Anda di halaman 1dari 32

1

I PENDAHULUAN

1.1 Judul

PENGARUH PENGGUNAAN SUKROSA DAN FRUKTOSA SEBAGAI


EKSTENDER DALAM KRIOPRESERVASI SPERMA DENGAN
METODE KONVENSIONAL TERHADAP MOTILITAS DAN
VIABILITAS SPERMA IKAN KERAPU KERTANG (Epinephelus
lanceolatus)

1.2 Latar Belakang

Ikan kerapu adalah komoditas perikanan Indonesia yang diunggulkan

karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, serta merupakan komoditas ekspor.

Salah satunya jenis ikan kerapu adalah ikan kerapu kertang. Kerapu kertang

(Epinephelus lanceolatus) atau sering juga disebut kerapu naga (king grouper)

merupakan salah satu jenis kerapu yang memiliki keunggulan dengan ukurannya

yang besar (sampai di atas 90 kg) dengan pertumbuhan yang cepat serta nilai

pasar yang cukup tinggi. Namun terdapat kendala dalam keberhasilan

pemeliharaan benih kerapu, yaitu kelangsungan hidup atau kematian benih.

Kelangsungan hidup yang rendah inilah yang menjadikan sedikitnya ketersediaan

ikan kerapu jantan, mengingat ikan kerapu kertang merupakan ikan hermaprodit

protogini (Mariskha dan Abdulghani, 2012).

Sedikitnya ketersediaan ikan kerapu jantan, menjadikan optimalisasi

pemanfaatan induk ikan jantan yang berkualitas perlu untuk dilakukan. Salah satu

cara tersebut adalah dengan penyimpanan sperma (kriopreservasi). Mengingat

interval waktu produksi sperma yang pendek dengan jumlah yang banyak.

Dilakukannya penyimpanan sperma, diharapkan sperma dapat digunakan setiap


2

saat tanpa menunggu induk jantan matang gonad kembali (Kurniawan dkk.,

2013).

Kriopreservasi sendiri merupakan proses penghentian sementara kegiatan

hidup sel tanpa mematikan fungsi sel, dimana proses hidup dapat berlanjut setelah

pembekuan dihentikan. Penelitian mengenai kriopreservasi telah dikembangkan

secara intensif untuk tujuan memperpanjang kemampuan sel dengan teknik

penyimpanan pada temperatur rendah, sehingga dapat mengurangi aktifitas

metabolik sel tersebut. Teknik kriopreservasi dibedakan menjadi dua, yaitu

motede konvensional dan metode vitrifikasi (Yamaner et al.,2015).

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan kriopreservasi

adalah ekstender yang digunakan (Toelihere, 1993). Pengencer yang baik akan

mampu mempertahankan fertilitas spermatozoa dan mampu menyediakan nutrisi

sebagai sumber energi yang cukup untuk mempertahankan hidup sperma dari

proses pembekuan sampai sperma tersebut siap untuk digunakan. Ketersediaan

sumber energi yang berasal dari karbohidrat merupakan salah satu prasyarat untuk

pengencer semen yang baik. Terdapat tiga jenis karbohidrat yang mudah didapat

dan sering digunakan sebagai sumber energi bagi sperma dalam berbagai jenis

penelitian, yaitu glukosa, fruktosa dan sukrosa (Salisbury dan VanDemark, 1985).

Penggunaan jenis karbohidrat yang tepat sebagai sumber energi dalam

ekstender akan berdampak pada kualitas semen beku yang dihasilkan. Terutama

terhadap motilitas sperma dan persentase sperma hidup. Oleh karena itu, perlu

dilakukan penelitian terhadap jenis ekstender terbaik yang dapat digunakan dalam

kriopreservasi sperma ikan kerapu kertang.


3

1.3 Rumusan Masalah

1. Apakah penggunaan sukrosa sebagai ekstender pada kriopreservasi sperma

dengan metode konvensional berpengaruh terhadap motilitas dan viabilitas

sperma ikan kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus)?

2. Apakah penggunaan fruktosa sebagai ekstender pada kriopreservasi

sperma dengan metode konvensional berpengaruh terhadap motilitas dan

viabilitas sperma ikan kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus)?

1.4 Tujuan

1. Mengetahui pengaruh penggunaan sukrosa sebagai ekstender pada

kriopreservasi spermadengan metode bertahap terhadap motilitasdan

viabilitas sperma ikankerapu kertang (Epinephelus lanceolatus).

2. Mengetahui pengaruh penggunaan fruktosa sebagai ekstender pada

kriopreservasi sperma dengan metode bertahap terhadap motilitas dan

viabilitas sperma ikan kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus).

1.5 Manfaat

Dapat mengembangkan teknologi kriopreservasi spermatozoa ikan kerapu

kertang (Epinephelus lanceolatus) dengan motilitas sperma yang tinggi serta

viabilitas sperma yang rendah sehingga dihasilkan sperma dengan kemampuan

fertilisasi dan daya tetas telur yang tinggi.


4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kriopreservasi Konvensional

Kriopreservasi adalah teknik penyimpanan atau pengawetan materi

genetik, salah satunya sperma dengan membekukan pada suhu sangat rendah

hingga -196˚C dengan nitrogen cair (Dey, 2016). Kriopreservasi sperma ikan

memiliki keuntungan diantaranya menyimpan sperma dalam waktu lama,

mengoptimalkan induk berkualitas dan mengurangi biaya pemeliharaan stok induk

jantan (Yamaner et al.,2015). Proses kriopreservasi sperma meliputi pengambilan

sperma, pengenceran, pengemasan sperma dalam straw, cooling (pendinginan),

ekuilibrasi pada suhu 4±1˚C pada pendingin (coldtube), kemudian prefreezing

padasuhu -104˚C dengan meletakkan straw pada uap nitrogen cair sekitar 3 cm

diatas nitrogen cair dan dibiarkan 10 menit, kemudian freezing dengan

memasukan straw dalam nitrogen cair -196˚C (Agarwal, 2011).

Kriopreservasi membutuhkan krioprotektan untuk melindungi dari cold

shock. Krioprotektan yang digunakan dalam kriopreservasi sperma salah satunya

yaitu gliserol atau Dimethyl sulphoxide (Francis et al., 2013). Konsentrasi gliserol

atau DMSO (Dimethyl sulphoxide) sebanyak 10 – 15 % dari sperma baik untuk

menghasilkan motilitas yang optimum pada kriopreservasi sperma ikan mas

(Francisetal.,2013).

