Anda di halaman 1dari 15

BAB

DAMPAK
Tiga NEGATIF
NANOMATERIAL

S
A. PENDAHULUAN
esungguhnya, partikel berskala nanometer telah ada di
belahan bumi kita sejak jutaan tahun yang lalu dan
manusia pun tanpa menyadari telah memanfaatkannya
sejak ribuan tahun yang lalu. Namun, dengan adanya revolusi
teknologi termasuk nanoteknologi, dalam beberapa tahun terakhir
ini para ilmuwan telah mensintesis nanomaterial dan
mengaplikasikannya untuk berbagai produk industri di antaranya
industri elektronik, medis, farmasi, dan kosmetik dengan menunjukkan
produk nano yang memiliki kelebihan/keunggulan dibandingkan
dengan produk-produk yang tidak menggunakan nanoteknologi.
Akibatnya, dapat menarik perhatian dunia dan tren nanoteknologi
berkembang pesat mendunia (Guzmán dkk., 2006).
Berdasarkan informasi, terdapat keseimbangan antara tingkat
produksi dan pemanfaatan nanomaterial yang tidak memadai.
Produksi pada tahun 2004 hanya sekitar 2000 ton, diharapkan pada
tahun 2020 dapat meningkat hingga 58000 ton. Akan tetapi, dengan
peningkatan produksi yang exponensial ini juga akan meningkatkan
paparan nanomaterial yang tinggi terhadap lingkungan dan juga
manusia/makhluk hidup lainnya. Hal ini berpotensi menimbulkan
dampak negatif sehingga menjadi problem baru yang perlu
diantisipasi.
Mengingat ukuran nanomaterial antara 1-100 nm, yaitu ukuran
yang tidak dapat diamati secara visual dengan mata secara langsung
maka perlu menjadi perhatian khusus bagi siapa pun yang mempunyai
keterlibatan pekerjaan dengan nanomaterial. Selain itu, juga sangat
perlu mempunyai pengetahuan tentang nanomaterial.
Nanomaterial dapat diklasifikasikan menjadi dua grup yaitu
nanomaterial alam dan sintetis. Penggolongan ini selanjutnya dapat
digolongkan lagi menjadi subgrup nanomaterial organik dan
anorganik (mineral). Dalam hal ini fulerence dan CNT yang berasal
dari geogenic atau pyrogenic digolongkan sebagai nanomaterial alami.
Adapun nanomaterial sintetis dapat diproduksi dengan teknik tertentu
sesuai karakter bahan dan kebutuhan yang disebut rekayasa
nanomaterial.
Dalam hal ini, selain memiliki keunggulan, nanomaterial juga
memiliki kelemahan atau efek negatif terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia. Beberapa dampak negatif yang dibahas pada bab
ini adalah efek terhadap lingkungan yang secara tidak langsung juga
dapat memberikan efek terhadap kesehatan manusia. Selain itu, juga
efek toksisitas yang ditimbulkan oleh berbagai jenis nanomaterial
terhadap kesehatan manusia.

B. EFEK NANOMATERIAL TERHADAP LINGKUNGAN


Penggunaan dari hasil produksi dan pembuangan setelah
penggunaan akan selalu menyebabkan pelepasan sesuatu ke
lingkungan. Aliran pembuangan air limbah, tempat pembuangan air
dan pembakaran produk yang mengandung nanomaterial adalah
contoh suatu sistem yang berakhir di lingkungan dan memungkinkan

26 HARINI SOSIATI
terjadinya pencemaran, seperti dilukiskan pada Gambar 3.1. Dalam
hal ini, perilaku nanomaterial di lingkungan diharapkan tidak hanya
pada karakter fisis dan kimia dari produk, melainkan juga karakteristik
lingkungan yang menampungnya atau menerimanya (Chen dkk.,
2011; Chen & Elimelech, 2008; Lead dkk., 2018).

GAMBAR 3. 1 ILUSTRASI POTENSI PELEPASAN DAN PAPARAN MATERIAL/PARTIKEL BERSKALA NANO.

