Anda di halaman 1dari 7

Faktor-faktor yang memengaruhi nyeri

Rasa nyeri merupakan suatu hal yang bersifat kompleks, mencakup pengaruh fisiologis, sosial,
spiritual, psikologis, dan budaya. Oleh karena itu, pengalaman nyeri masing-masing individu
adalah berbeda. Mengingat semua faktor memengaruhi klien yang mengalami nyeri, hal ini
penting untuk memastikan pendekatan holistik/menyeluruh dalam pengkajain dan perawatan
klien.
Faktor Fisiologis
Usia. Usia dapat memengaruhi nyeri. Terutama pada bayi dan dewasa akhir. Perbedaan tahap
perkembangan yang ditemukan diantara kelompok umur tersebut memengaruhi bagaimana
anak-anak dan dewasa akhir berespons terhadap nyeri. Anak-anak memililki kesulitan dalam
mengenal/memahami nyeri dan prosedur-prosedur yang diberikan oleh perawat yang
menyebabkan nyeri. Anak-anak yang kemampuan kosakatanya belum berkembang memiliki
kesulitan dalam menggambarkan dan mengekspresikan nyeri secara verbal kepada orang
tuanya atau petugas kesehatan. Anak usia 1-3 tahun (toddler) dan usia 4-5 tahun (prasekolah)
belum mampu mengingat penjelasan tentang nyeri atau yang berhubungan dengan nyeri,
dengan pengalaman yang terjadi pada situasi yang berbeda-beda. Dengan pertimbangan tahap
perkembangan ini, perawat perlu mengadaptasi pendekatan dalam mengkaji nyeri pada anak
(termasuk apa yang harus ditanyakan dan perilaku-perilaku yang harus diamati) dan bagaimana
perawat mempersiapkan anak akan adanya prosedur medis yang menyakitkan.(tabel 43-3)
Nyeri bukanlah suatu hal yang tidak dapat dielakkan dari proses penuaan. Bagaimanapun,
orang dewasa memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami berkembangnya
kondisi patologis yng disertai oleh nyeri (Herr, 2002; Kelly, 2003). Saat klien dewasa
mengalami nyeri, bisa saja terjadi kerusakan status fungsional yang serius. Nyeri memiliki
potensial terhadap penurunan mobiisasi, aktivitas harian, aktivitas sosial diluar rumah, dan
toleransi aktivitas adanya nyeri pada orang dewasa membutuhkan pengkajian, diagnosis, dan
manajemen/penanganan yang cepat.(kotak 43-3)
Kotak 43-3 FOKUS PADA LANJUT USIA
Faktor-faktor yang memengaruhi Nyeri pada Lansia:
 Dengan adanya proses penuaan, pasti akan disertai oleh penurunan massa otot,
peningkatan lemak tubuh, dan penurunan persentase kandungan air tubuh. Hal ini
meningkatkan konsentrasi obat yang dapat larut di air seperti morfin. Selain itu, volume
dari pemberian obat yang dapat larut oleh lemak seperti fentanil menjadi meningkat
(Lehne, 2005).
 Lansia yang asupan gizinya kurang baik, akan mengakibatkan rendahnya rendahnya
serum albumin. Banyak obat yang memiliki kandungan protein yang tinggi. Rendahnya
serum albumin memungkinkan adanya lebih banyak obat bebas (dalam bentuk aktif),
oleh karena itu akan meningkatkan risiko efek samping dan/atau efek yang bersifat
racun (Lehne, 2005)
 Menurunnya fungsi hati dan ginjal merupakan suatu hal yang dialami yang terjadi
bersamaan dengan proses penuaan. Hal ini mengakibatkan penurunan metabolisme dan
ekskresi terhadap obat. Oleh karena itu, lansia terkadang mengalami puncak yang lebih
besar dan durasi yang lebih lama terhadap analgesik (Kelly, 2003)
 Perubahan dikulit, terkait dengan usia seperti menipis kulit menipis dan kehilangan
elastisitas dapat memengaruhi kecepatn penyerapan analgesik topikal.