Teknik kriopreservasi mempunyai kelebihandan kekurangan. Kelebihan

dari kriopreservasi secara umum adalah (1) bahan atau materi dapat disimpan

dalam waktu tidak terbatas; (2) dapat dikoleksi setiapsaat; (3) dapat digunakan

kapan saja bila dibutuhkan; (4) melestarikan plasma nutfah yang mendekati
5

kepunahan; (5) tidak perlu mengimpor atau memelihara pejantan-pejantan unggul;

(6) tidak membutuhkan ruangan yang besar karena tabung nitrogen cair cukup

memadai untuk menyimpan bahan dalam ragam danjumlah yang banyak; dan (7)

tidak menyebabkan perubahan material genetik yang disimpan. Sementara itu,

kekurangannya adalah (1) biaya pelaksanaan cukup mahal; (2) memerlukan tenaga

yang terampil dan berpengalaman; (3) nitrogen cair perlu tersedia secara kontinyu;

dan (4) hanya semen yang berkualitas baik yang dapat dan layak dibekukan

(Toelihere, 1985).

Teknik kriopreservasi dapat dibedakan atas teknik kriopreservasi

konvensional (conventional slowfreezing) dan kriopreservasi secara cepat atau

vitrifikasi (rapid freezing). Teknik kriopreservasi konvensional adalah teknik

kriopreservasi yang lebih menekankan pada proses pembekuan lambat. Pada

teknik ini, suhu diturunkan secara bertahap dengan mesin pendingin yang dapat

diprogram. Dengan teknik ini kristal es masih terbentuk, baik ekstraseluler

maupun intraseluler (Watson, 2000).

Teknik kriopreservasi konvensional juga disebut dengan teknik

pembekuan dua tahap. Teknik pembekuan dua tahap meliputi inkubasi sel dalam

krioprotektan dengan total konsentrasi 1-2 M yang menyebabkan dehidrasi

moderat dan diikuti oleh pembekuan lambat, misalnya dengan kecepatan

1oC/menit hingga suhu -35oC, lalu pembekuan dalam nitrogen cair dan thawing

untuk evaluasi (Kostaman dan Setioko, 2011).


6

2.2 Kerapu Kertang

2.2.1 Klasifikasi Ikan Kerapu Kertang

Klasifikasi ikan kerapu Kertang menurut Heemstra dan Randal, (1993)

adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Serranidae
SubFamili : Epinephelinae
Genus : Epinephelus
Spesies : Epinephelus lanceolatus

2.2.2 Morfologi

Ikan Kerapu merupakan ikan karang yang di dunia dikenal sebagai

Grouper, Rockcods, Hinds, dan Seabass, yang dimasukkan ke dalam famili

Serranidae, sub famili Ephinephelinae, yang terdiri atas 15 genera dan mencakup

159 spesies Heemstra dan Randal,(1993).

Kerapu kertang memiliki bentuk tubuh compres dan sedikit membulat,

warna tubuh abu-abu kehitaman dengan 4 garis melintang yang kurang begitu

jelas (samar-samar), semua sirip (pektoral, anal, ventral, dorsal dan caudal)

dengan dasar berwarna kuning dilengkapi dengan bintik-bintik hitam, bintik juga

banyak tersebar dikepala dan didekat sirip pectoral dengan jumlah yang berlainan

pada setiap individu, sirip punggung semakin melebar kearah belakang, sirip

punggung menyatu yang terdiri atas 11 jari-jari keras dan 15 jari-jari lunak, sirip

pectoral terdiri atas 17 jari-jari lunak, sirip ventral terdiri dari 1 jari-jari keras dan

5 jari-jari lunak, sirip anal terdiri dari 2 jari-jari keras dan 8 jari-jari lunak,
7

sedangkan sirip caudal terdiri 13 jari-jar lunak. Bentuk ekor rounded, bentuk

mulut lebar (bibir bawah lebih panjang dari bibir atas). Heemstra dan Randal,

(1993). Seperti yang ditampilakan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Ikan Kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus)


Sumber: Heemstra dan Randal (1993)

Pada umumnya ikan Kerapu bersifat soliter tetapi pada saat akan memijah

bergerombol, diperairan Indo Pasifik puncak pemijahan berlangsung beberapa hari

sebelum bulan purnama pada malam hari. Dari hasil pengamatan di wilayah

perairan Indonesia, musim-musim pemijahan ikan kerapu terjadi pada bulan Juni-

September dan November-Februari terutama di kepulauan Riau, Karimunjawa,

dan Irian Jaya (Sugama, 2001). Ikan kerapu umumnya bersifat hermaprodit

protogini yaitu akan mengalami perubahan jenis kelamin dari betina ke jantan

setelah melewati ukuran tertentu. Sedangkan untuk induk kerapu kertang, sampai

saat ini belum ada literatur yang menginformasikan tentang ukuran berapa induk

kerapu kertang berubah kelamin. .

2.2.3 Habitat dan Penyebaran

Ikan Kerapu Kertang di Indonesia tersebar di perairan Padang, Bengkulu,


8

Kepulauan Seribu, Karimun Jawa, Bawean, Flores, Kalimantan Timur, dan

Sulawesi Selatan. Salah satu indikator adanya ikan kerapu adalah perairan karang.

Indonesia memiliki perairan karang yang cukup luas sehingga potensi sumber

daya ikan kerapu sangat besar. Siklus hidup ikan kerapu muda hidup di perairan

karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 meter, selanjutnya menginjak masa dewasa

beruaya keperairan yang lebih dalam antara 7,0-40 meter. Telur dan larva bersifat

pelagis sedangkan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal (Tampubolon

dan Mulyadi.1989)

Suprakto dan Fahlivi (2007) menyatakan bahwa parameter ekologis yang

cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu, yaitu temperatur berkisar 24-31oC,

salinitas berkisar 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut lebih dari 3,5 ppm dan ph

antara 7,8-8,0. Perairan dengan kondisi tersebut pada ummumnya terdapat pada

perairan terumbu karang.

