MODUL PERKULIAHAN
W042100027 –
Cyber Culture
Sejarah Filsafat Sosial, Revolusi
Industri, Transformasi dunia
siber, Globalisasi
Abstrak Sub-CPMK
Pendahuluan
Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh
01
Team Teaching
Fakultas Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi
Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi realitas dalam kehidupan sehari-hari yang
tidak bisa lagi kita abaikan. Perkembangan media berteknologi internet telah melahirkan era digital
sebagai media komunikasi online yang berperan besar dalam menyalurkan keragaman persepsi
masyarakat maya kepada khalayak yang heterogen secara cepat, luas, tanpa demarkasi ruang,
dan sulit dikendalikan dengan waktu sekalipun. Melalui media digital tersebut, unsur-unsur budaya
yang dimiliki seseorang seperti kepercayaan, nilai, sikap, pandangan dunia, organisasi sosial,
tabiat manusia, orientasi kegiatan, persepsi tentang diri dan orang lain pun bisa termediasikan
secara global kepada orang lain di belahan dunia mana pun yang berlatar belakang budaya yang
berbeda (Wazis, 2017). Pada Modul 1 ini akan mengkaji Cyber Culture dari aspek fenomenologis
diawali dengan mengkaji mengenai sejarah filsafat sosial. Hal ini perlu dilakukan untuk
memberikan pemahaman mendasar mengenai proses terbentuknya pengetahuan dimana dalam
berpikir ada beberapa fase yang dilalui oleh manusia untuk bisa sampai pada tahap yang disebut
sebagai masyarakat postmodern. Secara umum, dengan mempelajari modul ini maka mahasiswa
diharapkan dapat memahami Cyber Culture dari segi aspek fenomenologi yang meliputi:
1. Ketepatan dalam menjelaskan Sejarah Filsafat Sosial secara lengkap
2. Ketepatan dalam menjelaskan Revolusi Industri secara lengkap
3. Ketepatan dalam menjelaskan Transformasi Dunia Siber secara lengkap
4. Ketepatan dalam menjelaskan Globalisasi secara lengkap
Perkembangan filsafat sosial mengikuti perubahan penting dalam pandangan filosof. Pemikiran
manusia yang pada awal perkembangannya menaruh harapan yang besar terhadap Mitos, Logos,
Dogma kemudian beralih pada Logos lagi (Bungin, 2019). Berikut sejarah perkembangan filsafat
sosial:
Revolusi Industri
Revolusi Industri membawa perubahan besar, yakni tenaga manusia mulai digantikan oleh tenaga
mesin. Sejarah revolusi industri dimulai di Inggris pada awal abad 18 hingga pertengahan abad 19.
Dampak positif dari revolusi industri membawa Inggris ke arah yang lebih maju dalam bidang
teknologi dan pengetahuan untuk mencari informasi misalkan pengunaan internet dan pesawat
penelitian di angkasa yang mengikuti arah globalisasi. Dampak negatifnya adalah kesejahteraan
masyarakat berkurang karena digantikannya tenaga manusia dengan mesin, sehingga berdampak
pada stabilitas politik menjadi kurang baik (Fajariah & Suryo, 2020). Dunia industri telah melalui
empat tahap revolusi yaitu Revolusi 1.0, Revolusi 2.0, Revolusi 3.0 dan Revolusi 4.0.
A. Revolusi 1.0
Revolusi Industri 1.0 ini dimulai ketika ditemukannya mesin uap di negara Inggris. Hal ini
ditandai dengan digunakannya mesin tenun mekanis bertenaga uap pertama di dunia.