Dalam grup nanomaterial, nanopartikel didefinisikan sebagai


material berdimensi dua dengan ukuran 1-100 nm, seperti yang telah
diuraikan pada Bab-1. Nanopartikel yang ada di udara merupakan
partikel yang sangat halus (ultrafine particles). Sementara itu, jika berada
di dalam tanah atau terkandung dalam air, nanopartikel biasanya
berada dalam bentuk koloid dengan rentang ukuran yang sedikit
berbeda dengan yang ada di udara. Nanopartikel cenderung
teraglomerasi atau menggumpal, sedangkan di udara terbuka, hasil
pembakaran diesel dan bahan bakar gasoline menjadi gas buang
kendaraan merupakan sumber pencemaran yang berkontribusi ke
area yang sangat luas. Di dalam gas buang tersebut tidak menutup
kemungkinan adanya kandungan nanopartikel yang jumlahnya dapat
mencapai lebih besar dari 36% dari total konsentrasi gas buang (Klaine
dkk., 2008). Nanopartikel yang telah berada di lingkungan tentunya

PENGANTAR NANOMATERIAL 27
memiliki berbagai karakter yang berbeda, diantaranya ada yang
beracun yang dapat berpengaruh pada kesehatan manusia. Selain
berpengaruh terhadap manusia, tentunya dapat juga berpengaruh
terhadap tumbuhan dan hewan yang secara tidak langsung dapat
juga berpengaruh terhadap manusia. Salah satu keunggulan sifat
nanomaterial/nanopartikel yaitu besarnya luas permukaan persatuan
massa dapat meningkatkan potensi untuk mengikat kontaminan
organik dan anorganik.
Adapun jenis nanopartikel yang memiliki potensi sifat toksik dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Selan-
jutnya, akan dibahas beberapa jenis nanopartikel anorganik dan
dampak negatifnya.

C. DAMPAK NEGATIF TERHADAP KESEHATAN MANUSIA


Banyak produk industri yang telah memanfaatkan nanomaterial
karena keunggulan sifat nanomaterial yang dapat meningkatkan
berbagai sifat fisis, mekanis, dan kimia produk. Namun, perlu diketahui
bahwa nanomaterial memiliki berbagai karakter, ada yang mengun-
tungkan dan ada pula yang merugikan, di antaranya yaitu yang memi-
liki sifat toksik (beracun).
Semua informasi tentang efek positif dan negatif, keuntungan dan
kerugian nanomaterial, serta potensi aplikasinya, diperoleh melalui
hasil penelitian, klarifikasi secara ilmiah menggunakan miksroskop
elektron dan metode analisis yang modern. Selain itu, dapat diketahui
juga sifat-sifat konduktivitas listriknya, stabilitasnya, reaktivitasnya,
dan toksisitasnya (Ai dkk., 2011).
Seperti telah diketahui, bahwa nanomaterial memiliki sifat yang
lebih dibandingkan dengan mikro/makromaterial. Sebagai contoh-
nya, satu gram material yang berfungsi sebagai katalis yang memiliki
ukuran partikel 100 nm akan lebih reaktif 100 kalinya dibanding

28 HARINI SOSIATI
dengan partikel yang berukuran 1 µm. Oleh karena itu, perlu waspada
terhadap nanomaterial yang memiliki sifat toksik. Dalam hal ini,
beberapa sifat partikel seperti ukuran partikel, kimia permukaan dan
oksidatif stress berperan penting pada nanotoksisitas. Selian itu, faktor
kristalinitas partikel juga merupakan parameter penting yang perlu
dipertimbangkan pengaruhnya. Gambar 3.2 menunjukkan bagian
tubuh yang perlu dilindungi terhadap potensi penetrasi nanopartikel
(Ai dkk., 2011).

GAMBAR 3. 2 BAGIAN TUBUH YANG HARUS DILINDUNGI DARI BAHAYA PENETRASI NANOPARTIKEL.

