Anda di halaman 1dari 21

MATA KULIAH DOSENPEMBIMBING

ILMU PENDIDIKAN AKHLAK SYAHRI KISMANTO,S.Ud,M.Pd.I

MAKALAH
KONSEP UNIVERSALITAS DAN RELATITIVITAS DALAM

PENDIDIKAN AKHLAK

Oleh :

RAHMAH

Nim : 021.05.03.1896

NELI PRONEKA

Nim : 021.05.03.1889

JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI ( PAUD )

FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM ( IAI )

DAR ASWAJA ROKAN HILIR

1443/2021 M

1
RIAU

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Ilmu Pendidikan Akhlak dengan judul
Konsep Universalitas dan Relatitivitas dalam pendidikan akhlak. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat sedikit kekurangan
dan belum sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……………………….………………………………. i

DAFTAR ISI……………………………….………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………….… 1

B. Rumusan Masalah……………………………………… ….…….… 2

C. Tujuan ………………………………………………………….…… 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Apa pengertian universalisme danr elativisme


B. Apa pengertian etika dan norma
C. Bagaimana arti norma yang bersifat universalitas
D. Bagaimana arti relativitas norma dan penggolongannya
E. Apa saja Persoalan-Persoalan yang Menyangkut Universalitas dan
Relatifitas Norma Moral

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................

B. Saran.............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai


dan norma moral yang terwujud sikap pola perilaku hidup manusia baik
secara pribadi maupun kelompok.

Dalam hal etika, akan muncul pertanyaan- pertanyaan yang menuntut


sikap kritis dan rasional seperti: Apakah yang dilarang oleh masyarakat kita
memang benar-benarhal yang buruk? Dan apakah hal yang dinilai tinggi oleh
masyarakat kita memang benar-benar baik ? Mengapasaya harus selalu jujur ?
Dengan demikian akan muncul berbagai pandangantentang universitas dan
relativitas norma dalam etika.

Para penganut relativisme moral yang kultural mengatakan bahwa


semua kepercayaan dan prinsip moral bersifat relatif bagi setiap kebudayaan
dan pribadi.

Terhadap pandangan tersebut, harus kita akui bahwa dalam kehidupan


ini kita sering mengamati adanya perbedaan pola perilaku moral.Hanya saja
kita tidakbisa menyangkal bahwa ada suatu struktur universal dan hakikat
manusia yang mengaruh kepada diterimanya prinsip-prinsip moral dasar yang
serupa bahkan sama dalam semua kebudayaan.

4
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:.

F. Apa pengertian universalisme danr elativisme ?


G. Apa pengertian etika dan norma ?
H. Bagaimana arti norma yang bersifat universalitas?
I. Bagaimana arti relativitas norma dan penggolongannya?
J. Apa saja Persoalan-Persoalan yang Menyangkut Universalitas dan
Relatifitas Norma Moral ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa pengertian universalisme danr elativisme.
2. Apa pengertian etika dan norma.
3. Untuk mengetahui Bagaimana arti norma yang bersifat universalitas.
4. Untuk mengetahui Bagaimana arti relativitas norma dan penggolongannya.
5. Untuk mengetahui Apa saja Persoalan-Persoalan yang Menyangkut
Universalitas dan Relatifitas Norma Moral.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Universalisme dan Relativisme

Universal artinya umum. Universalisme sebagai suatu ajaran etik


berarti sesuatu itu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada
orang banyak.Pengertian universal disini sifatnya sangat umum, tidak konkret.
Bila pengertian universal di pertentangkan dengan individual, itu berarti
bahwa dalam pengertian tersebut individu tidak tercakup di dalamnya.Jadi,
berpikir secara universalisme berarti memikirkan kepentingan umum, dimana
diri sendiri sebagai individu tidak terdapat di dalamnya, tapi umum yang telah
baik itu berakibat memberikan pula kebaikan kepada diri pribadi (hanya tidak
secara langsung).

