Anda di halaman 1dari 22

CRITICAL JOURNAL REVIEW

PENGAPLIKASIAN QAWA’ID FIQHIYYAH DALAM


PENGURUSAN ALAM SEKITAR

Kalsom Awang & Mohd Zahirwan Halim Zainal Abidin.2011

DISUSUN OLEH:

NAMA : M. HANIF AL-MUBAROQ


NIM : 0302203049
MATA KULIAH : FIQH/USHUL FIQH

DOSEN PENGAMPU : ENNY NAZRAH PULUNGAN M, Ag

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah
SAW beserta keluarganya.
Alhamdulillah, saya dapat menyelesaikan tugas Critical Journal Review tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari CJR ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
fiqh/ushul fiqh. Serta, menambah wawasan dan pengetahuan kepada pembaca maupun penulis
sendiri mengenai “Pengaplikasian Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Pengurusan Alam Sekitar.”
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya dan dorongannya sehingga saya dapat menyelesaikan CJR ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun, akan saya terima demi kesempurnaan tugas saya ini. Semoga
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan mohon maaf atas kesalahan pengetikan ataupun
pengambilan kata dalam CJR ini.
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, Oktober 2021

Penulis
M. Hanif Al-Mubaraq

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................
1.1 Rasionalisasi Pentingnya CJR.................................................................................................
1.2 Tujuan CJR.............................................................................................................................
1.3 Manfaat CJR...........................................................................................................................
1.4 Identitas Jurnal Yang Direview...............................................................................................
BAB II RINGKASAN ISI JURNAL.........................................................................................
2.1 Pendahuluan............................................................................................................................
2.2 Pemilihan Manusia Sebagai Pengurus Alam..........................................................................
2.3 Sifat-Sifat Alam Menurut Islam..............................................................................................
2.4 Kaedah-Kaedah Fiqh (Qawaid Fiqhiyyah) Dalam Pengurusan Alam Sekitar........................
2.5 Pembahagian Kaedah-Kaedah Fiqh (Qawaid Fiqhiyyah).......................................................
BAB III PEMBAHASAN/ANALISIS.......................................................................................
3.1 Pembahasan Isi Jurnal.............................................................................................................
3.2 Kelebihan Dan Kekurangan Isi Jurnal....................................................................................
BAB IV PENUTUP.....................................................................................................................
4.1 Kesimpulan.............................................................................................................................
4.2 Saran........................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Rasionalisasi Pentingnya CJR


Sering kali kita bingung memilih jurnal referensi untuk kita baca dan pahami.Terkadang
kita memilih satu jurnal, namun kurang memuaskan hati kita. Misalnya dari segi analisis
bahasa, pembahasan tentang mata kuliah fiqh/ushul fiqh. Oleh karena itu, penulis membuat
Critical Journal Review ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih jurnal referensi,
terkhusus pada pokok bahasa materi Qawa’id Fiqhiyyah.
1.2 Tujuan CJR
Mengkritisi/membandingkan satu topik materi pada mata kuliah fiqh/ushul fiqh dalam
satu jurnal untuk menyelesaikan tugas CJR fiqh/ushul fiqh dan menambah pengetahuan atau
wawasan dalam mengkritisi suatu topik permasalahan.
1.3 Manfaat CJR
 Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam materi kuliah fiqh/ushul fiqh.
 Untuk mengetahui inti dari hasil penelitian suatu jurnal.
 Untuk bahan evaluasi dalam pembuatan suatu jurnal.
1.4 Identitas Jurnal yang Direview
1. Judul Jurnal : Pengaplikasian Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Pengurusan Alam
Sekitar
2. Nama Jurnal : Perspektif : Jurnal Sains Sosial dan Kemanusiaan
3. Edisi Terbit : 2011
4. Pengarang Jurnal : Kalsom Awang dan Mohd. Zahirwan Halim Zainal Abidin
5. Penerbit : Universiti Pendidikan Sultan Idris
6. Kota Terbit : Perak, Malaysia
7. ISSN : 1985 - 496X
8. Alamat Situs : https://ejournal.upsi.edu.my/index.php/PERS/article/view/1591
9. Volume & Nomor : Vol. 3 & No. 1
10. Halaman : 39-59

1
BAB II
RINGKASAN ISI JURNAL

2.1 Pendahuluan
Pendekatan atau cara mengelola sesuatu berbeda antar kelompok manusia. Perbedaan
tersebut terjadi karena faktor keyakinan, pemahaman dan lingkungan. Secara umum ada dua
pendekatan yang dilakukan oleh manusia. Pendekatan pertama mengacu pada mereka yang
menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber utama bagi semua manajemen, sedangkan
pendekatan kedua mengacu pada mereka yang memiliki sumber daya pikiran dan lingkungan
manusia. Untuk kelompok pertama, Al-Quran adalah sumber referensi pertama dan as-
Sunnah praktis referensi kedua. Sedangkan hal-hal terkini yang tidak ditemukan dalam dua
sumber utama ini akan mengacu pada pandangan ijma 'ulama'. Dalam bidang pengurusan apa
pun, pasti akan ada masalah baru yang memerlukan pendekatan tersendiri.
Dalam Islam, pendekatan yang diselenggarakan untuk menghadapi perubahan saat ini
adalah melalui qawaid fiqhiyyah atau metode fiqh. Dalam konteks pengelolaan lingkungan,
cara ini harus dipahami dan diapresiasi oleh manusia sebagai pengelola lingkungan. Berbekal
keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT, maka manusia diangkat sebagai khalifah-Nya
di muka bumi.
2.2 Pemilihan Manusia Sebagai Pengurus Alam
Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah S.W.T yang istimewa karena dipilih sebagai
khalifah-Nya di muka bumi. Pemilihan itu merupakan suatu rencana yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT kepada para Malaikat. Dari firman Allah swt adalah:
ٰۤ
ِ ْ‫ك لِ ْل َمل ِٕى َك ِة ِانِّ ْي َجا ِع ٌل فِى ااْل َر‬
ً‫ض خَ لِ ْيفَة‬ َ ُّ‫ۗ َواِ ْذ قَا َل َرب‬
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi.”
Seleksi semacam itu erat kaitannya dengan status pemuliaan diri yang dianugerahkan kepada
manusia dibandingkan dengan makhluk jenis hewan dan tumbuhan. Fakta ini diabadikan
dalam firman Allah SWT yaitu:
ِ ‫ت َوفَض َّْل ٰنهُ ْم ع َٰلى َكثِي ٍْر ِّم َّم ْن خَ لَ ْقنَا تَ ْف‬
‫ض ْياًل‬ ِ ‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِ ْٓي ٰا َد َم َو َح َم ْل ٰنهُ ْم فِى ْالبَرِّ َو ْالبَحْ ِر َو َر َز ْق ٰنهُ ْم ِّمنَ الطَّيِّ ٰب‬