1. Toksisitas
Toksisitas nanomaterial menunjukkan sifat yang berbeda dengan
sifat toksisitas mikro/makromaterial baik dalam bentuk padatan mau-
pun larutan (Yong dkk., 2010). Toksisitas lebih dominan merupakan
fungsi dari jumlah dan luas permukaan partikel daripada massa
nanomaterial. Pengurangan ukuran nanomaterial dapat mengurangi
toksisitas karena nanomaterial menjadi lebih reaktif secara elektro-
kimia dan struktur berskala nano meningkatkan kemampuan untuk
memasuki aliran darah dan mentranslokasi di dalam sel, jaringan
dan organ yang fungsional (Tucci dkk., 2013). Perilaku toksik (racun)

PENGANTAR NANOMATERIAL 29
memiliki kemungkinkan lebih tinggi untuk berinteraksi dengan
lingkungan biologis dan menyebabkan keracunan, seperti peradangan,
keracunan pada sistem syaraf, dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian. Toksisitas sangat bergantung pada beberapa faktor di
antaranya ukuran, bentuk, sifat permukaan (charge, chemical), dan
oksidatif stress dari nanomaterial/nanopartikel.

(a) Ukuran dan bentuk nanomaterial/nanopartikel


Ukuran dan bentuk nanomaterial dapat langsung memengaruhi
kinerja aktivitas antibakteri. Pernyataan ini telah dibuktikan dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh (Agnihotri dkk., 2014). Dalam
penelitiannya, mereka menyintesis nanopartikel Ag dengan ukuran
5-100 nm. Partikel yang berukuran 5 nm menunjukkan pengaruh
yang signifikan jika dibandingan dengan partikel yang berukuran 7
dan 10 nm. Selain itu, banyak juga para peneliti yang menyintesis
nanopartikel Ag dengan bentuk yang anisotropik seperti bentuk
nanoplates atau triangular nanoprism. Akan tetapi, ukuran partikel tetap
lebih memegang peranan penting dalam memberikan pengaruhnya.
Partikel yang kecil akan lebih cepat berpenetrasi, sedangkan partikel
yang besar misalnya 1000 nm, tidak akan mampu melalui barrier
(penghalang). Gambar 3.3 memperlihatkan variasi bentuk nanoma-
terial dan ilustrasi penetrasi nanomaterial melalui pernafasan dan
pori-pori kulit. Pada gambar tersebut juga ditunjukkan organ-organ
tubuh yang fungsinya rawan terindikasi pengaruh nanomaterial yang
beracun.
Terkait dengan sifat toksik nanomaterial, ada hal penting untuk
diketahui sebagai pengetahuan fundamental dan perlu diingat bahwa
tidak semua nanomaterial itu beracun. Sifat ini akan berkorelasi
dengan komposisi kimia, ukuran, dan bentuk nanomaterial.
Semakin kecil ukuran partikelnya, semakin banyak molekul-
molekul kimia yang melekat pada permukaan partikel, semakin

30 HARINI SOSIATI
meningkat pula reaktivitasnya dan juga efek toksisitasnya (Suh dkk.,
2009). Dalam hal ini, reaktivitas permukaan nanopartikel menjadi
faktor penting. Derajat hidrofobisitas dan hidrifilisitas dari permukaan
nanopartikel menjadi faktor utama dalam memprediksi toksisitas.

GAMBAR 3. 3 ILUSTRASI PENETRASI NANOMATERIAL DAN ANCAMAN TERHADAP FUNGSI ENDOCRINE


MANUSIA (LU DKK., 2013).

Selain itu, dari sisi ukuran, nanopartikel yang berukuran < 100
nm akan lebih mudah terserap oleh sel-sel dalam jaringan tubuh.
Sementara partikel yang berukuran > 300 nm tidak terserap. Daya
serap nanopartikel yang diproduksi oleh polimer hidrofobik akan lebih
tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh polimer hidrofilik
(Clift dkk., 2008).