Kemampuan orang dewasa dalam menafsirkan nyeri yang dirasakan sangat sukar. Mereka
terkadang menderita banyak penyakit dengan gejala yang samar-samar/tidak jelas yang
terkadang memengaruhi bagian-bagian tubuh yang sama. Perawat perlu membuat pengkajian
yang detail ketika ada lebih dari satu sumber nyeri (Herr, 2002b). Penyakit yang berbeda-beda
terkadang menimbulkan gejala yang sama. Sebagai contoh, nyeri dada tidak selalu
mengindikasikan adanya serangan jantung , tetapi bisa saja hal tersebut merupakan gejala
radang sendi (artritis) pada tulang belakang atau gangguan pada abdomen. Tidak semua orang
dewasa mengalami gangguan kognitif. Bagaimanapun, ketika orang dewasa mengalami
kebingungan, akan sulit bagi mereka untuk mengingat pengalaman nyeri yang telah lalu dan
memberikan penjelasan yang detail terkait dengan nyeri yang dirasakan. Ada beberapa
kesalahpahaman tentang manajemen nyeri pada dewasa awal dan dewasa akhir, dimana
perawat perlu fokus sebelum dapat memberikan intervensi yang adekuat kepada klien (Tabel
43-4)
Kelemahan (fatigue). Kelemahan meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan menurunkan
kemampuan untuk mengatasi masalah. Apabila kelemahan terjadi di sepanjang waktu istirahat,
persepsi terhadap nyeri akan lebih besar. Nyeri terkadang jarang dialami setelah tidur/istirahat
cukup daripada di akhir hari yang panjang.
Gen. Riset terhadap orang yang sehat mengungkapkan bahwa informasi genetik yang
diturunkan dari orang tua memungkinkan adanya peningkatan atau penurunan sensitivitas
seseorang terhadap nyeri. Pembentukan sel-sel genetik kemungkinan dapat menentukan
ambang nyeri seseorang atau toleransi terhadap nyeri.
Fungsi Neurologis. Fungsi neurologis klien memengaruhi pengalaman nyeri. Faktor apa saja
dapat mengganggu atau memengaruhi penerimaan atau persepsi nyeri yang normal (contoh:
cedera medula spinalis, neuropatik perifer, atau penyakit-penyakit saraf) dapat memengaruhi
kesadaran dan respons klien terhadap nyeri. Beberapa agen farmakologis (analgesik, sedatif,
dan anestesi) memengaruhi persepsi dan respons terhadap nyeri, karena itulah membutuhkan
asuhan keperawatan yang bersifat preventif.
Faktor sosial
Perhatian. Tingkatan di mana klien memfokuskan perhatiaanya terhadap nyeri yang dirasakan
memengaruhi persepsi nyeri. Meningkatkannya perhatian berhubungan dengan meningkatnya
nyeri, sebaliknya distraksi berhubungan dengan kurangnya respons nyeri (Caroll dan Seers,
1998). Konsep ini merupakan salah satu konsep yang diaplikasikan perawat dalam berbagai
intervensi penanganan nyeri seperti relaksasi, imajinasi terpimpin (guided imagery), dan
masase. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien terhadap stimulus lain,
kesadaran mereka akan adanya nyeri menjadi menurun.
Pengalaman Sebelumnya. Setiap orang belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya. Adanya
pengalaman sebelumnya bukan berarti seseorang tersebut akan lebih mudah menerima rasa
nyeri di masa yang akan datang. Frekuensi terjadinya nyeri di masa lampau yang cukup sering
tanpa adanya penanganan atau penderitaan akan adanya nyeri yang lebih berat dapat
menyebabkan kecemasan atau bahkan ketakutan yang timbul secara berulang. Sebaliknya,
apabila seseorang telah memiliki pengalaman pengalaman yang berulang akan rasa nyeri yang
sejenis namun nyerinya telah dapat ditangani dengan baik, maka hal tersebut akan
memudahkannya untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Sebagai hasilnya, klien menjadi
lebih baik dalam persiapan untuk mengambil tindakan yang perlu dilakukan dalam menangani
nyeri.
Ketika klien tidak memiliki pengalaman terhadap kondisi yang menyakitkan, persepsi pertama
terhadap nyeri tersebut dapat merusak kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah.