2
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka
di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

A. Kesempurnaan Kejadian
Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling lengkap dan sempurna. Keadaan adalah
anugerah dan karunia Allah SWT yang paling istimewa untuk makhluknya bernama manusia.
Fakta ini merupakan fakta yang tak terbantahkan dimana ada beberapa ayat Al-Qur'an yang
membenarkannya. Di antara firman Allah SWT sebagai berikut:
‫لَقَ ْد خَ لَ ْقنَا ااْل ِ ْن َسانَ فِ ْٓي اَحْ َس ِن تَ ْق ِوي ۖ ٍْم‬
Artinya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,”
(QS. At-Tin [95]: 4)
ِ ‫ص َو َر ُك ۚ ْم َواِلَ ْي ِه ْال َم‬
‫ص ْي ُر‬ ُ َ‫ص َّو َر ُك ْم فَاَحْ َسن‬ ِّ ‫ض بِ ْال َح‬
َ ‫ق َو‬ َ ْ‫ت َوااْل َر‬ َ َ‫خَ ل‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬
Artinya: “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia membentuk
rupamu lalu memperbagus rupamu, dan kepada-Nya tempat kembali.”
Keindahan dan kemegahan ciptaan fisik manusia adalah yang terbaik dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Hanya orang-orang yang berakal dan mau berpikir yang memahami
keistimewaan ini. Begitu juga dengan keberadaan alis, bulu mata, mulut dan lain
sebagainya. Karena di dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat yang mengungkapkan tentang
terjadinya indera manusia.
Kesempurnaan ciptaan manusia tidak hanya terbatas pada bentuk fisik saja, tetapi juga
dalam hal perpaduan unsur-unsur spiritual dalam diri. Perpaduan spiritualitas yang dimaksud
adalah ruh, akal dan nafsu. Sehubungan dengan itu, manusia dikaruniai kombinasi yang
lengkap, sedangkan malaikat hanya dikaruniai ruh dan akal, sedangkan hewan hanya
dikaruniai ruh dan syahwat (Ismail 1989).

B. Karunia Akal
Akal merupakan anugerah khusus dari Allah SWT kepada manusia. Konsep taklif yang
merupakan penetapan tanggung jawab seseorang juga erat kaitannya dengan akal. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya orang yang berakal yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
ibadah kepada Allah SWT, sedangkan yang tidak berakal baik anak-anak maupun orang gila
dikecualikan. Melalui kecerdasan ini manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk,
berpikir dan merencanakan, meneliti dan mengevaluasi sebelum melakukan sesuatu. Yang
3
lebih mengesankan lagi, kombinasi solid antara zikrullah dan berpikir melalui akal akan
membuka peluang bagi manusia untuk meningkatkan prestasi diri menjadi ulul albab. Hal ini
tertulis melalui firman Allah SWT sebagai berikut:
‫ب ۙ الَّ ِذ ْينَ يَ ْذ ُكرُوْ نَ هّٰللا َ قِيَا ًما َّوقُعُوْ دًا َّوع َٰلى‬ ٍ ‫ار اَل ٰ ٰي‬
ِ ‫ت اِّل ُولِى ااْل َ ْلبَا‬ ِ َ‫ف الَّ ْي ِل َوالنَّه‬ ْ ‫ض َو‬
ِ ‫اختِاَل‬ ِ ْ‫ت َوااْل َر‬ ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬ ِ ‫اِ َّن فِ ْي خَ ْل‬
ِ َّ‫اب الن‬
‫ار‬ َ ‫ك فَقِنَا َع َذ‬ َ َ‫ض َربَّنَا َما خَ لَ ْقتَ ٰه َذا بَا ِطاًل ۚ ُسب ْٰحن‬ ِ ۚ ْ‫ت َوااْل َر‬ ِ ‫جُ نُوْ بِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُوْ نَ فِ ْي َخ ْل‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,” (190). “(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring,
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan
kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami
dari azab neraka.” (191). (QS. Ali-‘Imran [3]: 190-191)
Itulah pentingnya kedudukan akal menurut pandangan Islam. Tuhan menganugerahkan
manusia dengan kecerdasan tidak hanya untuk membedakan mereka dari hewan tetapi
memiliki makna yang lebih besar dari itu. Hendaknya manusia menyadari bahwa karunia
akal adalah alasan bagi manusia untuk merenungkan dan mengamati diri sendiri dan
peristiwa alam, sehingga dengan ini mereka dapat bertindak sebagai khalifah Allah SWT.
C. Kelebihan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan sangat penting dalam setiap pengurusan. Oleh karena itu ketika Nabi Adam
a.s diangkat menjadi khalifah di muka bumi, kemudian Allah SWT mengajarkan kepada
Nabi Adam ilmu yang berkaitan dengan nama-nama benda secara keseluruhan. Kemampuan
menyebut sesuatu yang dilihat merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Hal
ini sangat penting bagi setiap pengelola, tanpa kemampuan ini akan terjadi kerancuan atau
kebingungan dalam menjelaskan sesuatu. Perkara ini dijelaskan Allah SWT melalui firman-
Nya sebagai berikut:
ۤ
ٰ ‫ضهُ ْم َعلَى ْال َم ٰل ِٕى َك ِة فَقَا َل اَ ۢ ْنبِـُٔوْ نِ ْي بِا َ ْس َم ۤا ِء ٰهُٓؤاَل ۤ ِء اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
َ‫ص ِدقِ ْين‬ َ ‫َو َعلَّ َم ٰا َد َم ااْل َ ْس َم ۤا َء ُكلَّهَا ثُ َّم َع َر‬
Artinya: “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua
(benda) ini, jika kamu yang benar!” (QS. Al-Baqarah [2]: 31)

