Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA DENGAN


GANGGUAN RASA NYAMAN NYERI

DI SUSUN OLEH:
FITRI MELANI
NPM. 19.156.03.11.022

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEDISTRA
INDONESIA
2019/2020
I. Konsep Kebutuhan Rasa nyaman nyeri
1.1 Definisi Kebutuhan Rasa Nyaman nyeri
Kenyamanan adalah suatu keadaan yang telah terpenuhi kebutuhan dasar
klien. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan ketentraman ( suatu kepuasan
yang meningkatkan ketrampilan sehari – hari ) , kelegaan ( kebutuhan yang
terpenuhi ) dan transenden ( keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah
nyeri ). Kenyamanan sering diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat
sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal
skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan
atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Aziz Alimul, 2006).
Teknik relaksasi merupakan salah satu cara untuk mengistirahatkan fungsi
fisik dan mental sehingga menjadi rileks, relaksasi merupakan upaya sejenak
untuk melupakan kecemasan dan mengistirahatkan pikiran dengan cara
menyalurkan kelebihan energi atau ketegangan (psikis) melalui sesuatu
kegiatan yang menyenangkan.
1.2 Fisiologi sistem/fungsi normal system
Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak
pada fisiologi system syaraf otonom yang merupakan bagian dari system
syaraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal
individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin,
prostatglandin dan substansi, akan merangsang syaraf simpatis sehingga
menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang
menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan
pembuluh, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolism
otot yang mrnimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak
dan dipersepsikan sebagai nyeri.
1.3 Faktor-faktor yang memengaruhi nyeri
Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak
faktor. Perawat perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang memengaruhi
nyeri klien tersebut. Hal ini sangat penting bagi perawat untuk memberikan
kemudahan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami masalah nyeri (Andarmoyo, 2013). Faktor-faktor tersebut antara
lain sebagai berikut :
a. Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi nyeri, khususnya
anak-anak dan lansia. Perbedaan yang ditemukan di antara kelompok usia
ini dapat memengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap
nyeri. Anak yang masih kecil memiliki kesulitan memahami nyeri dan
prosedur yang dilakukan perawat, yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-
anak yang masih kecil juga mengalami kesulitan karena mereka belum
dapat mengucapkan kata-kata secara verbal dan mengekspresikan nyeri
kepada orang tua atau petugas kesehatan (Potter & Perry, 2006).
Sedangkan menurut Ebersole dan Hess (1994), seseorang yang berusia
lanjut berisiko tinggi mengalami situasi-situasi yang menyebabkan mereka
merasakan nyeri (Potter & Perry, 2006). Lansia cenderung mengabaikan
nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum
melaporkannya atau mencari perawatan di pelayanan kesehatan. Lansia
yang lainnya tidak mencari perawatan karena merasa takut nyeri yang
dialami menandakan penyakit yang serius atau takut kehilangan kontrol
(Smeltzer & Bare, 2002).
b. Jenis kelamin
Menurut Gill (1990), secara umum jenis kelamin antara pria dan
wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap
nyeri. Beberapa kebudayaan menganggap bahwa jenis kelamin dapat
memengaruhi pengekspresian nyeri, yaitu dikatakan bahwa seorang
anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak
perempuan boleh menangis dalam keadaan yang sama (Potter & Perry,
2006).
c. Kebudayaan
Cara individu untuk mengatasi nyeri akan dipengaruhi oleh keyakinan
dan nilai-nilai kebudayaan yang dimilikinya. Individu mempelajari
apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaannya. Hal
ini meliputi bagaimana individu bereaksi terhadap nyeri (Calvillo dan
Flaskrud, 1991 dalam Potter and Perry, 2006). Beberapa kebudayaan
yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah.
Sedangkan, ada kebudayaan lain yang cenderung untuk melatih
perilaku yang tertutup (introvert). Menurut Clancy dan McVicar
(1992), sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang
(Potter & Perry, 2006).
d. Makna nyeri
Makna seseorang yang berkaitan dengan nyeri memengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal
ini juga dikaitkan dengan latar belakang budaya seseorang tersebut.
Seorang individu akan mempersepsikan nyeri dengan berbeda-beda,
apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan,
hukuman dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri akan dipersepsikan
pasien berhubungan dengan makna nyeri yang dirasakan (Potter &
Perry, 2006).
e. Perhatian
Tingkat seseorang memfokuskan perhatianya pada nyeri dapat
memengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (Gill, 1990 dalam
Potter and Perry, 2006). Perawat menempatkan nyeri pada kesadaran
perifer dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi pasien pada
stimulus lain (Potter & Perry, 2006).
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan cemas (ansietas) bersifat kompleks.
Ansietas sering kali dapat meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri
juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Paice (1991) dalam
Potter and Perry (2006) melaporkan bahwa stimulus nyeri
mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini dapat
mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik
dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni dapat
memperburuk atau menghilangkan nyeri (Potter & Perry, 2006).
g. Keletihan
Keletihan atau kelelahan yang dirasakan seseorang dapat
meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan akan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.
Persepsi nyeri dapat terasa lebih berat lagi apabila keletihan disertai
dengan kesulitan tidur. Nyeri dapat berkurang setelah individu tidur
dengan lelap (Potter & Perry, 2006).
h. Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya, namun hal
ini tidak selalu membuat individu tersebut akan menerima nyeri
dengan lebih mudah di masa yang akan datang. Apabila individu
sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh
atau menderita nyeri yang berat maka ansietas atau bahkan rasa takut
dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan
jenis yang sama berulang-ulang tetapi kemudian nyeri tersebut dapat
dihilangkan, maka akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk
menginterpretasikan sensasi nyeri (Potter & Perry, 2006).
i. Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang
mengakibatkan klien merasa kesepian. Klien akan merasa tidak
berdaya dengan rasa kesepian itu apabila klien mengalami nyeri saat
menjalani suatu perawatan kesehatan seperti di rumah sakit. Hal yang
sering terjadi adalah klien akan merasa kehilangan kontrol terhadap
lingkungan atau terhadap hasil akhir dari peristiwa yang terjadi. Nyeri
dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun
keseluruhan. Pasien sering kali menemukan berbagai cara untuk
mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri
(Potter & Perry, 2006).
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang memengaruhi respon nyeri yaitu kehadiran orang-
orang terdekat dan bagaimana sikap dan perlakuan mereka terhadap
pasien. Individuyang mengalami nyeri sering kali bergantung pada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,
bantuan, atau perlindungan. Kehadiran orang yang disayangi akan
mengurangi kesepian dan ketakutan yang dialaminya walaupun nyeri
tersebut tetap dirasakan (Potter & Perry, 2006).
1.4 Macam-macam gangguan nyeri yang mungkin terjadi pada system
Secara umum, nyeri dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan kronis.
Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai dengan adanya
peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis merupakan nyeri timbul secara
perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu
lebih dari 6 bulan. Yang termasuk dalam karegori nyeri kronis adalah nyeri
terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Ditinjau dari sifat
terjadinya, nyeri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya nyeri
tertusuk dan nyeri terbakar.