Mesin tersebut digunakan untuk meningkatkan produktivitas industri tekstil yang dulunya
masih dikerjakan manual oleh tangan manusia. Penggunaan mesin uap pun semakin
berkembang ke ranah transportasi. Setelah ditemukannya mesin uap pada tahun 1776
oleh James Watt, maka era transportasi yang lama pun perlahan berakhir.Seiring
berjalannya waktu, mesin uap berkembang pula di berbagai industri lain. Mulai dari
B. Revolusi 2.0
Setelah era Revolusi Industri 1.0 berakhir pada tahun 1850-an, revolusi industri pun masuk
ke tahap selanjutnya yaitu Revolusi Industri 2.0 dengan ditemukannya tenaga listrik.
Berbeda dengan revolusi pertama yang lebih berfokus kepada efisiensi mesin, Revolusi
Industri 2.0 lebih berfokus kepada proses produksi (assembly) itu sendiri. Salah satu
contohnya adalah proses pembuatan mobil yang pada awalnya tidak bisa dilakukan di
tempat lain karena biaya yang sangat mahal, kemudian diselesaikan dengan konsep Lini
Produksi (Assembly Line) yang memanfaatkan conveyor belt pada tahun 1913. Akibatnya
proses perakitan mobil bisa dilakukan lebih efisien oleh orang lain di tempat yang berbeda.
Prinsip ini lalu berkembang menjadi spesialisasi, dimana 1 orang hanya menangani 1
proses perakitan. Dampak Revolusi Industri 2.0 lain yang paling terlihat adalah saat
Perang Dunia II, dimana kala itu produksi kendaraan perang seperti tank, pesawat, dan
senjata tempur lainnya diproduksi secara besar-besaran.
C. Revolusi 3.0
Era teknologi disebut sebagai pemicu dimulainya Revolusi Industri 3.0. Di era ini, peran
manusia di industri pun mulai dikurangi, kemudian digantikan dengan mesin-mesin pintar
berteknologi khusus yang bisa memprediksi dan membuat keputusan sendiri. Penggunaan
komputer mulai menggantikan hal-hal yang dulunya dilakukan oleh manusia. Seperti
mengirim dokumen, menghitung formula yang rumit, sampai membuat pencatatan
keuangan. Dalam dunia manufaktur, Revolusi Industri 3.0 bisa dibilang merupakan revolusi
yang sangat penting. Mengingat manufaktur menuntut ketepatan dan ketelitian yang
sangat tinggi, dimana dua hal tersebut sangatlah sulit dilakukan oleh manusia.
Penggunaan teknologi pun menjadi sebuah solusi yang tepat, sehingga produksi dalam
jumlah yang besar dapat dilakukan secara otomatis, cepat, dan juga berkualitas.
D. Revolusi 4.0
Revolusi Industri 4.0 dimana berfokus kepada perkembangan dunia digital dan internet
(Internet of Things). Berbagai inovasi seperti robot yang terhubung ke internet, Artificial
Intelligence (AI), cloud computing, dan sebagainya berkembang sangat pesat di era ini.
Teknologi baru yang belum pernah ada sebelumnya seperti ojek online, tarik tunai lewat
ponsel, sampai warung digital pun bermunculan di era revolusi industri terbaru ini. Dalam
skala industri, Revolusi Industri 4.0 meningkatkan kemampuan software dan internet untuk
meningkatkan efisiensi perusahaan. Salah satu contohnya adalah pengumpulan data
historis mesin oleh software yang digunakan untuk menjadwalkan maintenance bulanan
Perubahan sosial budaya adalah suatu variasi dari cara hidup masyarakat yang telah
diterima, baik karena perubaha kondisi geografis, kultur, demografi, ideologi, ataupun
karena adanya penemuan-penemuan baru di masyarakat (John Luwis Gillin & John
Phillip Gillin).
Perubahan sosial budaya sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan
sosial yang disebabkan oleh baik faktor internal ataupun eksternal. Faktor internal berasal
dari dalam diri manusia. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri manusia
(Samuel Koenig).
Dari pengertian di atas, kita bisa simpulkan bahwa perubahan sosial budaya merupakan
perubahan pola perilaku dan unsur-unsur sosial budaya yang memengaruhi perubahan sistem dan
struktur sosial, disebabkan oleh berbagai kondisi termasuk perkembangan
teknologi informasi (Kemkominfo, 2019).
Dengan kecanggihan teknologi saat ini masyarakat dihadapkan pada banyaknya Informasi yang
beredar (banjir informasi) dan peredarannya sangat cepat, namun kemudahan itu membawa
perubahan kondisi di bidang ideologi politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan dan keamanan.
Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan sebuah "ruang baru" yang bersifat artifisial
dan maya, yaitu Cyberspace. Cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia di "dunia
nya" ke dalam berbagai bentuk substitusi artifisialnya, sehingga apapun yang dapat dilakukan di
dunia nyata kini dapat dilakukan dalam bentuk artifisialnya di dalam cyberspace. Tidak saja
berbagai aktivitas manusia kini dilakukan dengan cara yang baru, lebih dari itu, kini tengah
berlangsung transformasi terminologis secara besar-besaran yaitu pemberian awalan “cyber” untuk
Istilah cyber yang di dalam dunia teknologi berarti “sistem pengontrolan yang menggunakan
komputer”. Istilah “cyber” itu pertamakali digunakan oleh Nobert Wiener yang mengemukakan
istilah itu tahun 1948. Sementara istilah cyberspace (ruang maya) pertama kali digunakan oleh
William Gibson melalui cerita pendeknya “Burning Chrome” (1982). Cyberspace yang terbentuk
oleh jaringan komputer dan informasi yang terhubungkan secara global telah menawarkan bentuk-
bentuk komunitas sendiri (virtual community), bentuk "realitas" nya sendiri (virtual reality) dan
bentuk "ruang"nya sendiri (cyberspace).
Jika berbagai bentuk penemuan teknologi pada era revolusi industry (era modern) disebut oleh
Marshal McLuhan sebagai sistem perpanjangan anggota tubuh (sepeda, mobil sebagai
perpanjangan kaki, telpon perpanjangan pendengaran), maka penemuan teknologi Informasi oleh
Manuel Castell disebut sebagai “perpanjangan sistem saraf” kita. Kita bisa memperluas
pengetahuan kita tanpa batas melalui teknologi informasi yang ada dihadapan kita. Gibson
menyatakan ”revolusi informasi” telah mengubah status pengetahuan dan mengubah semua aspek
kebudayaan. Bahkan mengubah manusia itu sendiri, mengubah kesadarannya.
Ben Agger mengemukakan konsep virtual self, yaitu satu konsep yang menantang kesadaran
model Freudian dan kesadaran psikologi modern yang statis, menjadi bentuk kesadaran yang cair,
sehingga dapat dibentuk oleh realitas virtual. Seperti orang yang tiba-tiba secara global diasyikkan
oleh pencarian “Pokemon” yang tiba-tiba mengubah kesadaran dan tingkah laku generasi
sekarang dengan cepat dan lalu menghilang. Kesadaran modern yang statis, karakter yang
dianggap sudah terbentuk, kini berubah menjadi kesadaran yang cair, sehingga mudah diubah
melalui realitas virtual itu (Lubis, 2017).
Cybercultures merupakan istilah sederhana yang dipergunakan untuk menjelaskan budaya yang
meliputi jaringan, elektronik dan budaya nirkabel (Nayar. 2010: 1). Istilah cyberculture sangat
berhubungan erat dengan studi internet, budaya digital, media digital, kultur jaringan, masyarakat
informasi, teknologi dan jaringan (Ganggi, 2019).
