Anda di halaman 1dari 8

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

‫ن ال َّرحِ يم‬
ِِ ‫َللا ال َّرحْ َم‬
َِِّ ‫بِس ِِْم‬

A. Nama : Bachtiar Imani, S.Pd.

B. Judul Modul : ALQURAN DAN HADIS

C. Kegiatan Belajar : PENDEKATAN DAN METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN


(KB 2)

D. Refleksi

BUTIR
NO RESPON/JAWABAN
REFLEKSI

PETA KONSEP 1

Konsep
(Beberapa
1 istilah dan
definisi) di
KB

PETA KONSEP 2
PETA KONSEP 3

A. Urgensi Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur’an

Ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat,
sementara penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk Al-Qur’an semakin
dibutuhkan, maka para ulama di bidang tafsir melakukan ijtihadnya
masing masing untuk melakukan penafsiran Al-Qur’an.

Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-


Qur’an adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadis
Nabi Saw maupun atsar.

B. Pendekatan Penafsiran Al-Qur’anِ


1. Pengertian Pendekatan Penafsiran
Yang dimaksud pendekatan dalam penafsiran adalah contoh, acuan, ragam,
macam (W.J.S. Poerwadarminta 1991: 653) atau cara pandang yang
terdapat dalam bidang ilmu tafsir yang selanjutnya digunakan dalam
memahami Islam (Abudin Nata 1998: 28). Secara lebih spesifik, pendekatan
di sini adalah acuan atau dasar dan paradigma yang digunakan dalam proses
menafsirkan Al-Quran baik bersifat riwayat, pendapat maupun intuisi.

2. Jenis Pendekatan Penafsiran


Ditinjau dari segi pendekatannya, tafsir terbagi menjadi tiga, yaitu tafsir bi al-
ma’tsur, tafsir bi al-ra'yi dan tafsir bi al-isyari. Berikut penjelasan
masing masing secara rinci.
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan
Al-Qur’an yang didasarkan kepada penjelasan-penjelasan yang diperoleh
melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadis maupun atsar, termasuk ayat-
ayat Al-Qur’an yang lain. Oleh karena itu, tafsir bi al-ma’tsur disebut juga
tafsir bi al-riwayah.

tafsir bi al-ma’tsur memiliki beberapa cara dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an,


yaitu sebagai berikut:
a) Penafsiran ayat dengan ayat Al-Qur’anِyangِlain
Misalnya surat al Hasyr (QS 59;22-24) yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt

b) Penafsiran ayat Al-Qur’anِdenganِhadisِNabiِSaw


Misalnya, ayat tentang perintah salat disampaikan dalam Al Qur’an secara
umum tanpa menyertakan penjelasan tata caranya. Berikut bunyinya:
Artinya: "Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-
orang yang ruku”. (QS. Al-Baqarah: 43)

Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadis Nabi Saw:


“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat, maka apabila telah tiba
waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan
azan dan orang yang lebih tua di antara kalian menjadi imam.” (HR.
al Bukhari)

c) Penafsiran ayat Al-Qur’anِdengan keterangan sahabat Nabi saw dan


tabi’in.
Setelah mendapatkan penjelasan melalui riwayat hadis, kemudian bisa
diperkaya dengan penjelasan para sahabat dan tabi’in. Keterangan dari para
sahabat atau tabi’in penting karena mereka adalah orang-orang yang dekat
bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana Al-
Qur’an itu diturunkan.

Contohnya seperti tafsir terhadap Surat al-Baqarah) QS 2: 3):


“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…”
Menurut Ibn ‘Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah
bahwa tafsir dari kata yu’minuna (mereka mengimani) adalah yushaddiquuna
(mereka membenarkan). Sementara menurut Ma’mar sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Zuhri, maksud dari yu’minuna adalah iman yang disertai
mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Ja’far al-Razi dari Rabi’ Ibn Anas,
yang dimaksud dengan yu'minuna adalah yakhsyauna yang berarti mereka
takut (Ibn Katsir, 2006: 43)

Adapun mengenai kitab tafsir yang menggunakan pendekatan bi al-ma’tsur


dalam penafsirannya di antaranya adalah Tafsir Jami’ al Bayan fi Tafsir Al-
Qur’an karya Ibnu Jarir ath-Thabari dan Tafsir Al Qur’an al-‘Azim karya Ibnu
Katsir. Dua tafsir ini sangat popular dan menjadi rujukan yang otoritatif dalam
kategori tafsir bi al-ma’tsur.
b. Tafsir bi al-Ra'yi atau tafsir bi al-Dirayah
Al-Ra’y berarti pikiran atau nalar, karena itu tafsir bi al-ra'yi adalah penafsiran
seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya,
di mana penalaran sebagai sumber utamanya.

Contoh yang tampak dari tafsir dengan pendekatan bi al-ra’y adalah


penafsiran al-Zamakhsyari dalam kitab tafsir al-Kasysyaf pada saat
menjelaskan basmalah pada Surat al Fatihah sebagai berikut:
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.”
Setelah menjelaskan silang pendapat antara penduduk Madinah, Basrah dan
Syam dengan penduduk Makkah dan Kufah beserta para ahli fikihnya
masing-masing tentang basmalah termasuk bagian dari surat al-Fatihah atau
tidak sehingga berimplikasi terhadap cara membacanya ketika salat secara
lantang atau pelan, al-Zamakhsyari kemudian menjelaskan urgensi dari
adanya basmalah pada surat pembuka Al-Qur’an ini. Ia berpendapat bahwa
basmalah pada awal surah pembuka merupakan bentuk mengawali aktivitas
membaca, sama halnya dengan orang yang hendak berperjalanan memulai
aktivitasnya dengan melafalkan basmalah dan penyembelih memulai
penyembelihan dengan melafalkan basmalah.

Dari contoh di atas terlihat bahwa tafsir bi al-ra’y yang dapat diterima
mendasarkan pikirannya melalui nalar dengan tetap menjadikan riwayat
sebagai bagian dari argumentasi bahkan diperkaya dengan aspek bahasa
dan sejarah.

c. Tafsir bi al-Isyarah atau Tafsir Isyari

Tafsir isyari adalah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an


dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa
mengingkari yang tersurat atau zahir ayat (al-Zahabi, 1976: 352).

Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih tafsir isyari berarti
menjelaskan kandungan Al-Qur’an melalui takwil dengan cara
menggabungkan yang tersurat dan tersirat.

Abdul Wahid (Wahid, 2020) menyebutkan syarat-syarat diterimanya sebuah


tafsir isyari sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) Al Qur’an.
2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syara’ lainnya.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang
dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan
lafadz.

Sebagai contoh untuk penafsiran dengan pendekatan isyari ini seperti


penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) sebagai berikut:
Artinya: “Peliharalah salat-salat dan salat wustha serta tegakkan untuk Allah
karena ketaatan.”

Al-Alusi menafsiri al-shalat al-wustha pada ayat di atas dengan penjelasan


lima macam shalat sebagai berikut:
“Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Salat sirr dengan menyaksikan
maqam ghaib, 2) salat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang
dapat mengundang keragu-raguan, 3) Salat qalb, dengan senantiasa berada
dalam penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) salat ruh
dengan menyaksikan wasl (penggabungan/penyatuan dengan Allah); 5)
Salat badan dengan cara memelihara panca indera dan menegakkan
ketentuan ketentuan hukum Allah.”
Bila dilihat dari istilah-istilah yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi
memahami al-shalat al-wustha dengan lima jenis salat di atas cenderung
dengan pendekatan isyari. Salat di sini baginya tidak dipahami sebagai ritual
ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, melainkan
dengan bentuk pencerahan batin melalui pendekatan sufistik.

C. Metode Penafsiran Al-Qur’anِ


1. Pengertian Metode Penafsiran
Yang dimaksud dengan metode penafsiran adalah cara yang dilakukan
dalam menafsirkan Al-Qur’an.ِ Cara ini meliputi teknis penyusunan,
sistematika, ruang lingkup dan hal-hal terkait lainnya. Cara yang telah
dilakukan para mufassir ini beragam, sehingga membentuk metode yang
beraneka.

2. Jenis Metode Penafsiran beserta Contohnya


a. Metode Tahlili (Analitis)
Metode tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an
dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata
urutan dalam mushaf, dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai
dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-aspek
yang ingin disampaikan.

Misalnya, menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbab al-nuzul,


munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya.

Tafsir tahlili umumnya diawali dengan penjelasan tentang profil surat berupa
nama-nama surat, urutan nuzul, data kesejarahan tentang situasi kondisi
ketika ayat tersebut diturunkan, dan tujuan-tujuan yang ingin disampaikan
dalam surat tersebut, serta hubungan surat tersebut dengan surat sebelum
dan sesudahnya dalam urutan mushaf.

Setelah itu dilanjutkan dengan penjelasan kosakata dan riwayat hadis, atsar,
dan aqwaal ulama salaf terkait pemaknaan sebagaian ayat-ayat dalam surat
tersebut.

Selanjutnya para penafsir dengan metode ini seringkali melakukan analisis


secara mendalam terhadap konsep-konsep yang muncul dalam ayat-ayat
tersebut.

Kecenderungan untuk mengkaji secara mendalam dan rinci inilah yang


dianggap seringkali melalaikan penafsir dari tujuan utamanya untuk
menemukan bimbingan konkret dari al-Quran menjadi kajian-kajian yang
cenderung rumit dan sophisticated.

b. Metode Ijmali (Global)


Metode ijmali adalah sebuah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an
dengan cara mengemukakan makna secara global dengan bahasa yang
ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan
pokok dari ayat secara singkat tanpa menguraikan panjang lebar.