II. Rencana asuhan klien dengan


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
1) Keluhan Utama
Pasien datang dengan nyeri ditangan kanan terkena mesin potong
2) Riwayat Penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri pada tangan kanan. Mual (+), pasien tampak
cemas, pusing (+).
3) Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien mengatakan saat kanak-kanak pernah sakit thypoid.
2.1.2 Pemeriksaan Fisik : Data Fokus
1) Kepala : Bentuk normochepal, keluhan pusing.
2) Mata : Ukuran Pupil 2 mm, isokor (+), reaksi terhadap cahaya (+),
akomodasi normal, bentuk simetris, konjungtiva ananemis, fungsi
penglihatan baik.
3) Hidung : tidak terdapat alergi, pernah mengalami flu > 5 kali dalam
setahun, tidak ada sinus, tidak ada perdarahan.
4) Mulut dan tenggorokan : tidak ada kesulitan/gangguan
bersuara, tidak ada kesulitan menelan, tidak pernah melakukan
pemeriksaan gigi.
5) Pernapasan : suara paru vesikuler, pola nafas teratur, tidak terdapat
batuk, tidak ada sputum, tidak terdapat nyeri saat bernafas, tidak
terdapat batuk darah.
6) Sirkulasi : TD 123/83 mmHg, Nadi 94 x/menit, capillary refiling < 2
detik, tidak terdapat distensi vena jugularis, suara janutng BJ I & BJ
II regular, tidak terdapat suara jantung tambahan.
7) Nutrisi : jenis diet biasa, terdapat rasa mual, intake cairan Rl, tidak
ada muntah.
8) Eliminasi : Pola rutin, BAB penggunaan laxan tidak ada, colostomy
tidak ada, ilostomy tidak ada, tidak terdapat konstipasi, tidak terdapat
diare. Bak tidak terdapat inkontinensia, tidak ada infeksi, tidak ada
nemaururi, tidak terpasang catheter, urine out put 320 cc.
9) Reproduksi : menolak dikaji.
10) Neurologi : tingkat kesadaran composmentis, tidak terdapat
disorientasi, tidak terdapat riwayat epilepsy/kejang/Parkinson, reflek
normal, kekuatan menggenggam lemah karna adanya luka akibat
crush injury. Pergerakan ekstremitas atas lemah karena adanya curh
injury manus dextra.
11) Musculoskeletal : adanya nyeri pada metacarpal manus dextra (crush
injury), terdapat kekaukan.
12) Kulit : warna kulit sawo matang, integritas kulit terdapat luka pada
metacarpal manus dextra.