Merupakan usaha menunjukkan kenyataan bahwa norma-norma moral


yang berlaku dalam berbagai kebudayaan dan masyarakat tidak sama satu
dengan yang lainnya karena nilai-nilai budaya menjadi sumber utama, prinsip
moral bersifat kreatif bagi setiap kebudayaan dan pribadi ini di dasarkan pada
kenyataan bahwa baik buruknya suatu tindakan berbeda antara yang satu dan
yang lain. Dan tidak ada tolak ukur moral yang bersifat absolut dan universal
bagi semua orang dimana saja dan kapan saja. Dengan pola pikir demikian,
tolak ukur moral dilihat hanya sebagai produk sejarah yang di lestarikan
melalui adat kebiasaan.

B. Etika dan Norma

Menurut Magnis Suseno, etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah
ajaran yang memberikan kita norma tentang bagaimana kita hidup
seharusnya.

Secara umum Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara


mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam

6
hidupnya.Walaupun dalam penilaian etis situasi harus selalu turut
dipertimbangkan, namun kebanyakan masalah di bidang etika tidak
disebabkan karena terjadi konflik antara norma dan situasi, dalam arti bahwa
situasi merongrong atau memperlemah norma.1

Etika mencari yang mengikat kita semua sebagai manusia. Justru


karena itu kita bisa berdiskusi tentang masalah-masalah etis dan dan
mengkritik perilaku moral orang lain. Bagi para penyusun Undang-Undang
dasar 1945, misalnya: kolonialisme merupakan suatu masalah etis, karena
penjajahan itu ”tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Karena itu mereka tidak berpendapat bahwa penjajahan harus ditiadakan
diwilayah Indonesia saja, melainkan bahwa “penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan”.

Fungsi etika adalah memberikita orientasi bagaimana dan bagaimana


kita harus melangkah dalam hidup ini.

1. Macam-Macam Etika
a. Etika deskriptif merupakan etika yang berbicara mengenai fakta apa
adanya yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu
fakta yang berkaitan dengan situasi dan realitas konkrit yang
membudaya .
b. Etika Normatif merupakan etika yang berbicara mengenai norma-
norma yang menuntun tingkah laku manusia.
2. Sistematika Etika
a) Etika Umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan yang
membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
b) Etika khusus merupakan prinsip prinsip moral dasar dalam bidang
kehidupan yang khusus. Ada 2 macam etika khusus :
 Etika Individu = Menyangkut kewajiban dan sikap manusia
terhadap diri sendiri.
 Etika Sosial = Mengenai kewajiban sikap dan pola perilaku
manusia sebagai anggota manusia.

1
Ahmad Amin, Etika (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1995)

7
c) Tujuan dan fungsi etika sosial : Untuk menggungah kesadaran kita
akan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama
dalam dimensinya.

Norma merupakan pedoman bagaiman kita harus hidup dan bertindak


secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar penilaian mengenai baik
buruknya perilaku dan tindakan kita.

Norma dibedakan menjadi dua macam :

1. Norma Khusus

Norma khusus yaitu aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan


atau kehidupan yang khusus, misalnya menyangkut aturan bermain dalam
olahraga, aturan mengenai mengunjunggi pasien rumah sakit dan
sebagainya.

2. Norma Umum

Norma umum yaitu norma yang mempunyai sifat lebih umum dan
universal.Norma umum ini ada tiga macam:

a) Norma sopan santun

Norma sopan satun yakni norma yang mengatur pola prilaku


dan sikap lahiriyah,misalnya: tata cara bertamu, tata cara duduk, tata
cara makan, tata cara minum, dan sebagainya.Norma sopan santun ini
lebih menyangkut tat cara lahiriyahdan pergaulan sehari
hari.Walaupun sikap dan perilaku lahiriyah ini bersumber dari dalam
hati dan karena itu mempunyai kualitas moral, namun sikap lahiriyah
itu sendiri tidak bersifat moral.

b) Norma Hukum

Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh


masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan
masyarakat, Misalnya: menaati peraturan marka jalan.

c) Norma Moral

8
Norma moral yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku
manusia sebagai manusia dan merupakan tolak ukur yang di pakai
untuk menentukan baik buruk manusia sebagai manusia.