Cyberculture adalah segala budaya yang telah atau sedang muncul dari penggunaan jaringan
komputer untuk komunikasi, hiburan, dan bisnis. Cyberculture juga mencakup tentang studi
berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet dan bentuk-bentuk baru komunikasi
jaringan lainnya, seperti komunitas online, game multiplayer online, jejaring sosial, texting, dan
segala hal yang berkaitan dengan identitas, privasi, dan pembentukan jaringan. Manifestasi dari
cyberculture meliputi berbagai interaksi manusia yang dimediasi oleh jaringan komputer. Hal-hal
tersebut mencakup aktivitas, kegiatan, permainan, tempat dan metafora, dan termasuk basis
beragam aplikasi. Beberapa didukung oleh perangkat lunak khusus dan bekerja pada protokol web
Rulli Nasrullah dalam bukunya Teori dan Riset Media Siber (2016:139) memaparkan bahwa
budaya siber atau cyberculture secara sederhana melihat bagaimana budaya itu berada di ruang
siber. Memahami budaya maya (cyberculture) berarti mengabungkan antara dunia maya “cyber”
dan budaya culture. Christine Hine (2000) mengungkapkan bahwa ruang maya sebagai suatu
budaya dan menjadi artefak budaya. Pemahaman mengenai cyberspace menuntut untuk melihat
pada beberapa dimensi yang terkait di dalamnya; sebagai material, secara simbolik dan dimensi
experiental. Berangkat dari pemahaman tersebut maka cyberspace merupakan konsepsi budaya
cyberspace as culture, dimana di dalamnya terdapat realitas yang hidup, dibangun dan dipelihara
melalui interaksi keseharian penggunanya. Realitas dan makna yang terbangun dalam ruang inilah
yang menjadi budaya dunia maya “cybercultures”. Sebagai sebuah artefak cultural, realitas
tersebut senantiasa berubah, berkembang dan sebagian lainnya hilang (Prasetyo, 2010).
Globalisasi
Budaya masyarakat yang berkembang diperkuat dengan perkembangan teknologi menjadikan
arus modernisasi layaknya mesin yang tidak bisa dihentikan lajunya, seperti istilah “Juggernaut”
yang dipakai oleh Anthony Giddens untuk menggambarkan dunia modern (Ritzer, 2008). Francois
Lyotard mengklaim bahwa kelahiran era informasi sebagai kelahiran masyarakat postmodern. Era
informasi menyatakan penyebab pergeseran paradigma dari masyarakat modern kepada
masyarakat postmodern dengan simulasi, model, kode, dan komunikasi. Hal ini juga mengubah
fenomena sosial-budaya (Lubis, 2017).
Perkembangan globalisasi yang menyentuh setiap lini kehidupan manusia juga berdampak
terhadap perubahan budaya. Seperti yang diketahui, globalisasi menjadi isu yang mendapat
perhatian besar sejak akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Dalam proses globalisasi,
batasan geografis suatu negara menjadi kabur sehingga proses globalisasi dapat mengancam
eksistensi budaya suatu bangsa karena budaya lain dapat dengan mudah masuk dalam suatu
kehidupan bangsa.
Budaya bersifat dinamis serta dapat tumbuh dan berkembang mengikuti perubahan zaman, karena
budaya dikontruksi dan direkontruksi oleh manusia. Namun, terdapat budaya yang tidak dapat di
ubah. Koentjaraningrat membagi budaya menjadi dua wujud budaya, yaitu fisik dan non-fisik.
Budaya yang berwujud fisik berbentuk produk dan sulit mengalami perubahan, contohnya candi
dan prasasti. Sedangkan budaya non-fisik berbentuk ide-ide dan aktivitas manusia yang dinamis
dan terbuka terhadap perubahan serta menyesuaikan dengan konteks zaman.