Sebagai contohnya, setelah menjalani operasi abdomen, apabila klien mengalami nyeri hebat
akibat insisi dalam beberapa hari, maka itu adalah suatu hal yang umum terjadi. Terkecuali jika
klien merasa sadar akan hal ini, maka serangan awal nyeri tersebut akan terlihat seperti
komplikasi yang serius, Daripada berpartisipsi secara aktif dalam latihan teknik bernapas
pascaoperasi. Klien akan lebih memilih untuk berbaring tak bergerak di tempat tidur dan
mempertahankan teknik bernapas dangkal karena telah terjadi suatu ketakutan akan sesuatu
yang salah. Dalam fase antisipasi dari pengalaman nyeri, perawat perlu untuk mempersiapkan
klien melalui penjelasan yang jelas tentang jenis nyeri yang mungkin akan timbul da n metode-
metode yang digunakan untuk mengurangi nyeri tersebut. Hal ini biasanya menghasilkan
penurunan persepsi nyeri.
TABEL 43-4 Kesalahpahaman terhadap Nyeri pada lansia
Kesalahpahaman Koreksi
Nyeri merupakan akibat yang alami terjadi Lansia memiliki risiko lebih besar (sebanyak
karena bertambahnya usia. dua kali lipat) daripada dewasa awal
terhadap berbagai kondisi yang
menyakitkan. Bagaimana, nyeri bukanlah
suatu akibat yang tidak dapat dihindari dari
Persepsi nyeri atau sensitivitas akan menurun proses penuaan.
seiring dengan usia. Anggapan ini tidak cukup kuat. Meski ada
beberapa bukti tentang kemungkinan
penderitaan emosional terutama yang
berhubungan dengan nyeri pada lansia lebih
sedikit daripada orang dewasa awal, tidak
ada dasar ilmiah yang mendukung anggapan
bahwa penurunan persepsi terhadap nyeri
Apabila klien yang lebih tua tidak terjadi seiring dengan usia atau usia
melaporkan adanya nyeri, maka klien mengurangi sensitivitas terhadap nyeri.
tersebut tidak memiliki rasa nyeri. Klien yang lebih tua biasanya jarang
melaporkan adanya nyeri yang mereka
rasakan. Alasannya adalah menganggap
akan mengalami nyeri seiring dengan
pertambahan usia; tidak ingin
mengkhawatirkan orang-orang terkasih;
menjadi takut akan kehilangan rasa
kemandirian; tidak ingin mengganggu,
membuat marah, atau menyusahkan petugas
kesehatan; dan mempercayai petugas
kesehatan bahwa mereka (klien) mengalami
nyeri dan berusaha untuk memberikan
Apabila klien yang lebih tua telihat sibuk, tindakan penanganan dengan baik, ketiadaan
kurang istirahat/tidur, atau sebaliknya laporan akan adanya nyeri bukan berarti
terdistraksi dari rasa nyeri, maka klien tidak ada rasa nyeri.
tersebut tidak memiliki rasa nyeri. Klien yang lebih tua terkadang memercayai
bahwa menunjukkan rasa nyeri adalah
sesuatu yang tidak dapat diterima sehingga
lebih baik belajar untuk menggunakan
berbagai macam cara untuk mengatasinya
(contoh: klien yang menggunakan teknik
distraksi sering kali berhasil untuk jangka
waktu pendek). Tidur mungkin merupakan
salah satu strategi untuk mengatasi nyeri,
atau mungkin hal tersebut mengindikasikan
Potensial efek samping dari oploid adanya kelelahan, bukan untuk mengatasi
menjadikan oploid terlalu membahayakan nyeri. Anggapan tentang ada atau tidaknya
untuk digunakan sebagai penghilang rasa rasa nyeri bukan semata-mata berdasarkan
nyeri pada lansia. perilaku klien.
Oploid aman untuk dikonsumsi oleh lansia.
Meski lansia yang bersikap naif terhadap
oploid mungkin lebih sensitif terhadap
oploid. Hal ini tidak membenarkan
pemakaian oploid secara sembunyi-
sembunyi dalam manajemen nyeri. Titrasi
rendah mencegah adanya efek samping yang
mungkin dihasilkan oleh oploid yang
berpotensi untuk membahayakan.
Melakukan monitor secara sering dan teratur
serta pengkajian terhadap respons klien
adalah penting. Sesuaikan dosis dan interval
Klien dengan penyakit Alzheimer dan antara dosis-dosis ketika perawat
kerusakan kognitif lainnya tidak dapat menemukan adanya efek samping. Jika
merasakan nyeri, dan laporan terhadap perlu, perawat memberikan obat antagonis
adanya nyeri yang mereka rasakan oploid untuk menghindari depresi
cenderung tidak dapat dipercaya/tidak valid. pernapasan yang signifikan.