Seperti norma-norma yang lain juga, norma moral pun


dirumuskan dalam bentuk positif atau negatif.

Dalam bentuk positif norma moral tampak sebagai perintah


yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya: kita harus
menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar.
Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang
menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan
membunuh, jangan berbohong, dan lain sebagainya.2

Norma moral bersifat kategoris atau tidak bersyarat, tidak


dimaksudkan sebagai aturan yang bersyarat, melainkan bersifat
mutlak. Sifatnya yang tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan
”wajib”. Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetapi justru kalau
kita mengerjakan, kita akan merasa ringan, karena setelah itu merasa
“tidak mempunyai beban” apapun.

Norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa di


taklukan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-
norma yang lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis,
karena misalnya didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka
norma itu harus kalah terhadap norma moral. Demikian halnya juga
dengan norma hukum. Jika ada undang-undang yang dianggap tidak
etis, maka undang-undang itu harus dihapus, atau diubah. Dan
sepanjang sejarah hal itu sudah sering terjadi.Dan perintah tidak
bersyarat, tidak berasal dari pengalaman. Perintah kesusilaan berasal
dari kenyataan yang transenden. Disini terdapat kecenderungan yang
bersifat “deontis” yang menekankan pada aspek keharusan. Tetapi
norma susila atau moral bertujuan untuk membentuk manusia yang
utuh, atau mengembalikan harkat kemanusiaan yang sebenarnya. jadi
2
K.Bertens, Etika (Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 149.

9
apabila orang taat dengan norma moral, ada kemungkinan akibat yang
didapatkan justru bukan merupakan akibat yang dihadapkan sebagai
konsekuensi dari perbuatan. Taat kepada norma moral, bisa berarti
selamat, tetapi selamat tidak selalu berarti dengan bermanfaat.

Ada baiknya, kita menyimak kritik dari kaum positivis bahwa


pada umumnya “kesalahan” yang dilakukan adalah menganjurkan
suatu perbuatan susila dengan menunjukan akibat-akibat langsung
yang menyenangkan dan memberikan kesukaan.Sehingga
menimbulkan suatu kritik bahwa kebanyakan norma moral, perintah
berbuat susila, ungkapan susila sebagai norma, perintah dan ungkapan
yang emosional saja. Kritik ini dimulai dengan menunjukan dua
kalimat kognitif, yaitu:

 Kalimat kognitif analitikyang kebenarannya terkandung dalam


istilahnya.Contohnya : “segi empat mempunyai empat sisi”.
 Kalimat kognitif yang sintetik, kebenarannya terkandung dalam
realitas. Contohnya : “Diluar ruang ini hujan turun”.

C. Universalitas Norma Moral

Norma yang bersifat universalitas merupakan norma yang bersifat


umum dan berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat dunia, serta memiliki
keabsolutan yang mutlak. Sebagaimana telah dijelaskan dalam alqur’an
bahwa dalam hakekatnya norma moral bersifat universal.

Firman Allah surat Al-a’rof ayat 158

Artinya : Katakanlah, "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah


kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi;
tidak ada Tuhan (yang berhak disemba h) selain Dia, yang menghidupkan
dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi
yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".

10
Kalau norma moral bersifat absolut, maka tidak boleh tidak norma itu
harus juga universal, artinya harus berlaku selalu dan dimana-mana. Mustahil
norma moral yang berlaku di satu tempat tapi tidak berlaku di tempat lain.

Suatu aliran dalam pemikiran moral yang menolak adanya norma


universal adalah “etika situasi”. Menurut para pengikutnya, tidak mungkin
ada nilai-nilai moral yang berlaku umum, sebab setiap situasi berbeda-beda.
Setiap situasi adalah unik.Bagaimana mungkin merumuskan norma-norma
yang umum itu? Hal itu tentu mustahil. Karena itu hanya situasilah yang
menentukan apakah suatu tindakan dapat dikatakan baik atau buruk dari segi
moral. Baik buruknya tidak tidak bias ditentukan secara umum, terlepas dari
keadaan konkret.

