Daksina
Daksina
Daksina sebagai banten tidak berdiri sendiri, tetapi dilengkapi dengan: tegteg, peras dan ajuman.
Maka: daksina, tegteg, peras, ajuman satu set dinamakan ‘pejati’. Asal kata pejati adalah ‘sujati’
artinya sungguh-sungguh bhakti (apara bhakti) kehadapan-Nya.
Oleh karena itu pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja,
selalu ada pejati. Dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
Di India saya menemukan hal yang sama, di mana-mana mereka menghaturkan pejati, apakah di
Mandir, atau di sungai Gangga, Yamuna, dll. Pejati di India dianggap banten yang istimewa.
Namun di sana bentuknya agak lain, tidak menggunakan telur dan kelapanya tidak dikupas. Tentu
saja jejahitannya juga tidak ada. Di Tabanan juga saya melihat kelapa tidak dikupas. Berbeda
penampilan, tetapi maknanya sama.
Ada yang namanya daksina linggih merupakan daksina sebagai simbol ‘pelinggihan Ida Bhatara’
tidak memakai tegteg, peras, dan ajuman. Juga telor diganti dengan tingkih. Kemudian
‘serembengnya’ dibungkus kain putih kuning.
DAKSINA
Terdiri atas:
Dengan demikian maka daksina (baik daksina alit, pekala-kalaan dan krepa) adalah simbol
Sanghyang Widhi, stana Sanghyang Widhi, sarana inti yadnya, persembahan terima kasih, dan
pesaksi.
PEJATI
SESANTUN