Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

STUDI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL


“TRADISI MASYARAKAT LUWU YANG BERSESUAIAN DAN
BERTOLAK BELAKANG DENGAN AMALIYAH PUASA SUNNAH
DIBULAN SYAWAL”

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Perkulihan


Mata Kuliah Studi Islam dan Budaya Lokal.
Dosen Pengampu: Asghar Marzuki, S. Pd., M. Pd.

DISUSUN OLEH:
1. M. CHOIRUDDIN ALI SYAHPUTRA (2002010033)
2. ROSMAYANTI (2002010035)
3. TIRDA SAFITRI (2002010041)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM IV B


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah
dengan judul “TRADISI MASYARAKAT LUWU YANG BERSESUAIAN
DAN BERTOLAK BELAKANG DENGAN AMALIYAH PUASA SUNNAH
DIBULAN SYAWAL”. Salawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat-sahabat dan pengikut-
pengikutnya sampai hari penghabisan.
Atas bimbingan dari Dosen Studi Islam dan Budaya Lokal dan saran dari teman-
teman maka disusunlah Makalah ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat
berguna bagi kami semua dalam memenuhi tugas dari mata kuliah Studi Islam dan
Budaya Lokal dan semoga segala yang tertuang dalam Makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pembaca dalam rangka membangun
khasanah keilmuan. Makalah ini disajikan khusus dengan tujuan untuk memberi
arahan dan tuntunan agar yang membaca bisa menciptakan hal-hal yang lebih
bermakna.
Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:
1. Dosen Pembimbing mata kuliah Studi Islam dan Budaya Lokal, Bapak, Asghar
Marzuki, S. Pd., M. Pd.
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran
yang bersifat membangun kepada para pembaca guna perbaikan langkah-langkah
selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata.

Palopo, 02 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 1
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3


A. Massiarah .................................................................................... 3
B. Kupatan (Lebaran Ketupat) ......................................................... 5

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 9


A. Kesimpulan ................................................................................. 9
B. Saran ............................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10


LAMPIRAN .......................................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Amalan yang paling dianjurkan kepada umat muslim dibulan syawal ialah

puasa syawal. Selain puasa syawal banyak amalan-amalan masyarakat di bulan

syawal yang merupakan tradisi turun menurun baik yang bersesuaian dengan

puasa syawal maupun yang bertolak belakang dengan puasa syawal. Maka dari

itu kami melakukan observasi dan wawancara kepada masyarakat Luwu untuk

mengetahui lebih lanjut terkait tradisi-tradisi yang dimaksud guna

memperbaiki yang keliru dan meneruskan yang bermanfaat atau yang

bersesuaian dengan amaliah puasa sunnah syawal. Dengan ini kami

mengangkat judul “Tradisi Masyarakat Luwu yang Bersesuaian dan Bertolak

Belakang Dengan Amaliyah Puasa Sunnah Dibulan Syawal”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas kami merumuskan beberapa masalah

sebagai berikut:

1. Apa itu tradisi massiarah?

2. Bagaimana kesesuaian tradisi massiarah dengan puasa syawal?

3. Apa itu tradisi kupatan atau lebaran ketupat?

4. Bagaimana kesesuaian tradisi lebaran ketupat dengan puasa syawal?

1
C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas kami ingin mencapai tujuan penelitian

sebagai berikut:

1. Agar mahasiswa memahami terkait tradisi massiarah.

2. Agar mahasiswa mengetahui kesesuaian tradisi massiarah dengan puasa

syawal.

3. Agar mahasiswa memahami terkait tradisi kupatan atau lebaran ketupat.

4. Agar mahasiswa mengetahui kesesuaian tradisi kupatan atau lebaran

ketupat dengan puasa syawal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. MASSIARAH

Massiarah adalah tradisi masyarakat di Sulawesi Selatan pada umumnya.

Massiarah disini terbagi menjadi dua yaitu massiarah kepada ahli kubur atau

yang telah meninggal dan massiarah kepada tetangga ataupun kerabat terdekat.