Dalam bentuk ekstrimnya etika situasi ini tidak bisa dipertahankan.


Tapi tidak sangkal juga bahwa disini terkandung unsur kebenaran. Hal ini
akan kita selidiki dengan beberapa pertimbangkan kritis.

a) Tanpa ragu-ragu akan kita setujui bahwa perbuatan-perbuatan moral


tertentu tidak tergantung dari situasi. Misalnya, pemerkosaan tidak dapat
di terima sebagai cara untuk memenuhi nafsu seksual, bagaimanapun
situasinya. Atau tindakan terorisme, seperti meledakan pesawat terbang,
sehingga mengakibatkan manusia yang tidak bersalah. Mungkin kita
mengerti motif-motif teroris. Mungkin mereka memperjuangkan territorial
mereka yang sah. Tapi tidak pernah kita setujui. Tentang kasus-kasus yang
tadi,banyakorang-orang yang sepakat bahwa disiniberlaku norma-norma
yang universal. Norma-norma itu selalu dan dimana-mana.
b) Tapi jika kita menolak etika situasi yang ekstrim, kita harus menolak juga
lawanya, yaitu legalisme moral. Dengan legalisme moral dimaksudkan
kecenderungan untuk menegakan nilai moral secara buta, tanpa
memikirkan sedikitpun situasi yang berbeda-beda. Legalismemoral
menegakan hukum moral demi hukum moral saja. Dalam hal ini mereka
tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. Padahal faktor-faktor diluar
norma moral itu seringkali penting untuk menilai kualitas suatu perbuatan.
Misalnya kejujuran merupakan suatu norma yang umum. Mencuri barang

11
orang lain tidak pernah dapat di benarkan. Tapi dalam kasus seorang
miskin mencuri ayam, tentu penilaian etis kita harus berbeda dengan
koruptor kelas kakap menyelewengkan milyaran rupiah. Kita harus
mengakui kepada pengikut etika situasi bahwa dalam menerapkan norma
moral kita harus mempertimbangkan keadaan konkrit.
c) Walaupun dalam penilaian etis situasi selalu harus di pertimbangkan,
namun kebanyakan masalah di bidang etika tidak di sebabkan karena
terjadi konflik antara norma dan situasi, dalam arti situasi itu merongrong
atau memperlemah norma. Pada umumnya norma itu sendiri di
pertanyakan, tapi menjadi masalah bagaimana norma itu harus diterapkan.
Hal itu terutama bisa tampak dengan dua cara :
 Kadang-kadang norma memang jelas, tetapi menjadi pertanyaan,
apakah suatu kasus konkrit terkene oleh norma tersebut atau tidak?
 Bisa juga masalahnya mengambilbentuk “dilema moral”, artinya
konflik antara dua norma. Kalau ada dua norma yang mewajibkan kita,
tapi keduanya tidak dapat dipenuhi sekaligus, norma apa yang
harusdipatuhi, dan norma apa yang harus di tinggalkan?3

D. Relativitas Norma Moral

Pendapat antropolog budaya seperti Ruth Benedict bahwa yang lazim


dilakukan dalam suatu kebudayaan sama dengan baik secara moral, harus
ditolak. Perbuatan moral yang di dasarkan atas nilai dan norma yang berbeda-
beda tidak semua sama baiknya. Melawan relativisme moral yang ekstrim itu
kita tegaskan : norma moral tidak relatif, melainkan absolut.

Tapi dilain pihak sulit juga untuk diterima bahwa nilai moral
seabsolutseperti yang di bayangkan Plato. Misalnya bagi filsuf yunani norma
moral seolah-olah sebagai suatu kaidah yang tetap dan terubahkan. Kalau kita
memandang sejarah atau kita mempelajari data-data yang di kumpulkan oleh
antropologi budaya, perlu kita akui bahwa nilai moral sering sudah berubah.