(b) Sifat kimia


Sifat kimia dari permukaan partikel memiliki pengaruh penting
terhadap sifat nanopartikel jika bereaksi dengan logam. Derajat
toksisitas dapat dikurangi dengan cara memodifikasi permukaan
nanopartikel. Dari hasil penelitian telah dilaporkan bahwa toksisitas
nanopartikel oksida Fe super paramagnetic dapat dikurangi dengan
melapisi permukaan partikel dengan pullulan. Pullulan adalah polimer
polisakarida yang tersusun dari unit maltotriose atau a-1,4-;a-1,6-
glucan (Clift dkk., 2008; Oberdörster, 2010).

PENGANTAR NANOMATERIAL 31
2. Interaksi nanomaterial dengan sel di dalam tubuh
Ketika nanomaterial bersentuhan dengan tubuh manusia atau
lingkungan, material tersebut sulit untuk dilacak. Adapun mekanisme
masuknya nanomaterial anorganik ke dalam tubuh manusia dapat
terjadi melalui tiga cara, yaitu melalui pernafasan (inhalation), penetrasi
kulit (absorption), dan konsumsi atau proses menelan (ingestion).
Dengan meningkatnya pemahaman tentang keunggulan nano-
teknologi, produk-produk industri yang menggunakan nanomaterial
juga berkembang pesat. Berikut adalah beberapa nanomaterial yang
digunakan di beberapa bidang industri. Nanopartikel SiO2 digunakan
pada industri makanan, produk-produk kesehatan diantaranya pasta
gigi, deterjen, dan kosmetik. Nanopartikel TiO2 dan ZnO secara
komersial telah digunakan dalam produk kosmetik, seperti sunscreen,
alas bedak, dan juga sebagai bahan aditif makanan, serta cat. Selain
itu, nanopartikel Ag digunakan dalam makanan, produk-produk anti
bakteri, air desinfektan, industri tekstil, biosensor diagnostik, dan tinta
konduktif.
Hal yang perlu diwaspadai adalah ketika nanomaterial yang
digunakan mengandung racun. Karena secara visual nanomaterial
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, perlu adanya pengetahuan
dasar tentang bagaimana mekanisme transportasi nanomaterial dari
paparan lingkungan sekitar ke dalam tubuh manusia. Berdasarkan
beberapa contoh aplikasi nanomaterial tersebut, nanomaterial dapat
masuk ke tubuh manusia melalui penelanan (ingestion), pernafasan,
dan penetrasi melalui kulit.

(A) INGESTION
Gambar 3.4 menunjukkan contoh mekanisme masuknya nano-
partikel Au ke dalam sel (Yao dkk., 2015). Dalam hal ini, nanopartikel
Au diaplikasikan di bidang obat-obatan sehingga rute masuknya

32 HARINI SOSIATI
nanopartikel ke dalam sel dapat melalui proses penelanan. Pada
gambar terlihat ada beberapa perbedaan ukuran nanopartikel Au.
Kecepatan paling tinggi masuknya nanopartikel ke dalam sel
ditunjukkan oleh nanopartikel yang paling kecil, dalam hal ini 15
nm. Dibandingkan dengan nanopartikel yang berukuran lebih besar
terlihat jelas perbedaan mekanisme masuknya ke dalam sel. Dalam
waktu 24 jam, nanopartikel telah mencapai inti sel. Hal ini mem-
buktikan bahwa untuk nanopartikel yang mengandung toksik, ukuran
nanopartikel yang kecil yang lebih membayakan.

GAMBAR 3. 4 SKEMATIK MEKANISME MASUKNYA NANOPARTIKEL AU KE DALAM INTESTINAL


EPITHELIAL SEL MELALUI INGESTION.