2.2.4 Kebiasaan Pakan

Menurut Kordi (2010), kerapu dikenal sebagai ikan pemangsa (predator)

yang memangsa berbagai jenis ikan kecil, plankton hewani, udang-udangan,

cumi- cumi dan hewan-hewan kecil lainnya. Ikan kerapu dikenal sebagai pemakan

hewan/daging atau karnivor yang rakus. Berdasarkan pengamatan isi perut kerapu

ukuran kecil/kerapu muda, diketahui kandungan di dalamperutnya didominasi

oleh golongan krustase (udang-udangan dan kepiting) sebanyak 83% dan ikan-

ikanan sebesar 17%. Namun, semakin besar ukuran kerapu, komposisi isi

perutnya didominasi oleh ikan-ikanan. Jenis udang-udangan yang banyak

dijumpai dalam isi perut kerapu adalah jenis udang krosok (parapeneussp), udang
9

dogol (metapenaeus sp) dan udang jerbung (panaeus merguiensis). Sementara

dari kelompok ikan- ikanan yang ditemui pada umumnya adalah ikan teri

(stelopterus sp), beronang (siganus sp), tembang (sardinella sp), belanak (mugil

sp), jenaha (lutjanus sp), sotong (sepia sp), gurita (octopus sp), dan cumi-cumi

(loligo sp) dalam jumlah kecil. Karena itu, kandungan protein dalam makanan

ikan kerapu cukup tunggi.

2.2.4 Reproduksi

Di habitat aslinya, kerapu melakukan pemijahan pada malam hari, yakni

antara pukul 8 malam hingga 3 pagi. Biasanya,kerapu jantan akan berenang

berputar-putar mengikuti kerapu betina. Setelah kerapu betina mengeluarka

ntelurnya, kerapu jantan akan mengeluarkan spermanya kemudian telur akan

dibuaholehi sperma. Fenomena perubahan jenis kelamin pada kerapu sangat erat

hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran

(Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).

Ikan kerapu kertang termasuk dalam jenis ikan yang hermaprodit

protogini. Hermaprodit protogini merupakan keadaan proses diferensiasi gonad

berjalan dari fase betina ke fase jantan. Perubahan kelamin ini dipengaruhi ukuran,

umur, dan jenisnya (Mariskha dan Abdulghani,2012).

2.3Krioprotektan

Krioprotektan ialah zat kimia nonelektrolit yangberperan dalam

mengurangi pengaruh mematikanselama pembekuan baik berupa pengaruh

larutanmaupun adanya pembentukan kristal es sehinggaviabilitas sel dapat


10

dipertahankan. Berdasarkan carakerjanya krioprotektan dikelompokkan

mejadipenetraatting (bekerja di dalam dan di luar sel), sepertietilen glikol dan

propilen glikol dan non-penetrating (hanya di luarsel), seperti sukrosa, glukosa,

atau fruktosa. Sementara itu, berdasarkan bahan yang terkandung didalamnya

krioprotektan dikelompokkan menjadi duagolongan, yaitu kelompok alkohol

(etilen glikol,gliserol, dan lain-lain) dan kelompok amida(dimetilformamid,

asetamid, metilformamid, dan lain-lain)(Kostaman dan Setioko,2011).

Dasar pemilihan jenis krioprotektan untukpembekuan semenselain

mengandung bahanyang bekerja melindungi sel pada saat pembekuan juga harus

mempunyai bobot molekul yang kecil agar lebihmudah dan cepat penetrasi ke

dalam sel, sehinggamengurangi toksisitas akibat osmolaritas yang tinggi;dan

mudah larut dalam air. Pengaruh krioprotektandalam melindungi spermatozoa

pada saatkriopreservasi selain dari cara kerjanya, jugadipengaruhi oleh jenis dan

konsentrasinya. Salah satu krioprotekan yang umum digunakan pada

pembekuansemen adalah dimethylsulfoxide (DMSO) (Kostaman dan Setioko,2011).

DMSO adalah campuran organosulfur dengan rumus kimia (CH 3)2SO dan

memiliki berat molekul sebesar 78,13. DMSO merupakan pelarut polar aprotic

atau biasa dikenal sebagai krioprotektan konvensional yang ditambahkan kemedia

sel untuk mencegah kematian sel selama proses pembekuan. Prinsip kerja DMSO

dalam pembekuan sperma yaitu molekul-molekul DMSO yang kecil akan masuk

kedalam sel spermatozoa untuk menggantikan air dalam sel spermatozoa. Kristal

es yang terbentuk dalam medium pengencer pada waktu pembekuan dapat dicegah

dengan penggunaan konsentrasi DMSO yang tepat (Gerzilov, 2010).


11

2.4Ekstender

Ekstender merupakan bahan pengencer yang ditambahkan pada sperma

untuk mempertahankan fertilisasinya (Setyono, 2009). Ekstender diperlukan

digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kimia sehingga spermatozoa

dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya selama proses kriopreservasi.

Fungsi dari ekstender sendiri ialah sebagai pelindung sel sperma terhadap kejutan

dingin selama proses pembekuan dan pencairan kembali. Bahan pengencer

menghambat aktivasi spermatozoa sehingga viabilitas dan kelangsungan hidupnya

dapat dipertahankan (Barozha, 2015). Fungsi lain dari ekstender yaitu merupakan

sumber energi, mencegah pengaruh yang merugikan seperti perubahan pH akibat

terbentuknya asam laktat, mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan

elektrolit, menghambat pertumbuhan bakteri, meningkatkan volume semen

sehingga dapat digunakan untuk inseminasi buatan dan memproteksi sel sperma

selama proses pembekuan (Hafez, 2002).

2.4.1 Sukrosa

Sukrosa merupakan disakarida yang dihidrolisis akan berubah menjadi

molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa memiliki kemampuan

sebagai krioprotektan non penetrating atau ekstender yang tahan terhadap tekanan

osmotik untuk mengontrol peningkatan volume sel dan membatasi gerakan air

melintasi membra sel (Sutarjo., 2015). Suharman (2017) menyatakan bahwa,

sukrosa memiliki fungsi melindungi membran sel spermatozoa dari pengaruh

kejutan dingin akibat proses penyimpanan pada suhu rendah dan sebagai sumber

energimetabolisme spermatozoa selama proses penyimpanan.


12

2.4.2 Fruktosa

Fruktosa merupakan turunan karbohidrat yang dapat dijadikan

sumberenergi untuk mendukung motilitas dan ketahanan spermatozoa (Toelihere,

1993).