Massiarah kepada Ahli Kubur biasanya dilakukan menjelang Ramadhan dan

setelah Ramadhan. Massiara dikubur ini biasanya dilakukan dengan

membersihkan makam atau kuburan keluarga lalu membacakan doa-doa

seperti Al-Fatihah, Yasin, dan Tahlil kepada ahli kubur karena masyarakat

mempercayai hal itu dapat meringankan siksa kuburnya. Adapun Massiarah

kepada tetangga ataupun keluarga itu sering kali dilakukan pada saat hari raya

besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha untuk mempererat hubungan tali

silaturahim dan saling maaf memaafkan demi memperkokoh ukhuwah

islamiyah masyarkat.

Massiarah atau dalam bahasa Indonesianya Silaturahim itu biasanya

dirangkaikan dengan kegiatan salam-salaman, saling maaf memaafkan dan

juga bercerita antara tamu dan tuan rumah. Adapun topik cerita ataupun

pembicaraannya itu beragam, mulai dari masalah agama, politik, sosial,

ekonomi dan lain-lain yang sedang hangat di bahas oleh masyarakat (Isu

Kontemporer). Disela-sela pembahasan itu tuan rumah juga menyediakan

suguhan berupa makanan ringan seperti kue-kue hingga makanan berat seperti

nasi, opor ayam, rendang dan lain sebgainya.

3
Tradisi Massiarah dikalangan masyarakat Luwu seringkali diisi dengan

kegiatan makan-makan, baik makan kue maupun makanan yang berat yang

biasa kita kenal dengan burasa. Biasanya burasa ini mereka sajikan dengan

hidangan coto, bakso, konro, opor, dan lain sebagainya. Sehingga setiap tamu

yang datang dirumah langsung di ajak masuk ke ruang makan untuk menyantap

hidangan yang telah disiapkan oleh tuan rumah. Acara massiarah ini

dikalangan masyarakat Luwu seringkali dilakukan selama 3 hari berturut-turut

setelah lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha, namun ini juga kondisional

tergantung daripada tuan rumah, jika masih memiliki hidangan makanan maka

ia akan tetap membuka rumahnya untuk tamu sampai hidangan yang mereka

miliki itu habis.

Berkaitan dengan hal tersebut dalam Islam ada sebuah ibadah sunnah

dibulan syawal atau setelah hari raya Idul Fitri yaitu puasa sunnah 6 (enam

hari). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kami di Masyarakat Luwu,

mayoritas dari mereka tidak melakukan ibadah sunnah ini, hanya beberapa

orang saja yang melakukan seperti Imam Desa, Guru TPA, Masyarakat yang

dipandang agamis dan Tokoh Agama lainnya. Maka dari itu kami dapat

menganalisa bahwa Masyarakat Luwu pada umumnya meninggalkan ibadah

puasa sunnah syawal ini dikarenakan adanya tradisi Massiarah yang mengajak

kepada tamu untuk terus makan disetiap rumah yang ia datangi. Maka dari itu

kami beranggapan bahwa tradisi Massiarah ini bertolak belakang dengan

ibadah puasa sunnah syawal. Karena Massiarah ini mengajak orang makan

sedangkan puasa sunnah syawal menganjurkan untuk menahan segala yang

4
membatalkan puasa, salah satunya itu makan. Sehingga tradisi Massiarah ini

mungkin bisa di ubah tata caranya yaitu dihari pertama kita mengajak para

tamu untuk menyantap makanan yang telah kita hidangkan dan dihari

seanjutnya kita melakukan Massiarah tanpa acara makan-makan dan hanya

berfokus kepada maaf-maafan, dan menyambung tali silaturahim untuk

mempererat Ukhuwah Islamiyah Masyarakat.

