Anda di halaman 1dari 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

Konsep Nyeri

Pengertian Nyeri

Menurut (Smeltzer & Bare, 2001) dalam (Andarmoyo, 2013) nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan
pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual,
potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakaan.

Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri ketika suatu jaringan
mengalami cidera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus
reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang
akan mengakibatkan reseptor nyeri (Anisa, 2015).

(Jordan, 2003) menguraikan definisi nyeri yang ditelaah dari berbagai pakar yaitu suatu perasaan
sensorik yang tidak menyenangkan dengan disertai kerusakan jaringan yang aktual atau potensial
(Anisa, 2015).

Fisiologi Nyeri

Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat didentifikasi. Mengkaji
nyeri individu mencakup pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dari nyeri juga faktor mental
atau emosional yang mempengaruhi persepsi individu terhadap nyeri (Anisa, 2015).
Tidak semua orang akan melaporkan nyeri, ada yang mengabaikan nyeri saat nyeri terjadi, untuk itu
perlu digali bersama mengenai dugaan nyeri, seperti kenyataan bahwa gangguan atau prosedur
biasanya menimbulkan nyeri, atau jika sesorang meringis saat bergerak atau menghindari gerakan.
Banyak orang yang menyangkal nyeri yang dialaminya karena mereka takut dengan pengobatan atau
tindakan yang mungkin terjadi jika mereka mengeluh nyeri (Anisa, 2015)

Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap
nyeri menurut (Prasetyo, 2010) dalam (Andarmoyo, 2013) yaitu :

Usia

Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan mengalami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat
yang menyebabkan nyeri. Seba, mereka belum dapat mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan
secara verbal dan mengekspersikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan. Pada sebagian
anak, terkadang

segan untuk mengungkapnkan keberadaan nyeri yang ia alami disebabkan mereka takut akan tindakan
perawatan yang harus mereka terima nantinya.

Pada pasien lansia, seorang perawat harus melakukan pengkajian secara lebih rinci ketika seseorang
lansia melaporkan adanya nyeri. Pada kondisi lansia sering kali memiliki sumber nyeri yang lebih dari
satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama,
sebagai contoh nyeri dada tidakselalu mengindikasikan serangan jantung. Nyeri dada dapat timbul
karena gejala arthritis pada spinal dan gejala pada gangguan abdomen. Sebagian lansia terkadang
pasrah terhadap apa yang mereka makan. Mereka menganggap hal tersebut merupakan konsekuensi
penuaan yang tidak bisa dihindari.

Meskipun banyka lansia mencari perawatan kesehtana karena nyeri, yang lainnya enggan untuk mencari
bantuan bahkan ketika mengalami nyeri hebat, karena mereka menganggap bahwa nyeri yang dirasakan
adalah bagian dari proses penuaan yang normal yang terjadi pada setiap lansia. Diperkirakan lebih dari
85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehtan kronis yang dapat menyebabkan nyeri.
Lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama
sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan. Lansia yang lainnya tidak mencari
perawatan karena

merasa takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius atau takut kehilangan kontrol.

Jenis kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri.
Diragukan apakah hanya jenis kelamin yang merupakan suatu faktor dalam pengeskspresian nyeri (Gill,
1990 dalam (Andarmoyo, 2013). Beberapa kebudayaan mempengaruhi jenis kelamin dalam memaknai
nyeri (misal: menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis,
sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama).

Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan memengaruhi cara individu mengatasi nyeri, individu mempelajari
apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri.

Budaya dan estnisitas berpengaruh pada bagimana seseorang merespon terhadap nyeri. Sejak dini pada
masa kanak- kanak, individu belajar dari sekitar mereka respon nyeri yang bagaimana yang dapat
diterima atau tidak diterima. Sebagai contoh: anak dapat belajar bahwa cedera akibat olahraga tidak
diperkirakan akan terlalu menyakitkan dibandingkan dengan cedera akibat kecelakaan motor.
Sementara yang lainnya
mengajarkan anak stimuls apa yang diperkirakan akan menimbulkan nyeri dan repons perilaku apa yang
diterima

Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan
nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti
meringis, atau menangis yang berlebihan, mencari pereda nyeri dengan segera dan memberikan
deskripsi lengkap tentang nyeri. Harapan budaya pasien mungkin saja menerima orang untuk meringis
atau menangis ketika merasa nyeri, untuk menolak tindakan pereda nyeri yang tidak menyembuhkan
penyebab nyeri, dan untuk menggunakan kata sifat seperti “tidak tertahankan” dalam menggambarkan
nyeri. Pasien dari latar belakang budaya lainnya bisa bertingkah secara berbeda, seperti diam seribu
bahasa ketimbang mengekspersiakn nyeri dengan suara keras. Perawat harus beraksi terhadap presepsi
nyeri pasien dan bukan pada perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien dengan pasien
lainnya.

Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda
dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien
berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang. Namundemikian, sama pentingnya untuk
menghindari penyamaratakan pasien secara budaya. Perawat yang mengetahui

perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih vesar tentang nyeri pasien dan akan lebih
akurat dalam mengkaji nyeri dan respons-respons perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam
menghilangkan nyeri pasien .

Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang
beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat: dengan latar belakang budaya individu
tersebut. Individu akan mempersiapkan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Misalnya, seorang wanita yang
sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri berbed dengan seseorang wanita yang sedang bersalin
akan mempersepsikan nyeri berbeda dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cedera
karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri akan dipersepsikan klien berhubungan dengan
makna nyeri.

Lokasi dan tingkat keparahan nyeri

Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu
dalam kaitannya dengan kualitas nyeri.

Perhatia

Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri,
perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan
(distraksi) dihunungkan dengan respons nyeri yang menurun.

Ansietas (kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi
nyeri juga dapat menimbulkan sesuatu perasaan ansietas. Paice (1991) dalam (Andarmoyo, 2013)
melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbic yang diyakini
mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic dapat memproses reaksi emosi
terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.

Keletihan
Keletihan atau kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan
akan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, persepsi myeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali
lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap.

Pengalaman sebelumnya

Apabila seorang individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh
atau menderita nyeri yang berat maka ansietas atau bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya,
apabila individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri
tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk
menginterpretasikan sensasi nyeri akibatnya, klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan
yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Apabila seseorang klien tidak pernah merasakan nyeri,
persepsi pertama nyeri dapat menggunakan koping terhadap nyeri.

Dukungan keluarga dan social

Faktor lain yang bermakna memengaruhi respons nyeri ialah kehadiran orang-orang terdekat klien dan
bagimana sikap mereka terhadap klien. Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan.
Walaupaun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian
dan ketakutan. Apabilan tidak ada keluarga atau teman, sering kali pengalaman nyeri membuat klien
semakin tertekan. Kehadiram orang tua sangat penting bagi anak- anak yang sedang mengalami nyeri.

Mekanisme Nyeri
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem
sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak, talamus, dan
korteks cerebri. Pencegahan terhadap terjadinya kerusakan jaringan setiap individu untuk belajar
mengenali stimulus-stimulus tertentu yang berbahaya dan harus dihindari (Anisa, 2015).

Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi yang menimbulkan reaksi inflamasi yang
diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik dan akan dihantarkan oleh
serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut Cdan D) yang bersinapsis dengan neuron di komu
dorsalis medulla spinalis, sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus di otak, dimana
nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan (Anisa, 2015).

Nyeri pada lansia

Nyeri yang terjadi pada lansia adalah suatu gangguan yang terjadi karena penurunan fungsional akibat
dari gangguan jaringan yang bersifat subyektif, seperti pegal, linu, ngilu, keju, kemeng, dan seterusnya
(Sulaiman, 2013).

Nugroho (2000) membedakan nyeri pada lansia kedalam dua kelompok berdasarkan durasi waktu
individu mengalaminya, yaitu acute pain (nyeri akut) dan cronic pain (nyeri kronik) (Sulaiman, 2013).

Nyeri akut adalah pengalaman nyeri sementara yang menimbulkan ketidak nyamanan pada individu
selama kurang dari enam bulan.

Nyeri kronis adalah pengalaman nyeri yang secara terus-menerus terjadi selama enam bulan atau lebih.
Penderita nyeri kronis biasanya akan memiliki tingkat kecemasan yang tingggi dan cenderung
mengembangkan perasaan putus asa dan tidak berdaya. Hal ini karena ia merasa berbagai pengobatan
yang ia jalani tidak dapat menurunkan nyeri yang dirasakan.

Pengukuran Nyeri
Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur skala nyeri, diantaranya yang dikemukakan
oleh AHCPR (Agency for Health Care Policy & Research): Deskripsi sederhana terdiri dari: tidak nyeri,
nyeri sedang, nyeri berat dan nyeri sangat berat (Sulaiman, 2013).

Visual Analog Scale (VAS) mengunakan garis 10 cm batas antara daerah yang tidak sakit ke sebelah kiri
dan daerah batas yang paling sakit. Skala ini menjadikan klien bebas untuk memilih tingkat nyeri yang
dirasakan.VAS sebagai pengukur keparahan tingkat nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
menentukan setiap titik dari rangkaian yang tersedia tanpa dipaksa untuk memilih satu kata (Sulaiman,
2013). Penjelasan tentang intensitas digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Skala Pengukuran Nyeri

Anda mungkin juga menyukai