Fruktosa menghasilkan ATP untuk kontraksi fibril-fibril pada ekor spermayang

digunakan untuk pergerakan (motilitas) spermazoa (Hemmerstedt, 1993).

Sementara Mukminat dan Suharyati (2014) menyatakan bahwa fruktosa

merupakan turunan dari sukrosa yang lebih mudah dan cepat diolah oleh

spermatozoa menjadi energi dibandingkan dengan sukrosa yang membutuhkan

waktu lebih lama.

2.5 Motilitas Sperma


Motilitas spermatozoa merupakan salah satu penentu kualitas sperma yang

diamati dari pergerakan sperma yang progresif (Yumte dkk., 2013). Motilitas

spermatozoa bersumber dari energi pada bagian ekor yang terdiri dari dua bagian

ujung (end piece). Bagian pangkal sperma terdapat mitokondria yang berfungsi

sebagai metabolisme untuk menghasilkan energi (Yumte dkk., 2013).

MenurutYumtedkk.(2013)motilitasspermatozoaberasaldarienergihasil

perombakan ATP (Adenosine Trifosfat) di dalam mitokondria melalui reaksi

penguraian ADP (Adenosine difosfat) dan AMP (Adenosine monofosfat). Energi

yang dihasilkan bagian ujung yang digunakan sperma untuk bergerak. Motilitas

spermatozoaberkaitandenganviabilitaskarenapersentasemotilitasyangrendah

akanmenghasilkanviabilitasrendah.MenurutIslamdanAkhter(2011)lamahidup

ataulamapergerakanspermatozoapadaikansebagianbesarselama30detikhingga
13

beberapa menit. Menurut Condro dkk. (2012) sperma segar pada ikan komet

memiliki lama gerak selama 215 detik. Menurut Akcay et al. (2004) rata-rata

lama pergerakan spermatozoa segar pada mirror carp yaitu 540 detik sedangkan

mengalami penurunan menjadi 250 detik setelahkriopresevasi.

2.6 Viabilitas Sperma

Viabilitas merupakan kemampuan hidup spermatozoa. Viabilitas minimal

spermatozoauntukpenyimpananadalah70%(Rustidja,2000).Kemampuanhidup dari

spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, pH, konsentrasi

sperma dan membran plasma sel (Munazaroh dkk, 2013). Derajat

keasamandarispermajugaakanmempengaruhiviabilitaskarenapHyangsemakin

tinggi atau semakin rendah dari pH normal akan meyebabkan spermatozoa lebih

cepat mati (Munazaroh dkk., 2013).

Membran plasma spermatozoa berpengaruh pada viabilitas, karena

membran plasma spermatozoa yang mengalami kerusakan akan mengganggu

metabolisme sehingga motilitas dari spermatozoa akan terganggu dan dapat

mengakibatkan kematian (Ariantie dkk., 2013). Spermatozoa yang telah mati akan

menyerap warna karena mengalami peningkatan permeabilitas membran plasma.,

sehingga zat warna masuk ke dalam sel. Sedangkan spermatozoa yang hidup tidak

terwanai sehingga tampak berwarna jernih (Tambing dkk., 2001).

2.7Spermatogenesis

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan sperma yang terjadi

dalam tubulus seminiferus yang terdapat pada testis. Perkembangan sperma


14

meliputi spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid dan

spermatozoa (Raghuver and Senthilkumaran, 2010).

Spermatogonia (2n) yang terletak di tubulus seminiferus membelah secara

mitosisuntukmenghasilkanspermatositprimer(2n).Spermatositprimerkemudian

mengalamimeiosisIsehinggamenghasilkanspermatositsekunder(n).Spermatosit

sekunder akan membelah melalui meiosis II dan menghasilkan spermatosit (n)dan

selanjutnya tahap spermiogenesis. Spermatid (n) akan menghasilkan spermatozoa

padatahapspermiogenesis(Ibtishametal.,2017).Pembentukanspermatozoapada

gambar 2.2.

Gambar 2.2 Pembentukan Spermatozoa


Sumber : Ibtisham et al. (2017)

Pembentukan spermatogenesis dipengaruhi oleh beberapa hormon

diantaranya hormon LH, FSH dan testosteron. Hormon testosteron membantu

dalam proses pembentukan spermatozoa, mempersiapkan dan memelihara germ

cells, dan memelihara sel Leydig (Hasbi dan Gustina, 2018). Hormon testosteron

juga berperan dalam mengontrol sifat seks sekunder dan aktivitas kelenjar
15

reproduksi asesori (Zahavi dan Perrel, 2011). Hormon Luteinizing Hormone (LH)

dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) merupakan hormon utama yang

mengontrol perkembangan germ cell. Hormon Luteinizing Hormone (LH) dalam

sel leydig berperan dalam mempertahankan konsentrasi testosteron dan menjaga

spermatogenesis agar dapat berlangsung normal (Verhoeven et al., 2010). Follicle

Stimulating Hormone (FSH) berfungsi mengontrol proliferasi dan mempertahakan

fungsi sel sertoli (Kuiri-Hänninen et al., 2011).

2.8Koleksi Sperma Ikan Kerapu

Sperma ikan mas diperoleh dari induk jantan ikan mas yang telah matang

gonad.Caramengambilspermaikankerapuyaitudenganmetodestripping.Stripping

merupakan cara pengambilan sperma dengan megurut bagian perut ke arah lubang

genital jantan ikan (Aziz dan Ockstan, 2017).

Strippingdilakukandengancaramenutupitubuhikanmasjantandengankain,

namun pada bagaian perut dan lubang genital dibiarkan terbuka, kemudian bagian

perutdiurutkearahlubanggenitaldanspermayangkeluarditampungdalamwadah (Aziz

dan Ockstan, 2017). Standar kualitas sperma untuk pembekuan memiliki

konsentrasi 3 x 106 sel/ mL (Rustidja,2000).

2.9Morfologi SpermaIkan

Sperma ikan memiliki bagian kepala, mid-piece, dan ekor (flagellum).

Bagian kepala memiliki diameter yang bervariasi, berisi kromosom di dalam

nukleus.Ukurankepalaspermapadaikanrelatiflebihkecilyaitu2-4µ.Mid-piece pada

sperma merupakan penghubung leher dan ekor. Selain itumid-piece mengandung


16

mitokondria yang berfungsi untuk metabolisme sperma (Islam dan Akhter, 2011).