ِ ۙ ْ‫ت َوااْل َر‬


‫ض َواَ ْعلَ ُم َما تُ ْب ُدوْ نَ َو َما ُك ْنتُ ْم‬ َ ‫ال ٰيٓ ٰا َد ُم اَ ۢ ْنبِْئهُ ْم بِا َ ْس َم ۤا ِٕى ِه ْم ۚ فَلَ َّمٓا اَ ۢ ْنبَاَهُ ْم بِا َ ْس َم ۤا ِٕى ِه ۙ ْم قَا َل اَلَ ْم اَقُلْ لَّ ُك ْم اِنِّ ْٓي اَ ْعلَ ُم َغي‬
ِ ‫ْب السَّمٰ ٰو‬ َ َ‫ق‬
َ‫تَ ْكتُ ُموْ ن‬

4
Artinya: “Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama
itu!” Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah telah Aku
katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui
apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah [2]: 33)
Intinya, semakin dalam pengetahuan seseorang tentang ketentuan hukum alam atau
sunnatullah, semakin ia meyakini bahwa semua itu terjadi karena ketentuan Allah SWT. Oleh
karena itu, tanpa hubungan antara ilmu dan iman, manusia akan gagal dalam menjalankan
tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah SWT.

D. Ketundukan Makhluk Lain


Menurut Islam, semua manusia berasal dari keturunan Nabi Adam yang dimuliakan oleh
Allah SWT dan diberkahi dengan berbagai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Berdasarkan faktor ini, manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah-Nya di muka
bumi, yaitu mengatur dan mengelola alam. Untuk memudahkan manusia dalam
melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya, Allah SWT memerintahkan agar segala
isi alam tunduk kepada manusia. Sebagaimana firman Allah SWT. sebagai berikut:
‫ي فِى ْالبَحْ ِر‬ ِ ‫ض َواَ ْن َز َل ِمنَ ال َّس َم ۤا ِء َم ۤا ًء فَا َ ْخ َر َج بِ ٖه ِمنَ الثَّ َم ٰر‬
َ ‫ت ِر ْزقًا لَّ ُك ْم ۚ َو َس َّخ َر لَ ُك ُم ْالفُ ْل‬
َ ‫ك ِلتَجْ ِر‬ َ ْ‫ت َوااْل َر‬ ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬ َ َ‫هّٰللَا ُ الَّ ِذيْ خَ ل‬
‫بِا َ ْم ِر ٖه َۚو َس َّخ َر لَ ُك ُم ااْل َ ْن ٰه َر‬
Artinya: “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan)
dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan
sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan
dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu.” (QS. Ibrahim
[14]: 32)
Makna ayat di atas dengan jelas menggambarkan perbedaan yang sangat signifikan dalam
kaitannya dengan pandangan Islam dengan kelompok naturalis dalam hubungannya dengan
alam. Atas dasar kedaulatan itu, Allah SWT menundukkan seluruh isi alam kepada manusia.
Tanpa ketundukan makhluk-makhluk ini akan sulit bagi manusia untuk menjalankan tugas
mengelola bumi.
2.3 Sifat-Sifat Alam Menurut Islam
Ajaran Islam menolak secara mutlak kewujudan sifat-sifat ketuhanan bagi alam sehingga
perlu dipuja oleh manusia. Malahan sebaliknya alam itu sendiri diperintah mendambakan diri
kepada manusia sebagai tanda kepatuhan mereka kepada Allah SWT. Kepatuhan alam

5
terhadap ketetapan Allah dapat dilihat dan diukur melalui ketundukan mereka terhadap sifat-
sifat positif yang ditetapkan oleh Allah SWT ke atas mereka. Diantara sifat-sifat tersebut
adalah seperti berikut:
A. Azwaj
Azwaj berarti simetris atau berpasangan. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini
apakah terlihat atau tidak ada berpasangan. Sifat azwaj yaitu berpasangan penting untuk
menyempurnakan sistem peredaran alam semesta. Kehidupan alam tidak akan sempurna dan
berkembang tanpa adanya kehidupan yang berpasangan. Hamparan lautan yang luas akan
sempurna bila ada daratan, serta peralihan dari siang ke malam yang juga melengkapi
kehidupan manusia. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT melalui firman-Nya sebagai berikut:
ُ ِ‫ق ااْل َ ْز َوا َج ُكلَّهَا ِم َّما تُ ۢ ْنب‬
َ‫ت ااْل َرْ ضُ َو ِم ْن اَ ْنفُ ِس ِه ْم َو ِم َّما اَل يَ ْعلَ ُموْ ن‬ َ َ‫ُسب ْٰحنَ الَّ ِذيْ َخل‬
Artinya: “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik
dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang
tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin [36]: 36)
B. Tawazun
Tawazun artinya seimbang, yaitu sesuatu yang kadarnya tidak terlalu banyak atau terlalu
sedikit. Simetri yang ada di dunia ini membentuk tawazun atau keseimbangan yang
merupakan fenomena yang tidak ekstrim. Allah SWT menjadikan makhluk-Nya dengan
fitrah yang seimbang dan disertai dengan takaran yang sesuai dengan tujuan kelangsungan
hidupnya. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kitab al-Qanun fi al-Tibb, Ibnu Sina telah
mengemukakan konsep dinamisme keseimbangan kesehatan yaitu keadaan keseimbangan
kesehatan yang ada dalam kisaran tertentu yaitu antara maksimum dan minimum. Bagian
dari konsep tawazun dalam ciptaan Tuhan.
Keseimbangan akan terjadi melalui peran khusus setiap ciptaan Allah SWT, seperti
tumbuhan secara alami mengeluarkan gas oksigen, sedangkan manusia dan hewan
menghirupnya. Pada gilirannya, manusia dan hewan melepaskan gas karbon dioksida, yang
dihirup tanaman. Keseimbangan ini akan terus berlaku karena kekayaan alam terus
dilestarikan. Hal ini telah dinyatakan dengan jelas oleh Allah SWT sebagai berikut:
ۤ
ٍ ‫َواِ ْن ِّم ْن َش ْي ٍء اِاَّل ِع ْن َدنَا َخ َزا ِٕىنُهٗ َو َما نُنَ ِّزلُ ٗ ٓه اِاَّل بِقَد‬
‫َر َّم ْعلُوْ ٍم‬
Artinya: “Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr [15]: 21)