(B) INHALATION
Transportasi nanopartikel ke dalam organ internal tubuh manusia
melalui pernafasan (inhalation) dijelaskan pada Gambar 3.5. Pada
gambar tersebut ditunjukkan perbedaan diameter saluran-saluran
pada sistim pernafasan yang berskala mikro. Masuknya nanopartikel
melalui pernafasan akan memiliki tingkat posibilitas yang tinggi karena
diameter salurannya berskala mikro sehingga nanopartikel yang
memiliki ukuran sangat kecil akan dapat mencapai area yang terdalam
seperti ditunjukkan pada Alveoli.

PENGANTAR NANOMATERIAL 33
GAMBAR 3. 5 SKEMATIK TRANSPORTASI NANOPARTIKEL MELALUI SALURAN PERNAFASAN. GAMBAR
MENUNJUKKAN KORELASI UKURAN NANOPARTIKEL DAN DIAMETER SALURAN.

(C) SKIN PENETRATION


Kulit termasuk organ yang dinamis yang memiliki fungsi berbeda-
beda. Ada yang berfungsi untuk melindungi UV, ada pula sebagai
penghalang berpori yang selektif. Selain itu, kulit memiliki peran yang
sangat penting dalam mengatur suhu tubuh dan respon imunologi
karena adanya sel langerhans. Sel Langerhans adalah sel-sel imunitas yang
berada di lapisan kulit luar (epidermis). Jika sel Langerhans masih
berfungsi baik, kulit akan tetap terlihat halus. Perlu diketahui bahwa
struktur kulit terbagi menjadi tiga lapisan yaitu epidermis, dermis,
dan hipodermis. Berkaitan dengan penetrasi nanopartikel melalui
kulit, contoh yang paling mudah dijelaskan adalah produk kosmetik
yang telah menggunakan nanopartikel TiO2, ZnO dan Ag. TiO2 dan
ZnO telah diketahui berfungsi sebagai pelindung terhadap sinar UV,
sementara Ag sebagai antibakteri. Ukuran nanopartikel tersebut
sekitar 200 nm, sementara ukuran sel kulit dalam rentang 25-40
mikrometer, sedangkan diameter pori-pori kulit manusia berkisar 30
mikrometer. Namun, penetrasi nanopartikel pada umumnya hanya
mencapai lapisan dermis seperti ditunjukkan pada Gambar 3.6a.
Nanopartikel bisa mencapai lapisan hipodermis setelah diinjeksikan
(Gambar 3.6b) seperti yang telah diuji in vivo pada tikus (Sykes dkk.,
2014).

34 HARINI SOSIATI
GAMBAR 3. 6 ILUSTRASI RUTE PENETRASI NANOPARTIKEL MELALUI PORI-PORI KULIT.

Beberapa penyakit yang kemungkinan dapat terjadi akibat paparan


nanomaterial yang mengandung toksik di antaranya adalah penyakit
kanker termasuk mesothelioma, paru-paru, jantung, merusak sel, efek
iritasi dan kerusakan DNA, dan liver. Ilustrasi nanomaterial yang ma-
suk ke dalam pembuluh darah otak ditunjukkan pada Gambar 3.7.

GAMBAR 3. 7 ILUSTRASI NANOMATERIAL YANG MASUK KEDALAM PEMBULUH DARAH OTAK.

3. Perlindungan terhadap paparan nanomaterial


beracun
Untuk menghindari atau mengurangi timbulnya penyakit akibat
paparan nanomaterial/nanopartikel yang beracun, perlu melindungi
diri dari paparan tersebut. Bagi orang yang bekerja di laboratorium

PENGANTAR NANOMATERIAL 35
nanomaterial dengan tingkat resiko rendah, perlindungan diri yang
harus dilakukan cukup dengan menggunakan jas lab, masker dan
sarung tangan.
Namun, apabila bekerja di lingkungan industri yang menggunakan
berbagai jenis nanomaterial dan tingkat resiko tinggi, perlu cara perlin-
dungan yang lebih ketat. Hal utama yang perlu ada adalah,
a) Pertama adanya informasi jenis dan sifat nanomaterial yang ada
di lingkungan kerja.
b) Perlu adanya alat yang dapat mendeteksi/mengidentifikasi jenis
nanomaterial dan sumber paparannya.
c) Perlu informasi cara penanganan (handling) dan penyimpanannya
(Gambar 3.8).
d) Lingkungan kerja harus benar-benar bersih dan steril seperti
contoh pada Gambar 3.9.