3
K. Bertens. Etika(Jakarta: GramediaPustakaUtama, 1994), hlm. 162-164.

12
Seperti contoh, perbudakan: berabad-abad lamanya lembaga seperti
perbudakan diterima begitu saja dalam banyak masyarakat, tanpa keberatan
apapun. Jangan kita lupa bahwa dalam Bitish Empire ( kerajaan–kerajaan
Inggris bersama koloni-koloninya ) perbudakan baru di hapus pada tahun
1833, di Amerika Serikat pada tahun 1865 dan Brazil dalam beberapa tahap,
hingga baru tahun 1888 terhapus seluruhnya.

Pada zaman kuno Aristoteles, salah seorang ahlietika terbesar dalam


sejarah pemikiran, bahkan mengajukan argumen-argumen untuk
membenarkan perbudakan sebagai berikut:Bangsa-bangsa Barbar, katanya
mempunyai akal budi yang kurang bermutu dibanding orang Yunani. Mereka
bisa mengerti akal budi Yunani, tapi mereka tidak bisa menggunakan akal
budinya sendiri dengan cara mandiri. Budak “menurut kodratnya adalah alat
yang di gunakan oleh tuanya “ dan dalam hal ini mereka tidak berbeda
banyak dari binatang jinak”. Padahal menurut etis perbuatan itu tidak dapat di
benarkan. Dalam Deklarasi tentang Hak-Hak Asasi Manusia Universal : “tak
seorangpun boleh diperbudak atau di perabdi, perbudakan dan perdagangan
budak harus dilarang dalam segala bentuknya”.4

Tapi yang penting ialah bahwa perubahan norma tidak menempuh


arah apa saja. Kalau kita telaah dengan cermat, perubahan norma terjadi
selalu menuju ke penyempurnaan norma. Itu berarti perubahan norma di
tentukan oleh norma yang lebih tinggi.

Paul Edward dalam Encyclopedia of Philosophy menggolongkan


bentuk relativisme ke dalam 3 macam:

1. Relativisme kultural

Misalnya “ dikatakan hak berbicara merupakan hak yang universal,


tetapi mengapa di Indonesia mempunyai aturan yang berbeda dengan di
Amerika?”

“ Mengapa sampai terjadi perbedaan antara bunuh diri di tempat


lain dengan Harakiri di Jepang?”

4
V. Held, Etika Moral (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm. 179.

13
“ Bagaimana dengan kebiasaan suku Eskimo yang membunuh
orang tuanya yang sudah renta justru sebagai perwujudan rasa cinta dan
menghormati?”

Disinilah letak dari relativisme kultural, kita melihat perbedaan,


tetapi sebelum melangkah lebih jauh, yang paling penting melihat
kesamaan nilai dasarnya. Dalam contoh diatas terdapat kesamaan dalam
hal menghormati salah satu hak asasi manusia. Contoh yang kedua terletak
dalam pengertian bahwa setiap tingkah laku perbuatan kita harus di hadapi
dengan tanggung jawab, dan contoh ke tiga, terletak pada penghormatan
dan rasa cinta kepada orang tua.

Melihat kesamaan nilai dasar dan pengakuan terhadap adanya


perbedaan inilah yang justru dapat menerangkan mengapa ada reletivisme
ini. Yang tidak boleh, sampai menjerumuskan kita dalam suatu pandangan
bahwa norma saya baik dan norma orang lain buruk dan menganggap
bahwa itu sebagai prinsip dasar, yang akan menghilangkan makna nilai
dasar. Justru perbedaan situasi dan kondisi itulah yang menuntut untuk di
terangkan secara tidak sama.

Artinya, budaya Indonesia tidak menerima bicara dan


mengemukakan pendapat secara terang-terangan, atau barangkali Negara
Indonesia terlalu menganggap resiko menanggung akibat kebebasan
bicara, baik dari segi politik, ekonomi, dan kebudayaan sendiri.