6
Adapun ayat dalam Al-Qur'an yang secara khusus menyebutkan bahwa unsur alam ini
telah ditentukan kadarnya sebagai contoh kadar hujan yang diturunkan untuk kehidupan
semua makhluk. Sebagaimana Firman Allah SWT. sebagai berikut:
ْ ‫اِاَّل ع َٰلٓى اَ ْز َوا ِج ِه ْم اَوْ َما َملَ َك‬
َ‫ت اَ ْي َمانُهُ ْم فَاِنَّهُ ْم َغ ْي ُر َملُوْ ِم ْي ۚن‬
Artinya: “kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka tidak tercela.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 6)
Selain itu, Islam juga menghimbau kepada manusia untuk menjaga jati dirinya melalui
larangan terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT seperti ganti kelamin, kemiripan
laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya. Larangan ini memiliki tujuan tersendiri yaitu
untuk menghindari terganggunya keseimbangan dalam kehidupan manusia. Allah SWT Yang
Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana lebih mengetahui kebiasaan manusia, oleh karena itu
telah diberikan peringatan dini agar manusia tidak melakukan hal-hal yang dapat
mengganggu keseimbangan alam. Peringatan ini terkandung dalam firman Allah SWT yaitu
sebagai berikut:
َ ‫َوال َّس َم ۤا َء َرفَ َعهَا َو َو‬
ْ ‫ض َع ْال ِم ْي َزانَ ۙ اَاَّل ت‬
‫َط َغوْ ا فِى ْال ِميْزَ ا ِن‬
Artinya: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan,”(7) “agar kamu
jangan merusak keseimbangan itu,”(8) (QS. Ar-Rahman [55]: 7-8)
Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah Allah SWT harus mempelajari dan mendalami
isi Al-Quran sebelum mempelajari dan menjelajahi lingkungan. Ketika konsep ini dipahami
maka mereka tidak akan melampaui mizan yang telah ditetapkan dan dengan demikian
ekosistem akan berjalan dengan lancar dan seimbang. Tentunya seluruh kehidupan akan
dalam keadaan dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan sunnatullah.

C. Nasim
Seluruh dunia memiliki sifat nasim atau segar dan itu adalah simbol rahmat Allah SWT
untuk kehidupan. Kesegaran alam dapat dirasakan melalui angin dan turunnya hujan. Sifat
nasim ini juga dijelaskan oleh Al-Qur'an melalui kesuburan tanah yang menampilkan
kehijauan dan kesuburan tanaman di lembah dan pegunungan (Muhd Zuhdi & Amer Saifude
2002). Air adalah sumber dari semua kehidupan dan melaluinya juga kehidupan terasa lega
dan segar. Melalui air, manusia merasakan kelegaan dari rasa haus dan kesegaran setelah
mandi, begitu juga dengan tumbuh-tumbuhan yaitu dengan menyiraminya menghidupkan

7
kembali benih-benih dan menghasilkan kesuburan pohon melalui warna hijau yang
melambangkan kesegaran. Firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya: ”Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang,
kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang
diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati
(kering),” (QS. Al-BAqarah [2]: 164)
Dapat disimpulkan bahwa alam yang bersih dan segar berperan penting dalam
perkembangan diri manusia baik secara mental, fisik maupun emosional. Dengan ini dapat
membantu masyarakat untuk lebih ceria dan tenang dalam menjalankan tugasnya sebagai
khalifah Allah SWT. Oleh karena itu kesegaran dan kebersihan alam ini harus dijaga dan
dilestarikan oleh manusia.

D. Jamal
Sifat alam selanjutnya adalah jamal yang artinya indah dan indah. Konsep cantik dan
indah dalam Islam mengandung makna yang luas meliputi keindahan dalam pandangan dan
perasaan. Alam yang indah ini akan memanjakan mata yang memandang (Muhd Zuhdi &
Amer Saifude 2002). Sebagaimana Firman Allah SWT. sebagai berikut:
‫ْج‬ ْ ‫ت َواَ ۢ ْنبَت‬
ٍ ۢ ْ‫َت ِم ْن ُك ِّل زَ و‬
ٍ ‫ج بَ ِهي‬ ْ ‫ض هَا ِم َدةً فَا ِ َذٓا اَ ْنز َْلنَا َعلَ ْيهَا ْال َم ۤا َء ا ْهتَ َّز‬
ْ َ‫ت َو َرب‬ َ ْ‫َوت ََرى ااْل َر‬
Artinya: “Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan)
di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan
(tetumbuhan) yang indah.” (QS. Al- Hajj [22]: 5)

َ‫ث ۗ ٰذلِك‬
ِ ْ‫ض ِة َو ْال َخ ْي ِل ْال ُم َس َّو َم ِة َوااْل َ ْن َع ِام َو ْال َحر‬ ِ َ‫ت ِمنَ النِّ َس ۤا ِء َو ْالبَنِ ْينَ َو ْالقَنَا ِطي ِْر ْال ُمقَ ْنطَ َر ِة ِمنَ ال َّذه‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬ ِ ‫اس حُبُّ ال َّشهَ ٰو‬ ِ َّ‫ُزيِّنَ لِلن‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ع ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا ۗ َو ُ ِع ْند َٗه ُحسْنُ ْال َم ٰا‬
‫ب‬ ُ ‫َمتَا‬
Artinya: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam
bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali-Imran [3]: 14)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alam alam yang indah ini merupakan
anugerah Tuhan kepada manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Menikmati suasana
yang indah akan dapat menyemangati pikiran dan membantu menenangkan perasaan. Faktor-
faktor tersebut penting sebagai penunjang bagi manusia untuk mengatur alam. Oleh karena
itu, Allah SWT, Yang Maha Mengetahui, telah menciptakan dan melengkapi dunia ini dalam
8
keadaan yang indah. Oleh karena itu, manusia sebagai pengelola alam, sudah sepatutnya
menjaga dan menjaga keindahannya agar dapat dinikmati dan diapresiasi oleh generasi
penerus pengelola.

E. Tunduk Patuh dan Bertasbih Kepada Allah


Selain memiliki kualitas fisik yang positif, alam juga memiliki sifat spiritual yang sangat
tinggi yaitu selalu berserah diri dan bertasbih kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur'an ada
beberapa surah yang ayatnya diawali dengan pernyataan bahwa segala isi langit dan bumi
bertasbih kepada Allah SWT. Diantaranya, firman Allah SWT., (QS. al-Hadid: 1), (QS. al-
Hasyr: 1), (QS. at-Taghabun: 1). Salah satunya dipaparkan sebagai berikut:
‫ض َوهُ َو ْال َع ِز ْي ُز ْال َح ِك ْي ُم‬ ‫هّٰلِل‬
ِ ۚ ْ‫ت َوااْل َر‬
ِ ‫َسب ََّح ِ َما فِى السَّمٰ ٰو‬
Artinya: “Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang
Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Hadid [57]: 1).
Makna ayat-ayat di atas membuktikan bahwa semua isi langit dan bumi baik fauna yang
terdiri dari hewan terbang atau merayap (dabbah) atau flora (nabat), makhluk kaku yang
tidak bergerak (jamadat) seperti batu, besi dan sebagainya. pada selalu diagungkan Allah
SWT. Meski banyak dan kuat yang mereka agungkan, namun keagungan mereka tidak
terdengar dan dipahami oleh manusia.

F. Fana
Fana berarti tidak kekal dan ini berarti semua makhluk akan binasa. Kehidupan manusia
dan makhluk lain di alam semesta ini hanya sementara. Semuanya akan berakhir ketika
saatnya tiba dan bagi yang hidup akan berakhir dengan kematian. Ada banyak ayat yang
menjelaskan hal ini, seperti firman Allah SWT. sebagai berikut:
ِ ۗ ْ‫س َذ ۤا ِٕىقَةُ ْال َمو‬
َ‫ت ثُ َّم اِلَ ْينَا تُرْ َجعُوْ ن‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
Artinya: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu
dikembalikan.” (QS> Al-‘Ankabut [29]: 57).
Pastinya setiap makhluk yang merupakan segala sesuatu yang diciptakan akan berakhir
baik itu kematian, kehancuran atau kepunahan. Hanya Khaliq, Pencipta Alam Semesta, yang
tetap abadi. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT melalui firman-Nya sebagai berikut:

ٌ ِ‫ع َم َع هّٰللا ِ اِ ٰلهًا ٰا َخ ۘ َر ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل هُ ۗ َو ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬


َ‫ك اِاَّل َوجْ هَهٗ ۗ لَهُ ْال ُح ْك ُم َواِلَ ْي ِه تُرْ َجعُوْ ن‬ ُ ‫َواَل تَ ْد‬

9
Artinya: “Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala
keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS. Al-
Qasas [28]: 88).

2.4 Kaedah-Kaedah Fiqh (Qawaid Fiqhiyyah) Dalam Pengurusan Alam Sekitar


Islam adalah agama yang sederhana dan sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Dalam
praktik hukum Islam, ada aturan-aturan tertentu yang telah digunakan untuk melaksanakan
sesuatu agar tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sesuai dengan sumber
hukum Islam yaitu al-Quran, al-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qias, maka ruang pembahasan suatu
hukum terbuka lebar sesuai dengan perjalanan waktu dan waktu namun tetap dalam lingkup
yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah.
Qawaid Fiqhiyyah merupakan salah satu ilmu yang muncul untuk membahas
permasalahan hukum yang terjadi. Penggunaan kaedah ini tidak hanya terbatas pada masalah
hukum yang berkaitan dengan ibadah saja tetapi dapat digunakan dalam konteks yang lebih
luas termasuk dalam aspek pengelolaan lingkungan. Hal ini karena lingkungan sangat
penting bagi kesejahteraan hidup manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.
Ringkasnya, Qawaid Fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah fiqh dalam hukum Islam yang
menjadi dasar untuk memahami dan mengembangkan fiqh Islam (Muhd Zuhdi & Amer
Saifud, 2002). Oleh karena itu, Qawaid Fiqhiyyah merupakan ilmu yang penting dalam ilmu-
ilmu keislaman karena merupakan salah satu ilmu yang dibahas dalam fiqh Islam oleh para
ulama fiqh. Dengan Qawaid Fiqhiyyah juga seorang peneliti fiqh dapat memahami dan
mengetahui suatu hukum secara detail dan memperluas pemikirannya dalam hal-hal yang
berkaitan dengan syariat.
2.5 Pembahagian Kaedah-Kaedah Fiqh (Qawaid Fiqhiyyah)
Menurut mazhab Syafii, ada lima metode yang telah disepakati untuk digunakan dalam
masalah hukum dan kelimanya adalah induk dari semua metode fikih (Hasan & Mohd. Salleh
2002). Diantaranya:
A. Setiap Perkara Bergantung Kepada Niat
Niat mengandung makna seseorang memaknai sesuatu atau meqasadkan sesuatu dan
disertai dengan perbuatan khusus untuk mencari keridhaan Allah SWT (Ibn Nujaym & Zayn
al-`Abidin 1998). Kaedah ini berarti setiap item dievaluasi dengan melihat motif dan tujuan

10
yang ingin diperoleh. Ini juga berarti setiap hal atau tindakan dinilai dan tergantung pada niat
seseorang. Jadi, setiap amalan yang dilakukan oleh seorang mukallaf tergantung pada apa
yang dia niatkan (al-Syeikh Ahmad 1998). Kaedah ini juga mengandung makna amalan dan
perbuatan seseorang baik perbuatan maupun perkataan, hukumnya berbeda karena berbeda
maksud dan amalan seseorang dan perbuatannya atau hukum Islam dalam setiap urusan dan
urusan manusia akan terbentuk berdasarkan maksud atau niatnya. Sebaliknya, hal ini karena
tujuan penting dari niat yang ditentukan adalah untuk membedakan praktik ibadah dan adat
istiadat serta untuk membedakan standar ibadah antara sesama manusia (Hasan & Mohd.
Salleh 2002). Ini juga berarti bahwa setiap amalan apakah pahala atau dosa tergantung pada
niat pembuatnya dan curahan hatinya (qasad) (Muhamad al-Ruki 1998). Kaedah ini
bersumber dari hadits Rasullullah SAW yang artinya:
Artinya: “Sesungguhnya setiap pekerjaan diperhitungkan berdasarkan niatnya dan
sesungguhnya bagi setiap orang apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrah karena
dunia yang ingin diperolehnya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya
berdasarkan apa yang ia hijrahkan.” (H.R. Bukhari).
Contoh yang dapat disajikan dalam aspek lingkungan adalah:
1. Pembangunan proyek perumahan untuk kebutuhan manusia dapat diterima tetapi pada
saat yang sama kesejahteraan lingkungan harus dilestarikan dan segala kerusakan
permanen yang dapat mempengaruhi ekosistem kehidupan di bumi harus dihindari.
2. Pembakaran pohon untuk tujuan penanaman kembali dengan maksud untuk menghemat
biaya atau menghindari pemborosan ditolak karena asap yang dikeluarkan ke udara dapat
mencemari lingkungan meskipun niat penanaman kembali itu baik. Ini karena ada
inisiatif lain dalam mengimplementasikan hal tersebut.
3. Nelayan mencari rezeki yang halal tetapi dengan mencicipi ikan tidak dapat diterima
karena mencicipi ikan dapat membunuh banyak jenis ikan yang tidak dibutuhkan dan
dapat menimbulkan bencana bagi manusia serta menimbulkan masalah pencemaran air.
4. Menerima hadiah dan suap dalam menyetujui suatu proyek pembangunan yang
bermanfaat ditolak karena suap itu sendiri dilarang dalam Islam meskipun pembangunan
yang dilakukan bermanfaat bagi umat.

