinasi dengan kementerian/ Konsep bencana secara implisit terkandung di
lembaga lainnya. dalam tujuan negara sebagaimana tercantum dalam
Ini berarti bahwa politik hukum pembentukan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, prinsip desentralisasi
UU No. 24 Tahun 2007 merupakan pembangunan yang diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 18B UUD NRI
hukum dengan melakukan penggantian hukum Tahun 1945, anggaran yang ditetapkan dalam Pasal
penanggulangan bencana melalui norma hukum 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, kedudukan yang
baru dalam UU No. 24 Tahun 2007, yang sebelumnya sama dalam hukum dan pemerintahan yang diatur
didasarkan pada norma hukum sebagaimana yang dalam Pasal 27 UUD NRI Tahun 1945, dan pengelolaan
diatur dalam UU KB. Perubahan ini dilakukan melalui sumber daya alam yang berkeadilan sebagai bagian
mekanisme pembahasan bersama antara DPR RI dari hak menguasai negara sebagaimana dimaksud
dengan Pemerintah di lembaga legislatif, untuk dalam Pasal 33. Atas dasar itu, Pemerintah telah
menghasilkan suatu sistem dan pola penanggulangan menentukan political will dalam penanggulangan
bencana yang komprehensif dan membentuk suatu bencana dan dirumuskan dalam kebijakan (legal
kelembagaan dalam penanggulangan bencana. policy) yang dilakukan oleh lembaga legislatif sehingga
Proses pembangunan hukum penanggulangan melahirkan UU No. 24 Tahun 2007.
bencana dalam pembentukan UU No. 24 Tahun UU No. 24 Tahun 2007 tersebut lahir sebagai
2007 tersebut berupa perubahan mendasar berupa produk politik hukum dalam penangulangan bencana.
dasar hukum yang memberikan prinsip dan amanat Politik hukum tersebut telah mengidentifikasi
bagi penyelenggara negara untuk melindungi bencana secara komprehensif sebagai peristiwa
masyarakatnya dari bencana di negeri ini dan atau serangkaian peristiwa yang mengancam
melakukan penyelarasan peraturan perundang- dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
undangan. masyarakat yang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu
faktor alam, faktor non-alam, dan faktor manusia.
B. Aspek Substansi dari Politik Hukum Selain itu, legal policy ini memuat norma pengatur
Penanggulangan Bencana mengenai penyelenggaraan penanggulangan
Politik hukum materiil penanggulangan bencana, landasan norma dan nilai, kelembagaan,
bencana berkaitan dengan isi kebijakan mengenai pendistribusian kewenangan, dan penegakan hukum.
penanggulangan bencana. Secara substansi, Selain itu, politik hukum penanggulangan
politik hukum ini mencakup materi muatan dalam bencana secara substansi telah memberikan dimensi
perancangan peraturan perundang-undangan baru dalam pola dan sistem penanggulangan
(legislative drafting), pelaksanaan peraturan bencana di Indonesia setelah berlakunya UU No. 24
perundang-undangan (legal executing), dan Tahun 2007. Dimensi baru yang dibentuk oleh legal
tinjauan atas peraturan perundang-undangan (legal policy tersebut untuk penanggulangan bencana di
review).39 Penanggulangan bencana dari aspek negeri ini, yaitu:41
substansi ini juga berada dalam lima arena hukum, a. penanggulangan bencana sebagai sebuah
yaitu arena peraturan perundang-undangan bidang upaya menyeluruh dan proaktif dimulai dari
kebencanaan, arena aspek peraturan perundang- pengurangan risiko bencana, tanggap darurat,
undangan bidang tata ruang dan lingkungan hidup, serta rehabilitasi dan rekonstruksi;
arena peraturan perundang-undangan bidang b. penanggulangan bencana sebagai upaya
desentralisasi dan kekhususan, arena peraturan yang dilakukan bersama oleh para pemangku
perundang-undangan bidang sektoral, dan arena kepentingan dengan peran dan fungsi yang
peraturan perundang-undangan bidang pendukung saling melengkapi; dan
mitigasi bencana.40 c. penanggulangan bencana sebagai bagian dari
proses pembangunan sehingga mewujudkan

39
Andi Hamzah, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo ketahanan (resilience) terhadap bencana.
Persada, 1991, hal. 24.
40
Sulaiman Tripa dan Danil Akbar Taqwadin, Kebijakan
41
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Ringkasan
Legislasi dalam Kaitan Mitigasi Bencana di Aceh, (online), Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di
(https://www.academia.edu/5763657/KEBIJAKAN_ Indonesia (Kebijakan, Strategi, dan Operasi), (online),
LEGISLASI_DALAM_KAITAN_MITIGASI_BENCANA_DI_ (www.bappenas.go.id/index.php/download_file/
ACEH, diakses 6 November 2014). view/14057/3930/, diakses 6 Mei 2014).
338 Kajian Vol. 20 No. 4 Desember 2015 hal. 329 - 342

Selain itu, dengan diberlakukannya UU No. negara dalam arti sempit oleh pemerintah menjadi
24 Tahun 2007 terjadi perubahan dalam sistem penanganan bencana sebagai tanggung jawab
penanggulangan bencana di Indonesia. Perubahan bersama seluruh elemen bangsa. Perubahan sistem
sistem penanggulangan bencana ditampilkan dalam dan pola penanggulangan bencana ini berdampak
Tabel 1 berikut: pada perubahan fokus penanggulangan bencana

Tabel 1. Perbandingan Paradigma Lama dan Baru Sistem Penanggulangan Bencana


SISTEM LAMA SISTEM BARU
Dasar Hukum Bersifat sektoral Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen,
masyarakat dan lembaga non pemerintah
Paradigma Tanggap darurat Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi
Lembaga Bakornas PB, Satkorlak dan Satlak BNPB, BPBD PROPINSI, BPBD Kab/Kota
Peran Masyarakat Terbatas Melibatkan masyarakat secara aktif
Pembagian Tanggung Jawab Sebagian besar pemerintah pusat Tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi dan
kabupaten
Perencanaan Pembangunan Belum menjadi bagian aspek Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana
perencanaan pembangunan (RAN PRB)
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana
(RAD PRB)
Pendekatan Mitigasi Kerentanan Analisa resiko (menggabungkan antara kerentanan
dan kapasitas)
Forum kerjasama antar pemangku Belum ada National Platform (akan)
kepentingan
Provincial Platform (akan)
Alokasi Anggaran Tanggung jawab pemerintah pusat Tergantung pada tingkatan bencana
Pedoman Penanggulangan Bencana Terpecah dan bersifat sektoral Mengacu pada pedoman yang dibuat oleh BNPB
dan BPBD
Keterkaitan Dengan Tata Ruang Belum menjadi aspek Aspek bencana harus diperhitungkan dalam
penyusunan tata ruang
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Ringkasan Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan,
Strategi, dan Operasi), (http://www.bappenas.go.id, diakses 6 Mei 2014).

Berdasarkan Tabel 1, penanggulangan bencana yang melingkupi keseluruhan alur penangulangan


di Indonesia sejak berlakunya UU No. 24 Tahun bencana mulai dari pencegahan, penjinakan,
2007 mengalami pergeseran paradigma, yaitu kesiapan, penanggulangan kedaruratan, sampai
penanggulangan bencana tidak lagi menekankan pemulihan dan rehabilitasi, untuk mengurangi secara
pada semua aspek tanggap darurat, tetapi signifikan dampak kejadian bencana.
juga menekankan pada keseluruhan aspek Penanggulangan bencana sebagai tanggung
penanggulangan bencana meliputi mitigasi pada jawab bersama seluruh elemen bangsa memperluas
pra-bencana, tanggap darurat pada saat bencana, penanggulangan bencana ke ruang publik dengan
serta rehabilitasi dan rekonstruksi pada setelah mengubah semua aspek kebijakan, kelembagaan,
bencana. Penanggulangan bencana melibatkan koordinasi, dan mekanisme yang memberikan lebih
seluruh stakeholders dari tingkat nasional dan banyak ruang untuk partisipasi masyarakat, lembaga
regional di daerah, serta melibatkan peran aktif swadaya masyarakat, dunia usaha, dan masyarakat
masyarakat. Pembentukan UU No. 24 Tahun 2007 internasional. Ini berarti bahwa dengan perubahan
juga dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di paradigma bencana tersebut, unsur-unsur tahap
masyarakat yang berkaitan dengan bencana dilihat tanggap darurat sebagai pra-bencana perlu
dari respon tanggap darurat menjadi manajemen dipersiapkan secara terpadu dengan penekanan
risiko, pelindungan dari pemerintah menjadi pada unsur pencegahan dan kesiapsiagaan, yang
pelindungan sebagai hak asasi bagi rakyat, dan didasarkan pada hasil analisis terhadap keempat
penanganan bencana sebagai tanggung jawab trigger bencana yaitu ancaman bahaya (hazard),
Shanti Dwi Kartika Politik Hukum Penanggulangan Bencana 339
kerentanan (vulnerability), kapasitas (capacity), bencana dan segala kebijakan hukum lainnya
dan risiko bencana (disaster risk).42 Oleh karena itu, merupakan peraturan pelaksanaan yang bersifat lex
legal policy terhadap penanganan bencana dapat specialist dan implementatif.
dinilai dan dievaluasi dari kebijakan-kebijakan yang Namun, politik hukum materiil penanggulangan
berhubungan dengan bencana, salah satunya UU No. bencana dalam pelaksanaan peraturan perundang-
24 Tahun 2007. undangan (legal executing) masih menemui
Hal ini berarti bahwa terjadi perubahan beberapa permasalahan hukum karena banyaknya
nilai yang sangat mendasar dan menjadi acuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pelaksanaan penanggulangan bencana. Oleh karena penanggulangan bencana. Dalam pelaksanaannya,
itu, penanggulangan bencana harus dilakukan UU No. 24 Tahun 2007 mempunyai hubungan
dengan sikap yang antisipatif, sebelum ada bencana dengan beberapa peraturan perundang-undangan
datang harus sudah ada upaya preventif untuk yang mendasari lahirnya undang-undang tersebut,
melakukan penanggulangan bencana.43 Hal tersebut baik yang telah berlaku baik sebelum maupun
menjelaskan bahwa politik hukum penanggulangan setelah diberlakukannya UU No. 24 Tahun 2007.
bencana dilihat dari aspek substansi mengamanatkan Selain ini, pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2007 juga
perubahan paradigma dalam penyelenggaraan mempunyai hubungan dan peranan antar-para
penanggulangan bencana di Indonesia, dengan pelaku kepentingan (stakeholders) yang masing-
didasarkan pada manajemen risiko.44 masing mempunyai kewenangan atributif yang
Ini berbanding lurus dengan konsekuensi yuridis diberikan undang-undang sektoral. Selain itu, UU
jika dilihat dari aspek sistem hukum (legal system), NO. 24 Tahun 2007 membentuk BNBP sebagai
baik dari substansi hukum, struktur hukum, maupun lembaga negara penunjang (state auxiliary organ)
budaya hukum, sehingga penanggulangan bencana untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana
perlu ditindaklanjuti dengan hukum khusus yang melalui fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana.
harus disiapkan oleh setiap lembaga yang berwenang Namun, penyelenggaraan penanggulangan bencana
melaksanakan penanggulangan bencana. Regulasi secara proporsional juga dimiliki oleh kementerian/
dan kebijakan yang bersifat lex specialist ini harus lembaga lain sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal
terintegrasi dan terkoordinasi antar-stakeholder tersebut mengakibatkan belum ada keselarasan dan
untuk penanggulangan bencana yang berasal dari sinergitas secara substansial antar-lembaga tersebut,
kementerian/lembaga, agar tercipta keselarasan sehingga muncul permasalahan ketika diperlukan
dalam sistem penanggulangan bencana. penyelarasan dan koordinasi antar-lembaga yang
UU No. 24 Tahun 2007 diberlakukan sebagai harus dilakukan oleh BNPB.
produk dari politik hukum dengan harapan Hal itu menunjukkan bahwa beberapa norma
dapat menjadi landasan hukum yang kuat dalam dalam peraturan perundang-undangan tersebut
penanggulangan bencana, mengatasi kelemahan mengandung unsur ketidakselarasan norma
koordinasi antar-sektor, mendorong sinergitas hukum penanggulangan bencana yang berdampak
berbagai pihak dalam penanggulangan bencana, pada terjadinya tumpang tindih kewenangan
serta mewujudkan penanggulangan bencana yang dan kurangnya koordinasi kelembagaan antar-
lebih sistematis, terpadu, dan koordinasi. Hal ini kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang
berarti bahwa berdasarkan isi kebijakan sebagai hasil menjalankan kewenangan penanggulangan bencana
dari proses legislative drafting, UU No. 24 Tahun 2007 sebagaimana telah diturunkan dari undang-undang
diarahkan dapat berfungsi sebagai landasan hukum sektoral sebagai tugas, pokok, dan fungsi sektornya.
yang bersifat lex generalist bagi penanggulangan Ini menunjukkan bahwa arah kebijakan dalam hal
penyelarasan peraturan perundang-undangan,
42
Shandra Lisya Wandasari, ”Sinkronisasi Peraturan sebagaimana telah ditentukan sebagai politik hukum
Perundang-undangan dalam mewujudkan Pengurangan
pembentukan UU No. 24 Tahun 2007, tidak tercapai.
Risiko Bencana,” Unnes Law Journal, Vol 2 No. 2, Tahun
2013, hal. 138. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
43
Sudjito, 2007, Hukum Khusus Berlaku dalam Keadaan perlu dilakukan pengkajian ulang (review)
Darurat Bencana, (online), (https://ugm.ac.id/id/ terhadap beberapa kebijakan dan kelembagaan
berita/1598-hukum.khusus.berlaku.dalam.keadaan. penanggulangan bencana, serta dilakukan perubahan
darurat.bencana, diakses 9 Februari 2015). terhadap UU No. 24 Tahun 2007.
44
Eko Teguh Paripurno, 2012, Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana di Indonesia: Catatan atas
Berdasarkan analisa tersebut, aspek hukum
DIM dan Sandingan Perundang-undangan dalam dari politik hukum penanggulangan bencana
Penanggulangan Bencana, (online), (http://www.mpbi. didasarkan pada hasil dari legislative drafting dan
org/content/review-uu-pb-no-24-th-2007-daftar-isian- legal executing. Isi kebijakan sebagai hasil dari proses
masalah-dan-sandingan, diakses 14 Februari 2013). legislative drafting memberikan amanat perubahan
340 Kajian Vol. 20 No. 4 Desember 2015 hal. 329 - 342