Artinya, Harakiri di Jepang bersangkutan erat dengan moral, faham


moral Jepang terletak pada unsur-unsur, bertanggung jawab sampai
sejauh-jauhnya, kalau perlu dengan mengorbankan diri sendiri, terhadap
suatu tugas yang telah disanggupi dan kesetiaan mutlak terhadap kesatuan
sosial yang sudah dipilih untuk di ikuti, jadi Harakiri di Jepang itu sebagai
sikap tanggung jawab.

Artinya, membunuh orang tua renta di Eskimo bisa di terangkan


secara rasional sebagai usaha membebaskan orang tua dari penderitaan,
sebab kita toh bisa membayangkan, menanti maut di hawa dingin , bukan

14
suatu pekerjaan yang ringan. Jadi membunuh orang tua renta di Eskimo
adalah sikap berbuat baik kepada sesama (membantu).

2. Relativitas Normatif

Misalnya ada pertanyaan,”apakah benar norma yang umum harus


diterangkan begitu saja dalam kehidupan”. “Apa sebabnya timbul
bermacam-macam norma, disini kita bisa berbicara di sana tidak”.

Kita sering melihat sebagian orang menganggap bahwa jika ada


pertanyaan norma moral yang sifatnya universal itulah yang memecahkan
seluruh persoalan. Kalau ada pernyataan, “Saya harus jujur”, maka
pernyataan itu harus dipegang secara kaku, dengan mengabaikan
pertimbangan yang lain. Padahal, adanya kasus menunjukkan bahwa
ternyata memang dibutuhkan norma khusus untuk menangani situasi dan
kondisi yang sifatnya khusus pula. Sehingga meskipun dibutuhkan prinsip
universal, sering prinsip tersebut tidak dapat memecahkan masalah
kongkrit begitu saja.

Tetapi harus diingat, tidak pula kita beranggapan bahwa tidak ada
kriteria mutlak, baik dan buruk. Kita masih percaya adanya kriteria itu,
sebab pengertian dan kesadaran adanya kriteria mutlak baik dan buruk
itulah dasar pengajaran, dan pendidikan etika dan tanpa itu kita mustahil
dapat menghayati ajaran etika atau bahkan agama.

Contoh Relativisme Normatif : sifat jujur merupakan prinsip yang


mutlak, tetapi dalam kehidupan suami istri, kita toh harus
“menyembunyikan” sebagian pengalaman masa lampau demi kebahagiaan
dan keutuhan rumah tangga.

Kebebasan Bicara satu prinsip dalam hak asasi manusia yang


bersifat umum universal. Tetapi layakkah dalam ruang sidang, peserta
diskusi bicara satu sama lain selagi seorang pemrasaran sedang bicara?
Layakkah apabila kebebasan berbicara dipakai pula untuk membuat fitnah
terhadap seseorang atau kelompok lain.

15
Menolong Orang adalah tindakan yang bermoral, jikalau ada orang
yang jatuh di sungai,kita melihatnya itu kewajiban kita untuk
menolongnya, menurut norma moral umum. Tetapi apabila kita tidak ada
di tempat kejadian, atau tidak memiliki alat untuk menolongnya, atau tidak
bisa berenang dan kita memaksakan diri untuk menolong, maka kita akan
menjadi orang yang palin tolol di dunia.

Kita harus menafsirkan norma yang umum sebagai aspirasi yang


meliputi dan menjiwai dan dalam pelaksanaannya kita memperhitungkan
syarat-syarat pendukung, mempertimbangkan kemampuan dan tergantung
dari situasi dan kondisi pelaksanaan.

3. Relativisme Metaetika

Schumacher mengatakan, ”Di dalam keseluruhan filsafat, tak ada


mata pelajaran yang lebih kacau ketimbang etika. Setiap orang meminta
bimbingan tentang bagaimana sebaiknya ia bertingkah laku dan datang
kepada profesor etika, tidak akan mendapatkan sesuatu pun, kecuali banjir
“pendapat”. Dengan sedikit kekecualian, mereka memulai suatu
penyelidikan mengenai etika tanpa sebelumnya mendapat kejelasan
tentang maksud manusia hidup di bumi”.