11
B. Keyakinan Tidak Terhapus Dengan Keraguan
Arti dari pernyataan tersebut adalah bahwa hal-hal yang diyakini terjadi ketika keraguan
muncul yang menimbulkan keraguan pada keyakinan tidak akan dihitung. Dengan kata lain,
hal yang asli dan meyakinkan tidak boleh dibiarkan begitu saja karena kecurigaan atau
keraguan (Muhd Zuhdi & Amer Saifude 2002). Jika seseorang yakin akan sesuatu dan
hukumnya ditetapkan, kemudian ada keragu-raguan atau keragu-raguan terhadap keyakinan
tersebut, maka keyakinan yang asli itu tetap ada dan tidak perlu melakukan perbuatan baik
atau berpegang pada perasaan ragu-ragu yang ada pada diri sendiri. (Muhamad al-Ruki
1998). Kaedah ini berasal dari sabda Rasullullah SAW yang artinya:
“Jika seseorang di antara kalian dalam keraguan dalam shalatnya, dia tidak ingat berapa
rakaat yang telah dia lakukan, tiga atau empat, biarkan dia mengesampingkan keraguan
dengan keyakinan dan berpegang pada apa yang meyakinkan.” (H.R. Muslim).
Kaedah di atas sangat relevan dalam konteks kepedulian lingkungan. Contoh yang dapat
disajikan adalah sebagai berikut:
1. Membuang sampah atau limbah beracun ke laut atau sungai diyakini dapat
menghancurkan kehidupan dan keracunan air harus dihindari.
2. Penebangan liar telah terbukti menyebabkan pemanasan global dan tanah longsor harus
dihindari.
3. Perencanaan kota diperlukan untuk tertib pembangunan karena jika tidak dapat
mengakibatkan banjir bandang.
4. Pembakaran hutan dan sampah secara terbuka pasti akan mencemari udara dan
menimbulkan kabut asap yang harus dihindari.
C. Kesulitan Mengundang Kesenangan
Kaedah ini berarti bahwa ketika ada kesulitan atau kesulitan dalam memenuhi dan
melaksanakan perintah Allah, maka perintah itu dimudahkan tidak seperti semula (Al-Syeikh
Ahmad 1998). Hal ini juga berarti bahwa hukum Islam dapat diterapkan dalam waktu dan
situasi kapan pun dan di mana pun yaitu dengan memberikan keleluasaan dan kelegaan
ketika seseorang mengalami kesulitan dan kesulitan. Kaedah ini berdasarkan firman Allah
SWT sebagai berikut:

َ‫ي ُِر ْي ُد هّٰللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِر ْي ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر ۖ َولِتُ ْك ِملُوا ْال ِع َّدةَ َولِتُ َكبِّرُوا هّٰللا َ ع َٰلى َما ه َٰدى ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬

12
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Selain itu, terdapat juga sabda Rasullullah SAW. yang dapat disesuaikan dengan kaedah ini
yaitu:
Artinya: “Permudahkanlah dan janganlah menyukarkan” (H.R. Bukhari).
Dengan argumentasi-argumentasi tersebut, jelas menunjukkan bahwa Islam membawa
konsep kemudahan dan kelegaan bagi umatnya, bukan kesempitan dan kesengsaraan dengan
syarat harus menentukan kesulitan yang menjadi penyebab keringanan (Abdul Latif &
Rosmawati 2000). Contoh yang dapat diajukan untuk metode ini adalah:
1. Penyembelihan hewan tertentu harus dilakukan sebelum makan. Namun, dalam keadaan
tertentu, jika ada kesulitan dalam menangkap bintang, kewajiban menyembelih
dihapuskan. Misalnya boleh memakan hewan yang mati karena ditembak, ditembak, atau
karena hewan pemburu seperti anjing, asalkan ditujukan pada saat melepaskan anak
panah, menembak, atau saat melepaskan hewan pemburu tersebut (Muhamad Ismail
t. .th).
2. Dibolehkan memakan hewan yang mati dalam kandungan akibat disembelih induknya,
asalkan anak dalam kandungannya dalam keadaan sempurna dan masih hidup (Muhamad
Ismail t.th).
3. Islam mendorong umatnya untuk membudayakan amalan shadaqah. Namun, tidak semua
orang mampu berzakat melalui harta. Jadi ada alternatif lain yang bisa dilakukan.
Misalnya, kata "takbir", "tahmid" dan "tahlil" adalah sadaqah. Selain itu, amar ma'ruf
nahi munkar juga termasuk sedekah. Demikian pula buah dari tanaman yang dimakan
oleh manusia atau bintang juga merupakan sedekah (Mustafa 2005). Singkatnya, setiap
perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang adalah sedekah.
D. Kemudaratan Dihapuskan
Kaedah ini berarti jika ada kerugian maka harus dihilangkan. Ini juga berarti bahwa
sesuatu yang dapat menyebabkan dan membahayakan harus dihilangkan dan dihindari dan
harus dihilangkan (Al-Syeikh Ahmad 1998). Oleh karena itu, kerusakan dan kerugian
terhadap diri sendiri dan orang lain tidak dapat dilakukan tetapi harus dihindari atau
dihilangkan, termasuk yang berkaitan dengan hak-hak publik. Jumhur ulama juga

13
menetapkan bahwa segala sesuatu yang dapat merugikan umat Islam harus dihindari (Abdul
Latif & Rosmawati 2000). Kaedah ini lahir dari firman Allah SWT. sebagai berikut:

َ‫ط َمع ًۗا اِ َّن َرحْ َمتَ هّٰللا ِ قَ ِريْبٌ ِّمنَ ْال ُمحْ ِسنِ ْين‬ ِ ْ‫َواَل تُ ْف ِس ُدوْ ا فِى ااْل َر‬
َ ‫ض بَ ْع َد اِصْ اَل ِحهَا َوا ْد ُعوْ هُ خَ وْ فًا َّو‬
Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah
sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raf [7]: 56)

Sabda Rasullullah SAW :


Artinya: “Tidak ada mudarat dan tidak memudaratkan” (H.R.Ahmad dan Hakim).
Contoh yang dapat disesuaikan dengan metode ini dalam konteks lingkungan adalah:
1. Pendalaman sungai untuk mencegah banjir besar dapat dilaksanakan.
2. Drainase atau penyaluran air limbah rumah ke jalan umum harus dihindari karena dapat
menimbulkan masalah bagi masyarakat dan dapat merusak jalan.
3. Membangun jalan raya di daerah yang berisiko longsor dan mengubur sungai untuk
membangun jalan harus dihindari.
4. Penggunaan pestisida, pembuangan limbah beracun dan penggunaan senjata kimia dalam
peperangan harus dihindari karena segala sesuatu yang dapat menyebabkan cedera,
kematian, keracunan, kepunahan dll harus dihilangkan.
E. Adat Kebiasaan Dijadikan Sumber Hukum
Adat berarti hal-hal yang diulang-ulang menurut kebiasaan suatu kelompok dengan cara
tertentu dan diterima secara logis (Al-Syeikh Ahmad 1998). Ini juga berarti apa yang
merupakan praktik umum dari orang-orang atau kelompok di antara mereka. Secara
keseluruhan, adat adalah apa yang diketahui manusia sebagai suatu kebiasaan yang terjadi
dalam kehidupannya baik berupa perkataan maupun perbuatan (Abdul Latif & Rosmawati
2000). Kaedah ini berarti adat dapat diartikan sebagai hukum atau adat yang menentukan
hukum. Para ulama telah menetapkan bahwa uruf dan adat merupakan salah satu sumber
hukum tanpa adanya nas (Ibn Nujaym & Zayn al-`Abidin 1998). Uruf berarti sesuatu yang
telah diketahui oleh manusia atau masyarakat dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka
untuk menaatinya baik itu perkataan, perbuatan bahkan hal-hal yang tidak mereka lakukan
(Hasan & Mohd. Salleh 2002). Jika uruf atau adat tersebut bertentangan dengan nas maka
akan ditolak karena menetapkan uruf dan adat yang buruk dengan mengesampingkan nas

14
yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaedah
ini lahir dari firman Allah SWT sebagai berikut:
ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬
َ‫ف َواَ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهلِ ْين‬
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh.”(QS. Al-A’raf [7]: 199).

Berdasarkan Hadith Rasullullah SAW yang artinya:


Artinya: “Apa yang dinilai oleh kaum muslimin itu baik, ia adalah baik di sisi Allah, dan
apa yang dinilai buruk oleh kaum Muslimin, buruklah ia di sisi Allah” (H.R. Al-Hakim).
Meskipun uruf dapat dijadikan sebagai sumber hukum tetapi pada kenyataannya bukan
merupakan dalil atau sumber hukum tersendiri. Jadi, uruf sebenarnya tidak lebih dari sebuah
kaedah fiqh yang dapat dimanfaatkan selama pelaksanaan hukum-hakam dan tidak akan
meningkat ke tingkat sumber atau bukti (Hasan & Mohd. Salleh 2002). Ringkasnya, segala
urusan adat yang tidak bertentangan dengan keyakinan, syariat dan akhlak dapat diterima dan
diamalkan di masyarakat. Di antara syarat-syarat agar uruf dijadikan hukum adalah sebagai
berikut:
 Uruf tidak berlawanan dengan nas syarak.
 Uruf telah diamalkan oleh masyarakat secara menyeluruh dan meluas.
 Uruf yang digunakan dalam sesuatu tindakan sudah wujud ketika melakukan
tindakan tersebut, iaitu uruf telah mendahului waktu tindakan dan berterusan
sehingga masa berlakunya tindakan itu.
 Tidak wujud perkataan atau perbuatan yang jelas menyalahi uruf.
Diantara contoh lingkungan yang dapat dikaitkan dengan adat istiadat yang dapat
dijadikan hukum adalah :
1. Makan "dhab" yang merupakan praktik komunitas tertentu di Arab disertifikasi oleh
Islam.
2. Menggunakan daun-daun tumbuhan sebagai atap rumah atau untuk membungkus
makanan bagi masyarakat Melayu.
3. Pembayaran upah atau gaji sebelum pekerjaan tersebut siap dilakukan atau sebelum
sampai tempoh masa.
4. Upaya penyerbukan dan persilangan pada pohon untuk meningkatkan hasil
diperbolehkan oleh Islam.

15
BAB III
PEMBAHASAN/ANALISIS

3.1 Pembahasan Isi Jurnal


Jurnal ini membahas penggunaan metode fiqh (Qawa'id Fiqhiyyah) dalam pengelolaan
lingkungan dan solusi permasalahan lingkungan yang terjadi. Di antara aspek
pembahasannya adalah hakikat ciptaan Tuhan serta keistimewaan manusia sebagai pengelola
alam yang tidak hanya menyangkut karunia akal dan penataan fisik tetapi juga
pengembangan ilmu pengetahuan yang akan membawa pada kemakmuran alam semesta.
Manusia diberkahi oleh Tuhan dengan akal dan hati untuk berpikir dan merasakan. Selain itu,
mereka juga diberkahi dengan anggota untuk mencoba dan bertindak. Kesatuan antara
berserah diri kepada Tuhan dan berusaha akan semakin memperkuat sistem pengelolaan yang
ada di muka bumi ini. Setiap hal yang akan dilakukan oleh manusia harus sesuai dan sesuai
dengan syariat serta berpedoman pada dua sumber utama, yaitu Al-Qur'an dan Hadist.
Kaidah fiqh (Qawaid Fiqhiyyah) sangat penting untuk dipahami oleh setiap manusia,
terutama oleh mereka yang terlibat langsung dalam aspek pengelolaan termasuk pengelolaan
lingkungan. Tanpa pemahaman ini berbagai hal negatif akan terjadi pada kehidupan. Namun
yang penting, aturan-aturan tersebut merupakan salah satu langkah atau cara untuk
membahas suatu undang-undang berdasarkan keadaan, bukan untuk menetapkan undang-
undang tentang hal-hal tertentu. Oleh karena itu, dengan meluasnya penggunaan kaidah fiqh
di berbagai bidang akan dapat membantu manusia mengelola dunia ini dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Jelasnya,
kaidah-kaidah fiqh telah membantu dalam pengelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan
ketentuan syariat agar lingkungan yang ada tidak dieksploitasi secara sewenang-wenang dan
menyadarkan masyarakat akan tanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan untuk
kesejahteraan hidup. kehidupan di dunia dan akhirat.
Lalu, sebelum memasuki kaedah-kaedah fiqhiyyah dalam pengaplikasiannya kepada
pengursan alam sekitar, dijelaskan terlebih dahulu bahwasanya manusia merupakan satu-
satunya makhluk Allah S.W.T yang istimewa karena dipilih sebagai khalifah-Nya di muka
bumi. Pemilihan itu merupakan suatu rencana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada
para Malaikat. Dan masuk kepada sifat-sifat alam tersebut, setelah itu kesinambungkan

16
diantaraya dengan kaedah-kaedah fiqhiyyah dalam pengurusan alam, serta dimasukkan
contoh dalam kehidupan sehari-hari setiap pembagian kaedah fiqh tersebut.
Dari situ kita ketahui bahwasanya, Islam adalah agama yang sederhana dan sesuai dengan
fitrah penciptaan manusia. Dalam praktik hukum Islam, ada aturan-aturan tertentu yang telah
digunakan untuk melaksanakan sesuatu agar tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-
Sunnah. Sesuai dengan sumber hukum Islam yaitu al-Quran, al-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qias,
maka ruang pembahasan suatu hukum terbuka lebar sesuai dengan perjalanan waktu dan
waktu namun tetap dalam lingkup yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah.

3.2 Kelebihan dan Kekurangan Isi Jurnal


A. Kelebihan
 Diawalan jurnal disajikan abstrak dengan dua bahasa. Mulai dari abstrak, pendahuluan
hingga kesimpulan jurnal ini sudah sangat bagus. Inti dari judul dengan isi jurnal yang
dipaparkan berkesinambungan dan tidak bertele, dapat materi yang ingin disampaikan
penulis tersebut kepada kita para pembaca.
 Dari isi jurnal, pembahasan yang diberikan sangat dapat dan mudah dipahami. Walaupun
dia merupakan jurnal internaisonal, dia menggunakan penggunaan bahasa atau tata
bahasa yang baik dan benar, sehingga saat diterjemahkan kedalam bahasa kita, isinya
langsung dapat dipahami dan tidak menyulitkan penulis untuk mereview jurnal tersebut.
Bahkan setiap pembahasan diberikan contoh atau perumpamaan yang terjadi di alam
maupun yang kita kerjakan, hal ini tentu memudahkan pembaca memahami inti
pembahasan.
 Dari identitas jurnal yang dipaparkan sudah lengkap dan rinci. Lalu rujukan yang pakai
juga dari buku tafsir-tafsir dan ulama itu sendiri.
B. Kekurangan
Tidak disediakan ayat Al-Qur’an didalam jurnal, hanya artinya dari ayat tersebut saja.
Dalam penulisan arti ayat Al-qur’an sebaiknya digunakan garis miring dan lebih dirapikan
lagi. Tidak diberikan point angka atau huruf sebagai penanda judul, hal ini membuat
pembaca kesusahan dalam memahami isinya, walaupun isinya bagus dan padat. ada beberapa
kali terdapat pengulangan kaliamta yang membuat pemborosan kata, selebihnya jurnal ini
sudah baik keseluruhannya. Intinya, butuh kerapian lagi agar pembaca tidak bingung dalam
membaca jurnalnya, selebihnya tidak ada kekurangan yang signifikan yang terlihat.

17
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Amalan pengurusan atau praktik pengurusan merupakan satu elemen yang telah
dipraktikkan sejak zaman Nabi Adam a.s. Sejarah awal menujukkan faktor akidah, akhlak
dan syariah merupakan penentu utama sesuatu pengurusan alam sekitar. Syariat Islam kaya
akan berbagai pedoman bagi manusia untuk hidup sebagai khalifah Allah di muka bumi. Kita
sudah tahu bahwa syariah adalah inti dari Islam dan di dalamnya terdapat berbagai bidang
ilmu yang memiliki aturannya masing-masing. Di antara aspek pembahasannya adalah
hakikat ciptaan Tuhan serta keistimewaan manusia sebagai pengelola alam yang tidak hanya
menyangkut karunia akal dan penataan fisik tetapi juga pengembangan ilmu pengetahuan
yang akan membawa pada kemakmuran alam semesta. Oleh karena itu, artikel ini akan
membahas penggunaan metode fiqh (Qawa'id Fiqhiyyah) dalam pengelolaan lingkungan dan
solusi permasalahan lingkungan yang terjadi berdasarkan metode tersebut. Biasanya sebagian
besar ulama memahami dan menerapkan aturan fiqh ini dalam konteks ibadah tertentu saja.
Pemahaman tentang metode fiqhiyyah dan relevansinya dalam pengelolaan lingkungan akan
dapat memberikan kontribusi terhadap pelestarian lingkungan.
4.2 Saran
Jurnal apapun yang hendak kita baca dan kaji alangkah lebih baiknya disesuaikan dengan
kebutuhan. Dan jurnal apapun yang kita baca hendaklah jadikan jurnal tersebut untuk
menambah wawasan pembaca. Disarankan jurnal lebih dirapikan lagi agar kedepannya jurnal
ini lebih bagus dan sempurna lagi. Karena, dari segi isi jurnal ini sudah bagus. Lalu, dalam
penulisan makalah ini penulis tidak mungkin bisa luput dari kesalahan dan kekhilafan dari
pembuatan makalah. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan pesan yang dapat
membangun dari pembaca dalam pembuatan makalah ini yang jauh lebih baik lagi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Awang, K., & Zainal Abidin, M. Z. (2011). Pengaplikasian Qawa’id Fiqhiyyahdalam


Pengurusan Alam Sekitar. Perspektif: Jurnal Sains Sosial Dan Kemanusiaan, 3(1), 39 -
59. Diambil dari https://ejournal.upsi.edu.my/index.php/PERS/article/view/1591

19

Anda mungkin juga menyukai