2.1.3 Pemeriksaan Penunjang


1) Data Laboratorium
a. Hema I
1. Hemoglobin 12,8 g/dl (11,7-15,5g/dl)
2. Hematokrit 36 % (35-47%)
3. Leukosit 18,1 103/ul (3,6-11,0 103/ul)
4. Trombosit 474 103/ul (150-440 103/ul)
b. Kimia Klinik
1. Glukosa sure step 96 mg/dl (< 110 mg/dl)

2) Pengobatan
a. Rl/12 jam (15 tpm)
b. Ceftriaxone 2x1 gr
c. Metronidazole 3x500 gr
d. Ketorolac 3x1 amp
e. Ranitidine 2x1 amp

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Nyeri Akut
2.2.1 Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang
dari 3 bulan.
2.2.2 Batasan Karakteristik :
1) Objektif :
 Tampak meringis
 Bersikap protektif (mis. Waspada posisi menghindari nyeri)
 Gelisah
 Frekuensi nadi meningkat
 Sulit tidur
2.2.3 Faktor yang berhubungan :
 Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
 Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
 Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan).

Diagnosa 2 : Ansietas
2.2.4 Definisi : kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap
objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang
memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi
ancaman.
2.2.5 Batasan Karakteristik :
1) Obyektif :
 Tampak gelisah
 Tampak tegang
 Sulit tidur
2.2.6 Faktor yang berhubungan :
 Krisis situasional
 Kebutuhan tidak terpenuhi
 Krisis maturasional
 Ancaman terhadap konsep diri
 Ancaman terhadap kematian
 Kekhawatiran mengalami kegagalan
 Disfungsi sistem keluarga
 Hubungan orang tua-anak tidak memuaskan
 Faktor keturunan (tempramen mudah teragitasi sejak lahir)
 Penyalahgunaan zat
 Terpapar bahaya lingkungan (mis. Toksin,polutan,dan lain-lain)
 Kurang terpapar informasi

2.3 Perencanaan
kDiagnosa 1 : Nyeri Akut b/d agen pencedera fisik (terpotong)
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria) : berdasarkan NOC :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan
nyeri dapat berkurang dengan kriteria hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri dengan teknik distraksi dan relaksasi
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang (skala 0-2)
3) Mampu mengenali nyeri
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional : berdasarkan NIC :
1) Monitor TTV
2) Lakukan pengkajian nyeru secara kompeherensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
3) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
4) Kurangi faktor presipitasi nyeri
5) Manajemen nyeri : ajarkan dan anjurkan klien untuk manajemen
nyeri dengan teknik distraksi relaksasi; napas dalam.
6) Observasi nadi perifer
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy analgetik yang
sesuai

Diagnosa 2 : Ansietas b/d krisis situasional (tindakan medis)

2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria) : berdasarkan NOC :


Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan
cemas dapat berkurang dan terkontrol dengan kriteria hasil:
1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
2) Klien mampu mmengungkapkan tekhnik untuk mengontrol cemas
3) TTV dalam batas normal
4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktifitas
menunjukan berkurangnya kecemasan.
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional : berdasarkan NIC :
1) Monitor TTV klien
2) Identifikasi tingkat kecemasan
3) Gunakan pendekatan yang menenangkan
4) Berikan edukasi tentang prosedur pengobatan yang akan dilakukan
5) Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
6) Instruksikan klien menggunakan tekhnik relaksasi
7) Anjurkan keluarga untuk menemani klien
8) Bantu klien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan.

Anda mungkin juga menyukai