Jelaslah bahwa mustahil untuk menentukan apa yang baik dan


buruk, benar atau salah, bajik atau durjana tanpa suatu gagasan tentang
maksud baik untuk apa dan sebagainya. Jika pedoman kita, peta kehidupan
kita yang bercatatan, tak dapat memperlihatkan kepada kita di mana
letaknya yang baik dan bagaimana yang baik itu dapat dicapai. Maka peta
itu tak berguna”

Semua manusia kata Sidney Hook lebih sepakat mengenai apa


yang baik dan apa yang buruk dari pada mengapa hal-hal tersebut baik dan
mengapa buruk. Semua orang mengakui bahwa kesehatan baik, penyakit
buruk, keadilan baik, ketidak adilan buruk, pengetahuan baik,
ketidaktahuan buruk, dan sebagainya.

16
Tidak ada pertentangan paham mengenai nilai-nilai dasar etik ini,
akan tetapi ada ketidak pahaman mengenai arti pernyataan metaetik serta
pembenarannya. Semua nilai dasar tersebut begitu dituangkan dalam
norma, akhirnya pertanyaan “mengapa” semua itu baik dan buruk akan
mendapatkan jawaban yang berbeda. Barangkali benar apa yang dikatakan
Kurt Baier tentang adanya titik pangkal moral. Kenyataan bahwa kita
sering tidak mencapai kesepakatan pendapat dalam norma moral hanya
menunjukkan bahwa kita tidak mampu menempati titik pangkal moral
tersebut berupa :

a) Apabila semua pihak bebas dari paksaan dan tekanan


b) Tidak mencari keuntungan sendiri
c) Tidak berpihak dan berat sebelah
d) Bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang dapat berlaku
umum
e) Mempunyai pengertian teoritik yang jelas
f) Mengetahui semua informasi yang bersangkutan dengan masalahnya

Persoalannya, apabila norma etika diragukan kedudukannya


sebagai suatu batasan, kesulitan yang timbul merupakan atas dasar apakah
perbuatan manusia dinilai baik buruknya.

Akhirnya, persoalan yang menyangkut metaetika, adalah persoalan


yang rumit. Pertanyaan tentang hakikat keadlian, ketidak adilan, kebaikan
dan keburukan, seringkali tak dapat dijawab secara memuaskan. Norma
etika harus bersifat terbuka, artinya terbuka kepada setiap pembenaran,
penyangkalan, maupun terbuka dalam arti tidak menganggap normanya
sendiri paling benar dan norma orang lain salah.

E. Persoalan-Persoalan yang Menyangkut Universalitas dan Relatifitas Norma


Moral

17
Ada fakta fundamental tentang hidup secara susila, manusia
dalamseluruh aspek hidupnya bergantung dari norma. Dan salah satunya
adalah norma moral. Norma moral mewajibkan manusia secara mutlak, tetapi
di samping itu ia tidak memaksa orang. Di sinilah makna kebebasan untuk
memilih, untuk mau taat kepada norma moral ataupun tidak. Di sini norma
moral mengadakan dorongan terus menerus, tetapi orang bisa saja menentang
perintah norma moral, barangkali di sini dapat dikerjakan tetapi di lain pihak
tidak dapat dikerjakan. Sebab apabila manusia menentang norma moral, ia
tahu bahwa ia berbuat buruk, ia tegur oleh “insan kamil” nya. Dan ada rasa
bersalah serta menyesal.

Norma moral tidak bersifat hipotetis atau bersyarat (hipotetis adalah


norma yang berlaku apabila manusia hendak mencapai tujuan tertentu).
Misalnya aturan perkuliahan yang menyatakan bagaimana orang harus kuliah,
supaya cepat lulus dengan nilai baik, secara formal, maupun mutu yang
sebenarnya. Jadi aturan-aturan itu berlaku bagi orang yang ingin lulus dan
ingin jadi sarjana, sedangkan bagi orang lain yang memandang kelulusan dan
kesarjanaan itu lebih rendah daripada hal lain, maka aturan itu akan
diabaikan. Dan norma bersyarat itu didasarkan pada pengalaman. Kita bisa
menyusun suatu aturan untuk mencapai tujuan tertentu, karena dari
pengalaman, kita bisa mengambil kesimpulan, pengalaman itulah yang bisa
membawa secara cepat dan tepat ke arah tujuan.