Tidak ada bukti bahwa kerusakan kognitif
pada lansia akan membuat mereka
mengalami sedikit nyeri atau laporan mereka
akan adanya rasa nyeri tidak dapat dipercaya
daripada individu yang tidak memiliki
kerusakan kognitif sama sekali. Namun,
mungkin bahwa klien dengan demensia atau
penurunan fungsi kognitif yang lain
menderita nyeri dan ketidaknyamanan yang
tidak dapat diobati secara signifikan.
Pengkajian nyeri terhadap klien tersebut
Klien lebih tua melaporkan lebih banyak merupakan suatu tantangan, tetapi mungkin
nyeri sesuai dengan usianya. untuk dilakukan. Pendekatan terbaik adalah
dengan menerima laporan klien akan adanya
nyeri dan mengobati nyeri sebagaimana
pengobatan yang dilakukan terhadap
individu yang tidak memiliki gangguan
kognitif.
Meskipun klien yang lebih tua mengalami
angka kejadian yang lebih tinggi akan
kondisi yang menyakitkan, seperti radang
sendi (artritis) osteoporosis, penyakit
pembuluh darah perifer, dan kanker,
daripada klien yang lebih muda, riset
menunjukkan bahwa mereka jarang
melaporkan adanya rasa nyeri. Banyak klien
dewasa akhir lebih bisa menilai arti dari
kemampuan untuk “menahan sesuatu tanpa
mengeluh”, dan patut disayangkan bahwa
gerakan “Bilang tidak” terhadap kampanye
obat telah sangat memengaruhi mereka.

Keluarga dan Dukungan Sosial. Orang dengan nyeri terkadang bergantung kepada anggota
keluarga yang lain atau teman dekat untuk dukungan, bantuan, atau perlindungan. Meski nyeri
masih terasa, tetapi kehadiran keluarga ataupun teman terkadang dapat membuat pengalaman
nyeri yang menyebabkan stres sedikit berkurang, kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-
anak yang mengalami nyeri.
Faktor Spiritual. Spiritualitas menjangkau antara agama dan mencakup pencarian secara aktif
terhadap makna situasi di mana seseorang menemukan dirinya sendiri. Pertanyaan spiritual
meliputi: “Mengapa hal ini bisa terjadi padaku?”. “Mengapa saya sangat menderita?”. Nyeri
secara spiritual berjalan melebihi apa yang kita bisa lihat.”Mengapa tuhan melakukan ini
padaku?”.”Apakah penderitaan ini mengajarkan aku tentang sesuatu”. Aspek-aspek spiritual
lain yang perlu diperhatikan mencakup kehilangan rasa kemandirian dan menjadi beban bagi
keluarga (OtisGreen et al., 2002). Komponen pengkajian spiritual seperti FICA (Keyakinan
dan Kepercayaan/Faith and believe, kepentingan/importance, komunitas/Community, dan
fokus /Tindakan perawatan (Address/Action in care) bisa didapatkan (Maxwell et al., 2005).
Penting bagi perawat untuk menunjukkan ekspresi kepada klien bahwa mereka (klien) itu
penting. Pertimbangkan akan adanya permintaan untuk konsultasi keagamaan (dengan
pendeta) dari klien dengan nyeri kronis. Mengingat bahwa nyeri merupakan pengalaman yang
memiliki komponen fisik dan emosional. Oleh karena itu, pemberian intervensi yang
direncanakan untuk mengobati kedua aspek tersebut adalah hal penting dalam manajemen
nyeri.
Faktor Psikologis.
Kecemasan. Tngkat dan kualitas nyeri yang diterima klien berhubungan dengan arti dari nyeri
tersebut. Hubungan antara nyeri dan kecemasasan bersifat kompleks. Kecemasan terkadang
meningkatkan persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga menyebabkan perasaan cemas. Sulit
untuk memisahkan dua perasaan tersebut. Wall dan Melzack (1999) melaporkan bahwa
stimulus nyeri yang mengaktivasi bagian dari sistem limbik dipercaya dapat mengontrol emosi,
terutama kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi emosional terhadap nyeri, apakah dirasa
mengganggu atau berusaha untuk mengurangi nyeri tersebut.