GAMBAR 3. 8 CONTOH PENGGUNAAN SARUNG TANGAN YANG AMAN.

GAMBAR 3. 9 CONTOH KONDISI STERIL DI LABORATORIUM INDUSTRI YANG MENGGUNAKAN


NANOMATERIAL BERESIKO TINGGI.

36 HARINI SOSIATI
e) Apabila nanomaterial yang digunakan memiliki resiko paparan
tinggi, perlu dikerjakan dalam glove box (Gambar 3.10). Selain itu,
pada Gambar 3.11 diperlihatkan contoh seperangkat pakaian
pekerja dengan perbedaan tingkat resiko. Perlindungan yang utama
dilakukan terhadap mata, tangan, body, kaki, dan respiratory.

GAMBAR 3. 10 CONTOH BEKERJA DENGAN NANOMATERIAL DIDALAM GLOVE BOXES.

Level A Level B Level C Level D


GAMBAR 3. 11 PERANGKAT PERLINDUNGAN DIRI DARI PAPARAN NANOMATERIAL BERESIKO. A, B, C
DAN D ADALAH URUTAN TINGKAT RESIKO DARI TINGGI TINGGI KE RENDAH.

CONTOH SOAL BAB TIGA


Contoh soal kuiz berikut, yaitu pertanyaan pendek dari bahan
kuliah yang digunakan untuk mengetahui apakah mahasiswa
mengerti/memahami materi yang diajarkan. Jika mahasiswa belum

PENGANTAR NANOMATERIAL 37
memahami maka akan dibahas dalam bentuk diskusi.
1. Selain peran “Nanomaterials” yang dapat memberikan perubahan
sifat-sifat material yang signifikan (efek positif), “Nanomaterials”
juga mempunyai kelemahan atau efek negatif. Berikan 2 contoh
kelemahan atau efek negatif tersebut.
2. Jika nanopartikel terhirup melalui pernafasan, bagaimanakah
efeknya terhadap kesehatan?.
3. Selain melalui pernafasan, bagaimana nanomaterial dapat
mempengaruhi kesehatan manusia?.
4. Apakah efek nanopartikel terhadap lingkungan?.
5. Bagaimana cara preventif untuk melindungi diri apabila seseorang
bekerja pada lingkungan yang menggunakan nanomaterial,
mengingat ada nanomaterial yang memiliki sifat toksik.

DAFTAR PUSTAKA
Agnihotri, S., Mukherji, S., & Mukherji, S. (2014). Size-controlled silver nanoparticles syn-
thesized over the range 5-100 nm using the same protocol and their antibacterial
efficacy. RSC Advances, 4(8), 3974–3983. https://doi.org/10.1039/c3ra44507k
Ai, J., Biazar, E., Jafarpour M., Montazeri, M., Majdi, A., Aminifard, S., Zafari, M., Akbari, H.
R., & Rad, H.G. (2011). Nanotoxicology and nanoparticle safety in biomedical designs.
International Journal of Nanomedicine, 1117-1127. https://doi.org/10.2147/ijn.s16603
Chen, J., Dong, X., Xin, Y., & Zhao, M. (2011). Effects of titanium dioxide nano-particles on
growth and some histological parameters of zebrafish (Danio rerio) after a long-
term exposure. Aquatic Toxicology, 101(3–4), 493–499. https://doi.org/10.1016/
j.aquatox.2010.12.004
Chen, K. L., & Elimelech, M. (2008). Interaction of Fullerene (C60) Nanoparticles with
Humic Acid and Alginate Coated Silica Surfaces: Measurements, Mechanisms, and
Environmental Implications. Environmental Science & Tekchnology, 42(20), 7607–7614.
Clift, M. J. D., Rothen-Rutishauser, B., Brown, D. M., Duffin, R., Donaldson, K., Proudfoot,
L., Guy, K., & Stone, V. (2008). The impact of different nanoparticle surface chemistry
and size on uptake and toxicity in a murine macrophage cell line. Toxicology and
Applied Pharmacology, 232(3), 418–427. https://doi.org/10.1016/j.taap.2008.06.009
Guzmán, K. A. D., Taylor, M. R., & Banfield, J. F. (2006). Environmental Risks of
Nanotechnology: National Nanotechnology Initiative Funding, 2000-2004. Environ-
mental Science and Technology, 40(5), 1401–1407. https://doi.org/10.1021/es0515708
Klaine, S. J., Alvarez, P. J. J., Batley, G. E., Fernandes, T. F., Handy, R. D., Lyon, D. Y.,
Mahendra, S., Mclaughlin, M. J., & Lead, J. R. (2008). Nanomaterials in the Environ-