paradigma penanggulangan bencana. Paradigma ulang (review) dan perubahan (revisi) kebijakan
baru ini harus dilaksanakan oleh pemerintah dan hukum (legal policy) penanggulangan bencana
pemerintah daerah sebagai pelaksana tanggung dalam suatu sistem hukum, termasuk melakukan
jawab negara dalam memberikan perlindungan penguatan kelembagaan penanggulangan bencana
kepada masyarakat atas bencana, baik yang mungkin dan perubahan atas UU No. 24 Tahun 2007.
terjadi maupun yang telah terjadi. Namun secara
legal executing, isi kebijakan yang telah ditetapkan
sebagai arah kebijakan penanggulangan bencana
dalam UU No. 24 Tahun 2007 tidak terlaksana. Hal DAFTAR PUSTAKA
ini disebabkan UU No. 24 Tahun 2007 belum mampu
menciptakan keselarasan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan bencana, sehingga
masih terjadi tumpang tindihnya pengaturan, Buku
tumpang tindih kewenangan, dan tumpang tindih Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian
kelembagaan. Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Gunung Agung,
2002.
III. KESIMPULAN
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisa dan
Aspek hukum penanggulangan bencana
Evaluasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang
dapat ditinjau dari sudut pandang politik hukum
Penanggulangan Bencana, Jakarta: Badan
penanggulangan bencana baik dalam hal
Pembinaan Hukum Nasional, 2011.
pembentukan UU No. 24 Tahun 2007 maupun isi
kebijakan penanggulangan bencana sebagai aspek D., Mahfud M., Membangun Politik Hukum,
substansi dari politik hukum ini. Politik hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES,
penanggulangan bencana ini didasarkan pada tujuan 2006.
negara dan cita-cita hukum (rechtidee) bangsa D., Mahfud M., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:
Indonesia. Politik hukum pembentukan UU No. PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
24 Tahun 2007 merupakan pembangunan hukum
dengan mengganti peraturan perundang-undangan Friedman, Lawrence M., American Law: An
dan membentuk peraturan perundang-undangan Introduction, New York & London: W.W. Norton
baru dalam bidang penanggulangan melalui proses & Company, 1984.
pembahasan bersama secara demokratis di lembaga Gandhi, L.M., Harmonisasi Hukum Menuju Hukum
legislatif. Politik hukum pembentukan UU No. 24 Tahun Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
2007 mempunyai arah kebijakan berupa pelaksanaan Hukum Universitas Indonesia, 14 Oktober 1995.
tanggung jawab negara dalam memberikan
pelindungan kepada masyarakat atas bencana yang Goesniadhie, Kusnu, Harmonisasi Hukum dalam
terjadi di negeri ini; kedua, pembangunan sistem Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis
penanggulangan bencana secara komprehensif Suatu Masalah), Surabaya: Penerbit JPBooks,
integral berdasarkan manajemen risiko, dan 2006.
ketiga, pembangunan landasan hukum yang kuat Hamzah, Andi, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Raja
untuk penanggulangan bencana sehingga dapat Grafindo Persada, 1991.
berfungsi dalam penyelarasan peraturan perundang-
Karianga, Hendra, Politik Hukum dalam Pengelolaan
undangan. Di satu sisi, aspek substansi dari politik
Keuangan Daerah, Jakarta: Kencana
hukum penanggulangan bencana telah memberikan
Prenadamedia Group, 2013.
perubahan paradigma dalam penanggulangan
bencana. Namun dalam pelaksanaan peraturan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
perundang-undangan (legal executing) sebagai Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan,
bagian dari politik hukum materiil, penanggulangan Departemen Hukum dan HAM bekerja sama
bencana masih menghadapi permasalahan berupa dengan Coastal Resources Management
ketidakselarasan peraturan perundang-undangan, Project/Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi
tumpang tindih kewenangan, dan kelembagaan dalam Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Pesisir
penanggulangan bencana. Ini merupakan akibat dari Indonesia, Jakarta: 2005.
tidak tercapainya arah kebijakan penanggulangan Nonet, Philippe, and Philip Selznick, Law and Society
bencana dalam penyelarasan peraturan perundang- in Transition: Toward Responsive Law, New
undangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkaian Jersey: Transaction Publishers, 2001.
Shanti Dwi Kartika Politik Hukum Penanggulangan Bencana 341
Ramli, Soehatman, Pedoman Praktis Manajemen Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Bencana (Disaster management), Jakarta: Dian Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara
Rakyat, 2010. Nomor 66, Tambaran Lembaran Negara Nomor
4723.
S., Siswono, Politik Hukum dalam Undang-Undang
Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta:
Rineka Cipta, 2012. Internet
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang- Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Republik, Ringkasan Telaahan Sistem Terpadu
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998. Penanggulangan Bencana di Indonesia
(Kebijakan, Strategi, dan Operasi), (online),
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang- (www.bappenas.go.id/index.php/download_
undangan I: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, file/view/14057/3930/, diakses tanggal 6 Mei
Yogyakarta: Kanisius, 2007. 2014).
Sugiaharto, Nurjanah, R., dkk, Manajemen Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2015).
Bandung: Penerbit Alfabeta, 2012. Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana per
Jenis Bencana 1815-2015, (online), (http://dibi.
Jurnal bnpb.go.id/, diakses 6 Desember 2015).
Anggono, Bayu Dwi. (2010). Harmonisasi Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, DIM dan
Perundang-undangan di Bidang Penanggulangan solusinya bahan rakor pnbp, (online), (www.
Bencana, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 2, bnpb.go.id/uploads/sidebar_banner/6/bahan_
Juni. rakor.pdf, diakses 10 Agustus 2015).
Husni, Lalu. (2011). Perlindungan Hukum terhadap Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Statistik
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Mimbar Bencana Indonesia 2015, (online), (http://dibi.
Hukum, Volume 23, Nomor 1, Februari. bnpb.go.id/, diakses 3 Oktober 2015).
Maarif, Syamsul. 2010. Bencana dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
Penanggulangannya dari Aspek Sosiologis,, Republik Indonesia. (2009). Laporan Akhir
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, Vol 1, Telaah Sistem Terpadu Penanggulangan
No. 1. Bencana di Indonesia, (online), (http://
Pigome, Martha. 2011. Implementasi Prinsip www.bappenas.go.id/unit-kerja/staf-ahli/
Demokrasi dan Nomokrasi dalam Struktur bidang-sumber-daya-alam-lingkungan-hidup-
Ketatanegaraan RI Pasca Amandemen UUD dan-perubahan-iklim/contents-bidang-
1945, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 2 Mei. sumber-daya-alam-lingkungan-hidup-dan-
perubahan-iklim/2473-telaah-sistem-terpadu-
Soeprapto, Lalu. 2011. Perlindungan Hukum penanggulangan-bencana-di-indonesia-
terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, kebijakan-strategi-dan-operasi/, diakses tanggal
Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 1, Februari. 6 Mei 2014).
Susetyo, Heru. 2005. Urgensi Undang-Undang Dewina, Nasution dan Bungasan Hutapea. (2011).
Penanggulangan Bencana di Indonesia, Lex Analisis Dan Evaluasi Tentang Undang-
Jurnalica, Vol. 3 No. 1 April. Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Wandasari, Shandra Lisya. 2013. Sinkronisasi Penanggulangan Bencana, Jakarta: Pusat
Peraturan Perundang-undangan dalam Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional
mewujudkan Pengurangan Risiko Bencana, Badan Pembinaan Hukum Nasional, (online),
Unnes Law Journal, Vol 2 No. 2. (http://www.bphn.go.id/?page=layanan_
bphn&section=layanan_bphn&cat=res_anev,
diakses 22 oktober 2014).
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Rencana Nasional Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia.
Penanggulangan Bencana 2010-2014, Jakarta: (2007). Naskah Akademi Rancangan Undang-
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2010. Undang Penanggulangan Bencana, (online),
(www.mpbi.org/files/rupb, diakses 15
September 2014).
342 Kajian Vol. 20 No. 4 Desember 2015 hal. 329 - 342

Paripurno, Eko Teguh. (2012). Penyelenggaraan Tripa, Sulaiman, dan Danil Akbar Taqwadin, Kebijakan
Penanggulangan Bencana di Indonesia: Catatan Legislasi dalam Kaitan Mitigasi Bencana di Aceh,
atas DIM dan Sandingan Perundang-undangan (online), (https://www.academia.edu/5763657/
dalam Penanggulangan Bencana, (online), KEBIJAKAN_LEGISLASI_DALAM_KAITAN_
(http://www.mpbi.org/content/review-uu- MITIGASI_BENCANA_DI_ACEH, diaksestanggal 6
pb-no-24-th-2007-daftar-isian-masalah-dan- November 2014).
sandingan, diaksestanggal 14 Februari 2013).
PANCASILA AND LAW REVIEW
Doktoral Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Lampung, Bandar
Lampung, Lampung, Indonesia.
Volume1 Issue 1, January–June 2020: pp: 59-70.
http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/plr
P-ISSN: 2723-262X
E-ISSN: 2745-9306

Nilai Pancasila Dalam Penanggulangan Bencana Alam Berdasarkan


Undang-Undang Penanggulangan Bencana

Pancasila Value in Natural Disaster Management Based on Disaster


Management

Erlinawati
erlinawati_76@yahoo.com
Yayasan Lembaga Miryam

Submitted: Apr 16, 2020; Reviewed: Apr 30, 2020; Accepted: Mei 18, 2020

Info Artikel Abstrak


Kata Kunci: Nilai-nilai Pancasila; Penyelenggaraan penanggulangan bencana
bencana; penanggulangan bencana. alam tidak bisa dilepaskan juga dari Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
Keywords: Pancasila values; disaster; melandasinya. Nilai-nilai Pancasila digali dan
disaster management. temukan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan
hidup dalam masyarakat, yakni nilai ketuhanan,
DOI: kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
https://doi.org/10.25041/plr.v1i1.2064 keadilan. Di dalam masyarakat nilai-nilai
tersebut tetap berlaku dan merupakan satu
kesatuan yang utuh, tak terpisahkan dan
mengacu kepada tujuan yang satu. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui apakah nilai-
nilai Pancasila termuat dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, dan bagaimanakah
implementasi nilai-nilai Pancasila dalam
Penanggulangan Bencana alam. Metode
penelitian yang digunakan adalah penilitian
hukum normatif empiris dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach),
Tulisan ini bersifat deskriptif, dengan
menggunakan data primer dan data sekunder
bersifat kualitatif. Hasil analisis data dibahas
Pancasila and Law Review is a journal published by Faculty of Law, Universitas
Lampung, under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License.
Nilai Pancasila Dalam Penanggulangan… Erlinawati

dengan menggunakan pendekatan undang-


undang (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
Hasil penelitian adalah Undang-undang nomor
24 Tahun 2007 telah memuat nilai-nilai
Pancasila, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai
kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan selain
secara tegas disebutkan dalam beberapa pasal,
juga tersirat dalam pasal-pasal. Nilai ketuhanan
dan persatuan tersirat di dalam beberapa pasal.
Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam
penganggulangan bencana alam di Kabupaten
Lampung Selatan terwujud dalam kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana,
mulai dari pra bencana, saat tanggap darurat
maupun pasca bencana.

Abstract
The implementation of natural disaster
management cannot be separated from
Pancasila and the 1945 Constitution which
underlies it. The values of Pancasila are
explored and found from the values that have
grown and lived in society, namely the values
of divinity, humanity, unity, society and justice.
In society these values remain valid and
constitute a unified whole, inseparable and
referring to one goal. This study aims to
determine whether the values of Pancasila
contained in Law Number 24 of 2007
concerning Disaster Management, and how the
implementation of the values of Pancasila in
natural Disaster Management. The research
method used is empirical normative legal
research with statute approach, this paper is
descriptive, using primary data and secondary
data are qualitative. The results of data
analysis are discussed using the statute
approach and conceptual approach.
The result of the research is that Law Number
24 Year 2007 contains the values of Pancasila,
namely the values of divinity, humanity, unity,
society and justice. The values of humanity,
society and justice, besides being explicitly
mentioned in several articles, are also implicit
in the articles. The value of God and unity is
implied in several articles. The implementation
of Pancasila values in natural disaster
management in South Lampung Regency is

60
Pancasila and Law Review P-ISSN 2723-262X
Volume 1 Issue 1, January-June 2020 E-ISSN 2745-9306

manifested in the activities of disaster


management, starting from pre-disaster, during
emergency response and post-disaster.

A. Pendahuluan
Indonesia berada di daerah rawan bencana. Salah satu daerah di Propinsi Lampung,
tepatnya di Kabupaten Lampung Selatan berpotensi terjadi bencana, diantaranya adalah:
tsunami, gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan puting beliung. Bencana tsunami terakhir
kali terjadi di Kabupaten Lampung selatan pada tanggal 22 Desember 2018 tepatnya di Selat
Sunda. Wilayah terdampak bencana meliputi 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Kalianda,
Rajabasa, Sidomulyo, dan Katibung. Masyarakat yang terdampak bencana sebagian besar
berada di daerah zona merah dan seharusnya sudah direlokasi, tetapi dalam hal ini
pemerintah daerah juga tidak mampu merelokasi semua.
Terjadinya bencana alam dalam suatu daerah membutuhkan penanganan yang serius.
Pemerintah memiliki peran penting dalam penyelenggaran penanggulangan bencana, akan
tetapi seluruh elemen masyarakat pun memiliki tanggung jawab yang besar pula. Keterlibatan
setiap elemen masyarakat tersebut sejatinya berdasarkan atas prinsip kemanusiaan. Dengan
demikian ketika terjadi bencana alam, sesorang tidak perlu mempertanyakan latar belakang
sesama yang akan ditolongnya, baik itu suku, agama, ataupun ras.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan utama dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebelum Indonesia merdeka nilai-nilai Pancasila
digali dan temukan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai
tersebut adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Di dalam
masyarakat nilai-nilai tersebut tetap berlaku dan merupakan satu kesatuan yang utuh, tak
terpisahkan dan mengacu kepada tujuan yang sama. Nilai-nilai Pancasila memiliki arti
penting dalam penanggulangan bencana, baik itu pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat
maupun pasca bencana. Demikian pula dalam memperkuat ketangguhan masyarakat ketika
menghadapi bencana alam.
Dalam penelitian ini hendak mengkaji permasalahan: 1) Apakah Undang-Undang
Penanganan Bencana telah memuat nilai-nilai Pancasila? 2) Bagaimanakah nilai-nilai
Pancasila diimplementasikan dalam Penanggulangan Bencana alam? Metode penelitian yang
digunakan adalah penilitian hukum normatif empiris dengan pendekatan perundang-undangan
(statute approach), Tulisan ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan data primer dan data
sekunder bersifat kualitatif. Data disusun secara sistematis dan dianalisis secara kualitatif.
Hasil analisis data dibahas menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).

B. Pembahasan
I. Pemahaman tentang Bencana
Carter membagi bencana menjadi dua, yaitu ’ancaman tradisional’ (The Traditional
Disaster Threat) dan ’ancaman baru’ (The New Disaster Threats) 1 Berdasarkan penyebabnya
menurut Amhar dan Darmawan, secara umum terdapat tiga jenis bencana, yakni bencana
geologis, bencana meteorologis dan bencana anthropogenis (disebabkan manusia) 2 . Dari
berbagai jenis bencana, terdapat enam bencana yang paling mengancam daerah-daerah di

1Carter. Nick, Disaster management: A Disaster Manager’s Handbook, ADB, Manila, 1991, hlm. 3
2Amhar, Fahmi dan Darmawan, Mulyanto, A Study on Multihazard Maps, Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan
Upaya Mitigasinya di Indonesia, Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Jakarta,
2007.

61
Nilai Pancasila Dalam Penanggulangan… Erlinawati

Indonesia, yakni tsunami, gempa bumi, banjir dan banjir bandang, kebakaran gedung, tanah
longsor, serta letusan gunung api. 3
Definisikan bencana menurut Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) dirumuskan
sebagai berikut:
“The serious disruption of the functioning of society, causing widespread human, material
or environmental losses, which exceed the ability of the affected communities to cope using
their own resources. Disasters occur when the negative effects of the hazards are not well
managed.”4.

Berdasarkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana, bencana diartikan sebagai


peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat. Penyebabnya adalah faktor alam dan/atau faktor nonalam serta
faktor manusia. Akibatnya timbul korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.5
Menghadapi bencana alam, sebagian besar masyarakat masih kurang siap dalam
mengantisipasinya. Oleh karena itu perlu manajemen bencana agar dapat mengurangi
kerugian fisik, ekonomi maupun jiwa, baik perorangan, masyarakat mempercepat pemulihan,
dan memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang kehilangan tempat
ketika kehidupannya terancam6Undang-undang penanggulangan bencana menegaskan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana mencakup kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi serta penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana. Paradigma baru yang harus menjadi bagian penting dalam pengelolaan
penanggulangan bencana adalah kesiapsiagaan masyarakat untuk pengurangan risiko bencana.
Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana harus memiliki kesiapsiagaan yang tinggi,
dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.7 Penanggulangan bencana berbasis
masyarakat dapat diwujudkan ketika masyarakat menggunakan sumber daya sendiri untuk
mengurangi resiko dengan mencegah, mengurangi, menghindari, dan memulihkan dampak-
dampak yang diakibatkan oleh adanya bencana.8

a. Nilai-Nilai Pancasila dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana
Nilai-nilai Pancasila berasal dari budaya dan masyarakat Indonesia, dan bukan ideologi
yang diimpor atau ideologi asing. Nilai yang terkandung di dalamnya merupakan nilai dasar
yang perlu diuraikan ke dalam nilai intrumental.9 Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai
Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian, yang mengakui adanya nilai material dan nilai
vital. Di dalam nilai kerohanian itu, terkandung juga nilai-nilai lain secara lengkap dan
harmonis, yang meliputi nilai material, kebaikan atau moral, kebenaran, vital, keindahan atau
estetis, maupun kesucian yang sistematis hierarkhis, dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai
‘tujuan’.10

3 Eny Supartini, dkk, Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan Bencana, BNPB, 2017, hlm. 28
4 Imelda Abarquez and Zubair Murshed, field practitioners’ handbook, 2004, Thailand, page.6
5 Pasal 1 angka 1 UU Nomor 24 Tahun 2007
6 Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana, Media Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 93
7 Deny Hidayat, Kesiapsiagaan Masyarakat: Paradigma Baru Pengelolaan Bencana Alam Di Indonesia, Jurnal

Kependudukan Indonesia , Vol. III, No. I, 2008, hlm. 82


8
Alexius Sunaryo, Mitigasi Bencana Sosial Politik Sebagai Kebijakan Publik Berbasis Demokrasi Pancasila, Mimbar
Administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Vol. 15 No. 29 Edisi Oktober
2019, ISSN 0854-3542, hlm. 152
9 Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2016, hlm. 102
10Kaelan, M.S., Filsafat Pancasila, Penerbit “Paradigma”, Yogyakarta, 2009, hlm. 127

62
Pancasila and Law Review P-ISSN 2723-262X
Volume 1 Issue 1, January-June 2020 E-ISSN 2745-9306

Dalam pembangunan sistem hukum nasional, cita hukum Pancasila memiliki tiga nilai
yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis, diaktualisasikan ke dalam norma-norma
hukum. Nilai-nilai Pancasila sebagai bintang pemandu untuk menguji dan memberikan arah
pada hukum positif Indonesia.11 Pancasila sebagai nilai terdiri dari lima nilai, yang merupakan
satu kesatuan yang utuh, tak terpisahkan, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, keadilan. Nilai-nilai tersebut merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa
Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupan.12
Nilai-nilai Pancasila dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007:
1) Nilai Ketuhanan
Penghayatan terhadap nilai ketuhanan hendak menegaskan keyakinan mendasar, bahwa
Tuhan adalah sesuatu yang hakiki diakui keberadaan-Nya oleh seluruh manusia Indonesia.
Nilai atau prinsip ketuhanan dapat dijadikan sebagai pengikat keseluruhan manusia dan
masyarakat Indonesia. Terjadinya bencana alam tidak dapat diartikan sebagai hukuman Tuhan
atas perilaku manusia yang jahat.13 Nilai ketuhanan dalam Undang-undang tersebut tersirat
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf i, yakni prinsip nonproletisi dalam penanggulangan bencana.
Berdasarkan prinsip nonproletisi, penanggulangan bencana dilarang menyebarkan agama atau
keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan
pelayanan darurat bencana.
2) Nilai Kemanusiaan
Soekarno merumuskan rasa perikemanusiaan sebagai hasil dari pertumbuhan rohani,
kebudayaan, dari alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. Perikemanusiaan adalah hasil
dari evolusi di dalam kalbunya manusia. 14 Setiap orang harus menghormati dan menghargai
orang lain sebagai sesama manusia, oleh karena itu dituntut sikap adil dalam memperlakukan
sesamanya tanpa melihat suku, ras, ataupun perbedaan lainnya. 15 Nilai kemanusiaan dengan
tegas diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a bahwa penanggulangan bencana berasaskan
kemanusiaan. Nilai kemanusiaan terdapat pula dalam prinsip-prinsip penanggulangan
bencana, yakni prinsip cepat dan tepat (Pasal 3 ayat (2) huruf a), prinsip prioritas (Pasal 3 ayat
(2) huruf b). Kegiatan penanggulangan bencana pertama-tama yang harus mendapat prioritas
dan diutamakan adalah pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia. Dalam Pasal 48 huruf c, d,
dan e Prioritas tindakan kemanusiaan adalah penyelamatan dan evakuasi, pemenuhan
kebutuhan dasar dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Ketentuan tersebut lebih lanjut
dijabarkan dalam Pasal 52 dan Pasal 53. Prioritas tindakan pada kelompok rentan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf e lebih lanjut diatur dalam Pasal 55 ayat (2)
terdiri atas bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
penyandang cacat; dan orang lanjut usia.
Nilai kemanusiaan terkandung pula dalam Pasal 4 huruf a, yakni di dalam tujuan
penanggulangan bencana, antara lain memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
ancaman bencana, yang terdapat juga dalam Pasal 6 huruf b dan Pasal 8 huruf a, b.
Pemenuhan kebutuhan dasar untuk mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman
merupakan salah satu perwujudan nilai kemanusiaan yang dilakukan Pemerintah. Demikian
pula hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan dan keterampilan,
mendapatkan informasi tentang kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana 16.

11 Fais Yonas Bo’a, Pancasila Dalam Sistem Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, hlm. 117
12 Kaelan, M.S,op.cit , hlm.128
13 Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan, Pancasila Kekuatan Pembebas, Penerbit PT Kanisius, Yogyakarta,

2012, hlm. 74
14 Ir. Soekarno, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, Media Pressindo, Yogyakarta, 2016, hlm. 205
15 Eko A Meinarno Sri Fatmawati Mashoedi, Pembuktian Kekuatan Hubungan Antara Nilai-Nilai Pancasila Dengan

Kewarganegaraan, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 1, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 14
16 Pasal 26 ayat (1) huruf a, b, c dan ayat (2) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007

63
Nilai Pancasila Dalam Penanggulangan… Erlinawati

Nilai kemanusiaan berkaitan erat dengan kelestarian lingkungan hidup. Setiap orang
berkewajiban menjaga dan merawat kelestarian lingkungan. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Pasal 31 huruf b harus memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan hidup.
1. Nilai Persatuan
Kesatuan wilayah merupakan salah satu aspek nilai persatuan. Berdasarkan Pasal 31 huruf
d penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan aspek lingkup luas
wilayah. Terjadinya bencana di satu daerah merupakan keprihatian bersama, oleh karena
itu dalam menentukan kebijakan harus memperhatikan materi yang ada dalam ketentuan
penanggulangan bencana harus mengarah pada kelestarian lingkungan demi kepentingan
bangsa dan negara.
2. Nilai Kerakyatan
Nilai kerakyatan pada Pasal 74 ayat (1) berkaitan dengan penyelesaian sengketa pada tahap
pertama diupayakan dengan asas musyawarah mufakat. Nilai kerakyatan juga menekankan
makna saling membantu (bergotong royong), tanggung jawab sosial, dan solidaritas. Sejak
Indonesia belum menjadi negara, gotong royong sudah menjadi bagian dari kebudayaan
yang diwariskan. 17 Dalam pandangan hidup orang Lampung, Sakai Sambaian (gotong
royong) adalah salah satu unsur yang dinilai sebagai sesuatu yang baik, yang perlu
dihadirkan dalam relasi sosial.18
Penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama
Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong. Bergotong royong dapat
dimaknai sebagai suatu tindakan yang dilakukan dalam semangat kebersamaan. Salah satu
asas penanggulangan bencana Pasal 3 ayat (1) huruf f yakni asas kebersamaan.
Prinsip koordinasi, keterpaduan dan kemitraan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, f dan g
adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling
mendukung, dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama
yang baik dan saling mendukung dalam semangat pemberdayaan. Nilai kerakyatan terwujud
dalam partisipasi dan kemitraan publik serta swasta, semangat gotong royong,
kesetiakawanan dan kedermawanan sebagaimana terdapat pada Pasal 4 huruf d, e. Sesuai
dengan Pasal 26 ayat (1) huruf d, e, f masyarakat memiliki hak untuk berperan serta dalam
perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan. Masyarakat juga berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya, serta melakukana pengawasan sesuai mekanisme yang berlaku. Peran serta
masyarakat, lembaga usaha dan lembaga internasional ditaur dalam Pasal 27, 28 dan 29.
Pada Pasal 14 diatur tentang perumusan konsep kebijakan penanggulangan bencana
nasional, pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana oleh unsur
pengarah penanggulangan bencana melibatkan pejabat pemerintah terkait dan anggota
msyarakat profesional yang dipilih melalui uji kepatutan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Masyarakat dapat berpartisipasi aktif melibatkan diri dalam urusan-urusan publik.
Berkaitan dengan pendanaan berdasarkan Pasal 60 ayat (2) peran Pemerintah dan Pemerintah
Daerah adalah mendorong partisipasi masyarakat agar dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Peran serta masyarakat sebagai bentuk
kemandirian dan tanggung jawab sebagai individu.
3. Nilai Keadilan
Nilai keadilan termuat dalam UU No. 24 Tahun 2007 khususnya pada Pasal 3 ayat (1)
huruf b: penanggulangan bencana berasaskan keadilan. Pasal 6 hurf c berkaitan dengan

17AgustinusW. Dewantara, Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa ini, Penerbit PT Kanisius, Yogyakarta, 2017, hlm. 104
18Ani Rosiyati, Sakai Sambaian: Sistem Gotong Royong di Lampung Timur, Jurnal Patanjala volume 4 No. 1, Maret 2012,
hlm. 100

64
Pancasila and Law Review P-ISSN 2723-262X
Volume 1 Issue 1, January-June 2020 E-ISSN 2745-9306

penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana. Pasal 21 huruf
a berkaitan dengan tugas BPBD dalam menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana secara adil dan setara.
Pada Pasal 3 ayat (2) huruf d,e, h juga tersirat adanya nilai keadilan, yakni berkaitan
dengan prinsip berdaya guna dan berhasil guna dalam mengatasi kesulitan masyarakat.
Dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan penanggulangan bencana
harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip nondiskriminasi
jelas menunjukkan adanya nilai keadilan. Nilai keadilan juga tersirat dalam Pasal 32 ayat (2),
bahwa setiap orang berhak atas ganti rugi sesuai apabila hak kepemilikannya dicabut atau
dikurangi.

II. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Penanggulanan Bencana di Lampung


Selatan
Penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, oleh
karena itu perubahan pada aspek kebijakan, kelembagaan, koordinasi, dan mekanisme
memungkinkan terbukanya ruang untuk partisipasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
dunia usaha, dan masyarakat internasional. 19
Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat
dan pascabencana. Tahap-tahap yang dilakukan mengacu pada Undang Undang Nomor 24
Tahun 2007 yang dilaksanakan dengan Peraturan Bupati Lampung Selatan Nomor 05 Tahun
2011 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Bupati Lampung Selatan Nomor 16
Tahun 2011 tentang Prosedur Tetap Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Lampung Selatan.
1) Prabencana
Perwujudan nilai kemanusiaan yang dilakukan Pemerintah Daerah berkaitan dengan hak
setiap orang untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan dan keterampilan dilakukan melalui
upaya meningkatkan kesiapsiagaan aparat desa dan masyarakat terhadap bencana. Pemerintah
Daerah melalui BPBD membuat desa siaga bencana, yang bertujuan agar masyarakat
mengetahui hal-hal yang harus diperbuat baik saat tidak terjadi bencana maupun ketika terjadi
bencana. Pelatihan yang diadakan dnengan sasaran utamanya adalah desa-desa pinggir pantai
agar menjadi desa tangguh bencana. Kegiatan tersebut masih terbatas. Baru 5 desa yang
dilatih yakni desa Banding, Sukaraja, Waymuli, Sidomulya dan Talangbaru. Dalam satu desa
dipilih 60 orang yang dilatih, sehingga kalau terjadi bencana mereka tahu apa yang harus
dikerjakan, dan bisa membantu warga yang lain.
2) Tanggap Darurat
Penetapan status tanggap darurat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan
tertuang dalam Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor: B/ 400/VI.02/HK/2018 tentang
Penetapan Status Tanggap Darurat Penanganan Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung
Selatan. Penetapan status tanggap darurat ini dilakukan mengingat bencana tsunami yang
melanda beberapa kawasan di wilayah Kabupaten Lampung Selatan pada tanggal 22
Desember 2018 telah menyebabkan korban jiwa dan terganggunya lingkungan dan
pemukiman warga. Selain itu penetapan status tanggap darurat dilakukan untuk
mengantisipasi meluasnya dampak bencana, menghilangkan atau meminimalisir dampak
bencana.
Penetapan status tanggap darurat berlangsung selama 7 (tujuh) hari, terhitung sejak 23
Desember 2018 sampai dengan 29 Desember 2018 dan diperpanjangan terhitung mulai 30
Desember 2018 sampai dengan tanggal 05 Januari 2019. Meski telah mendapat tambahan
waktu masa tanggap darurat, namun Pemerintah Daerah masih memandang perlu untuk

19 Shanti Dwi Kartika, Politik Hukum Penganggulangan Bencana, Kajian Vol. 20 No. 4 Desember 2015, hlm. 338

65
Nilai Pancasila Dalam Penanggulangan… Erlinawati

melakukan perpanjangan kedua masa tanggap darurat, terhitung mulai 06 Januari sampai
dengan 19 Januari 2019.
Implementasi nilai kemanusiaan berkaitan prinsip-prinsip penanggulangan bencana
dilakukan dengan cepat dan tepat. Respon cepat dan tepat pada saat terjadi bencana dilakukan
oleh Pemerintah Daerah melalui BPBD dengan mendirikan posko pengendali yang memiliki
tugas pokok mengarahkan, dan dalam koordinasi dengan pihak lain, seperti Dinas Sosial,
Kesehatan, Polisi, TNI, Organisasi Masyarakat (Ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) terlibat aktif dengan berbagai upaya untuk evakuasi, pertolongan, pemenuhan
kebutuhan dasar dan pencarian orang.
Nilai kemanusiaan juga terwujud dengan memberikan prioritas dan mengutamakan
kegiatan penyelamatan jiwa manusia. Prioritas tindakan kemanusiaan berupa penyelamatan
dan evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana.
Nilai kerakyatan terdapat dalam prinsip koordinasi, keterpaduan dan kemitraan (Pasal 3
ayat (2) huruf c, f dan g). Pemerintah Pusat melalui BNPB dan Kementrian Sosial serta Dinas
Pendidikan bekerjasama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Keterlibatan
berbagai pihak, partisipasi dan kemitraan publik serta swasta dalam semangat gotong royong,
kesetiakawanan dan kedermawanan. Implikasi nilai kerakyatan dalam penanggulangan
bencana juga terdalam bentuk berperan serta masyarakat dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana sebagai bentuk kemandirian dan tanggung jawab sebagai individu.
Masyarakat secara sosial memiliki kebudayaannya masing-masing. Nilai-nilai yang lahir dan
berkembang di dalam suatu masyarakat berasal dari dirinya sendiri. 20 Kearifan lokal yang
diyakini memiliki nilai kebaikan dan menjadi acuan dalam bertindak pada kehidupan
masyarakat, sehingga prinsip tersebut menjadi pola pikir dan tradisi pada kehiduan
masyarakat setempat.21 Sikap dan tidakan saling membantu, bergotong-royong meringankan
beban sesamanya, baik yang dilakukan dalam kerjasama antarwarga masyarakat, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah, maupun pihak-pihak lain, menunjukkan bahwa nilai kerakyatan yang
menekankan makna saling membantu (bergotong royong), tanggung jawab sosial, dan
solidaritas telah terwujud dalam pelaksanaan penanggulangan bencana. Kegiatan gotong
royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk
kepentingan umum.22 Semangat gotong royong yang telah tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat menjadi modal sosial yang kuat dalam pembangunan masyarakat yang tangguh
bencana. Modal sosial bermanfaat dalam upaya mengatasi masalah dalam masyarakat secara
bersama dan merupakan sumber motivasi untuk mencapai peningkatan ekonomi suatu
masyarakat atau bangsa,23 sehingga terciptanya masyarakat yang semakin mandiri.24

III. Masa Transisi Darurat Menuju Pemulihan Pascabencana


Status Transisi Darurat ke Pemulihan adalah keadaan ketika ancaman bencana cenderung
menurun dan atau telah berakhir eskalasinya, akan tetapi gangguan kehidupan dan
penghidupan masyarakat masih tetap berlangsung. 25 Masa transisi tersebut dalam berbagai

20 HS Tisnanta, Oki Hajiansyah Wahab, Dharma Setyawan, Modal Sosial Dan Komunitas Agama Sebagai Pendukung
Instrumen Hukum Dalam Pengelolaan Sampah Di Kota Metro, Jurnal Pemikiran Islam, Volume 19, No. 2, 22 Oktober 2014,
hlm. 269
21 Idrus Ruslan, Dimensi Kearifan Lokal Masyarakat Lampung Sebagai Media Resolusi Konflik, Jurnal Kalam, Volume 12,

No. 1, Juni 2018, hlm. 109


22 Maulana Irfan, Metamorfosis Gotong Royong Dalam Pandangan Konstruksi Sosial, Prosiding Ks: Riset & Pkm Volume: 4

Nomor: 1 Hal: 1 - 140 Issn: 2442-4480, 2016


23
R.A. Tachya Muhamad, Bintarsih Sekarningrum, Yusar, Modal Sosial Dalam Penanggulangan Bencana Banjir (Kasus di
Kabupaten Bandung, Jawa Barat), Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, Departemen of Sociology, Faculty of Social
and Political Science, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2017
24 Rusydi Syahra, Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi , Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 5 No. 1 Tahun 2003, hlm. 20
25 Pasal 1angka 5 Peraturan Kepala BNPB Nomor 03 Tahun 2016 Tentang Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana

66
Pancasila and Law Review P-ISSN 2723-262X
Volume 1 Issue 1, January-June 2020 E-ISSN 2745-9306

peraturan tidak disebutkan jangka waktu maksimal dan hal-hal yang dilakukan selama masa
transisi darurat menuju pemulihan dalam penanggulangan bencana. Berdasarkan Keputusan
Bupati Lampung Selatan Nomor: B/125/VI.02/HK/2019 tentang Penetapan Status Masa
Transisi Darurat Menuju Pemulihan Pasca Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung Selatan,
menunjukkan bahwa berakhirnya masa tanggap darurat penanggulangan bencana, tidak serta
merta ditetapkan masa pascabencana. Sampai dengan akhir tahun 2019 belum ada penetapan
status pascabencana yang berimplikasi pada tindakan-tindakan yang semestinya dilakukan
pada masa pascabencana. Masa Transisi Darurat Menuju Pemulihan Pasca Bencana Tsunami
di Kabupaten Lampung Selatan dalam jangka waktu 90 (sembila puluh) hari sejak tanggal 20
Januari 2019 sampai dengan 20 April 2019. Masa transisi diperpanjangan untuk waktu 30
(tiga puluh) hari, terhitung sejak tanggal 21 April 2019 sampai dengan 20 Mei 2019. Setelah
perpanjangan masa transisi darurat menuju pemulihan pasca bencana tsunami berakhir, maka
pada 21 Mei 2019 ditetapkan Perpanjangan Kedua Status Masa Transisi Darurat Menuju
Pemulihan Pasca Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung Selatan yang berlaku selama 60
(enam puluh) hari, sejak tanggal 21 Mei 2019 sampai dengan tanggal 19 Juli 2019.
Berdasarkan beberapa Surat Keputusan Bupati Lampung Selatan tersebut di atas, masa
tanggap darurat berlangsung selama 28 (dua puluh delapan) hari terhitung sejak tanggal 23
Desember 2018 sampai dengan 19 Januari 2019. Sedangkan masa transisi darurat menuju
pemulihan pasca bencana tsunami berlangsung selama 180 (seratus delapan puluh) hari,
terhitung sejak 20 Januari 2019 sampai dengan 19 Juli 2019. Pada masa transisi Pemerintah
Kabupaten Lampung Selatan menyiapkan lahan-lahan yang dapat dipergunakan untuk
hunian sementara (Huntara). Penyediaan huntara di 9 titik yaitu di Desa Kunjir, Way Muli
timur, Waymuli Induk, Sukaraja, Rajabasa, Banding, eks hotel 56, Sidomulya, Katibung-
Tarahan dengan total huntara 357 unit.26 Pascabencana
Pascabencana merupakan masa pemulihan. Pemerintah Daerah dalam proses ke arah
pemulihan melakukan pembuatan hunian tetap (huntap). Huntap tersebut di peruntukkan bagi
korban bencana yang rumahnya termasuk dalam kriteria kerusakan berat, untuk rumah
dengan kriteria rusak sedang renovasi dibantu oleh Pemerintah Propinsi, sedangkan untuk
rumah dengan kriteria rusak ringan dibantu oleh Kabupaten. Kriteria kerusakan berat, sedang
dan ringan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati. Dalam hal ini implementasi nilai
keadilan dalam penanggulangan bencana sangat aktual. Keadilan secara proporsional harus
bdiberikan bagi setiap warga tanpa terkecuali.

C. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data dapat disimpulkan bahwa:
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 2007 telah memuat nilai-nilai Pancasila, yakni nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai kemanusiaan,
kerakyatan dan keadilan selain secara tegas disebutkan dalam beberapa pasal, juga tersirat
dalam pasal-pasal. Sedangkan nilai ketuhanan dan persatuan tersirat di dalam beberapa
pasal.
2. Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam penganggulangan bencana alam di Kabupaten
Lampung Selatan terwujud dalam kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana,
mulai dari pra bencana, saat tanggap darurat maupun pasca bencana.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana mulai dari pra bencana, saat tanggap darurat
dan pascabencana telah diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007, akan tetapi
pada masa transisi menuju pemulihan belum ada peraturan yang secara jelas mengaturnya.
Oleh karena itu perlu adanya regulasi yang mengatur secara detail jangka waktu masa

26 Arief Ikhsanudin, BNPB Bangun Huntara untuk Korban Tsunami di Lampung Selatan, https://news.detik.com/ dan
https://bnpb.go.id/,

67
Nilai Pancasila Dalam Penanggulangan… Erlinawati

transisi dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada masa
transisi menuju pemulihan.

Daftar Pustaka

A. Buku
Agustinus W. Dewantara, Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa ini, Penerbit PT Kanisius,
Yogyakarta, 2017.
Amhar, Fahmi dan Darmawan, Mulyanto, A Study on Multihazard Maps, Panduan Pengenalan
Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Jakarta, 2007.
Carter. Nick, Disaster management: A Disaster Manager’s Handbook, ADB, Manila, 1991.
Eny Supartini, dkk, Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan Bencana, BNPB, 2017.
Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, Manajemen Bencana, Media Pressindo, Yogyakarta,
2010.
Imelda Abarquez and Zubair Murshed, field practitioners’ handbook, 2004, Thailand.
Khambali, Manajemen Penanggulangan Bencana, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2017.
Ir. Soekarno, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, Media Pressindo, Yogyakarta, 2016.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016.
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2016.
Kaelan, M.S., Filsafat Pancasila, Penerbit “Paradigma”, Yogyakarta, 2009.
Fais Yonas Bo’a, Pancasila Dalam Sistem Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017
Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan, Pancasila Kekuatan Pembebas, Penerbit
PT Kanisius, Yogyakarta, 2012.

B. Jurnal
Ani Rosiyati, Sakai Sambaian: Sistem Gotong Royong di Lampung Timur, Jurnal Patanjala
volume 4 No. 1, Maret 2012.
Agus Lanini , Sutarman Yodo , Ikshan Syafiuddin, The Protection of Refugees Rights of Natural
Disasters in Central Sulawesi Indonesia, Advances in Social Science, Education and
Humanities Research, volume 358, ICGLOW 2019.
Alexius Sunaryo, Mitigasi Bencana Sosial Politik Sebagai Kebijakan Publik Berbasis Demokrasi
Pancasila, Mimbar Administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas 17
Agustus 1945 Semarang, Volume 15 No. 29 ISSN 0854-3542, Edisi Oktober 2019.
Deny Hidayat, Kesiapsiagaan Masyarakat: Paradigma Baru Pengelolaan Bencana Alam Di
Indonesia, Jurnal Kependudukan Indonesia , Volume III, No. I, 2008.
Eko A Meinarno Sri Fatmawati Mashoedi, Pembuktian Kekuatan Hubungan Antara Nilai-Nilai
Pancasila Dengan Kewarganegaraan, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Th. 1, Nomor 1, Juni 2016.
Hilda Maulida, The Implementation of Disaster Management and Legal Protection for Disaster
Relief Volunteers (Case of Central Java Province, Indonesia). Journal of Law and Legal
Reform, 1(3), 415-424. ISSN (Print) 2715-0941, ISSN (Online) 2715-0968.
HS Tisnanta, Oki Hajiansyah Wahab, Dharma Setyawan, Modal Sosial Dan Komunitas Agama
Sebagai Pendukung Instrumen Hukum Dalam Pengelolaan Sampah Di Kota Metro,
Jurnal Pemikiran Islam, Volume 19, No. 2, 22 Oktober 2014.
Maulana Irfan, Metamorfosis Gotong Royong Dalam Pandangan Konstruksi Sosial, Prosiding
Ks: Riset & Pkm Volume: 4 Nomor: 1 Hal: 1 - 140 ISSN: 2442-4480, 2016
R.A. Tachya Muhamad, Bintarsih Sekarningrum, Yusar, Modal Sosial Dalam Penanggulangan
Bencana Banjir (Kasus di Kabupaten Bandung, Jawa Barat), Jurnal Pemikiran dan
Penelitian Sosiologi, Departemen of Sociology, Faculty of Social and Political Science,
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Rusydi Syahra, Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi , Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 5
No. 1 Tahun 2003.

68
Pancasila and Law Review P-ISSN 2723-262X
Volume 1 Issue 1, January-June 2020 E-ISSN 2745-9306

Shanti Dwi Kartika, Politik Hukum Penganggulangan Bencana, Kajian Vol. 20 No. 4 Desember
2015.
Sutan Syahrir Zabda, Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara dan
Implementasinya Dalam Pembangunan Karater Bangsa, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,
Vol 26, No.2, Desember 2016, ISSN:1412-3835

C. Undang-undang
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 11 Tahun 2014 tentang Mitigasi Regional
Bencana Geologi di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan.
Peraturan Bupati Lampung Selatan Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penanggulangan Bencana.
Peraturan Bupati Lampung Selatan Nomor 16 Tahun 2011 tentang Prosedur Tetap
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lampung Selatan.
Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor: B/ 400/VI.02/HK/2018 tentang Penetapan Status
Tanggap Darurat Penanganan Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung Selatan.
Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor: B/405/VI.02/HK/2018 tentang Penetapan
Perpanjangan Status Tanggap Darurat Penanganan Bencana Tsunami di Kabupaten
Lampung Selatan.
Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor: B/30/VI.02/HK/2019 tentang Penetapan
Perpanjangan Kedua Status Tanggap Darurat Penanganan Bencana Tsunami di
Kabupaten Lampung Selatan.
Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor: B/125/VI.02/HK/2019 tentang Penetapan Status
Masa Transisi Darurat Menuju Pemulihan Pasa Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung
Selatan.
Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor: B/334/VI.02/HK/2019 tentang Penetapan
Perpanjangan Status Masa Transisi Darurat Menuju Pemulihan Pasa Bencana Tsunami di
Kabupaten Lampung Selatan.
Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor: B/381/VI.02/HK/2019 tentang Penetapan
Perpanjangan Kedua Status Masa Transisi Darurat.

69
Nilai Pancasila Dalam Penanggulangan… Erlinawati

70
SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI
PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE
Annastasia Gadis Pradiptasari1, Dr. Judy O. Waani, ST. MT2, Windy Mononimbar, ST. MT3
1
Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Sam Ratulangi Manado
2&3
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur, Universitas Sam Ratulangi Manado

ABSTRAK
Kota Ternate terdapat gunung api Gamalama yang termasuk gunung api aktif dan menjadi salah satu
sumber bencana di Kota tersebut. Untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada di permukiman
Kampung Tubo, Pemerintah telah membuat zonasi kawasan rawan bencana I, II dan III agar
masyarakat tidak membangun rumah didaerah rawan bencana, sehingga apabila terjadi bencana
masyarakat tidak terkena material gunung api Gamalama. Kondisi jalan di permukiman Kampung
Tubo telah diaspal tetapi ada beberapa jalan lingkungan yang masih berbatu-batu dan berlubang.
Adapula jalur-jalur evakuasi sudah sangat baik sehingga apabila terjadi bencana masyarakat dapat
menyelamatkan diri mereka. Dan ada beberapa infrastruktur yang tidak dibuat oleh pemerintah
contohnya bunker dan papan peringatan bahaya gunung api Gamalama. Sistem penanggulangan
bencana di Kelurahan (kampung) Tubo sudah cukup efektif. Terlihat dari pembagian zonasi kawasan
rawan bencana, pola permukiman, infrastruktur, kondisi bangunan dan sistem sosialisasi pada
masyarakat akan bahaya bencana.
Kata kunci: Sistem, Penanggulangan Bencana, Gunung Api Gamalama, Permukiman,
Kelurahan Tubo Kota Ternate

PENDAHULUAN Berdasarkan data dari kantor Kelurahan


Latar Belakang Tubo tahun 2014 bencana yang diakibatkan
Indonesia merupakan negara yang oleh gunung api Gamalama berdasarkan
wilayahnya memiliki banyak daerah rawan sejarah gunung api Gamalama sudah lebih dari
bencana. Menurut Badan Nasional 60 kali meletus sejak letusannya pertama kali
Penanggulangan Bencana tahun 2010 tercatat pada tahun 1538. Kerugian yang telah
setidaknya ada 13 jenis bencana yang selalu disebabkan oleh bencana tersebut yaitu korban
mengancam negeri kepulauan ini yaitu jiwa setidaknya sudah empat kali terjadi,
bencana geologi (gempa bumi, tsunami, erupsi dengan korban terbanyak jatuh pada tahun
gunung berapi), bencana hidrometeorologi 1775. Erupsi terakhir dari gunung api
(banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran Gamalama terjadi pada tahun 2003. Letusan
lahan dan hutan, puting beliung dan tersebut tidak besar dan tidak menimbulkan
gelombang pasang) bencana biologi korban jiwa, namun selama lebih dari satu
(epidemic, wabah penyakit) dan bencana sosial pekan, letusan tersebut menyemburkan abu
(konflik sosial dan teror) dalam Ariyadi vulkanik yang menutupi langit Ternate.
Nugroho Susilo dan Iwan Rudiarto (2014). Letusan gunung api Gamalama pada tahun
Salah satu bencana yang melanda Indonesia 2011 lalu seakan-akan menghentikan kegiatan
akhir-akhir ini yaitu bencana erupsi gunung yang ada di sekitar gunung api Gamalama
api. khususnya Kota Ternate. Dampak yang
ditimbulkan tidak begitu seberapa tapi mampu
Dalam upaya mencegah dan mengurangi melumpuhkan kegiatan di berbagai sektor dan
dampak dari bencana yang terjadi, diperlukan seakan - akan letusan gunung api Gamalama
sebuah sistem penanggulangan bencana. menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat
Sistem penanggulangan bencana yang mampu yang berdomisili di sekitar kaki gunung api
menangani bencana erupsi gunung api baik Gamalama, termasuk salah satunya di
berupa zonasi kawasan rawan bencana, Kelurahan (Kampung) Tubo. Menurut data
infrastruktur hingga sosialisasi kepada Kelurahan tahun 2014, letusan terjadi terakhir
masyarakat yang berada di kawasan rawan kali pada tahun 2011 yang telah menyebabkan
bencana. Sehingga meningkatkan pengetahuan kerusakan parah pada area permukiman antara
masyarakat dalam kesiap-siagaan dan lain, 3 orang meninggal dunia, 3 orang luka
mengambil tindakan untuk meyelamatkan diri. berat, 29 rumah rusak berat dan 49 rumah
rusak ringan.

33
Upaya penanggulangan telah dilakukan suatu sistem menunjukkan ruang
oleh pemerintah antara lain telah dibangun lingkup dari sistem tersebut.
tanggul penahan lahar di area permukiman 3. Lingkungan luar sistem
pada tahun 1990. Namun kejadian letusan Lingkungan luar sistem dari suatu
terakhir masih saja terjadi kerusakan parah sistem adalah apapun diluar batas
pada area permukiman seperti yang di sistem yang mempengaruhi
paparkan diatas. Hal ini mendorong untuk operasi.lingkungan luar sistem dapat
ditelitinya bentuk-bentuk atau upaya apa saja bersifat menguntungkan dana dapat
yang telah dilakukan maupun yang perlu di juga bersifat menguntungkan sistem
lakukan kedepan dalam rangka menanggulangi tersebut. Lingkungan luar yang
bencana gunung api Gamalama di Kampung menguntungkan berupa energidari
Tubo. sistem dan dengan demikian harus
tetap dijaga dan dipelihara. Sedangkan
Rumusan Masalah
lingkungan luar yang merugikan harus
Bagaimanakah upaya atau sistem ditahan dan dikendalikan, kalau tidak
penanggulangan bencana gunung api di maka akan mengganggu kelangsungan
permukiman Kampung Tubo ? hidup dari sistem.
4. Penghubung sistem
Tujuan Penelitian Penghubung merupakan media
Menganalisis sistem penanggulangan penghubung antara satu subsistem
bencana gunung api Gamalama di dengan subsistem yang lainnya.
Kampung Tubo. Melalui penghubung ini
memungkinkan sumber-sumber daya
TINJAUAN PUSTAKA mengalir dari satu subsistem ke
Sistem subsistem yang lainnya. Dengan
Sistem adalah adalah kumpulan dari penghubung satu subsistem dapat
elemen-elemen yang berinteraksi untuk berintegrasi dengan subsistem yang
mencapai suatu tujuan tertentu. sistem ini lainnya membentuk satu kesatuan.
menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan Penanggulangan Bencana / Mitigasi
kesatuan yang nyata adalah suatu objek nyata, Bencana
seperti tempat, benda, dan orang-orang yang Menurut Undang-Undang Nomor 24
betul-betul ada dan terjadi (Jogianto, 2006). Tahun 2007, penanggulangan bencana adalah
Menurut Jogiyanto (2006) Sistem peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mempunyai karakteristik atau sifat-sifat mengancam dan mengganggu kehidupan dan
tertentu, yakni : penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
1. Komponen maupun faktor manusia sehingga
Suatu sistem terdiri dari sejumlah mengakibatkan timbulnya korban jiwa
komponen yang saling berinteraksi, manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
yang saling bekerja sama membentuk harta benda, dan dampak psikologis. Bencana
satu kesatuan. Komponen-komponen dapat pula didefinisikan sebagai situasi krisis
sistem atau elemen-elemen sistem yang jauh diluar kapasitas manusia untuk
dapat berupa suatu subsistem atau menyelamatkan diri. Artinya, suatu kejadian
bagian-bagian dari sistem. setiap alam ekstrim tidak akan disebut bencana
subsistem mempunyai sifat-sifat dari apabila dampak atau kerugian yang
sistem untuk menjalankan suatu fungsi ditimbulkannya tidak dirasakan oleh manusia.
tertentu mempengaruhi proses sistem Menurut Undang-Undang Nomor 24
secara keseluruhan. Tahun 2007, mitigasi merupakan upaya
2. Batasan sistem penanggulangan bencana dengan tujuan dapat
Batasan sistem merupakan daerah meminimalkan dampak kerusakan yang
yang membatasi antara suatu sistem ditimbulkan akibat terjadinya bencana serta
dengan sistem yang lainnyaatau untuk menimimalkan jumlah korban. Oleh
dengan lingkungan luarnya. Batasan karena itu diperlukan suatu upaya untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan

34
tersebut, terutama bagi warga yang kehilangan secara bersama-sama. Di lain pihak manusia
tempat tinggalnya. juga tidak suka untuk diisolasi secara total dari
kehidupan sosialnya.
Permukiman
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun Menurut Wohwill terdapat tiga kategori
2011 Permukiman adalah bagian dari hubungan perilaku dan lingkungan yang harus
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari disesuaikan untuk mendapatkan tingkat
satu satuan perumahan yang mempunyai adaptasi yang optimum, yaitu; rangsang
prasarana, sarana, utilitas umum, serta sensori, rangsang sosial dan rangsang
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di perubahan. Terlalu banyak dan terlalu sedikit
kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. rangsang sensori adalah tidak menyenangkan,
Permukiman merupakan kelompok tempat serta terlalu banyak dan terlalu sedikit
tinggal manusia, atau sering disebut pula perubahan lingkungan juga tidak akan
dengan kompleks perumahan. Hal ini berarti menyenangkan.
pada permukiman tersebut terdiri dari
beberapa rumah tinggal. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, metode yang
Permukiman akan memberikan gambaran digunakan yaitu metode kualitatif.
pada orang lain, bahwa di daerah perumahan Pengumpulan data didapat dengan survey
tersebut memiliki berbagai fasilitas, dalam lapangan pada lokasi penelitian, wawancara,
buku psikologi lingkungan hal 1. Kantor Kelurahan Tubo, Masyarakat di
Kelurahan Tubo dan Badan Penanggulangan
Sistem Penanggulangan Bencana Gunung Bencana Daerah Kota Ternate (BPBD),
Api Pada Permukiman sehingga mendapat data primer dan sekunder.
Menurut Permen PU nomor Sementara teknik analisis data dilakukan
21/PRT/M/2007 tentang pedoman penataan dengan menggunakan teknik analisis
ruang kawasan rawan letusan gunung berapi deskriptif, yaitu dengan mengumpulkan data,
dan kawasan rawan gempa bumi, menguraikan mengelola, menyajikan dan menjabarkan hasil
kerentanan sebagai kondisi atau karakteristik penelitian sebagaimana adanya.
biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik,
budaya, dan teknologi masyarakat di suatu HASIL DAN PEMBAHASAN
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang Lokasi Penelitian
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, Lokasi penelitian berada di Kelurahan
mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak Tubo (disebut Kampung Tubo), Kecamatan
bahaya/bencana alam tertentu. Beberapa Ternate Utara, Kota Ternate, Propinsi Maluku
karakteristik lingkungan permukiman kota Utara. Jumlah penduduk di Kampung Tubo
yang mempertinggi tingkat risiko bencana menurut data dari kantor Kelurahan Tubo
diantaranya, keberadaan lokasi permukiman yaitu 2519 jiwa dengan jumlah kepala
tersebut yang berada pada kawasan rawan keluarga 87 KK. Kampung Tubo memiliki
bencana, kepadatan bangunan yang tinggi, luas wilayah 5,5 Ha dan berjarak 7 Km dari
konstruksi bangunan yang berkualitas tidak pusat Kota Ternate.
memadai, dan minimnya pengetahuan atau
kurang relevannya upaya pengurangan risiko Gambar 4.1 Peta Kelurahan (Kampung)
bencana yang dilakukan dengan ancaman Tubo
bencana yang dihadapi.

Tingkat Adaptasi
Teori tingkat adaptasi terhadap
rangsangan lingkungan dikemukakan oleh
Wohwill (1974) dalam buku Dasar-dasar
Psikologi Lingkungan hal 44-46. Wohwill
berasumsi bahwa manusia pada dasarnya tidak
menyukai kepadatan/kesesakan, namun pada
suatu situasi tertentu manusia mencoba
mempunyai keinginan untuk berrkumpul

35
Sumber : RTRW Kota Ternate, 2012

Sumber : RTRW Kota Ternate, 2012


Akan tetapi berdasarkan RTRW Kota
Zonasi Kawasan Rawan Bencana Di Ternate Tahun 2012 kawasan rawan
Kampung Tubo bencana I berjarak 4,5 km dari sumber
Kawasan rawan bencana gunung api letusan, untuk itu kawasan ini
yaitu suatu kawasan yang memiliki tingkat diperbolehkan untuk permukiman dan
resiko terkena bencana apabila terjadi letusan kawasan budidaya. Kawasan rawan
gunung api tersebut. Kampung Tubo adalah
bencana II berjarak 3,5 km dari pusat
salah satu daerah rawan bencana, karena di
kawasan ini terdapat aliran massa dari dalam
erupsi, karena tingkat resikonya tidak
perut gunung api Gamalama. Berdasarkan data terlalu tinggi tetapi resiko untuk
RTRW Kota Ternate Tahun 2012 kawasan menyelamatkan diri pada saat letusan
rawan bencana gunung api Gamalama tingkat cukup sulit untuk itu kawasan ini hanya
kerawanan yang paling rendah (I) hingga dimanfaatkan sebagai kawasan pertanian,
tingkat kerawanan yang tertinggi (III). perkebunan atau hutan produksi. Selain
tingkat resikonya yang masih tergolong
Berdasarkan data penelitian yang tidak terlalu tinggi dan sedang, kawasan
diperoleh dari Badan Penanggulangan rawan I dan II masih diperbolehkan untuk
Bencana Daerah Kota Ternate tahun 2015, membangun rumah. Tetapi kawasan rawan
kawasan rawan bencana di kampung Tubo bencana III berjarak 2,5 km dari pusat
dibagi menjadi tiga bagian. Kawasan erupsi, tingkat resiko bencana yang sangat
rawan bencana I berjarak 5,5 km dari pusat besar sehingga tidak diperbolehkan untuk
erupsi dengan permukiman dan kawasan daerah bermukim dan hanya untuk
ini diperbolehkan untuk bermukim, karena kawasan lindung. Sehingga pada kawasan
tingkat resikonya sangat rendah. rawan bencana pada Kampung Tubo
Sedangkan kawasan rawan bencana II mengambil acuan dari RTRW Kota
berjarak 4,5 km dari pusat erupsi dengan Ternate Tahun 2012.
permukiman warga, karena kawasan ini
tidak terlalu beresiko terkena material Pola Permukiman Di Kawasan Rawan
lahar panas akan tetapi material abu Bencana Gunung Api Gamalama
vulkanik. Dan untuk kawasan rawan Kelurahan Tubo
bencana III juga berjarak 2,5 km dari pusat Pola pemukiman warga daerah lereng
erupsi dengan permukiman, karena pegunungan umumnya menyebar dan tidak
kawasan ini tingkat resikonya sangat teratur. Tetapi berdasarkan data observasi pola
berbahaya untuk bermukim sehingga permukiman di kampung Tubo yaitu menyebar
dan cukup teratur. Adanya permukiman
kawasan ini hanya untuk kawasan hutan
kampung Tubo karena kondisi tanahnya yang
lindung. subur sehingga lahan di kampung Tubo
Gambar 4.2 Peta Zonasi Kawasan Rawan digunakan sebagai lahan pertanian warga.
Bencana Kelurahan Tubo Dengan adanya lahan pertanian ini, membuat

36
warga membangun rumah agar berdekatan
lahan pertanian mereka.

Peraturan Pemerintah PU nomor


21/PRT/M/2007 untuk membangun
bangunan dengan melihat pola
permukiman. Permukiman Kampung Tubo
yang berada di lereng gunung api
Gamalama membuat masyarakat dapat
bercocok tanam di Kampung Tubo.
Kampung Tubo yang tadinya hanya lahan
untuk pertanian, perkebunan dan aliran
lahar dingin kini menjadi lahan 2. Sistem Sirkulasi Di Permukiman
permukiman bagi masyarakat sehingga Kampung Tubo
yang terjadi bencana banjir lahar dingin Berdasarkan data observasi, sistem
yang mengalir dari hulu sungai Tugurara sirkulasi pada permukiman kampung Tubo
ke bantaran sungai, melewati aliran baru sudah sangat baik. Akses jalan untuk
dimana sudah terdapat rumah-rumah menuju kampung Tubo sudah sangat baik.
masyarakat Kampung Tubo sehingga Hal ini disebabkan oleh banyaknya jalan
rumah-rumah tersebut menjadi rusak. yang dapat diakses dan kondisi jalan yang
memadai. Selain itu jalur evakuasi telah
Gambar 4.3 Peta Pola Permukiman
dibuat oleh pemerintah untuk
Kelurahan (kampung) Tubo
Sumber : RTRW Kota Ternate, 2012 mempermudah masyarakat dalam
mengevakuasi diri mereka bila terjadi
bencana.
Menurut Undang-undang No 1 tahun 2011
Tentang Perumahan Dan Permukiman dalam
membangun suatu permukiman harus ada
aksesibilitas yang dapat memungkinan
pencapaian ke kawasan tersebut. Aksesibilitas
dalam kenyataannya berwujud jalan dan
transportasi.

Gambar 4.5 Peta Sistem Sirkulasi


Sumber : data observasi, 2014
1. Pola Penyebaran Permukiman
Kampung Tubo
Berdasarkan hasil observasi pola
persebaran bangunan di Kampung Tubo ada
yang memanjang mengikuti jalan dan ada
yang tidak memanjang. Pola persebaran
bangunan tersebut terbentuk dan tersebar
diseluruh kelurahan Tubo.

Gambar 4.4 Peta Pola Sebaran


Bangunan

1) Kondisi Jalan ( Jumlah, Lebar


Dan Kondisi / Material )
Sumber : data observasi 2014 Berdasarkan data yang diperoleh
infrastruktur jalan di permukiman kampung

37
Tubo telah diaspal. Jalan lokal primer dari dengan cepat dengan menggunakan kendaraan
kampung Tubo ini tidak mengalami kerusakan roda dua atau beroda empat.
dan dapat dilalui oleh kendaraaan baik motor,
mobil dan juga truk. Sehingga apabila ada Menurut Undang-undang nomor 24 tahun
terjadi bencana gunung meletus maupun banjir 2007 tentang penanggulangan bencana,
lahar dingin masyarakat dapat menyelamatkan penyiapan jalur evakuasi dilakukan untuk
diri mereka. memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam
menghadapi kejadian bencana. Berdasarkan
Infrastruktur jalan merupakan akses yang peta perencanaan titik-titik jalur evakuasi perlu
sangat penting untuk masyarakat untuk dapat ditambah sepanjang 1 km menuju barak
melakukan aktivitas ekonomi di dalam pengungsian sehingga dapat memakan waktu
ataupun luar Kampung. Jalan utama di 10 menit untuk tiba di barak pengungsian.
Kampung Tubo sekarang kondisi jalannya Untuk perencanaan ini dapat digunakan untuk
sangat baik sehingga masyarakat di Kampung mengevakuasi masyarakat Kampung Tubo
Tubo dapat melakukan aktivitas dengan baik. apabilaterjadi bencana gunung api.
Jalan tersebut merupakan jalan utama yang
Gambar 4.7 Peta Jalur Evakuasi
menghubungkan beberapa kelurahan serta Sumber : data observasi, 2014
jalan yang dilewati angkutan umum dan
angkutan pribadi serta truk-truk untuk Infrastruktur Di Permukiman Kampung
mengangkat material gunung api Gamalama Tubo
yang berada di aliran sungai Tugurara yang Berdasarkan data yang diperoleh
sedang di normalisasi.

Gambar 4.6 Kondisi Jalan di Permukiman


Kampung Tubo
Sumber : data observasi, 2014

2) Jalur Evakuasi
Berdasarkan data observasi, jalur evakuasi

infrastruktur berupa barak pengungsian, sirine


dan tanggul telah dibuat pemerintah Kota
Ternate, sehingga bila terjadi bencana
masyarakat Kampung Tubo langsung di
evakuasi ke barak-barak pengungsian terdekat.
Perencanaan daerah penampungan sementara
dilakukan di bagian utara dari kampung Tubo. jika terjadi bencana yaitu daerah yang relative
Karena dibagian utara kampung Tubo tidak aman dan diarahkan ke utara karena tidak
terkena material dari gunung api Gamalama terkena erupsi. Tetapi bunker dan papan
hanya akan terkena abu vulkanik dan itu peringatan tidak dibuat oleh pemerintah Kota
tergantung dari tiupan angin. Jalur evakuasi di Ternate. Hal ini dapat menyusahkan
permukiman kampung Tubo telah dibuat titik- masyarakat dalam menghadapi bencana
titik evakuasinya sehingga apabila terjadi ataupun untuk menyelamatkan diri.
bencana masyarakat dengan mudah untuk Menurut Undang-undang Nomor 24
mengungsi. Jalur evakuasi dibuat pemerintah Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,
agar dapat memudahkan masyarakat dalam untuk mengurangi risiko bencana bagi
menyelamatkan diri dari bahaya gunung api masyarakat yang berada pada kawasan rawan
Gamalama untuk menuju barak pengungsian dilakukanlah pembangunan infrastruktur baik
yang dibangun dengan lebar dan permukaan berupa barak pengungsian, sirine dan tanggul.
jalan aspal yang cukup dan baik serta Hal ini telah dilakukan pemerintah Kota
menjamin untuk pergerakan orang dan barang Ternate dalam menanggulangi bencana. Tetapi

38
yang dibuat pemerintah Kota Ternate hanya Gambar 4.9 Bunker yang berada di gunung
barak pengungsian, sirine dan tanggul. Merapi, Yogyakarta
Sedangkan papan peringatan dan bunker tidak Sumber : google
dibuat pemerintah Kota Ternate.
3. Sirine
1. Barak Pengungsian Sistem peringatan dilakukan untuk
Berdasarkan data observasi barak memastikan upaya yang cepat dan tepat
pengungsian di arahkan ke bagian utara dalam menghadapi kejadian bencana.
kampung Tubo untuk sementara apabila Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun
terjadinya bencana yang tiba-tiba. Pemerintah 2007 tentang penanggulangan pengujian
kota Ternate melalui BPBD telah sistem peringatan dini harus di uji coba
mempersiapkan barak-barak pengungsian
untuk masyarakat kampung Tubo ini berada di
ruang terbuka yang sewaktu-waktu dapat
digunakan untuk penyelamatan atau
menampung penduduk yang mengungsi.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,
pembangunan infrastruktur dilakukan untuk
mengurangi resiko dan kesiapsiagaan bencana.

Gambar 4.8 Barak Pengungsian


Sumber : data observasi, 2014

2. Bunker Di Permukiman Kampung


Tubo
Berdasarkan data observasi bunker di agar masyarakat dapat memahami bila
permukiman kampung Tubo tidak dibuat oleh sirine berbunyi itu tandanya akan terjadi
pemerintah untuk dapat menampung atau bencana.
menyelamatkan diri masyarakat yang tinggal
Gambar 4.10 Sirine Yang Berada Di
Permukiman Kampung Tubo
Sumber: data observasi, 2014
4. Papan Peringatan
Berdasarkan data observasi papan
peringatan untuk menunjukkan daerah bahaya
gunung api Gamalama di permukiman
kampung Tubo tidak ada. Hal ini dapat
berbahaya bagi masyarakat kampung Tubo
maupun masyarakat lainnya. Sehingga apabila
masyarakat dari luar daerah maupun

di lereng gunung api Gamalama, agar tidak


terkena material dari gunung api Gamalama.