Bagian ekor sperma (flagella) berfungsi untuk pergerakan dan penetrasi

sperma ke dalam sel telur saat fertilisasi. Panjang dari ekor sperma bervariasi

tergantung pada spesies dan mengandung aksonem (Islam and Akhter, 2011).

Menurut Gusrina (2008) bentuk dan ukuran sperma setiap spesies berbeda namun

masih memiliki struktur morfologi yang sama. Kepala sperma secara umum

berbentuk oval atau bulat. Morfologi sperma dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3Morfologi Sperma


Sumber : Islam dan Akher (2011)

Morfologi yang tidak lengkap akan menimbulkan abnormalitas sehingga

dapat berpengaruh terhadap motilitas sperma. Sperma yang abnormal ditandai

dengan bentuk sperma tanpa kepala, kepala tanpa ekor, ekor melingkar, kepala

ganda (Cahyadi dkk., 2016).


17

III KERANGKA KONSEPTUAL DANHIPOTESIS

3.1 Keragka Konseptual

Kriopreservasi adalah teknik penyimpanan atau pengawetan materi genetik

salah satunya sperma dengan membekukan pada suhu sangat rendah (-196 ˚C)

menggunakannitrogencair(Dey,2016).Keberhasilan kriopreservasi dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu kualitas sperma, bahan pengencer (ekstender) dan

bahan pengawet (cryoprotectan) (Abinswanto dkk, 2012). Kriopreservasi dapat

dilakukan dengan dua teknik yaitu kriopreservasi konvensional (conventional

slowfreezing) dan kriopreservasi secara cepat (rapidfreezing). Teknik

kriopreservasi konvensional adalah teknik kriopreservasi yang lebih menekankan

pada proses pembekuan lambat. Pada teknik (Watson, 2000).

Proses kriopreservasi sperma memerlukan adanya bahan pengencer. Bahan

pengencer yang umum digunakan yaitu Krioprotektan dan ekstender.

Krioprotektan yang bisa digunakan yaitu DMSO yang dimungkinkan dapat

memberikan perlindungan terhadap adanya kerusakan spermatozoa selama proses

pembekuan. DMSO memiliki kemampuan yang cepat untuk penetrasi kedalam sel

pada saat equilibrasi dan meninggalkan sel pada saat thawing sehingga banyak

digunakan pada proses kriopreservasi (Sunarma dkk., 2007). Ekstender yang

digunakan yaitu sukrosa dan fruktosa yang berfungsi sebagai sumber energy untuk

mempertahankan hidupnya (Bhattacharya dan Prajapati, 2016).


18

Kriopreservasi

Pembekuan

Penurunan
suhu sangat Konvensional Vitrifikasi
rendah

Kendala: Krioprotektan Ekstender


1. Cold shock
2. Pembentukan Kristal es DMSO
Sukrosa Fruktosa
3. Kerusakan sel

 Membutuhkan waktu
 Meminimalisir kerusakan sel lebih lama untuk
menghasilkan energi
 Mempertahankan fungsi
fisiologis, biologis, dan  Sukrosa 2% dapat
morfologi sel menghasilkan energi 76
ATP

 Lebih mudah dan cepat


Melindugi sperma dan diolah menjadi energi.
mengurangi terbentuknya  Fruktosa 2% dapat
kristal akibat coldschock menghasilkan energi 36
ATP
 Melindungi membrane sel
dari kejutan dingin
 Mempertahankan daya
hidup

Mempertahankan motilitas dan viabilitas spermatozoa

Diamati
Tidak dimati

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian


19

3.2 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Mengetahui pengaruh ekstender sukrosa pada kriopreservasi sperma dengan

metode bertahap terhadap motilitas sperma ikan kerapu kertang (Epinephelus

lanceolatus).

H0 : Ekstender sukrosa dan fruktosa pada kriopreservasi sperma dengan metode

konvensional tidak memberikan pengaruh terhadap motilitas dan viabilitas

sperma ikan kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus).

H1 :Ekstender sukrosa pada kriopreservasi sperma dengan metode konvensional

memberikan pengaruh terhadap motilitas dan viabilitas sperma ikan kerapu

kertang (Epinephelus lanceolatus).

H1 : Ekstender fruktosa pada kriopreservasi sperma dengan metode

konvensionalmemberikan pengaruh terhadap motilitas dan viabilitas sperma

ikan kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus).


20

IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Taman Pendidikan (Teaching

Farm) Fakultas Kedoktaran Hewan Universitas Airlangga selama 1 bulan.

4.2 Materi Penelitian

4.2.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah bak plastik,

kain lap, gelas ukur, tabung reaksi, spuit, pipet, mikroskop, pH meter, stirer

magnetic, cool box, water bath, panci, kompor, objectglass, cover

glass,beakerglass,spatula,thermometer, aerator, ae,timbangandigital, kaca arloji,

microtube, mini straw, tabung nitrogen cair, diluter, dan lemari pendingin..

4.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini daiantaranya adalah induk

jantan ikan kerapu kertang matang gonad, sperma ikan kerapu kertang, nitrogen

cair, DMSO, sukrosa, fruktosa, tris, dry ice, streptomycin, penicillin, NaCl, dan

aquadest.

4.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental.

Metode eksperimental adalah metode yang dilakukan dengan pemberian

kesempatan pada perorangan maupun kelompok dengan secara sengaja, dirancang

dan direncanakan dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran suatu teori


21

melalui cara yang teratur dan sistematis (Rismawati dkk.,2016).

4.3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

eksperimental dengan rancangan acak lengkap (RAL) menggunakan 3 perlakuan

dan 4 kali ulangan. Rumus yang digunakan untuk menentukan ulangan penelitian

adalah sebagai berikut (Kusriningrum, 2008) :

t (n-1) > 15

Keterangan :
t = Total perlakuan ; n = Jumlah ulangan

Perlakuan pada penelitian ini adalah sebagai berkut :

P0 : tanpa penambahan ekstender sukrosa/fruktosa

P1 : penambahan ekstender sukrosa

P2 : penambahan ekstender fruktosa

4.3.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau kegiatan yang memiliki

variasi tertentu yang ditentukan oleh peneliti dalam mempelajari dan mencari

informasi sehingga dapat ditarik kesimpulanya (Ridha, 2017). Variabel dalam

penelitian ini diantaranya :

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi atau menjadi

sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat. Penelitian ini menggunakan


22

variabel bebas berupa perbedaan ekstender sukrosa dan fruktosa pada

kriopreservasi sperma.

2. Variable Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat

dari penggunaan variabel bebas. Penilitian ini menggunakan variabel terikat

berupa motilitas dan viabilitas spermatozoa ikan kerapu kertang yang telah

dilakukan kriopreservasi.

4.4 Prosedur Kerja

4.4.1 Pengambilan Sperma Ikan Kerapu Kertang

Pengambilan sperma ikan kerapu kertang (Epinepheluslanceolatus)

dilakukan cara mengeluarkan sperma (stripping) dengan menutupi tubuh ikan

kerapu kertang jantan dengan kain, namun pada bagian perut dan lubang genital

dibiarkan terbuka, lalu mengurut secara perlahan pada daerah perut persis didepan

papila alat kelamin dan kearah lubang genital sampai keluar cairan sperma ikan

yang berwarna putih untuk ditampung dalam wadah. Kualitas sperma yang baik

untuk fertilisasi yaitu sperma yang memiliki keutuhan membran plasma, viabilitas

tinggi serta motilitas yang progresif (Taofik,2012). Sperma ikan hasil stripping di

tampung dalam wadah yang kering dan steril lalu dilakukan pemeriksaan secara

mikroskopis dan makroskopis.

4.4.1 Pembuatan Ekstender

Pembuatan larutan ekstender dibagi menjadi dua bagian yaitu larutan

ekstender A dan B yang dibuat masing-masing dalam 9 ml. Larutan A terdiri dari
23

Tris aminomethane, sukrosa/fruktosa, penicillin, streptomycin dan NaCl fisiologis.

Sedangkan larutan B terdiri dari NaCl fisiologis dan DMSO 20%.

4.4.4 Pengenceran dan Kriopreservasi Sperma Ikan Kerapu Kertang

Pengenceran dilakukan apabila sperma ikan kerapu kertang

(Epinepheluslanceolatus) yang diperoleh memiliki konsentrasi sel yang terlalu

tinggi. Larutan eksteder terdiri dari 2 jenis yaitu larutan A dan larutan B. Sperma

ikan hasil stripping dimasukan kedalam beaker glass dengan masing-masing

perlakuan (P0, P1 dan P2). Setelah itu, dilakukan pemeriksaan motilitas dan

viabilitas spermatozoa (Rani dan Munuswamy, 2014). Tahap selanjutnya

dilakukan filling and sealing spermatozoa kedalam mini straw berukuran 0.25 ml.

Pengemasan suspensi sperma menggunakan straw mini (0.25 ml)

dilakukan pada suhu ruang (Dalimunthe dkk, 2017) dan diinkubasi selama 30

menit pada suhu 22°C. Kemudian dimasukkan ke dalam kulkas dengan suhu 4 oC,

selama 10 menit dan pada suhu -6°Cselama 15 menit, selanjutnya seluruh straw

diletakkan horisontal di rak dengan jarak 3 cm diatas permukaan nitrogen cair

pada suhu kurang lebih -140°C selama 10 menit (Bozkurt et al., 2016) Setelah itu,

sampel disimpan ke dalam nitrogen cair pada suhu -196°C selama interval waktu

24 jam.

4.4.7 Thawing

Thawing merupakan pencairan kembali pada kriopreservasi sperma ikan

kerapu kertang (Epinepheluslanceolatus) setelah proses pembekuan dengan

menaikkan suhu secara gradual sebesar 25±1°C selama 20 detik (Hardanny,


24

2012). Thawing dilakukan dengan mengambil sperma beku dalam mini straw dari

kontainer nitrogen cair dan pengambilan dilakukan secara satu per satu dengan

menggunakan pinset.

4.5 Parameter Penelitian

4.5.1 Motilitas Sperma

Presentase Sperma motil dihitung dengan menggunakan mikroskop.

Sperma dihitung motil jika bisa bergerak dengan progresif. Sperma yang tidak

bergerak atau hanya bergerak berputar ditempat dihitung sebagai sperma yang

mati. Skor yang diberikan mengacu pada metode dari McMaster (1992).

Tabel 1. Kriteria penilaian motilitas spermatozoa

Kriteria Skor

Sangat buruk (hanya 0-20% motil progesif) 1

Buruk (hanya 20-40% motil progesif) 2

Baik (hanya 40-60% motil progesif) 3

Sangat baik (hanya 60-80% motil progesif) 4

Sempurna (80-100% motil progesif) 5

4.5.2 Viabilitas Spermatozoa

Pengukuran viabilitas sperma dihitung dengan menggunakan timer dan

mikroskop. Waktu mulai berjalan semenjak sperma diaktifkan menggunakan air.

Penghitungan durasi sperma motil dilakukan dengan menggunakan timer.

Perhitungan waktu dihentikan saat persentase sperma motil progresif turun pada
25

ambang 30% untuk meminimalisir bias, hal ini sama dengan metode yang

digunakan Marques (2004).

4.6 Analisis data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah Analyze of

Variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan, jika

terdapat hasil yang signifikan maka perhitungan dilanjutkan dengan uji jarak

berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test)(Al-Arif, 2016). Uji Duncan

dilakukan untuk mengetahui perlakuan terbaik dan terendah serta perbedaan nyata

antar perlakuan (Kusriningrum, 2012).


26

4.7 Alur Penelitian

Persiapan Penelitian

Pemeriksaan Sripping Pembuatan


makroskopis & ekstender
sperma
mikroskopis

Ekstender A Ekstender B

Sperma + Ekstender A
Di dalam cool room

Suspensi sperma + Ekstender B


Di dalam cool room
Pemeriksaan
makroskopis & Equilibrasi 15oC selama 1 jam
mikroskopis Di dalam cool room

Filling & Sealing ke mini straw


Di dalam cool room

Inkubasi 30 menit pada suhu 22 oC


Di dalam cool room

Inkubasi 10 menit pada suhu 4 oC


Di dalam cool room
Inkubasi 15 menit pada suhu -6 oC
Di dalam cool room

Inkubasi 10 menit pada suhu -140 oC


Di dalam cool room

Penyimpanan min. 24 jam pada suhu -196


o
C
Di dalam cool room
Thawing 25oC selama 20 detik
Di dalam cool room

Parameter penelitian
Motilitas & Viabilitas
Di dalam cool room
Analisa data
Di dalam
cool room
Kesimpulan
Di dalam
cool room
27

4.8 Pelaksanaan Kegiatan

Tabel 2.Jadwal rencana pelaksanaan penelitian


No. Kegiatan Waktu Pelaksanaan (Hari)
1. Persiapan
1.1 Perijinan 2
2. Penyusunan Usulan Penelitian 14
3. Konsultasi Usulan Penelitian 14
4. Pelaksanaan Penelitian 30
5. Penyusunan Laporan Skripsi 21
6. Konsultasi Laporan Skripsi 21
Total Waktu Penyelesaian 102
28

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, N. K. 2011. Cryopreservation Fish Semen. Journal Himalayan Aquatic


Biodiversity Conservation & New Tools in Biotechnology. Transmedia
Publication, 114.

Akcay, E., Y. Bozkurt., S. Secer and N. Tekin. 2004. Cryopreservation of Mirror


Carp Semen. Journal Turk Vet Animal Sci, 28 : 837-843.

Al-Arif, M. A. 2016. Buku Ajar Rancangan Percobaan. Fakultas Kedokteran


Hewan Universitas Airlangga. Surabaya. 105 hal.

Ariantie, O. S., T. L. Yusuf., D. Sajuthi dan R. I. Arifiantini. 2013. Pengaruh


Krioprotektan Gliserol dan Dimethilformamida dalam Pembekuan Semen
Kambing Peranakan Etawah Menggunakan Pengencr Tris Modifikasi.
JITV, 18 (4): 239-250.
Aziz, A. E dan K. Ockstan. 2017. Pengaruh Ovaprim, Aromatese Inhibtor, dan
Hipofisa Terhadap Kualitas Telur Ikan Lele (Clarias gariepinus). Jurnal
Budidaya Perairan, 5 (1): 12-20.
Bozkurt, Y., Ilker, Y. and Cengiz, Y. 2016. Effect of Extender Supplemented with
Different Sugar Types on Post-thaw Motility, Viability and Fertilizing
Ability of Cryopreserved Common Carp (Cyprinus carpio) Spermatozoa.
The Israeli Journal of Aquaculture. 8 pages.
Condro, H. S., A. S. Mubarak dan L. Sulmartiwi. 2012. Pengaruh Penambahan
Madu pada Media Pengencer NaCl Fisiologis dalam Proses Penyimpanan
Sperma Terhadap Kualitas Sperma Ikan Komet (Carassius auratus).
Journal of Marine Coastal Sciences, 1(1): 1-12.
Dalimunthe, N.W.Y., M. Rosyid, R. dan Agung, B. 2017. Optimalisasi
Pembekuan Sperma Limbah Kauda Epididimis Kambing Lokal dengan
Metode Bertahap Dan Stabilisasi. Jurnal Sain Veteran, 35 (2): 150-158.
Dey, A. 2016. Cryopreservation. Research and Reviews: Journal of Veterinary
Sciences, 2 (2) : 24- 29.
rd
Elder, KandB. Dale. 2011. In Vitro Fertilization 3 Edition. Cambridge University
Press. New York. USA.
Francis,T.,C.A Devi, and M. Selvamagheswaran. 2013. Cryopreservaation of Carp
Spermatozoa. Journal Indian of Science and Technology, 6 (5) : 4524-
4530.
Gardner, D. K., A. Weissman, C. M. Howles., Z. Shoham. 2009. Textbook of
Assisted Reproductive Technologies Laboratory and Clinical Perspective.
Informa Healthcare Publishing. London, UK.
29

Gazali, M dan S. N. Tambing. 2002. Kriopreservasi Sel Spermatozoa. Hayati, 9


(1):27-32.
Gusrina. 2008. Budi Daya Ikan Jilid 1 untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan. Jakarta.165-174 hal.
Hardhanny, A. P. 2012. Suhu dan Lama Waktu Thawing yang Berbeda Terhadap
Viabilitas dan Daya Fertilisasi Spermatozoa Ikan Mas (Cyprinus carpio
L.). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga.
Surabaya.
Hasbi, H dan S. Gustina. 2018. Regulasi Androgen dalam Spermatogenesi Untuk
Meningkatkan Fertilitas Ternak Jantan. Jurnal Wartazoa, 28(1): 013-022.
Heemstra PC and Randall JE. 1993. Groupers of the World (Family Serranidae,
Subfamily Epinephelinae): An Annotated and Illustrated Catalogue of the
Grouper, Rockcod, Hind, Coral Grouper and Lyretail Species Knows to
Date.FAOSpeciesCatalogue.Vol.16.FoodandAgricultureOrganization of
the United Nations, Rome,IT.
Hikmawan, S. W., G. Ciptadi dan S. Wahyuningsih. 2016. Kualitas Spermatozoa
Swim Up Kambing Peranakan Etawah Hasil Pembekuan Menggunakan
Metode Vitrifikasi Dengan Persentase Gliserol Yang Berbeda. Jurnal
Ternak Tropika, 17(1): 42-48.
Ibtisham, F., W. Jiang., M. Xiao., L. An., A. Banker., A. Nawab., Y. Zhao and G.
Li. 2017. Progress and Future Prospect of in Vitro Spermatogenesis.
Journal Impact Oncotarget, 8 (39) : 66709-66727.
Imanto, P.T. dan A. Basyarie. 1993. Budidaya ikan laut, pengembangan dan
permasalahannya. Prosiding Rapat Teknis Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai di Tanjung Pinang. 10: 93—106.
Imanto, P.T. dan M. Suastika. 2007. Perkembangan Awal Kerapu Kertang
(Epinephelus lanceolatus). Jurnal Riset Akuakultur Vol. 2 No.3 Tahun
2007: 365—372.
Ismi, S. 2011. Perkembangan pembenihan ikan laut di Bali. Prosiding pertemuan
Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010. Pangkal Pinang, Bangka
Belitung, 6-7 Oktober 2010. Hlm.:25-30.
Islam,M.SandT.Akhter.2011.TaleOfFishSpermandFactorsAffectingSperm
Motlity: A Review. Advances in Life Sciences. 1(1):
Kurdianto.,Alimuddin., N. Faridah dan O. Carman.2014. Performa
Reproduksi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Jantan Transgenik Hormon
Pertumbuhan Generasi Kedua. Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8. 109-
118.
KKP. 2014. Perikanan Budidaya Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diakses dari
http://djpb.kkp.go.id pada tanggal 22 Agustus 2019.
30

Kordi K., M.G.H. 2010 Budidaya ikan Laut di Keramba Jaring Apung. Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta.
Kostaman, T. dan Setioko. 2011. Perkembangan Penelitian Teknik Kriopreservasi
untuk Penyimpanan Semen Unggas. Wartazoa Vol. 21 No. 3.
Kuiri-Hannien, T., R. Seuri., E. Tyravainen., U. Turpeinen., E. Hamalainen., U. H.
Stenman., L. Dunke and U. Sankilampi. 2011. Increased Activity of The
Hypothalamic- Pituitary- Testicular Axis in Infancy Results in Increased
Androgen Action in Premature Boys. J. Clin Endrocinil Metab, 96 :98-
105.

Kurniawan, I. Y., F. Basuki dan T. Susilowati. 2013. Penambahan Air Kelapa Dan
Gliserol Pada Penyimpanan Sperma Terhadap Motilitas Dan Fertilitas
Spermatozoa Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.). Journal of Aquaculture
Management and Technology, 2 (1) : 51-65.
Mariskha P. R, Dan N. Abdulgani. 2012. Aspek Reproduksi Ikan Kerapu Macan
(Epinephelus Sexfasciatus) Di Perairan Glondonggede Tuban. Jurnal Sains
Dan Seni Its Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) Issn: 2301-928x.
Marques, S., Godinho, H.P. 204. Short-term Cold Storage of Sperm from Six
Neotropical Characiformes Fishes. Brazilian Archives of Biology and
Technology. Vol 47 : 799-804.
McMaster, M.E., Portt, C.B., Munkittrick, K.R., Dixon, D.G. 1992. Milt
characteristics, reproductive performance, and larval survival and
development of white sucke rexposed to bleached kraft mill effluent.
Ecotox. Environ. Saf. 23,103117.
Murgas, L. D. S., D. O. F. Viviane., D. S. A. Estefania., R. F. Monica., A. D. J. P.
Daniella and F. S. D. C. Aline. 2014. Cryopreservation of Sperm in
Brazilian Migratory Freshwater Fish. InTech Open: 59-71.
Nurcholis., R. A. Arifiantii., M. Yamin. 2016. Kriopreservasi Semen Domba
Garut Menggunakan Tris Kuning Telur yang Disuplementasi Omega- 3
Minyak Ikan Salmon. Jurnal Veteriner, 17(2): 309-315.
Salisbury, G.W., N.L Vandenmark., dan R. Djanuar. 1985. Fisiologi Reproduksi
dan Inseminasi Buatan pada Sapi. UGM Press. Jogjakarta.
Subyakto, S. dan S. Cahyaningsih. 2003. Pembenihan Kerapu Skala Rumah
Tangga. PT Agromedia Pustaka. Depok.

Sugama, K., Tridjoko, B. Slamet, S. Ismi, E. Setiadi, dan S. Kawahara. 2001.


Petunjuk teknis produksi benih ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis.
31

Balai Riset Budidaya Laut Gondol, Pusat Riset dan Pengembangan


Eksploirasi laut dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dan
Japan International Cooperation Agency. 40hlm.

Raghuveer, K and B. Senthilkumaran. 2010. Cloning in the Developing and


Recrudeescing Gonads of Catfish Clarias gariepinus. Comparative
Biochemistry and Physiology Part A: Molecular and Integrative
Physiology, 157 : 79-85.

Rani, K.U and N. Munuswamy. 2014. Preliminary Studies on the


Cryopreservation of Spermatozoa in the Water Fish Common Carp
(Cyprinus carpio L.). Journal of Coastal Line Medicine. 2(3):181-186

Rimmer, M. A., S. McBride dan K. C. Will. 2004. Advances in grouper


aquaculture. Canberra, Australia 2601. ACIAR Monograph P. 110:137.
Rismawati., Ratman dan A.I. Dewi. 2016. Penerapan Metode Eksperimen dalam
Meningkatkan Pemahaman Konsep Energi Panas pada Siswa Kelas IV
SDN No. 1 Balukang 2. Jurnal Kreatif Tadulako Online, 4 (1) : 199-215.
Rustidja. 2000. Prospek Pembekuan Ikan. Fakultas Perikanan Brawijaya. Malang.
68 hal.
Sugama, K., M.A. Rimmer, S. Ismi, I.Koesharyani, K. Suwirya, N.A. Giri, and
V.R. Alava. 2012. Hatchery management of tiger grouper (Epinephelus
fuscoguttatus): a best-practice manual. Australian Centre for International
Agricultural Research (ACIAR) 2012. 66p.

Suprakto, B. dan Fahlivi, M. R. 2007. Studi tentang kesesuaian lokasi budidaya


ikan di KJA di perairan Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep.
Pembangunan kelautan berbasis IPTEK dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Prosiding Seminar Kelautan III,
Universitas Hang Tuah 24 April 2007: 58 – 65. Surabaya.
Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung.
Verhoeven, G., A. Willems., E. Denolet., J. V, Swinnen and K. De Gendt. 2010.
Androgens and Spermatogenesis: Lessons from Transgenic Mouse
Models. Philos Trans R. Soc, 365:1537-1556.
Tampubolon, G.H. dan E. Mulyadi, 1989. Sinopsis Kerapu di Perairan Indonesia.
Semarang.
Watson, P.F. 2000. The Causes of Reduced Fertility with Cryopreserved Semen.
Anim. Reprod. Sci. 60 – 61:481 – 492.
Yamaner, G., A. Ekici., G. Tuncelli and D. Memis. 2015. A Brief Overview on
32

Cryopreservation Method Of Sturgeon Sperm. Journal of Fisheries &


Aquatic Sciences 30(2): 14-20.

Yumte,K.,B.WantouwandE.D.Queljoe.2013.PerbedaanMotilitasSpermatozoa Sapi
Jantan (Frisian holstein) Setelah Pemberian Cairan Kristaloid – Ringer
Laktat. Jurnal e-Biomedik (eBM), 1(1):184-189.

Zahavi, A and M. Perrel. 2011. The Information Encodes by The Sex Steroid
Hormones Testosterone and Estrogen: a Hypothesis. Journal of Theoretic
Biology, 280: 146-149.

Anda mungkin juga menyukai