Berikut adalah contoh penafsiran surat al-Fatihah ayat 3-7 dalam kitab Tafsir
Jalalain:
Dalam penafsiran di atas tampak sekali penjelasan ayat disampaikan secara
singkat dan global. Misalnya, kata al-rahman dan al-rahim dengan makna
yang memiliki rahmat. Maksudnya yaitu yang berkehendak memberikan
kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Setelah itu, kemudian
berganti kepada ayat berikutnya dan begitu seterusnya. Inilah tafsir dengan
metode ijmali.

c. Metode Muqaran (Komparatif)


Metode muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan
tema namun redaksinya berbeda; atau memiliki kemiripan redaksi tetapi
maknanya berbeda; atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis
Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.

Contoh :
QS. Al-Nahl: 32 artinya: “(yaitu) Orang yang ketika diwafatkan oleh para
malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepada
mereka), “Salamun ‘alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang
telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Nahl: 32)

Sementara dalam penjelasan sebuah hadis yang diriwayatkan Al Bukhari


dari Abu Hurairah disebutkan:
“Abu Hurairah berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada
seorangpun yang masuk surga karena amalannya.” Para sahabat bertanya;
“Begitu juga dengan engkau wahai Rasulullah?” beliau bersabda: “tidak juga
dengan diriku, kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya
padaku, oleh karena itu berlaku luruslah dan bertaqarublah dan janganlah
salah seorang dari kalian mengharapkan kematian, jika dia orang baik
semoga saja bisa menambah amal kebaikannya, dan jika dia orang yang
buruk (akhlaknya) semoga bisa menjadikannya dia bertaubat.” (HR. al-
Bukhari)

Setelah dibandingkan, secara zahir redaksi seakan-akan terjadi


pertentangan antara Al-Qur’an dengan hadis. Al-Qur’an dalam terjemah
Kemenag di atas seolah menyebut bahwa masuk surga disebabkan amal.
Sementara hadis sahih al-Bukhari menyebut tidak ada seorangpun yang
masuk surga karena amalnya.

Berkenaan dengan ini, M. Quraish Shihab melalui kanal resminya di youtube


menjelaskan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara Al Qur’an
dan hadis. Kesan pertentangan keduanya tercipta hanyalah karena
terjemahan yang tidak mampu mewadahi maksud seutuhnya dari Al Qur’an.

d.ِMetodeِMaudhu’iِ(Tematik)
Metode ini berupaya menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil
suatu tema tertentu. Kelebihan metode ini mampu menjawab kebutuhan
zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan
sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan
kebutuhannya, serta memberikan pemahaman Al-Qur’an tentang satu tema
menjadi utuh.

Namun kekurangannya bisa jadi dalam proses inventarisasi ayat-ayat


setema tidak tercakup seluruhnya, atau keliru dalam mengategorikan yang
akhirnya membatasi pemahaman ayat

Al-Farmawi (al-Farmawi: tth, 62) telah merinci langkah-langkah yang


harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses
penafsiran menggunakan metode tematik, sebagai berikut:

1) Menetapkan masalah yang akan dibahas; Permasalahan yang dibahas


diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang
berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai
tentang masyarakat;

2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;

3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai


pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang
mendukungnya;

4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.


Hal ini terkait erat dengan ilmu munasabat;

5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out


line);

6) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok


bahasan; dan

7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan


menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau
mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus),
mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang tampak pada lahirnya
bertentangan sehingga seluruhnya dapat bertemu dalam satu muara tanpa
perbedaan dan pemaksaan makna.

Materi pada KB yang sulit dipahami yaitu tentang empat jenis


metode penafsiran yang dilakukan mufassir, yaitu analitis atau tahlili,
secara global atau ijmali, secara perbandingan atau muqaran dan
secaraِtematikِatauِmaudhu’i.ِ
Daftar materi Materi ini saya anggap sulit karena pada materi ini butuh referensi yang lebih
pada KB banyak lagi.
2
yang sulit Saya menganggap, bisa saja karena minimnya pemahaman maka yang
dipahami terjadi adalah menganggap bahwa setelah dibandingkan, secara zahir
redaksi seakan-akan terjadi pertentangan antara Al-Qur’an dengan hadis.

Refleksi sederhana yang dapat dilakukan adalah mencari sumber lain agar
mendapat pemahaman yang baik tentang materi ini.
Materi yang sering mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran
Daftar materi tentang tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra'yi dan tafsir bi al-isyari.
yang sering
mengalami Materi ini kadang tertukar pemahamannya antara satu dan lainnya Terutama
3
miskonsepsi antara bi al matsur dan bi al isyari.
dalam Kesimpulan dari membaca modul tersebut adalah menafsirkan Al-Qur’an
pembelajaran ternyata upaya yang tidak sederhana, sangat ketat bahkan cenderung berat.
Dengan berbagai prasyarat kualifikasi yang harus dimiliki mufassir

Anda mungkin juga menyukai