Tetapi norma moral juga bersifat kategoris atau tidak bersyarat.


Misalnya, “jangan membunuh”, “jangan mengambil hak orang lain”, tidak
dimaksudkan sebagai aturan yang bersyarat melainkan bersifat mutlak.
Sifatnya yang tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan “wajib”. Suatu
ungkapan khas norma moral yang dikatakan sebagai ikatan yang
membebaskan. Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetapi justru kalau
kita mengerjakan, kita akan merasa ringan karena sesudah itu merasa tidak
mempunyai beban apapun.5

5
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika (Jakarta: PT.Grafindo Persada, 1995), hlm. 131-
132.

18
Dan perintah tidak bersyarat ini bukan berasal dari pengalaman.
Perintah kesusilaan berasal dari kenyataan yang sudah pasti, perintah-perintah
susila semacam itu tidak mempertimbangkan akibat-akibatnya. Di sini
terdapat kecenderungan yang bersifat “deontis” yang menekankan pada aspek
keharusan. Dan apabila etika juga dikatakan bersifat “teleologis” yang
menekankan pada aspek tujuan.

Tujuan yang dimaksud, bukan berarti perintah kesusilaan yang


menekankan pada akibat-akibat langsung dari perbuatan manusia. Tetapi
norma susila atau moral bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh dan
mengembalikan harkat manusia yang sebenarya. Jadi apabila orang taat
kepada norma moral, ada kemungkinan akibat yang didapatkan justru bukan
merupakan akibat yang dihadapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan. Ada
kemungkinan di dalam kehidupan manusia, perbuatan baik dicela dan
perbuatan buruk dipuji, taat kepada norma moral bisa berarti selamat, tetapi
selamat tidak selalu berarti dengan bermanfaat. Oleh karena itu pula, secara
moral tidak dapat diterima, apabila orang berbuat kebaikan demi upah.
Apabila ada upah yang berwujud materi, misalnya ini hanya sebagai akibat
perbuatan yang baik, yang tidak dimaksudkan sebagai tujuan utama sebelum
perbuatan itu dilakukan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

19
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan dapat disimpulkan,
secara umum Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai
nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam
hidupnya.Universalitas dalam etika sebagai suatu ajaran etik berarti sesuatu
itu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak.

Sedangkan. Relatifitas norma dalam etika berusaha menunjukkan


kenyataan bahwa norma- merupakan nilai dan norma moral yang menentukan
perilaku manusia dalam norma moral yang berlaku dalam berbagai
kebudayaan masyarakat tidak sama satu dengan yang lainnya.

B. Saran

Dengan diselesaikannya makalah ini penulis berharap makalah ini


dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang universalitas
dan relativitas mengenai norma dalam etika.Selanjutnya penulis juga
mengharapkan kritik dan saran guna peningkatan kualitas dalam penulisan
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, 1995, Etika (Jakarta: PT.Bulan Bintang.

Achmad Charris Zubair, 1995, Kuliah Etika (Jakarta: PT.Grafindo Persada.

20
Djatnika, Rachmat. 1992. Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia) Jakarta: Pustaka
Panjimas.

K.Bertens, 1993,Etika (Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama,

K.Bertens. 1994,Etika(Jakarta: GramediaPustakaUtama.

Magnis Suseno, Frans. 1987. Ethika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat


Moral. Yogyakarta. Kanisius.

Salam, Burhanuddin. 1997. Ethika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia.
Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

V. Held, 1991,Etika Moral (Jakarta: Erlangga,

http://pemudamuslim-indonesia.blogspot.com/2021/11/makalah-berbagai-
pandangan-tentang.html. Di akses pada tanggal 20 November 2021 pukul
22:00

21

Anda mungkin juga menyukai