B. KUPATAN (LEBARAN KETUPAT)

Kupatan atau Lebaran Ketupat ini merupakan tradisi masyarakat suku Jawa

pada umumnya. Kupatan ini memiliki sejarah sehingga berakulturasi dengan

agama Islam sehingga dapat membangun semangat masyarakat untuk

melakukan ibadah puasa sunnah dibulan syawal. Wilayah Luwu ini kita ketahui

bahwa bukan hanya masyarakat bersuku Bugis, namun Sebagian juga ada dari

suku Jawa yang dimana mereka merupakan masyarakat transmigran ataupun

perantau, sehingga tradisi kupatan ini juga biasa dilakukan di beberapa daerah

di wilayah Luwu, bahkan yang suku Bugispun juga ikut berpartisipasi dalam

merayakan kupatan atau lebaran ketupat ini. Namun dibeberapa daerah di

Luwu seperti daerah Jl. Pongsimpin Kota Palopo yang mayoritasnya

Muhammadiyah dan Wahdah tidak melakukan tradisi ini dikarenakan tidak ada

contoh dari Nabi Muhammad SAW. Sehingga mereka hanya melakukan puasa

Sunnah Syawal tanpa lebaran ketupat atau kupatan.

Seperti yang telah dibahas diatas kupatan ini memiliki sejarah yang sangat

Panjang dimulai dari sebuah ketupat. Ketupat sebenarnya sudah ada sejak

zaman Hindu-Budha di Jawa. Pada tahun 1600-an, di mana Islam mulai

5
menyebar di Jawa, ketupat diperkenalkan dengan filosofi bermakna. Sosok

yang memperkenalkan filosofi ketupat adalah Raden Mas Sahid atau yang

dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Pada masa ini, Sunan Kalijaga

memperkenalkan ketupat sebagai makanan dengan filosofi khas lebaran.

Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku

Lepat dan Laku Papat. Ketupat menjadi simbol perayaan hari raya Idulfitri

pada masa kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.

Lebaran ketupat dilaksanakan tiap 8 Syawal di mana sebelumnya umat

Islam melakukan puasa Syawal pada tanggal 2-7 Syawal. Perayaan tradisi

lebaran ketupat ini dilambangkan sebagai simbol kebersamaan dengan

memasak ketupat dan mengantarkannya kepada sanak kerabat. Berbagai

macam ketupat disajikan dalam menyambut makna tradisi lebaran ketupat oleh

masyarakat Jawa ini. Ada ketupat glabed yang berasal dari Tegal, ketupat

babanci dari Betawi serta ketupat bawang khas Madura.

Puasa 6 hari di bulan syawal ini merupakan ibadah sunah yang sangat

dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW karena keutamaannya yang sangat

besar.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di

bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR Muslim).

Setelah mempelajari sejarahnya tentu penting juga untuk kita mengetahui

makna filosofis dari ketupat itu sendiri. Ketupat memiliki arti ngaku lepat, yaitu

mengakui kesalahan. Semua manusia pasti punya kesalahan dan sebaik-

6
baiknya orang adalah mereka yang mau mengakui kesalahannya. Selain itu dari

seluruh komponennya kupat memiliki arti lagi. Mari kita bahas satu persatu.

Dimulai dari bahannya yaitu janur. Janur menurut filosofis Jawa merupakan

kepanjangan dari sejatine nur yang melambangkan seluruh manusia berada

dalam kondisi yang bersih dan suci setelah menlaksanakan ibadah puasa.

Selain itu, juga menurut orang Jawa, Janur memiliki kekuatan magis sebagai

tolak bala. Karena itu banyak juga yang menggantungkan kupat di depan pintu

rumah mereka sebagai tawasul agar jauh dari bala. Dan selanjutnya dari

anyaman kupat yang sangat rumit memiliki arti bahwa hidup manusia itu juga

penuh dengan liku-liku, pasti ada kesalahan di dalamnya. Kupat juga memiliki

bentuk segi empat yang menggambarkan empat jenis nafsu dunia yaitu al

amarah, yakni nafsu emosional; al lawwamah atau nafsu untuk memuaskan

rasa lapar; supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah; dan

mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Dan orang yang memakan kupat

menggambarkan pula telah bisa mengendalikan keempat nafsu tersebut setelah

melaksanakan ibadah puasa.