Menurut Undang-undang Nomor 24


Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana, pembangunan infrastruktur
penunjang harus dibuat oleh pemerintah
untuk mengurangi bencana yang akan
terjadi. Kota yang mempunyai bunker
yaitu gunung Merapi yang berada di Kota masyarakat Kota Ternate yang berkunjung
Yogyakarta. untuk melihat kondisi permukiman Kampung

39
Tubo, merasa kebingungan karena tidak ada
petunjuk untuk dapat mengarah maupun
melihat bagian-bagian yang tidak bisa

Sumber : data observasi, 2014

Kondisi Bangunan Di Permukiman


Kampung Tubo (Material Bangunan,
Jumlah Jenis Bangunan Permanen, Semi
Permanen Dan Non Permanen, Kepadatan
Bangunan)

Diagram 4.1 Material Bangunan

dilewati.

Gambar 4.11 Papan Peringatan Sumber : Kantor Lurah Tubo 2014


sumber : google
Berdasarkan dari data observasi,
5. Tanggul
Berdasarkan data observasi tanggul untuk material hunian beton bertulang di
menahan lahar panas maupun banjir lahar Kampung Tubo yaitu 361 bangunan
dingin telah dibuat pemerintah tahun 1990. dengan persentase sebesar 76 %.
Akan tetapi pada akhir tahun 2011 kemarin Sedangkan untuk material papan yakni 115
terjadi bencana gunung meletus tanggul bangunan dengan persentase sebesar 24%.
tersebut rusak karena dibawa oleh material Berdasarkan Permen PU nomor
banjir lahar dingin sehingga tanggul tersebut 21/PRT/M/2007 konstruksi bangunan
rusak.Tanggul yang rusak akibat banjir lahar beton bertulang dan atau tidak bertulang
dingin pada tahun 2011 lalu telah dibangun (papan) telah memenuhi standar yang
kembali oleh pemerintah Kota Ternate melalui dibuat oleh Pemerintah dan tidak dapat
dinas Pekerjaan Umum (PU). Tanggul dibuat
direlokasi.
dengan maksud untuk mencegah air banjir
keluar dari sungai yang dapat merusak lahan
Diagram 4.2 Jumlah Jenis Bangunan
pertanian atau permukiman penduduk.
Permanen, Semi Permanen Dan Non
Permanen
Gambar 4. 12 Tanggul Yang Rusak Dan Sumber : Kantor Lurah Tubo 2014
Yang Telah Diperbaiki Pemerintah

Diagram 4.3 Jumlah Bangunan


Sumber : Kantor Lurah Tubo 2014

40
Berdasarkan data observasi jumlah bangunan atau rumah yang rusak dan
keseluruhan bangunan di permukiman infrastruktur-infrastruktur.
kampung Tubo yaitu 476 bangunan. Menurut
Permen PU nomor 21/PRT/M/2007, 2. Adaptasi Kondisi Fisik Masyarakat
permukiman penduduk di kawasan rawan Kampung Tubo
bencana gunung api di bagi menjadi tiga tipe. Erupsi dan banjir lahar dingin yang terjadi
Tetapi permukiman Kampung Tubo termasuk pada tahun 2011 lalu membuat permukiman
dalam tipe satu, dimana tipe ini harus masyarakat, rumah masyarakat, lahan
berkonstruksi bangunan beton bertulang pertanian masyarakat dan infrastruktur yang
maupun tidak bertulang, berkepadatan ada di Kampung Tubo rusak. Sehingga
bangunan tinggi (>60 unit/Ha), dan pola diperlukan adaptasi kondisi fisik pada
pemukiman dapat mengelompok maupun masyarakat Kampung Tubo dalam
menyebar. Sedangkan dilihat dari hasil membangun kembali rumah masyarakat, lahan
perhitungan antara jumlah bangunan per luas pertanian dan infrastruktur yang rusak baik
wilayah, Kampung Tubo tingkat kepadatan rumah yang material beton bertulang maupun
bangunannya tinggi dimana 87 unit/Ha. yang material papan. Rehabilitasi dan
rekonstruksi kembali pada permukiman,
Sistem Sosialisasi Di Permukiman rumah masyarakat, lahan pertanian dan
Kampung Tubo infrastruktur sehingga masyarakat dapat
Sosialisasi dilakukan Pemerintah atau beradaptasi dengan lingkungannya.
Lembaga Swadaya Masyarakat pada
masyarakat tentang bencana alam berupa KESIMPULAN
bahaya gunung api dan banjir lahar dingin. Sistem penanggulangan bencana Gunung
Sosialisasi dilakukan agar masyarakat dapat Api Gamalama di Kelurahan (kampung) Tubo
mengetahui langkah-langkah untuk dapat sudah cukup efektif, ditinjau berdasarkan
menyelamatkan diri apabila terjadi bencana. aspek-aspek (variabel-variabel) yang
Seperti halnya di Kampung Tubo, Pemerintah dilakukan dalam penelitian ini. Sistem ini telah
Kota Ternate melalui dinas BPBD telah dilaksanakan oleh pemerintah Kota Ternate
melakukan penyuluhan atau sosialisasi dan telah memenuhi standar undang-undang
bencana baik mitigasi, tanggap darurat dan dan RTRW Kota Ternate Tahun 2012.
pasca bencana. Sistem sosialisasi yang ada di
permukiman Kampung Tubo sudah berjalan
1. Adaptasi Kondisi Sosial Masyarakat
sangat baik. Melalui BPBD Kota Ternate
Tubo
sosialisasi dilakukan pada saat sebelum terjadi
Erupsi gunung api Gamalama telah
bencana sehingga apabila terjadi bencana
merusak lahan pertanian dan permukiman
masyarakat Kampung Tubo dapat
yang berada disekitar lereng gunung api
menyelamatkan diri mereka. Pada pasca terjadi
Gamalama serta prasarana dan sarana
bencana dilakukan sosialisasi untuk
pertanian masyarakat kampung Tubo. Jalan
mengurangi trauma pada masyarakat. Selain
yang menghubungkan antar kelurahan tertutup
itu adaptasi masyarakat terhadap kondisi sosial
abu vulkanik. Perubahan sistem ekonomi dan
dan kondisi fisik dalam menghadapi bencana
sosial masyarakat sebagai akibat erupsi
gunung api Gamalama yaitu adanya modal
gunung api Gamalama menyebabkan sumber
daya produksi rusak baik tanaman jagung, ubi
sosial (gotong-royong dan tolong
dan pala maupun peternakan warga. Kondisi menolong) yang tinggi dapat membantu
sosial masyarakat ditata kembali pasca masyarakat dalam kegiatan tanggap
bencana sehingga tidak dapat membuat beban darurat dan rekonstruksi pasca bencana.
psikologis yang berat pada masyarakat Upaya pemulihan atau rekonstruksi
Kampung Tubo. Menurut dinas BPBD Kota hendaknya memegang azas partisipasi dan
Ternate setiap setelah terjadi bencana ada solidaritas sosial. Sehingga pembangunan
sosialisasi tentang rehabilitasi mental kembali dapat berjalan dan adaptasi
psikologis masyarakat ini dilakukan untuk masyarakat terhadap hunian dan
mengurangi trauma yang dirasakan masyarakat lingkungan baru dapat berjalan baik.
Kampung Tubo dan juga rekonstruksi kembali
DAFTAR PUSTAKA

41
Anonim. 2007. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 Tentang
Penanggulangan Bencana.
Anonim. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum 21/PRT/M/2007
Tentang Pedoman Penaatan
Ruang Kawasan Rawan
Letusan Gunung Berapi dan
Kawasan Rawan Gempa
Bumi.
Anonim. 2011. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Anonim. 2012-2032. Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Ternate.
Badan Perencanaan Daerah
Kota Ternate.
Hartono, Jogiyanto. 2006. Analisis Dan
Desain Sistem Informasi :
Pendekatan Terstruktur
Teori Dan Praktek Aplikasi
Bisnis. Pernerbit
Andi.Yogyakarta.
Sukmana, Oman, 2003, Dasar-Dasar
Psikologi Lingkungan. Bayu
Media dan UMM. Malang.

Susilo, Nugroho Ariyadi dan Rudiarto, Iwan.


2014. Analisis Tingkat
Resiko Erupsi Gunung
Merapi Terhadap
Permukiman Di Kecamatan
Kemalang, Kabupaten
Klaten. Fakultas Teknik.
Perencanaan Wilayah dan
Kota. Universitas
Diponegoro.

42
Accelerat ing t he world's research.

MANAJEMEN PENANGGULANGAN
BENCANA Oleh INDRA FARNI
Iqbal Sunariya

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Panduan Pengelolaan Risiko Bencana berbasis Komunit as (PRBBK)


Eko Teguh Paripurno

Panduan PRBBK MPBI


Djuni Prist iyant o

Panduan Fasilit at or Desa Tangguh Bencana 2016


Eko Teguh Paripurno
Definisi Bencana (1)
MANAJEMEN
PENANGGULANGAN
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
BENCANA peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-
alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
Oleh kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
INDRA FARNI dan dampak psikologis (UU 24/2007)
Ketua Pusat Studi Bencana
Universitas Bung Hatta

Definisi Bencana (2) Jenis Bencana (UU 24/2007)

Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian Alam


suatu masyarakat, sehingga menyebabkan
kerugian yang meluas pada kehidupan manusia
dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan BENCANA Non Alam
yang melampaui kemampuan masyarakat yang
bersangkutan untuk mengatasi dengan
menggunakan sumberdaya mereka sendiri.
Sosial
(ISDR, 2004)

3
4

1
Bencana non-Alam :
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain
Bencana Alam :
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau epidemi, dan wabah penyakit.
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempabumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, Bencana Sosial :
angin topan, dan tanah longsor Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas
masyarakat, dan teror.
5 6

Jenis Bencana BAHAYA


 Geologi
Bahaya adalah keadaan atau fenomena alam yang dapat
 Teknologi
 Gempabumi, tsunami,  Kecelakaan transportasi,
berpotensi menyebabkan korban jiwa atau kerusakan benda
longsor, gerakan tanah industri / lingkungan
 Hidro-meteorologi  Lingkungan
 Banjir, topan, banjir  Kebakaran,kebakaran Jenis-jenis Bahaya :
bandang,kekeringan hutan, penggundulan
 Biologi
1. Geologi
hutan.
 Epidemi, penyakit  Sosial
2. Hidrometeorolgi
 Konflik, terrorisme
tanaman, hewan 3. Teknologi
4. Lingkungan
5. Sosial
6. Biologi

2
MANAJEMEN BENCANA Siklus Manajemen Bencana
BENCANA

Penanggulangan Bencana Tanggap


(Disaster Management) Kesiapan Darurat

Serangkaian upaya yang meliputi penetapan Pencegahan Pemulihan


kebijakan pembangunan yang berisiko dan Mitigasi
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi (UU 24/2007).
9

Kegiatan-kegiatan Manajemen Bencana Pencegahan (prevention)

 Upaya yang dilakukan untuk mencegah


A. Pencegahan (prevention)
terjadinya bencana (jika mungkin dengan
B. Mitigasi (mitigation)
meniadakan bahaya).
C. Kesiapsiagaan (preparedness)
Misalnya :
D. Peringatan Dini (early warning)
- Melarang pembakaran hutan
E. Tanggap Darurat (response)
dalam perladangan
F. Bantuan Darurat (relief)
- Melarang penambangan batu di
G. Pemulihan (recovery)
daerah yang curam.
H. Rehablitasi (rehabilitation)
I. Rekonstruksi (reconstruction)

3
Mitigasi Mitigasi
Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik  Upaya yang dilakukan untuk
maupun penyadaran dan peningkatan meminimalkan dampak yang ditimbulkan
kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU oleh bencana
 Ada 2 bentuk mitigasi :
24/2007)
 Mitigasi struktural (membuat check dam,
Bentuk mitigasi :
 Mitigasi struktural (membuat chekdam, bendungan,
bendungan, tanggul sungai, dll.)
 Mitigasi non struktural (peraturan, tata
tanggul sungai, rumah tahan gempa, dll.)
 Mitigasi non-struktural (peraturan perundang-
ruang, pelatihan)

undangan, pelatihan, dll.)

13

Peringatan Dini
Kesiapsiagaan
Serangkaian kegiatan pemberian peringatan
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
sesegera mungkin kepada masyarakat
mengantisipasi bencana melalui
tentang kemungkinan terjadinya bencana
pengorganisasian serta melalui langkah yang
pada suatu tempat oleh lembaga yang
tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007)
berwenang (UU 24/2007)

Misalnya: Penyiapan sarana komunikasi, pos


Pemberian peringatan dini harus :
komando, penyiapan lokasi evakuasi, Rencana • Menjangkau masyarakat (accesible)
Kontinjensi, dan sosialisasi peraturan / • Segera (immediate)
pedoman penanggulangan bencana. • Tegas tidak membingungkan (coherent)
• Bersifat resmi (official)

15 16

4
Peringatan Dini Tanggap Darurat (response)
 Upaya untuk memberikan tanda peringatan
bahwa bencana kemungkinan akan segera Upaya yang dilakukan segera pada
terjadi. saat kejadian bencana, untuk
 Pemberian peringatan dini harus : menanggulangi dampak yang
- Menjangkau masyarakat (accesible) ditimbulkan, terutama berupa
- Segera (immediate) penyelamatan korban dan harta
benda, evakuasi dan pengungsian.
- Tegas tidak membingungkan (coherent)
- Bersifat resmi (official)

Bantuan Darurat (relief) Pemulihan (recovery)


 Proses pemulihan darurat kondisi
 Merupakan upaya untuk masyarakat yang terkena bencana,
memberikan bantuan
berkaitan dengan dengan memfungsikan kembali prasarana
pemenuhan kebutuhan dan sarana pada keadaan semula.
dasar berupa :
- pangan,  Upaya yang dilakukan adalah
- sandang
- tempat tinggal
memperbaiki prasarana dan pelayanan
sementara dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar
- kesehatan, sanitasi puskesmas, dll).
dan air bersih

5
Rehabilitasi (rehabilitation) Rekonstruksi (reconstruction)

 Program jangka menengah dan jangka


 Upaya langkah yang diambil setelah panjang guna perbaikan fisik, sosial dan
kejadian bencana untuk membantu ekonomi untuk mengembalikan kehidupan
masyarakat memperbaiki rumahnya, masyarakat pada kondisi yang sama atau
fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, lebih baik dari sebelumnya.
dan menghidupkan kembali roda
perekonomian.

Regulasi pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan


Penanggulangan Bencana:

 Azas Kebersamaan UU No. 24 Tahun 2007


PENANGGULANGAN BENCANA  Pasal 27 Point (b) UU No. 24 Tahun 2007 bahwa setiap
BERBASIS MASYARAKAT orang berkewajiban melakukan penanggulangan benacana
 Pasal 22 Ayat (2) Poin (b) bahwa dalam keanggotaan unsur
pengarah melibatkan anggota masyarakat profesional dan
ahli
Oleh  Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131 Tahun 2003
Indra Farni tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Pengungsi
Ketua Pusat Studi Bencana Universitas Bung Hatta di daerah
 Keputusan Kepala BNPB No. 1 Tahun 2012 tentang
pedoman desa/ kelurahan tangguh

6
 Pemberdayaan masyarakat merupakan
PENGERTIAN

 Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan


proses untuk memfasilitasi dan
masyarakat sebagai upaya yang disengaja
mendorong masyarakat agar mampu
untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam menempatkan diri secara Proporsional
Perencanaan, memutuskan dan mengelola dan menjadi pelaku utama dalam
sumberdaya lokal yang dimiliki melalui aksi memanfaatkan lingkungan strategisnya
kebersamaan dan jaringan, sehingga pada untuk mencapai suatu keberlanjutan
akhirnya mereka memiliki kemampuan dan dalam jangka panjang.
kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan
sosial”.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
 Aspek penting dalam suatu program
pemberdayaan masyarakat adalah program yang TUJUAN
disusun sendiri oleh masyarakat, mampu  UMUM:
menjawab kebutuhan dasar masyarakat, Terwujudnya komitment masyarakat dalam
mendukung keterlibatan kaum miskin dan menghadapi bencana.
kelompok yang terpinggirkan lainnya, dibangun
dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai  KHUSUS :
budaya lokal, memperhatikan dampak  Terwujudnya kesiapan dan kemampuan
lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, masyarakat dalam upaya PB.
berbagai pihak terkait terlibat (instansi  Terwujudnya kesadaran masyarakat dalam
pemerintah, lembaga penelitian, perguruan melaksanakan upaya PRB
tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya), serta  Terwujudnya masyarakat Sadar dan akrab
bencana.
dilaksanakan secara berkelajutan.
( LIVING HARMONY WITH DISASTER )

7
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SASARAN PEMBERDAYAAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MERUPAKAN UPAYA FASILITASI PROSES DI MANA
MASYARAKAT
 INDIVIDUAL SEBAGAI KADER ( PELOPOR &
INDIVIDU, KELUARGA DAN MASYARAKAT DAPAT:

 MENGAMBIL TANGGUNG-JAWAB ATAS DIRI, KELUARGA DAN MASYARAKAT DALAM


TAULADAN )
 KELOMPOK/LEMBAGA MASYARAKAT (MENUJU
PENGURANGAN RISIKO

MASYARAKAT TANGGUH BENCANA)


 MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN UNTUK BERPERAN DALAM UPAYA PENGURANGAN
RISIKO BENCANA BAGI DIRI SENDIRI DAN MASYARAKAT, SEHINGGA  LEMBAGA USAHA (Community Social
TERMOTIVASI UNTUK MENGENAL MASALAH, MERENCANAKAN DAN MEMECAHKAN Responsibility)
 MASYARAKAT EDUKASI/AKADEMISI
MASALAH SESUAI POTENSI YANG DIMILIKI

 MENJADI PELAKU/PERINTIS DALAM UPAYA PRB DAN MENJADI PEMIMPIN


PENGGERAKAN MASYARAKAT YANG DILANDASI SEMANGAT GOTONG ROYONG,
KEBERSAMAAN, DAN KEMANDIRIAN

PRINSIP PEMBERDAYAAN CIRI PEMBERDAYAAN


 PEMIMPIN BERASAL DARI MASYARAKAT

( COMMUNITY LEADERS )
Sesuai dengan budaya, kebutuhan  MERUPAKAN ORGANISASI MASYARAKAT
dan potensi masyarakat. ( COMMUNITY ORGANIZATIONS )
 Mendapat informasi dan  PEMBIAYAAN DARI MASYARAKAT
( COMMUNITY FUND )

kesempatan
SARANA – PRASARANA DARI MASYARAKAT
 Meningkatkan kesadaran, kemauan ( COMMUNITY MATERIAL )
dan kemampuan.  PEMAHAMAN PENGETAHUAN MASYARAKAT

( COMMUNITY KNOWLEDGE )

Peran Pemerintah: pendorong,
PEMANFAATAN TEHNOLOGI MASYARAKAT
pendamping, fasilitator dan ( COMMUNITY TECHNOLOGY )
asistensi.  PENETAPAN KEPUTUSAN DARI MASYARAKAT
 Kemitraan. ( COMMUNITY DECISION MAKING )

8
Maksud : Agar masyarakat dapat memahami,
mengetahui dan bersedia mengerjakan apa yang Dengan terbentuknya kesiapsiagaan
seharusnya dapat dilaksanakan sendiri untuk masyarakat, diharapkan :
kepentingan diri, keluarga dan masyarakat pada
situasi darurat / bencana / pengungsian. • Kemudahan masyarakat untuk memperoleh
informasi.
• Kepastian tentang peran dan tanggung
jawab masyarakat.
Menurunkan resiko / dampak situasi darurat,
bencana dan pengungsian melalui penyiapan dan • Kemudahan dan kepastian masyarakat
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pada untuk mendapatkan pelayanan
tahap kesiapsiagaan.

Proses pemberdayaan :
Proses pemberdayaan : 3. Pembentukan kelompok kerja di masyarakat.
1. Penyiapan sumber daya. Sebagai wadah untuk membahas berbagai keperluan
dalam rangka pemberdayaan masyarakat, antara lain
Pada tahap awal, harus disiapkan SDM, logistik,
dengan langkah-langkah:
alat, media penyuluhan dan informasi yang
• Penetapan anggota masyarakat yang akan dilatih (sebagai
diperlukan kader).
2. Pendekatan (advokasi) ke tokoh masyarakat: • Pembentukan kelompok kerja
• Pendataan potensi masalah (survai mawas diri).
Untuk memperoleh dukungan dari berbagai • Penyusunan rencana kerja
pihak, terutama para tokoh / pemuka • Penggerakan pelaksanaan
masyarakat setempat. 4. Pembinaan untuk menjaga kelangsungan kegiatan.

9
MEMBANGUN BUDAYA SADAR BENCANA PENINGKATAN BUDAYA SADAR BENCANA
ANCAMAN : Suatu kondisi, secara alamiah maupun karena ulah
manusia, yang berpotensi menimbulkan kerusakan
atau kerugian dan kehilangan jiwa manusia. Komunitas-komunitas memiliki pandangan bersama,
SEJARAH TERJADINYA BENCANA : Catatan secara histori
ANCAMAN
bahwa pengelolaan risiko bencana harusnya menjadi
kejadian bencana yang terjadi di suatu wilayah
beserta dampak dan korban
perspektif dasar dan salah satu penekanan utama dalam
SEJARAH
proses pembangunan (yang normal).
KEARIFAN LOKAL : Tradisi atau kebiasaan TERJADINYA
masyarakat terkait dengan lingkungan KAPASITAS
BENCANA
MASYARAKAT

KERENTANAN :
BUDAYA Pandangan ini didasari pada falsafah dasar, bahwa
Sekumpulan kondisi dan atau suatu
akibat keadaan (faktor fisik, sosial, SADAR menciptakan keselarasan hidup manusia dengan
ekonomi dan lingkungan) yang
berpengaruh buruk terhadap upaya-
BENCANA lingkungan alam merupakan suatu tanggung jawab dan
upaya pencegahan dan penanggulangan
bencana.
keharusan untuk menjamin keberlanjutan kehidupan.
KAPASITAS :Gabungan semua sumberdaya, cara dan KEARIFAN
LOKAL
Selain itu mereka sudah sering mengalami sejarah
kekuatan yang tersedia di masyarakat,
sehingga masyarakat memiliki daya
KERENTANAN
panjang dimana selalu menerima dampak buruk dari
tangkal dan daya tahan untuk mengurangi
tingkat dampak atau akibat dari bencana
eksploitasi lingkungan alam (SDA) yang ekstraktif -
destruktif.

PENINGKATAN BUDAYA SADAR PENGEMBANGAN KAPASITAS


BENCANA  Pendidikan dan Pelatihan
 Pemberdayaan masyarakat dalam pengurangan risiko bencana  Memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum sekolah
bukan merupakan gerakan masyarakat yang bersifat aksi  Membuka program studi “disaster management” di PT
kasuistik, temporer, reaktif, dan fokus pada penanganan  Menyusun standar modul pelatihan manajemen bencana
dampak saja, tetapi mendorong agar pengurangan risiko  Melakukan pelatihan manajer dan teknis PB
bencana dijadikan sebagai kebijakan dasar dan strategi  Mencetak tenaga profesional dan ahli PB
pembangunan, artinya terintegrasi dalam setiap kebijakan dan
perencanaan, termasuk anggaran pembangunan pada semua  Penelitian dan pengembangan Iptek Kebencanaan
level.  Pemahaman karakteristik ancaman/hazard dan teknologi
penanganannya

 Organisasi-organisasi masyarakat sekarang ini sudah mulai  Penerapan Teknologi PB, contoh:
membangun sinergi, khususnya dengan pemerintah (daerah  Risk Mapping, Tataruang (Bappenas, PU)
dan pusat), termasuk aktor-aktor politik untuk mendorong  Deteksi dini/EWS (gunungapi, Tsunami, Banjir, Tanah Longsor,dll)
adanya kebijakan yang melibatkan semua stakeholder dalam (BMG, ESDM/Vulkanologi, PU)
urusan pembangunan mulai dari tingkat lokal sampai pusat,  Rumah Tahan Gempa/building code (PU)
agar keberlanjutan kehidupan menjadi perspektif dalam  Teknologi untuk penanganan darurat (Depkes, Basarnas)
kebijakan, perencanaan dan program pembangunan.  Teknologi Pangan untuk bantuan darurat (BPPT, Deptan, Perguruan
Tinggi)

10
SASARAN
PENGEMBANGAN KAPASITAS Penyelenggaraan PB
Membangun masyarakat/bangsa yang tangguh Politik
Perencanaan
terhadap ancaman bencana yang dicirikan oleh Pencegahan
Pengurangan Risiko
Situasi Tidak
Pendidikan
Ada Bencana
kapasitas untuk : Pelatihan
Penelitian

 meredam tekanan atau kekuatan-kekuatan Penataan Tata Ruang


Prabencana
Penetapan
Kebijakan Situasi Terdapat Mitigasi
Peringatan Dini
yang menghancurkan, melalui perlawanan Pembangunan Potensi Bencana
Kesiapsiagaan

Pentahapan
Kajian Cepat

Ekonomi
atau adaptasi Status Keadaan Darurat

Sosial
 mengelola,
Penyelamatan & Evakuasi
Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Saat Tanggap
atau mempertahankan Darurat
Perlindungan
Pemulihan
fungsi-fungsi dan struktur-struktur
Prasarana dan Sarana
dasar tertentu, pada saat bencana Sosial
Rehabilitasi
Ekonomi

 memulihkan diri atau “melenting balik”


Pascabencana Kesehatan
Rekonstruksi Kamtib
Lingkungan

setelah bencana Lingkungan

STRATEGI DALAM MENDORONG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Strategi Untuk Mewujudkan Desa Tangguh Bencana

 1. Membangun Jajaran kerja


1. Pelibatan seluruh lapisan masyarakat.
a. Menyusun dan merumuskan program dan kegiatan 2. Tekanan khusus pada pengguna dan pemanfaatan
b. Membangun Komukasi Person / Instansi sumber daya mandiri setempat.
c. Pembuatan MOU 3.Dukungan dalam bentuk komitmen kebijakan, sumber
 2. Kerja sama dalam daya dan bantuan teknis dari pemerintah sesuai
a. Pengkajian Bersama kebutuhan bila dikehendaki masyarakat.
b. Kesepakatan atas standart bantuan dan pelayanan.
c. Kegiatan bersama dalam mobilisasi sumber daya.
4.Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
d. Negoisasi akses kewilayahan/ kearifan lokal. potensi ancaman.
e. Penguatan Kelembagaan. 5. Pengurangan kerentanan masyarakat.
3. Melaksanakan Kordinasi dengan tujuan 6. Peningkatan kapasitas masyarakat.
a. Mencegah duplikasi program
b. Menjawab Pertanyaan “ Siapa mengerjakan apa dengan bagaimana
7. Penerapan keseluruhan rangkaian manajemen resiko.
c. Jaminan skala prioritas 8. Pemaduan upaya-upaya pengurangan resiko bencana.
d. Adanya pelayanan sesuai “ standart”
9. Memasukkan pengurangan resiko bencana kedalam
e. Tingkat Efisiensi yang tinggi.
perencaan program dan kegiatan.

11
Marilah Berpikir yang besar, mulailah

berbuat walau sekecil apapun.


SEKIAN
TERIMA KASIH

12
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung


jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan
termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan
Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki
kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang
memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan
oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia
yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat
pembangunan nasional;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penanggulangan bencana yang ada belum dapat dijadikan
landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak
sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat dan
kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat upaya
penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi,
dan terpadu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk
Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana;

Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

Dengan…………
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan
wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
6.Kegiatan…………
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-3-

6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan


yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan
dan/atau mengurangi ancaman bencana.
7. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian
serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
8. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
9. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.
11. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat
pada wilayah pascabencana.
12. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran
serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
13. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa
yang bisa menimbulkan bencana.

14.Rawan…………
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
14. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis,
biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk
jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu.
15. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup
yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan
upaya rehabilitasi.
16. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko
bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
17. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu
tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
18. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat
keadaan darurat.
19. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan
yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk jangka waktu
tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas
untuk menanggulangi bencana.
20. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa
atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka
waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.
21. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang,
dan/atau badan hukum.
22. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
23. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24.Pemerintah…………
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
24. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
25. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat
berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang
bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
26. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam
lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan
lembaga asing nonpemerintah dari negara lain di luar
Perserikatan Bangsa-Bangsa.

BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2
Penanggulangan bencana berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3
(1) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup; dan
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu:
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c.koordinasi............
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-

c. koordinasi dan keterpaduan;


d. berdaya guna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. kemitraan;
g. pemberdayaan;
h. nondiskriminatif; dan
i. nonproletisi.

Pasal 4
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
ancaman bencana;
b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah
ada;
c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan
g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG

Pasal 5
Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Pasal 6
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan;

b.perlindungan............

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7-

b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;


c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan
standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam
bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari
ancaman dan dampak bencana.

Pasal 7
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras
dengan kebijakan pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang
memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan
bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan
daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan
bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-
pihak internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi
yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya
bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi
kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau
barang yang berskala nasional.
(2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat
indikator yang meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
(3)Ketentuan............
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan


tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 8
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan
minimum;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.

Pasal 9
Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada
wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan
unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan
bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai
sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan
alam pada wilayahnya; dan
f. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau
barang yang berskala provinsi, kabupaten/kota.

BAB IV……….…

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9-

BAB IV
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Pasal 10
(1) Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

(2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) merupakan Lembaga Pemerintah
Nondepartemen setingkat menteri.

Pasal 11
Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.

Pasal 12
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:
a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal
dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan
sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

g.melaksanakan…………

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -

g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan


Perundang-undangan; dan
h. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah.

Pasal 13
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi
meliputi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak
cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Pasal 14
(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a mempunyai fungsi:
a. merumuskan konsep kebijakan penanggulangan
bencana nasional;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat pemerintah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional.
(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.

Pasal 15
(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b merupakan
kewenangan Pemerintah.
(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

(3)Keanggotaan…………
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -

(3) Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) terdiri atas tenaga profesional dan ahli.

Pasal 16
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b, unsur pelaksana penanggulangan bencana
mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.

Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas,
struktur organisasi, dan tata kerja Badan Nasional
Penanggulangan Bencana diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Pasal 18
(1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
(2) Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang
pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat
eselon Ib;dan
b. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh
seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau
setingkat eselon IIa.

Pasal 19
(1) Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.

(2) Pembentukan…………

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -

(2) Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.

Pasal 20
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak
cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Pasal 21
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas:
a. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan
kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan
darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan
setara;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan
penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan;
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan
bencana;
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan
bencana;
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada wilayahnya;
f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi
normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan
barang;
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
dan

i.melaksanakan............

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -

i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan


Perundang-undangan.

Pasal 22
(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a
mempunyai fungsi:
a. menyusun konsep pelaksanaan kebijakan
penanggulangan bencana daerah;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana daerah.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat pemerintah daerah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional dan ahli.
(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 23
(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
huruf b merupakan kewenangan pemerintah daerah.
(2) Unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi:
a. koordinasi;
b. komando; dan
c. pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada wilayahnya.
(3) Keanggotaan unsur pelaksana penanggulangan bencana
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
tenaga profesional dan ahli.

Pasal 24
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (2), unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah
mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b.saat............

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -

b. saat tanggap darurat;dan


c. pascabencana.

Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas,
struktur organisasi, dan tata kerja Badan Penanggulangan
Bencana Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 26
(1) Setiap orang berhak:
a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman,
khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan
tentang kebijakan penanggulangan bencana.
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap
kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang
berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan
f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang
diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.

(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan


bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.

(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian


karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan
konstruksi.

Bagian Kedua............
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 27
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis,
memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan
c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang
penanggulangan bencana.

BAB VI
PERAN LEMBAGA USAHA
DAN LEMBAGA INTERNASIONAL

Bagian Kesatu
Peran Lembaga Usaha

Pasal 28
Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik secara
tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain.

Pasal 29
(1) Lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan
kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan
kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas
melakukan penanggulangan bencana serta
menginformasikannya kepada publik secara transparan.
(3) Lembaga usaha berkewajiban mengindahkan prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya
dalam penanggulangan bencana.

Bagian Kedua............

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -

Bagian Kedua
Peran Lembaga Internasional

Pasal 30
(1) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah
dapat ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana
dan mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah
terhadap para pekerjanya.
(2) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah
dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
secara sendiri-sendiri, bersama-sama, dan/atau bersama
dengan mitra kerja dari Indonesia dengan memperhatikan
latar belakang sosial, budaya, dan agama masyarakat
setempat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan
penanggulangan bencana oleh lembaga internasional dan
lembaga asing nonpemerintah diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VII
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN
BENCANA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 31
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan
berdasarkan 4 (empat) aspek meliputi:
a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
b. kelestarian lingkungan hidup;
c. kemanfaatan dan efektivitas; dan
d. lingkup luas wilayah.

