Anda di halaman 1dari 3

BAKCANG

Deskripsi Singkat
Bakcang dan kue cang adalah makanan yang berasal dari Tiongkok yang cukup terkenal
di Indonesia pada saat perayaan Peh Cun. Peh Cun merupakan bahasa Hokkian dalam
Bahasa Mandarin disebut 百 船 bǎi chuán yang memiliki arti ‘ratusan perahu’. Sedangkan
masyarakat Tionghoa mengenalnya sebagai 端午节 Duānwǔ jié yaitu perayaan perahu naga
yang dirayakan setiap “tanggal 5 bulan 5” penanggalan Imlek.
Untuk membuat bakcang yang harus kita siapkan adalah beras, air secukupnya, dan minyak
ayam. Untuk bahan isinya bisa terbuat dari daging yang berupa ayam, sapi, babi, ataupun
ikan dan udang, ataupun kacang-kacangan tergantung ketersediaan sedangkan untuk
pembungkusnya disediakan daun bambu, Beras yang sudah disiapkan lalu dicuci sampai
bersih dan dimasak sampai setengah matang. Setelah setengah matang, nasi tersebut
dimasukkan ke dalam daun bamboo dan juga dimasukkan bahan isi bakcangnya, lalu
dibungkus. Bakcang tersebut kemudian direbus pada panci dengan air yang banyak sampai
semua bungkusan terendam, setelah masak, angkat dan tiriskan.
Perbedaan bakcang dan kue cang dari ‘Negeri Tirai Bambu’ ini terletak pada bakcang yang
memiliki isi, sementara kue cang tidak berisi dan hanya terbuat dari beras atau ketan saja,
sehingga memiliki rasa yang hambar atau tawar. Penamaan kata bakcang dan kue cang
merupakan kata yang berasal dari dialek Hokkian. Dalam Bahasa Mandarin, kata bakcang
dan kue cang disebut 粽 子 zòngzi. Dalam buku Traditional Chinese Festivals yang ditulis
oleh Marie-Luise Latsch dikatakan bahwa awalnya sebutan 粽 子 zòngzi muncul karena ia
merupakan homonim dari karakter Han 棕 zòng yang artinya telapak tangan. Menurut penulis
jurnal, sebutan 粽 子 zòngzi untuk bakcang dan kue cang diberikan untuk panganan yang
terbuat dari beras atau ketan dan ukurannya sebesar telapak tangan, sehingga karakter 粽 子
zòngzi untuk panganan bakcang hanya ada perubahan radikal dari 木 (mù) = kayu
menjadi radikal 米 (mǐ) = beras.
Dilihat dari asal-usulnya, bakcang dan kue cang telah melalui sejarah yang panjang dan sudah
ada sejak ribuan tahun lalu, yaitu dari zaman Musim Semi-Musim Gugur (春秋时代 Chūnqiū
Shídài, 770- 476 SM), zaman Negara Berperang (战国时代 Zhànguó Shídài, 475-221 SM),
Dinasti Jin ( 晋朝 Jìn Cháo , 265-420), Dinasti Utara dan Selatan (南北朝 Nánběi Cháo,
420-589), Dinasti Tang (唐朝 Táng Cháo, 618-907), Dinasti Song (宋朝 Sòng cháo, 960-
1279), Dinasti Yuan ( 元 朝 Yuán Cháo, 1206-1368), Dinasti Ming ( 明 朝 Míng Cháo,
1368-1644), sampai sekarang. Seiring berjalannya waktu, perkembangan bakcang dan kue
cang semakin meluas, tidak hanya ada di Tiongkok saja, namun juga tersebar di berbagai
penjuru negara seperti Korea, Jepang dan negara-negara di Asia Tenggara, dimana
banyak terdapat kaum Tionghoa yang tinggal di negara tersebut. Banyak etnis Tionghoa
seperti suku Hokkian, Hakka, Khek, Tio Ciu, dan lain-lain tersebar di sebagian besar wilayah
Indonesia. Misalnya saja di daerah Tangerang, Bangka, Singkawang, Pontianak, Makassar,
Manado, Palembang dan lain sebagainya.

Menurut penuturan narasumber, sejarah Bakcang terkait dengan Upacara Peh Cun. Peh Cun
sendiri merupakan upacara untuk memperingati Khut Gwan, seorang yang berjiwa mulia dan
leluhur. Pada upacara tersebut terdapat persembahan berupa tempurung bambu yang berisi
nasi. Sekitar 38 tahun kemudian terdapat seseorang yang bernama Au Hui yang bertemu
dengan arwah Khut Gwan. Arwah itu kemudian berkata bahwa tempurung bambu yang
diberikan kepadanya dimakan oleh ikan-ikan dan naga sungai. Oleh karena itu ia kemudian
berpesan kepada Au Hui untuk memberikan persembahan yang dibungkus dengan daun
kasap (tajam), seperti daun bambu agar tidak dimakan oleh ikan, maka kemudian lahirlah
Bakcang.
Penyebaran berbagai suku Tionghoa di Indonesia ini menyebabkan terjadinya akulturasi
budaya Tiongkok dengan Indonesia, terutama pada makanan bakcang dan kue cang. Menurut
salah satu narasumber wawancara, pada saat perayaan Peh Cun umumnya warga Tionghoa di
Indonesia lebih memilih membuat bakcang dari pada kue cang, karena banyak yang kurang
suka dengan rasa kue cang yang hambar. Sekarang bakcang dapat dinikmati sebagai makanan
pokok dan kue cang sebagai hidangan pencuci mulut, ditambah lagi keduanya bisa ditemui di
pasar-pasar tradisional, salah satu contohnya adalah pasar Petak Sembilan yang berada di
daerah Glodok.
Akulturasi budaya Tiongkok dengan Indonesia tentu saja membuat bakcang dan kue cang di
Indonesia sedikit berbeda dengan bakcang dan kue cang yang ada di Tiongkok di beberapa
sisi, seperti: pembungkus, fisik bakcang dan kue cang, kegunaan, serta maknanya. Selain itu,
hal ini juga didukung oleh adanya kekayaan sumber daya alam di Indonesia yang membuat
bakcang dan kue cang semakin bervariasi. Namun bahan dasar yang dipakai untuk membuat
bakcang dan kue cang masih sama seperti di Tiongkok yaitu bahan utamanya ketan maupun
beras, tetapi mayoritas masyarakat tetap menggunakan ketan. Proses pembuatan bakcang dan
kue cang pun juga sama-sama dikukus. Keduanya dapat bertahan lama di luar ruangan kurang
lebih tiga hari dan bahkan bisa bertahan seminggu sampai satu bulan apabila dimasukkan ke
lemari pendingin. Pertama, dari sisi pembungkusnya, karena Indonesia merupakan negara
yang kaya akan sumber daya alamnya, maka selain dapat menggunakan daun bambu, juga
bisa menggunakan daun pisang, daun hanjuang, dan daun teratai yang juga mencerminkan
perubahan pada bakcang dan kue cang yang berkembang di Indonesia. Tetapi sebagian besar
masyarakat keturunan Tionghoa tetap memilih untuk menggunakan daun bambu, karena
aromanya unik. Selain itu, karena bentuk daun bambu ramping, sehingga lebih mudah untuk
dibentuk menjadi limas segitiga.
Kedua, dari sisi fisik bakcang dan kue cang. Menurut hasil wawancara dengan beberapa
narasumber, umumnya mereka mengatakan bahwa isi bakcang di Indonesia ada lapciong
(sosis daging babi), daging babi, jamur hioko, kacang walnut, kacang tanah, kacang lakci,
daging ayam dan ebi. Dalam pembuatannya tentu ada bahan tambahan lain seperti kecap asin
dan kecap manis, bawang putih dan bawang merah, dan lain sebagainya. Sementara untuk
kue cang, menggunakan tambahan sirup pelengkap seperti, srikaya, air gula jawa, gula pasir,
dan air gula yang kental. Salah satu faktor perubahan isi bakcang dan kuah pelengkap
tambahan pada kue cang di Indonesia yaitu karena banyaknya sumber daya alam rempah-
rempah di Indonesia dan juga karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam
yang tidak memperbolehkan untuk memakan daging babi, maka dari itu kaum Tionghoa
berusaha untuk menyesuaikan makanannya, sehingga orang muslim di Indonesia juga dapat
mengkonsumsinya.
Ketiga, dari sisi bentuk. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bakcang dan kue cang
umumnya berbentuk limas segitiga, namun ada juga bentuk segi empat seperti lontong yang
berasal dari Makassar. Perubahan- perubahan bentuk tersebut tergantung dengan selera
masyarakat dan karena tidak semua orang bisa dengan mahir menguasai teknik membungkus
bakcang dan kue cang menjadi bentuk limas segitiga.
Keempat, dari sisi kegunaannya. Semenjak dahulu, khususnya di Tiongkok, bakcang dan kue
cang awalnya disajikan khusus pada perayaan Peh Cun, dan juga sebagai hadiah untuk
kerabat dekat. Sekarang di Indonesia sendiri, masyarakat Tionghoa membuat bakcang dan
kue cang saat perayaan Peh Cun sebagai bentuk untuk mengenang jasa dan kematian Wu
Zixu serta Khut Gwan, namun seiring dengan perkembangan zaman, sekarang bakcang dan
kue cang sudah dapat menjadi makanan pokok sehari-hari, misalnya untuk sarapan, kudapan
ringan, dan juga bekal perjalanan. Hal ini karena, bentuknya yang praktis seperti lontong
dan mudah dibawa kemanapun.
Kelima, dari sisi makna. Menurut salah satu narasumber wawancara, di Indonesia bakcang
biasanya dilemparkan ke dalam sungai sebagai simbol untuk mengenang Khut Gwan pada
perayaan Peh Cun, namun kue cang tidak dilemparkan ke sungai, melainkan digantung di
pinggir pintu utama rumah sebagai makna kesehatan.
Upaya Yang Dilakukan
Pemerintah Kota Tangerang telah memasukkan data mengenai bakcang ke dalam basis data
terpadu budaya kota Tangerang. Komunitas Boen Tek Bio melestarikannya dalam setiap
penyelengggaran Peh Cun, Komunitas Boen San Bio dan Vihara Nimmala juga turut
melestarikan dengan menggelar seminar tentang Bakcang dan membagikan Bakcang halal
pada saat bulan Ramadhan.
Pada tanggal 3 Juni 2022, Diadakan Lomba Bakcang yang bertempat di Klenteng Khongcu
Bio, Pasar Lama, Tangerang. Lomba ini merupakan acara tahunan dalam rangkaian Perayaan
Peh Cun di Kota Tangerang. Dalam rangkaian Peh Cun itu juga dilakukan pelemparan
Bakcang ke sungai Cisadane untuk memperingati Khut Gwan

Anda mungkin juga menyukai