Selanjutnya, isi ketupat yang berbahan beras sebagai bentuk harapan agar

kehidupannya dipenuhi dengan kemakmuran. Selain itu saat kita membelah

ketupat, kita akan menjumpai warna putih yang mencerminkan kita memohon

maaf atas segala kesalahan dan juga berharap bisa seputih isi kupat tersebut.

Terakhir, dari cara memakan ketupat yaitu dengan sayur cecek dan lain

sebagainya, terkhusus biasanya berbahan santen. Santen berarti juga

pangapunten, yaitu memohon maaf atas kesalahan. Dari itu ada istilah

7
“Mangan kupat nganggo santen. Menawi lepat, nyuwun pangapunten (makan

ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan”.

Jadi dari sejarah maupun hasil observasi dan wawancara yang telah kami

lakukan di Wilayah Luwu Khususnya di daerah Pongsimpin Kota Palopo, Desa

Tolada dan Lantang Tallang di Luwu Utara. Kupatan itu harusnya dilakukan

pada hari ke 8 di bulan Syawal dikarenakan hari ke 2 hingga ke 7 digunakan

untuk berpuasa sunnah Syawal. Dan Kupatan ini juga harus dilakukan oleh

orang yang telah melaksanakan ibadah puasa sunnah syawal. Ketika kita tidak

mampu melakukannya maka tidak pantas untuk melakukan kupatan atau

lebaran ketupat ini.

Kupatan secara tidak langsung mengajarkan kita untuk melaksanakan

ibadah puasa sunnah syawal, sehingga dapat kami simpulkan bahwa tradisi

kupatan ini sangat bersesuaian dengan ibadah puasa sunnah di bulan syawal.

Oleh sebab itu, Tradisi Kupatan ini harus dilestarikan dan terus diamalkan agar

masyarakat memiliki semangat yang besar untuk melakukan ibadah puasa

sunnah di bulan syawal.

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Di Wilayah Luwu terdapat dua suku mayoritas, yaitu: Suku Jawa dan Suku

Bugis. Sehingga kami juga menemukan dua buah tradisi yang berbeda yaitu

Massiarah dan Kupatan. Massiarah merupakan tradisi suku bugis yang juga

memiliki dua makna yaitu massiarah kepada ahli kubur dan massiarah kepada

tetangga ataupun kerabat. Namun seperti yang telah di jelaskan sebelumnya

bahwa tradisi massiarah ini alangkah baiknya di modifikasi sedikit dikarenakan

tidak bersesuaian dengan ibadah puasa sunnah di bulan syawal. Sedangkan

tradisi kupatan yang dilakukan oleh mayoritas suku Jawa itu sudah bersesuaian

dengan ibadah puasa sunnah di bulan syawal bahkan membangkitkan gairah

atau semangat masyarakat untuk melaksanakannya. Sehingga kami

menyarankan untuk terus dilakukan, dijaga, dan dirawat tradisi kupatan ini,

agar tidak hilang atau bahkan dihilangkan oleh kelompok-kelompok tertentu

yang sering menyalahkan atau membid’ahkan suatu tradisi di masyarakat.

B. SARAN

Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari para pembaca,

karena kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna.

Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

para pembaca yang dengan itu semua kami harapkan makalah ini akan menjadi

lebih baik lagi.

9
DAFTAR PUSTAKA

Hasil Observasi dan Wawancara di Desa Lantang Tallang, Kecamatan Karawak,

Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Rabu, 01 Juni 2022.

Hasil Observasi dan Wawancara di Desa Tolada, Kecamatan Malangke,

Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kamis, 02 Juni 2022.

Hasil Observasi dan Wawancara di Jl. Pongsimpin Kelurahan Mungkajang,

Kecamatan Mungkajang, Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Senin, 30 Mei

2022.

NU Online. 2021. “Dibalik Sejarah Tradisi Kupatan Serta Nilai Filosofisnya”.

https://banten.nu.or.id/fragmen/dibalik-sejarah-tradisi-kupatan-serta-

nilai-filosofisnya-8D7Jf diakses pada Kamis 02 Juni 2022.

10
LAMPIRAN

11

Anda mungkin juga menyukai