Pasal 32…………

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -

Pasal 32
(1) Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
Pemerintah dapat:
a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah
terlarang untuk pemukiman;dan/atau
b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak
kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Setiap orang yang hak kepemilikannya dicabut atau


dikurangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan.

Bagian Kedua
Tahapan

Pasal 33
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga)
tahap meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.

Paragraf Kesatu
Prabencana

Pasal 34
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan
prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a
meliputi:
a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan
b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

Pasal 35...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -

Pasal 35
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak
terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
meliputi:
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Pasal 36
(1) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf a ditetapkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.

(2) Penyusunan perencanaan penanggulangan bencana


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Badan.

(3) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan data
tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu
tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program
kegiatan penanggulangan bencana.

(4) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
c. analisis kemungkinan dampak bencana;
d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
e. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan
dampak bencana; dan
f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang
tersedia.

(5) Pemerintah ...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -

(5) Pemerintah dan pemerintah daerah dalam waktu tertentu


meninjau dokumen perencanaan penanggulangan bencana
secara berkala.

(6) Dalam usaha menyelaraskan kegiatan perencanaan


penanggulangan bencana, Pemerintah dan pemerintah
daerah dapat mewajibkan pelaku penanggulangan bencana
untuk melaksanakan perencanaan penanggulangan
bencana.

Pasal 37
(1) Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 huruf b dilakukan untuk mengurangi dampak
buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam
situasi sedang tidak terjadi bencana.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan
bencana; dan
e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan
penanggulangan bencana.

Pasal 38
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c
meliputi:
a. identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber
bahaya atau ancaman bencana;
b. kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya
alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi
menjadi sumber bahaya bencana;
c. pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba
dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber ancaman
atau bahaya bencana;
d. penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
e. penguatan ketahanan sosial masyarakat.

Pasal 39...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -

Pasal 39
Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d
dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana
penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat
dan daerah.

Pasal 40
(1) Rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (3) ditinjau secara berkala.
(2) Penyusunan rencana penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Badan.
(3) Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis
risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan
bencana sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 41
(1) Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf e disusun dan ditetapkan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana.
(2) Pemenuhan syarat analisis risiko bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dalam dokumen yang
disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Badan Nasional Penanggulangan Bencana melakukan
pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan analisis risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 42
(1) Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf f dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup
pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar
keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.

(2) Pemerintah ...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -

(2) Pemerintah secara berkala melaksanakan pemantauan dan


evaluasi terhadap pelaksanaan tata ruang dan pemenuhan standar
keselamatan.

Pasal 43
Pendidikan, pelatihan, dan persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf g dan h dilaksanakan dan ditetapkan oleh Pemerintah
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 44
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi
terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf b meliputi:
a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.

Pasal 45

(1) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44


huruf a dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan
tepat dalam menghadapi kejadian bencana.

(2) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan melalui:
a. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan
kedaruratan bencana;
b. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem
peringatan dini;
c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan
kebutuhan dasar;
d. pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi
tentang mekanisme tanggap darurat;
e. penyiapan lokasi evakuasi;
f. penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran
prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan
g. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan
untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.

Pasal 46...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -

Pasal 46
(1) Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
huruf b dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan
tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana
serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.
(2) Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pengamatan gejala bencana;
b. analisis hasil pengamatan gejala bencana;
c. pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang;
d. penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana;
dan
e. pengambilan tindakan oleh masyarakat.

Pasal 47
(1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi
masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pelaksanaan penataan ruang;
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur,
tata bangunan; dan
c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan
baik secara konvensional maupun modern.

Paragraf Kedua
Tanggap Darurat

Pasal 48
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b
meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumber daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

d. pemenuhan ...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -

d. pemenuhan kebutuhan dasar;


e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Pasal 49
Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 huruf a dilakukan untuk mengidentifikasi:
a. cakupan lokasi bencana;
b. jumlah korban;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta
pemerintahan; dan
e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

Pasal 50
(1) Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai kemudahan
akses yang meliputi:
a. pengerahan sumber daya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
i. penyelamatan; dan
h. komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
(1) Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh
pemerintah sesuai dengan skala bencana.

(2) Penetapan...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 -

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk


skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi
dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota
dilakukan oleh bupati/walikota.

Pasal 52
Penyelamatan dan evakuasi korban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 huruf c dilakukan dengan memberikan
pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang
terjadi pada suatu daerah melalui upaya:
a. pencarian dan penyelamatan korban;
b. pertolongan darurat; dan/atau
c. evakuasi korban.

Pasal 53
Pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 huruf d meliputi bantuan penyediaan:
a. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
b. pangan;
c. sandang;
d. pelayanan kesehatan;
e. pelayanan psikososial; dan
f. penampungan dan tempat hunian.

Pasal 54
Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana
dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan
pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar.

Pasal 55
(1) Perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 huruf e dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan
kesehatan, dan psikososial.

(2) Kelompok ...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 25 -

(2) Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


terdiri atas:
a. bayi, balita, dan anak-anak;
b. ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
c. penyandang cacat; dan
d. orang lanjut usia.

Pasal 56
Pemulihan fungsi prasarana dan sarana vital sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 huruf f dilakukan dengan
memperbaiki dan/atau mengganti kerusakan akibat bencana.

Paragraf Ketiga
Pascabencana

Pasal 57
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap
pascabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c
meliputi:
a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.

Pasal 58
(1) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a
dilakukan melalui kegiatan:
a perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. perbaikan prasarana dan sarana umum;
c. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d. pemulihan sosial psikologis;
e. pelayanan kesehatan;
f. rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g. pemulihan sosial ekonomi budaya;
i. pemulihan keamanan dan ketertiban;
j. pemulihan fungsi pemerintahan; dan
k. pemulihan fungsi pelayanan publik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 59...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 26 -

Pasal 59
(1) Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf
b, dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih
baik, meliputi:
a. pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya
masyarakat;
d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan
peralatan yang lebih baik dan tahan bencana;
e. partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat;
f. peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
h. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VIII
PENDANAAN DAN PENGELOLAAN
BANTUAN BENCANA

Bagian Kesatu
Pendanaan

Pasal 60
(1) Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab
bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi
masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari
masyarakat.

Pasal 61
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan
anggaran penanggulangan bencana secara memadai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, huruf f dan
Pasal 8 huruf d.
(2) Penggunaan...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 27 -

(2) Penggunaan anggaran penanggulangan bencana yang


memadai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya.

Pasal 62
(1) Pada saat tanggap darurat, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana menggunakan dana siap pakai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f.

(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


disediakan oleh Pemerintah dalam anggaran Badan
Nasional Penanggulangan Bencana.

Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengelolaan dana
penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 sampai dengan Pasal 62 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 64
Dana untuk kepentingan penanggulangan bencana yang
disebabkan oleh kegiatan keantariksaan yang menimbulkan
bencana menjadi tanggung jawab negara peluncur dan/atau
pemilik sesuai dengan hukum dan perjanjian internasional.

Bagian Kedua
Pengelolaan Bantuan Bencana

Pasal 65
Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi
perencanaan, penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan
pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang bantuan
nasional maupun internasional.

Pasal 66...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 28 -

Pasal 66
Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah melakukan pengelolaan sumber daya bantuan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 pada semua tahap
bencana sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 67
Pada saat tanggap darurat bencana, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana mengarahkan penggunaan sumber
daya bantuan bencana yang ada pada semua sektor terkait.

Pasal 68
Tata cara pemanfaatan serta pertanggungjawaban penggunaan
sumber daya bantuan bencana pada saat tanggap darurat
dilakukan secara khusus sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan
kondisi kedaruratan.

Pasal 69
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan
santunan duka cita dan kecacatan bagi korban bencana.

(2) Korban bencana yang kehilangan mata pencaharian dapat


diberi pinjaman lunak untuk usaha produktif.

(3) Besarnya bantuan santunan duka cita dan kecacatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pinjaman lunak
untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah
daerah.

(4) Tata cara pemberian dan besarnya bantuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan


bantuan.

Pasal 70...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 29 -

Pasal 70
Pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 dilaksanakan
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

BAB IX
PENGAWASAN

Pasal 71
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan
pengawasan terhadap seluruh tahap penanggulangan
bencana.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber ancaman atau bahaya bencana;
b. kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan
bencana;
c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan
bencana;
d. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
e. kegiatan konservasi lingkungan;
f. perencanaan penataan ruang;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. kegiatan reklamasi; dan
i. pengelolaan keuangan.

Pasal 72
(1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap laporan upaya
pengumpulan sumbangan, Pemerintah dan pemerintah
daerah dapat meminta laporan tentang hasil pengumpulan
sumbangan agar dilakukan audit.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah dan masyarakat dapat meminta agar dilakukan
audit.
(3) Apabila hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditemukan adanya penyimpangan penggunaan terhadap
hasil sumbangan, penyelenggara pengumpulan sumbangan
dikenai sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan.
Pasal 73...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 30 -

Pasal 73
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal
72 dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 74
(1) Penyelesaian sengketa penanggulangan bencana pada tahap
pertama diupayakan berdasarkan asas musyawarah
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat
menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan atau
melalui pengadilan.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 75
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan
pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan
analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (3) yang mengakibatkan terjadinya bencana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan timbulnya kerugian harta benda atau
barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun
dan denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah) atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).

(3) Dalam ...


-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 31 -

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun atau paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau denda paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 76
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 75 ayat (2) dilakukan karena kesengajaan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan)
tahun atau paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau
denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 75 ayat (3) dilakukan karena kesengajaan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) tahun atau paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).

Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan
akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 78...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 32 -

Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan
pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah).

Pasal 79
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 sampai
dengan Pasal 78.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. pencabutan status badan hukum.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 80
Pada saat berlakunya undang-undang ini semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan
bencana dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru
berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 81...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 33 -

Pasal 81
Semua program kegiatan berkaitan dengan penanggulangan
bencana yang telah ditetapkan sebelum ditetapkannya undang-
undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa
berlakunya berakhir, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan
Perundang-undangan.

Pasal 82
(1) Sebelum Badan Nasional Penanggulangan Bencana
dibentuk, Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
tetap dapat melaksanakan tugasnya.

(2) Setelah Badan Nasional Penanggulangan Bencana dibentuk,


Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
dinyatakan dibubarkan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 83
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lambat 6
(enam) bulan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah
terbentuk dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah paling
lambat 1 (satu) tahun sudah terbentuk.

Pasal 84
Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang ini
harus sudah diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
diundangkannya undang-undang ini.

Pasal 85
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 34 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 26 April 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 April 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 66

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA

I. UMUM
Alenia ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Kesatuan
Republik Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
Sebagai implementasi dari amanat tersebut dilaksanakan pembangunan
nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera
yang senantiasa memperhatikan hak atas penghidupan dan perlindungan bagi
setiap warga negaranya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan
terletak digaris katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua
samudra dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun
dipihak lain posisinya berada dalam wilayah yang memiliki kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap
terjadinya bencana dengan frekwensi yang cukup tinggi, sehingga
memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi.
Potensi penyebab bencana diwilayah negara kesatuan Indonesia dapat
dikelompokan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana
non alam, dan bencana sosial.
Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan
gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/
lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah,
kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa.
Bencana nonalam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan
oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi,
dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan
keantariksaan.

Bencana...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-

Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial
dalam masyarakat yang sering terjadi.
Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan
nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum,
pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Selama ini masih
dirasakan adanya kelemahan baik dalam pelaksanaan penanggulangan
bencana maupun yang terkait dengan landasan hukumnya, karena belum
ada undang-undang yang secara khusus menangani bencana.
Mencermati hal-hal tersebut diatas dan dalam rangka memberikan
landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan penanggulangan
bencana, disusunlah Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana
yang pada prinsipnya mengatur tahapan bencana meliputi pra bencana,
saat tanggap darurat dan pasca bencana.
Materi muatan Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok
sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab
dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap
darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah. Badan penanggulangan bencana tersebut terdiri dari unsur
pengarah dan unsur pelaksana. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai
tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian penyelenggaraan
penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu sesuai dengan
kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan
memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan perlindungan
sosial, mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga
internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra
bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masing-
masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
6. Pada...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-3-

6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain


didukung dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, juga disediakan dana siap
pakai dengan pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada
setiap tahapan bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam
penggunaan dana penanggulangan bencana.
8. Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan sekaligus
memberikan efek jera terhadap para pihak, baik karena kelalaian
maupun karena kesengajaan sehingga menyebabkan terjadinya
bencana yang menimbulkan kerugian, baik terhadap harta benda
maupun matinya orang, menghambat kemudahan akses dalam
kegiatan penanggulangan bencana, dan penyalahgunaan pengelolaan
sumber daya bantuan bencana dikenakan sanksi pidana, baik pidana
penjara maupun pidana denda, dengan menerapkan pidana minimum
dan maksimum.
Dengan materi muatan sebagaimana disebutkan diatas, Undang-Undang ini
diharapkan dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana sehingga penyelenggaraan
penanggulangan bencana dapat dilaksanakan secara terencana,
terkoordinasi, dan terpadu.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi
dalam penanggulangan bencana sehingga undang-undang
ini memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.

Huruf b...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-

Huruf b
Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiap
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh berisi
hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan
lingkungan.

Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa


materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan.

Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa


materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial
masyarakat.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian
hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa
penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan
tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang
dilakukan secara gotong royong.

Huruf g...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian lingkungan hidup”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian
lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi
yang akan datang demi kepentingan bangsa dan negara.

Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas ilmu pengetahuan dan
teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana
harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada
saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah
bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan
secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa
apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus
mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan
penyelamatan jiwa manusia.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa
penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang
baik dan saling mendukung.

Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa


penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik
dan saling mendukung.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa
dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan
tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

Yang...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa
kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna,
khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan
tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa


penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah
bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin,
suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.

Huruf i
Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan
darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan
pelayanan darurat bencana.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Yang dimaksud dengan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi
bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.

Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7-

Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan dana ‘siap pakai‘ yaitu dana yang
dicadangkan oleh pemerintah untuk dapat dipergunakan
sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.
Huruf g
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
“Pengendalian” dalam pasal ini dimaksudkan sebagai
pengawasan terhadap penyelenggaraan pengumpulan uang
atau barang berskala nasional yang diselenggarakan oleh
masyarakat, termasuk pemberian ijin yang menjadi
kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
“Pengendalian” dalam Pasal ini dimaksudkan sebagai pengawasan
terhadap penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang
berskala provinsi, kabupaten/kota yang diselenggarakan oleh
masyarakat, termasuk pemberian ijin yang menjadi kewenangan
gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9-

Ayat (2)
Unsur Pengarah terdiri dari unsur pemerintah dan unsur
masyarakat profesional dalam jumlah yang seimbang dan
proporsional.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fungsi koordinasi adalah melakukan
koordinasi pada tahap prabencana dan pascabencana, sedangkan
yang dimaksud dengan fungsi komando dan pelaksana adalah
fungsi yang dilaksanakan pada saat tanggap darurat.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Keanggotaan unsur pengarah mengacu pada keanggotaan
unsur pengarah pada Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g,
Pengendalian dalam ketentuan ini termasuk pemberian izin
pengumpulan uang dan barang yang dilakukan oleh gubernur dan
bupati/walikota sesuai dengan lingkup kewenangannya.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a,
Yang dimaksud dengan masyarakat rentan bencana adalah
anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena
keadaan yang di sandangnya di antaranya masyarakat lanjut
usia, penyandang cacat, anak-anak, serta ibu hamil dan
menyusui.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup Jelas

Pasal 32
Cukup Jelas

Pasal 33...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Pasal 33
Cukup Jelas

Pasal 34
Cukup Jelas

Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”analisis risiko bencana” adalah kegiatan
penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan
terjadinya bencana.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)...

-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai
risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan
yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran
minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah,
eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan.

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Yang dimaksud dengan “kegiatan keantariksaan” adalah kegiatan yang
berkaitan dengan ruang angkasa yang menimbulkan bencana, antara
lain, peluncuran satelit dan eksplorasi ruang angkasa.

Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81...
-salinan-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas

Pasal 83
Cukup jelas

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4723

-salinan-

Anda mungkin juga menyukai