38 HARINI SOSIATI
ment: Behavior, Fate, Bioavailability, and Effects. Environmental Toxicology and Chem-
istry, 27(9), 1825–1851. https://doi.org/10.1897/08-090.1
Lead, J. R., Batley, G. E., Alvarez, P. J. J., Croteau, M. N., Handy, R. D., McLaughlin, M. J.,
Judy, J. D., & Schirmer, K. (2018). Nanomaterials in the Environment: Behavior, Fate,
Bioavailability, and Effects—An Updated Review. Environmental Toxicology and
Chemistry, 37(8), 2029–2063. https://doi.org/10.1002/etc.4147
Lu, X., Liu, Y., Kong, X., Lobie, P. E., Chen, C., & Zhu, T. (2013). Nanotoxicity: A Growing
Need for Study in the Endocrine System. Small, 9(9–10), 1654–1671. https://doi.org/
10.1002/smll.201201517
Oberdörster, G. (2010). Safety assessment for nanotechnology and nanomedicine: Con-
cepts of nanotoxicology. Journal of Internal Medicine, 267(1), 89–105. https://doi.org/
10.1111/j.1365-2796.2009.02187.x
Suh, W. H., Suslick, K. S., Stucky, G. D., & Suh, Y. H. (2009). Nanotechnology,
nanotoxicology, and neuroscience. Progress in Neurobiology, 87(3), 133–170. https:/
/doi.org/10.1016/j.pneurobio.2008.09.009
Sykes, E. A., Dai, Q., Tsoi, K. M., Hwang, D. M., & Chan, W. C. W. (2014). Nanoparticle
exposure in animals can be visualized in the skin and analysed via skin biopsy. Na-
ture Communications, 5(May), 1–8. https://doi.org/10.1038/ncomms4796
Tucci, P., Porta, G., Agostini, M., Dinsdale, D., Iavicoli, I., Cain, K., Finazzi-Agro, A., Melino,
G., & Willis, A. (2013). Metabolic effects of TIO2 nanoparticles, a common component
of sunscreens and cosmetics, on human keratinocytes. Cell Death and Disease, 4(3),
1–11. https://doi.org/10.1038/cddis.2013.76
Yao, M., He, L., McClements, D. J., & Xiao, H. (2015). Uptake of Gold Nanoparticles by
Intestinal Epithelial Cells: Impact of Particle Size on Their Absorption, Accumulation,
and Toxicity. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 63(36), 8044–8049. https://
doi.org/10.1021/acs.jafc.5b03242
Yong, K. T., Roy, I., Law, W. C., & Hu, R. (2010). Synthesis of cRGD-peptide conjugated
near-infrared CdTe/ZnSe core-shell quantum dots for in vivo cancer targeting and
imaging. Chemical Communications, 46(38), 7136–7138. https://doi.org/10.1039/
c0cc00667j

PENGANTAR NANOMATERIAL 39

Anda mungkin juga menyukai