Penyakit yang kritis atau klien yang mengalami cedera yang terkadang merasa kurang bisa
mengontrol situasi di lingkungan sekitar dan perawatannya memiliki tingkat kecemasan yang
tinggi. Kecemasan ini memicu adanya masalah manajemen nyeri yang serius. Pendekatan
Farmakologis maupun nonfarmakologis terhadap manajemen nyeri adalah tepat; bagimanapun,
obat untuk mengatasi rasa cemas bukan merupakan pengganti analgesik.
Teknik Koping. Teknik koping memengaruhi kemampuan untuk mengatasi nyeri. Seseorang
yang memiliki kontrol terhadap situasi internal merasa bahwa mereka dapat mengontrol
kejadian-kejadian dan akibat yang terjadi dalam hidup mereka, seperti nyeri (Gil, 1990).
Sebaliknya, seseorang yang memiiki kontrol terhadap situasi eksternal merasa bahwa faktor-
faktor lain dalam hidupnya; seperti perawat, bertanggung jawab terhadap akibat suatu kejadian.
Konsep ini diaplikasikan dalam penggunaan analgesik yang dikontrol klien (patient-controlled
analgesia/PCA). Klien yang dapat melakukan pemberian obat nyeri secara intravena dalam
dosis rendah secara mandiri ketika terjadi nyeri akut berhasil mencapai kontrol nyeri lebih
cepat daripada mereka yang bergantung pada perawat dalam pemberian obat nyeri dengan
doses intermiten.
Penting bagi perawat untuk mengerti sumber koping yang digunakan klien selama terjadi
pengalaman yang menyakitkan. Sumber-sumber tersebut, seperti komunikasi dengan keluarga
yang mendukung, latihan fisik, atau berdoa dapat digunakan dalam rencana perawat untuk
mendukung klien dan memberikan tingkat penangangan nyeri.
Faktor Budaya.
Arti dari Nyeri. Sesuatu yang daiartikan seseorang sebagai nyeri akan memengaruhi
pengalaman nyeri. Dan bagaimana seseorang beradaptasi terhadap kondisi tersebut. Hal ini
terkadang erat kaitanya dengan latar belakang budaya seseorang. Seseorang akan merasakan
sakit yang berbeda apabila hal tersebut terkait dengan ancaman, kehilangan, hukuman, atau
tantangan. Sebagai contoh, wanita yang melahirkan akan merasakan sakit yang berbeda
dibandingkan dengan wanita dengan riwayat penyakit kanker yang baru merasakan sakit dan
ketakutan akan terulangnya nyeri tersebut.
Suku Bangsa. Nilai-nilai dan kepercayaan terhadap budaya memengaruhi bagaimana seorang
individu mengatasi rasa sakitnya. Individu belajar tentang apa yang diharapkan dan diterima
oleh budayanya, termasuk bagaimana reaksi terhadap nyeri (Davidhizar dan Giger, 2004;
Lasch, 2002). Para petugas kesehatan terkadang salah menduga bahwa setiap orang akan
bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang sama. Ada perbedaan makna dan perilaku yang
berhubungan dengan nyeri antara beragam kelompok budaya. Pemahaman akan makna nyeri
membantu perawat untuk membuat rencana perawatan berdasarkan latar belakang budaya
orang yang mengalami nyeri.
Budaya memengaruhi ekspresi nyeri. Beberapa budaya percaya bahwa menunjukkan rasa sakit
adalah suatu hal yang wajar. Sementara yang lain cenderung untuk lebih introvert. Selain itu,
penting juga untuk tahu di tingkat manakah suatu anggota dari kebudayaan tertentu telah
berasimilasi ke dalam perkumpulan masyarakat Amerika. Sebagai contoh, apabila beberapa
generasi dari keluarga klien Hispanik (Spayol/Amerika Latin) telah lama tinggal di Amerika
Serikat, pengaruh dari budaya Spayol mengkin berkurang, sebaliknya klien yang merupakan
imigrasi baru, masih menganut norma-norma budaya mereka.
Sebagai perawat, kita perlu menggali akibat yang mungkin terjadi dari adanya perbedaan
budaya terhadap pengalaman nyeri klien. dan membuat penyesuaian terhadap rencana
perawatan. Bekerja samalah dengan klien dan keluarga dalam memfasilitasi komunikasi
tentang pengkajian dan manajemen nyeri. Cari komponen penkajian yang tepat terkait dengan
budaya, dan komunikasikan penggunaan komponen tersebut terhadap petugas kesehatan
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai