Anda di halaman 1dari 12

Menurut bahasa, bedah berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau

mengiris bagian tubuh seseorang, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah aljirahah atau
‘amaliyyah bi al-jirahah” yang berarti melukai, mengiris atau operasi pembedahan.

Secara terminologis, bedah mayat berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh
mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam setelah dilakukan
pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk
kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal. Dalam ilmu
kedokteran dikenal dengan istilah autopsi.

Berdasarkan tujuannya, bedah mayat dapat dibagi tiga, yakni bedah mayat pendidikan
(autopsi anatomis), bedah mayat keilmuan (autopsi klinis), dan bedah mayat kehakiman (autopsi
forensik).

Bedah mayat pendidikan adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori
yang diperoleh oleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan
praktikum tentang ilmu urai tubuh manusia (anatomi).  Bedah mayat pendidikan
ialah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh oleh mahasiswa
kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan praktikum tentang ilmu viral
tubuh manusia (anatomi). Praktek yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran untuk mengetahui
seluk-beluk organ tubuh manusia. Agar bisa mendeteksi organ tubuh yang tidak normal dan
terserang penyakit untuk mengobatinya sedini mungkin atau tujuan lainnya seperti untuk
mengetahui penyebab kematiannya seiring maraknya dunia kriminal saat ini, dengan membedah
jasad manusia.

Dari hal di atas maka timbullah pertanyaan besar “Apakah hal ini dibolehkan secara
Syar’i atau tidak, bila yang dibedah adalah mayat muslim” karena praktek seperti ini hampir
dilakukan di semua Fakultas Kedokteran. Otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran,
Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT telah menetapkan beberapa
kaidah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada masa Rasulullah SAW diantara
kaidah tersebut adalah “Apabila berbenturan dua kemashlahatan maka yang dilakukan yang
paling banyak mashlahatnya, juga apabila berbenturan dua mufsadat maka dilakukan yang paling
ringan mufsadatnya.

Tema penggunaan jenazah sebagai objek penelitian termasuk kasus baru yang
jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Qur’an dan hadits (nash). Padanan eksplisit dalam
nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai metode Qiyas (analogi). Kasus demikian,
dalam kajian Fiqih, dicari solusinya dengan metode tarkhrij. Yakni, dicari analogi pada norma
hukum yang dihasilkan lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung oleh nash.

Akan tetapi, ada sebagian orang yang berpendapat bahwa membedah jasad mayat yang
bertujuan untuk praktek pelajaran dalam ilmu kedokteran atau untuk tujuan otopsi (mencari
sebab kematian mayat) tidak diperbolehkan secara syariat, karena perkara itu termasuk membuka
aib kehormatan mayat serta suatu penghinaan dan pelecehan terhadap kehormatan mayat, yang
diwajibkan bagi kita adalah kasih sayang dan menghormati mayit sebagai mana dia hidup
disetiap perkaranya.  Hanya dengan beralasan praktek kedokteran atau mencari sebab
kematiannya bukanlah alasan yang tepat agar syariat memperolehkan membedah mayat, apalagi
seperti yang kita ketahui dalam praktek itu mayat tersebut ditelanjangi, dibelah perutnya dan
dirobek-robek bagian perutnya atau yang lainnya, bahkan perkara tersebut tergolong tamstil
(menyerupai) orang kafir, dan syariat melarang tamstil/tasyabuh kepada orang kafir. bedah
mayat juga tidak tergolong kedalam kedaruratan membelah perut mayat, kebolehan membelah
perut mayat dilakukan jika seorang wanita hamil kemudian meninggal dunia dan didalam
perutnya terdapat janin yang diperkirakan masih hidup, maka wajib bagi seseorang
mengeluarkan bayi itu dari perut ibunya baik dengan cara membelah perutnya atau cara yang
lain.

Larangan bedah mayat berlaku terhadap mayat muslim dan kafir dzimi atau kafir
muaman, sedangkan kafir harbi yang tidak boleh kita beri keamanan kepada mereka..ulama fiqih
berkata:

‫ إذ ال حرمة له‬, ‫ بل يجوز إغراء الكالب عليهم‬, ‫ فال يجب تكفينهم والدفنهم‬, ‫بخالف الحربى و المرتد و الزندقة‬

Artinya: “berbeda dengan kafir harbi, orang murtad dan zindiq, maka tidak diwajibkan
mengkafani mayat mereka, tidak pula menguburkannya, bahkan boleh membiarkan anjing
mencincang mayat mereka, karena mayat mereka tidak ada kehormatannya dalam islam”.
(syarah al-bahjah karangan syekh zakaria al-anshori juz 2:hal 98).

          Kalimat diatas menunjukan kebolehan pada kondisi tertentu, tetapi dijelaskan
dikitab-kitab siroh/sejarah mengenai keinginan nabi SAW menyerupai kafir (ketika perang uhud)
dan bersumpah mempermalukan mayat kafir harbi sebagai mana mereka mempermalukan mayat
muslim, kemudian turunlah surat an-nahl ayat 126, seperti diriwayatkan imam ahmad dikitab
musnadnya dari ubay bin ka’ab, dia berkata:

‫ ِه‬g‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬g‫ص‬َ ِ ‫ول هَّللا‬


ِ g‫ َحابُ َر ُس‬g‫ص‬ ْ ‫ا َل َأ‬ggَ‫اج ِرينَ ِستَّةٌ فَق‬ِ َ‫ار َأرْ بَ َعةٌ َو ِستُّونَ َر ُجاًل َو ِم ْن ْال ُمه‬ ِ ‫ص‬ َ ‫لَ َّما َكانَ يَوْ ُم ُأ ُح ٍد قُتِ َل ِم ْن اَأْل ْن‬
‫ادَى‬gَ‫وْ ِم فَن‬gَ‫ َد ْالي‬gْ‫ْش بَع‬ َ ‫ري‬gَ ُ‫رفُ اَل ق‬gْ َ َ‫ح ق‬
َ ‫ ٌل اَل يُع‬gُ‫ال َرج‬g ِ ‫وْ ُم ْالفَ ْت‬gَ‫انَ ي‬g‫رْ بِيَ َّن َعلَ ْي ِه ْم فَلَ َّما َك‬gُ‫َو َسلَّ َم لَِئ ْن َكانَ لَنَا يَوْ ٌم ِم ْث ُل هَ َذا ِم ْن ْال ُم ْش ِر ِكينَ لَن‬
‫اقَ ْبتُ ْم‬gَ‫الَى{ وَِإ ْن ع‬g‫ك َوتَ َع‬
َ ‫ار‬gَ َ‫َأ ْنزَ َل هَّللا ُ تَب‬gَ‫ َّماهُ ْم ف‬g‫ َس‬ ‫ا‬g‫َاس‬
ً ‫َأ ِمنَ اَأْل ْس َو ُد َواَأْل ْبيَضُ ِإاَّل فُاَل نًا َوفُاَل نًا ن‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ُمنَا ِدي َرسُو ِل هَّللا‬
َ ‫فَ َعاقِبُوا بِ ِم ْث ِل َما عُوقِ ْبتُ ْم بِ ِه َولَِئ ْن‬
} َ‫صبَرْ تُ ْم لَهُ َو خَ ْي ٌر لِلصَّابِ ِرين‬

ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَصْ بِ ُر َواَل نُ َعاقِب‬


َ ِ ‫فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬

Artinya: “ketika pristiwa perang uhud, terbunuh 64 syuhada dari golongan anshor , dan 6
syuhada dari golongan muhajirin, kemudian para sahabat Rasulullah SAW berkata: kalau
seandainya kita memiliki peristiwa seperti kejadian ini maka kita akan memperlihatkan kepada
mereka (apa yang telah mereka lakukan kepada kita), kemudian ketika pristiwa fathul mekah,
seorang sahabat yang tidak diketahui namanya berkata: tidak pandang quraisy pada hari ini
(semua dibunuh), sealah satu penyeru Rasulullah SAW berseru: berilah keamanan kepada
sihitam dan si putih kecuali sifulan dan fulan, sekelompok orang yang disebut namanya,
kemudian Allah tabaroka ta’ala menurutkan ayat: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. Kemudian
Rasulullah SAW bersabda: “sekarang kita bersabar jangan ada yang memberi hukuman”.

          Pada hadist ini, nabi bersabda ُ‫نَصْ بِر‬ (sekarang kita bersabar), dan melarang dari
tamstil...sabda ini menunjukan keharaman tamstil (menyerupai) kafir walaupun kepada kafir
harbi. (dinukil dari kitab manahiluli’rfan min fatawa wa fawaid asyekh fadhal bin abdurohman
al-hadromi, hal 375).
Jadi menurut paham ini, haram hukumnya melakukan praktek kedokteran atau
melakukan otopsi (mencari sebab kematian) baik kepada mayat muslim maupun kafir
dikarenakan alasan yaitu menghina dan melecehkan mayat, kehormatan mayat sebagaimana
kehormatannya ketika hidup, tidak tergolong kedaruratan membedah mayat yang disyariatkan
dalam islam, tergolong kedalam tamstil (menyerupai kafir).

Jika nabi melarang tamstil  kepada kafir harbi (pada hadist riwayat imam ahmad diatas),
maka kafir dzimi atau muaman lebih dilarang lagi begitu juga larangan akan bertambah jika
dilakukan kepada mayat muslim.

Bedah mayat keilmuan (autopsi klinis) ialah pembedahan yang dilakukan terhadap mayat
yang meninggal di rumah sakit, setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter. Bedah
mayat ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara umum atau secara
mendalam.

Sifat perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih
dahulu semasa hidupnya dan untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit mayat yang tidak
diketahui secara sempurna selama dia sakit.

Dengan melakukan otopsi ini seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang
menyebabkan kematian jenazah tersebut, sehingga kalau memang itu suatu wabah dan di
khawatirkan akan menyebar bisa segera diambil tindakan preventif, demi kemashlahatan.

Bedah mayat kehakiman yaitu bedah mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum
dari suatu peristiwa yang terjadi,  seperti dugaan pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan.

Bedah mayat semacam ini biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau
kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang. Misalnya, karena tindak pidana
kriminal atau kematian alamiah melalui visum dokter kehakiman (visum et reperthum) biasanya
akan diperoleh penyebab sebenarnya, dan hasil visum ini akan mempengaruhi keputusan hakim
dalam menentukan hukuman yang akan dijatuhkan.

Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai
penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi jika tidak diketahui secara pasti pelakunya dan jika
bukan karena kematian secara alamiah maka bedah mayat ini merupakan alat bukti bahwa
kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan pelakunya orang-orang tertentu.

Seorang hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil diperlukan
bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsi Forensik merupakan salah satu cara atau media untuk
menemukan bukti.

Dalam Alquran tidak ditemukan ayat yang mengandung secara pasti perihal bedah mayat.
Akan tetapi, terdapat beberapa ayat Alquran yang dapat dijadikan isyarat mengenai landasan
praktik bedah mayat ini. Seperti janji Allah SWT yang akan memperlihatkan tanda-tanda
kebesaran-Nya di angkasa luar (ufuk) dan yang ada dalam diri manusia itu sendiri (QS. 41: 53).

Pengertian dalam diri manusia, menurut para mufasir. berarti di dalam tubuh manusia ada
nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti. Dalam Surah Al-Anbiya (21) ayat 35 Allah
SWT menyatakan bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu
akan diuji unsur kejahatan dan kebaikan. Ayat ini berkaitan dengan pernyataan Allah SWT
bahwa manusia adalah makhluk mulia (QS. 17: 70). Dengan kemuliaannya itu, ia perlu
diperlakukan secara adil (QS. 4: 58).

Untuk menyingkapkan kebenaran atau ketidakbenaran dalam diri manusia di dunia,


diperlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki
manusia, semua cabang ilmu pengetahuan itu tidak mungkin dimiliki oleh satu orang saja.

Oleh karenanya, diperlukan orang yang ahli di bidang tertentu untuk menjawab persoalan
yang muncul jika kita tidak mengetahuinya (QS. 16: 43). Contohnya, orang yang sakit perlu
bertanya ke dokter tentang penyakitnya agar bisa diobati.
Hukum bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis dapat berpedoman pada hadis
Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat, karena setiap penyakit ada obatnya. (HR.
Abu Dawud dari Abu Darda). Hadis ini juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu
kesehatan, seperti bedah mayat untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obatnya
pada saat itu. 
Sedangkan bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya penegakan
hukum secara adil, karena upaya menetapkan hukum secara adil adalah wajib hukumnya (QS. 4:
58).
Kemungkinan terjadinya pembedahan mayat dapat disebabkan oleh :
1.      Untuk mengeluarkan janin

Pada prinsipnya ajaran Islam meberikan tuntunan pada umatnya agar selalu berijtihad
dalam hal-hal yang tidak ada ditemukan nashnya dan sebagai landasannya adalah firman Allah
dalam surat al-Hajj ayat 78:Artinya:

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah
memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu kesempitan dalam agama …….”

Untuk mengatasi kesulitan yang dialami manusia, harus menggunakan akal pikiran yang
disebut dengan ijtihad dalam Islam, yang hasilnya untuk kemaslhatan umat dengan ketentuan,
bahwa kemaslahatan umum lebih diutamakan dari kemaslhatan perorangan. Demikian juga
halnya dengan kemaslahatan orang hidup lebih diutamakan dari pada kemaslahatan orang mati.
Hal ini berarti jani itu perlu untuk diselamatkan.

Dalam hal ini, Islam membolehkan membedah mayat yang di dalam rahimnya terdapat
janin yang masih hidup. Urusan tersebut diserahkan kepada dokter ahli untuk melaksanakannya,
dan merawat janin yang diselamatkan itu. Bahkan ada pendapat yang menagtakan, wajib
hukumnya membedah mayat, bila diperkirakan dokter, janinnya masih hidup.

Bila seorang ibu meninggal dunia, dalam keadaan hamil, dan bayi yang dikandungnya
masih dalam keadaan hidup. Dalam hal ini para ulama berselisih dalam menentukan hukumnya,
apakah harus dibedah perut ibu atau tidak?

a.       Menurut Imam Malik dan Ahmad, mengatakan tidak boleh dibedah perut seorang
ibu meskipun bayi yang dalam kandungannya masih hidup, namun dikeluarkan dengan cara
diambil dari jalan Farji oleh tenaga medis.

b.      Sedangkan Menurut Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama Malikyah
mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi dalam
kandungannya.
c.       Menurut Ulama Syafi’I, bahwa jika yang meninggal adalah seorang perempuan dan
didalam perutnya ditemukan janin yang masih hidup, maka perut perempuan itu dibedah dalam
keadaan darurat, maka pembedahan ini boleh dilakukan kalau ada harapan janin itu untuk hidup
atau berumur 6 bulan keatas. Jika kurang dari 6 bulan tidak ada harapan untuk hidup, maka
pembedahan itu haram dilakukan. Hal ini didasarkan sabda Nabi yang artinya: “Sesuatu yang
diperbolehkan karena, hanya boleh dilakukan sekedarnya saja.”

d.     Menurut Mazhab Maliki perut mayat tidak boleh dibedah. Hal ini didasarkan pada
sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa memecah tulang mayat sama haramnya dengan
memecah tulang manusia yang hidup. (H.R. Abu Daud dari Aisyah binti Abu Bakar). Seiring
dengan kewajiban terhadap mayat, yakni memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan
menguburkan sebagai penghormatan bagi mayat.

e.      Ulama Mazhab Hanafi sependapat dengan Mazhab Syafi’i. Bahwa, jika ada sesuatu
yang bergerak dan diduga yang bergerak itu adalah janin yang masih hidup, maka perut ibu
boleh dibedah demi membela kehormatan yang masih hidup.

Senada dengan pendapat ini menurut Syekh Yusuf Dajwi (guru besar hukum Islam
Mesir) mengatakan bahwa “bedah mayat itu merupakan darurat pada keadaan tertentu, seperti
kematian yang diduga karena pembunuhan sehingga pembunuh sesungguhnya dapat diketahui.”

2.      Untuk mengeluarkan benda berharga dalam perut mayat.

Dalam kitab fiqih, diantaranya kitab fiqih sebagian Mazhab Maliki dan umumnya
Mazhab Syafi’i, disebutkan bahwa “apabila seseorang pada masa hidupnya sempat menelan uang
logam (koin), maka ketika ia meninggal perutnya dibedah untuk mengeluarkan uang logam
tersebut.” Ukuran uang logam yang dikeluarkan tersebut lebih kurang bernilai ¼ dinar, atau 3
dirham (satu dinar = 4,5 gram emas, jadi ¼ dinar =1,125 gram emas).

Nuruddin Atr (ahli hadits dari Syriah) mengatakan bahwa “jika sekedar mengeluarkan
uang logam dari perut mayat dibolehkan, maka membedah mayat untuk mengetahui sebab
kematiannya dan kepentingan ilmu kesehatan lebih diutamakan lagi, karena kepentingannya jauh
lebih besar dari pada sekedar pembedahan untuk mengeluarkan uang logam yang tertelan itu.”
Ketidakbolehan sebagaimana yang tertuang dalam hadits riwayat Abu Daud diatas
merupakan keharaman secara umum tanpa ada tujuan yang bermanfaat. Akan tetapi, berdasarkan
kebutuhan darurat, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kepintaran pelaku
kriminal untuk alibi dalam satu pembunuhan, maka secara medis perlu dilakukan pembedahan
mayat, hal ini menurut Hasan M. Makhluf termasuk kepada kaidah fikih yang mengatakan
“segala sesuatu yang membawa kesempurnaan yang wajib, maka hukumnya wajib pula.”

3.      Menegakkan Kepentingan Penegakkan Hukum

Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian


seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup menjadi
alasan untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan, karena sangat
diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah : “Tidak haram bila
darurat dan tidak makruh karena hajat.”

Apabila penegak hukum tidak mau mengusut kejahatan, karena yang dianiaya sudah
meninggal dunia, lalu takut mengadakan pengusutan dengan cara pembedahan mayat, maka
berarti dia memberi jalan kepada penjahat untuk tidak takut beraksi. Hukum harus ditegakkan
meskipun harus dengan jalan melakukan bedah mayat dan pembongkaran kuburan untuk
pencapaian keadilan.

4.      Memperhatikan Kepentingan Pendidikan dan Keilmuan

Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh
manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut,
tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau
bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam
memanfaatkan ilmunya kelak.

Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk mengembangkan ilmu
kedokteran, maka menurut hukum Islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu
kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.

Pembedahan mayat tidak boleh dilakukan secara berulang-ulang, karena mayat


hendaknya segera dikuburkan bukan untuk dipamerkan.
Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: “Percepatlah mengantar jenazah ke
kuburnya. Bila dia seorang yang shaleh maka kebaikanlah yang kamu hantarkan kepadanya dan
dia kebalikannya, maka sesuatu keburukan yang kamu tanggalkan dari beban lehermu.” (HR.
Bukhari).

Di antara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh
manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut,
tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau
bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam
memanfaatkan ilmunya kelak.

Sekiranya mayat itu memang diperlukan sabagai sarana penelitian untuk


mangembangkan ilmu kedokteran, maka menerut hukum Islam, hal ini dibolehkan, karena
pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.

C. Hukum Bedah Mayat 

Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang mengandung secara pasti tentang bedah
mayat akan tetapi, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan isyarat mengenai
landasan praktek bedah mayat ini. Seperti janji Allah SWT yang akan memperlihatkan tanda-
tanda kebesaran-Nya. Diangkasa mar (ufuk) dan yang ada didalam diri manusia itu sendiri.
Seperti dijelaskan dalam Surat Funssilat Ayat 53 yang berbunyi :Artinya:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami disegenap


penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.
Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Pengertian dalam diri manusia ini menurut para mufasir, berarti didalam tubuh manusia
ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.

Dan dalam Surat Al-anbiya Ayat 35 yang Artinya:

“Setiap yang bernyawa itu akan mengalami mati, Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”

Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Allah SWT menyatakan bahwa setiap yang
bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji unsur kejahatan dan
kebaikan dan ayat ini sangat berkaitan dengan pernyataan Allah SWT bahwa manusia adalah
makhluk mulia. Yakni dalam Surat Al-Isra’ Ayat 70 Artinya:
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak Adam, dan Kami angkut mereka di darat
dan di laut dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka diatas
banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Untuk menyingkap kebenaran atau ketidakbenaran dalam diri manusia di dunia, diperlukan
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebab kemampuan yang dimiliki manusia terbatas. Dan
semua cabang ilmu pengetahuan itu tidak mungkin dimiliki oleh satu orang saja. Oleh karenanya
diperlukan orang yang ahli dibidang tertentu untuk menjawab persoalan yang muncul jika kita
tidak mengetahuinya.

Seperti: orang yang sakit perlu bertanya kepada dokter tentang penyakitnya agar bisa
diobati. Hukum bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis dapat berpedoman kepada hadits
Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat, karena setiap penyakit ada obatnya. (H.R.
Abu Daud dari Abu Darda).

Hadits ini juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu kesehatan, seperti
bedah mayat untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obatnya pada saat itu.
Sedangkan bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya menetapkan hukum
secara adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman Allah SWT Surat An-Nisa Ayat 58
yang Artinya:

“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,


dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan
adil. Sungguh : Allah sebaik-baiknya yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat.”

Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak pidana dapat
dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam proses perkara di pengadilan. 

D. Pandangan Ulama Tentang Bedah Mayat 


Dalam menentukan hukum bedah mayat, tidak sama pendapat para ulama, sebagaimana terlihat
para uraian berikut:

a.       Imam Ahmad bin Hambali

Seorang yang sedang hamil dan kemudian dia meninggal dunia, maka perutnya tidak
boleh, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin itu masih hidup.
b.      Imam Syafi’i

Jika seorang hamil, kemudian dia meinggal dunia, dan ternyata janinnya masih hidup,
maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluartkan janinnya. Begitu juga hukumnya, kalau
dalam perut si mayat itu ada barang yang berharga.

c.       Imam Malik

Seorang yang meninggal dunia dan di dalam perutnya ada barang berharga, maka mayat
itu harus di bedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu
(tidak boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeuarkan janin yang diperkirakan masih hidup.

d.      Imam Hanafi

Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk
mengeluarkan janin itu.[3] 
Kalau kita perhatikan pendapat para Imam Mujtahiddi atas jelas, bahwa yang disinggung hanya
dua masalah saja, yaitu penyelamatan janin dan menggeluarkan benda yang berharga dari perut
si mayat. Mengenai bedah mayat untuk kepentingan penegakan hokum dan kepentingan
pendidikan dan penelitian tidak dibicarakan dan tidak disinggung sama sekali. Hal ini
disebabkan, karena masalah tersebut tidak terpikirkan oleh mereka dan belum ada tuntutan yang
memerlukan pemecahan dengan segera. Masalah yang dihadapi maih sederhana, tidak seperti
sekarang.  

Organ tubuh dalam hukum Islam menyangkut manusia hidup karena terkait dengan jiwa.
Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia setelah meninggal, karena itu boleh
dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk menyelamatakan jiwa manusia. Hal ini dihargai
dan dinilai sebagai amal jariah.

Izin penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik saat masih hidup atau izin keluarga
jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak teridentifikasi, izin diberikan oleh pemerintah.

Hal senada dikemukakan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dari Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran jika
mendonorkan tubuh maka tubuh menjadi tidak lengkap saat menghadap Tuhan.

“Saat seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk menghadap Tuhan,
sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika disumbangkan untuk riset dan pendidikan yang
bermanfaat bagi kemanusiaan, si pemilik akan mendapat pahala,” ujarnya.

Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia dr.
Agus Purwadianto, SpF, SH, Msi, Indonesia telah memiliki peraturan dan fatwa mengenai bedah
mayat, antara lain Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Kementerian Kesehatan
No 4/1955, yang menyatakan bedah mayat hukumnya mubah (tidak diharamkan dan tidak
dihalalkan).

Anda mungkin juga menyukai