Adanya akses internet telah memudahkan penyerapan kebudayaan karena hampir semua orang
terhubung dengan
jaringan internet. Media menjadi senjata utama dalam penyebaran budaya di era globalisasi,
mengingat media berperan sebagai agen penyebaran budaya yang masif dengan menjadi
jembatan antara agen dan konsumen. Media merupakan saluran yang berpengaruh dalam
distribusi kebudayaan global yang secara langsung memengaruhi perubahan gaya hidup
masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai konsumen suatu budaya. Jika masyarakat telah
menjadi konsumen dari suatu budaya baru, maka kemungkinan akan terjadi perubahan terhadap
budaya yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Globalisasi dalam konteks budaya selama ini selalu dikaitkan dengan dominasi negara-negara
Barat yang dikenal dengan istilah Westernisasi. Globalisasi dan Westernisasi memiliki kerkaitan
erat karena lobalisasi sendiri merupakan proses atau strategi negara-negara Barat dalam
melakukan ekspansi produk dan pengaruh termasuk dalam bidang kebudayaa. Jadi, dapat
dikatakan bahwa Westernisasi merupakan salah satu produk dari globalisasi. Menurut Antony
Black, Westernisasi dimulai sejak tahun 1700-an (Black 2006).
Para ahli juga menyebutkan bahwa globalisasi budaya menyebabkan peleburan budaya yang
dikenal dengan istilah “melting pot”. Dalam perspektif homogenisasi, terjadi peningkatan
interkoneksi antar negara dan budaya di mana kondisi ini berkontribusi dalam pembentukan dunia
yang lebih homogen dan mengadopsi nilai-nilai Barat.
Dalam bentuk homogenisasi yang lebih ekstrim, yang dikenal sebagai konvergensi, diasumsikan
bahwa budaya lokal dapat dibentuk oleh budaya lain yang lebih kuat atau bahkan dapat dibentuk
oleh budaya global (Ritzer 2010). Perspektif ini tercermin dalam beberapa konsep seperti konsep
budaya global (global culture), Amerikanisasi, dan McDonaldisasi (Larasati, 2018).
Tomlison mengatakan bahwa budaya homogen berasaskan pada wujud globalisasi merupakan
usaha untuk menyeragamkan kebudayaan sehingga budaya di setiap tempat lebih sama.
Walaupun seseorang berada di tempat tinggalnya, melalui proses globalisasi simbol budaya orang
lain dapat dijangkau melalui perantara media.
Pandangan ke-tiga mengenai Globalisasi adalah Hibridisasi. Asumsi utama dari hibridisasi budaya
adalah proses pencampuran atau perpaduan budaya yang berkesinambungan. Produk akhir dari
globaliasasi budaya adalah integrasi dari budaya global dan lokal (Cvetkovich & Kellner 1997)
yang menghasilkan sebuah budaya hibrida baru yang tidak memiliki kecenderungan terhadap
budaya global maupun budaya lokal (Ritzer 2010).
Adapun Robertson mengatakan bahwa globalisasi budaya adalah campuran kompleks antara
homegenisasi budaya global dan heterogenisasi budaya lokal (Robertson 2001). Asumsi ini
diperkuat dengan pendapat yang menyatakan bahwa interaksi budaya cenderung menghasilkan
hibridisasi budaya ketimbang homogenisasi budaya. Dengan demikian, globalisasi mengarah pada
penggabungan kreatif sifat budaya lokal dan global (Appadurai 1996).
Daftar Pustaka
Bungin, B. (2019). Sosiologi komunikasi. Kencana.
Fajariah, M., & Suryo, D. (2020). Sejarah Revolusi Industri di Inggris Pada Tahun 1760-
https://doi.org/10.24127/hj.v8i1.2214
DIGITAL.
http://www.pasca.ugm.ac.id/fotopost/ed9a815db8e7e0381471784311a20c0b.pdf
Larasati, D. (2018). Globalisasi Budaya dan Identitas: Jurnal Hubungan Internasional, 12.
Murfianti, F. (2020). MEME DI ERA DIGITAL DAN BUDAYA SIBER. Acintya Jurnal
http://digilib.uinsgd.ac.id/14484/1/Filsafat%20sosial%20full_pages_deleted.pdf