Npm: 22610004
1. Salah satu sifat hakikat manusia adalah kemampuan untuk menyadari dirinya sendiri.
Jelaskanlah maksudnya dan bagaimana penerapan sifat ini dalam pelaksanaan pendidikan
Jawab :
Kemampuan Menyadari Diri
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang
dimiliki oleh manusia maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau
karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku
yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya
membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya, baik
yang berupa pribadi maupun non pribadi/benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi di
sekitar, adapun pohon, batu, cuaca dan sebagainya merupakan lingkungan non pribadi.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah ke luar dan ke
dalam.
Pandangan arah ke dalam, akan memberi status lingkungan sebagai subyek berhadapan
dengan aku sebagai obyek. (Penting untuk pengembangan sosial)
Pandangan arah keluar, memandang lingkungan sebagai obyek, aku sebagai obyek yang
memanipulasikan lingkungan untuk aku, berpuncak pada egoisme. (Penting untuk
pengembangan individualitet)
Cara penerapan sifat ini dalam pelaksanaan pendidikan sekarang ini yakni pendidik harus
menciptakan suasana pendidikan yang kondusif, yang menyenangkan, yang merangsang rasa
ingin tahu yang lebih kuat, memungkinkan peserta didik merasa bergairah, memiliki percaya diri
yang positif dan dapat mengembangkan kreativitasnya secara optimal sehingga hal itu akan
membantu peserta didik untuk mengembangkan kepribadiannya atau menemukan dirinya
sendiri.
5. Kemukakanlah pandangan saudara tentang konsep pendidikan yang paling mendasar untuk
diterapkan di Indonesia sampai saat ini yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara!
Jawab :
Sistem Among, Tutwuri Handayani
Kata among itu sendiri berasal dari bahasa Jawa, mempunyai makna seseorang yang
bertugas ngemong dan jiwanya penuh pengabdian. Sistem among sudah dikenal cukup lama
di lingkungan Tamansiswa. Sistem among merupakan suatu cara mendidik yang diterapkan
dengan maksud mewajibkan kodrat alam anak-anak didiknya. Cara mendidik yang harus
diterapkan adalah menyokong atau memberi tuntunan dan menyokong anak-anak tumbuh
dan berkembang atas kodratnya sendiri. Sistem among ini meletakkan pendidikan sebagai
alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat. Tiap-tiap guru,
dalam pola pikir Ki Hajar Dewantara adalah abdi sang anak, abdi murid, bukan penguasa atas
jiwa anak-anak (Sudarto, 2008).
Di lingkungan Tamansiswa sebutan guru tidak digunakan dan diganti dengan sebutan
pamong. Hubungan antara pamong dan siswa, harus dilandasi cinta kasih, saling percaya,
jauh dari sifat otoriter dan situasi yang memanjakan. Dalam konsep ini, siswa bukan hanya
objek, tetapi juga dalam kurun waktu yang bersamaan sekaligus menjadi subjek. Ki Hadjar
Dewantara menjadikan tutwuri handayani sebagai semboyan metode among. Sudarto
(2008) mengutip pendapat Ki Soeratman yang menyatakan bahwa sikap tutwuri merupakan
perilaku pamong yang sifatnya memberi kebebasan kepada siswa untuk berbuat sesuatu
sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-
norma yang wajar dan tidak merugikan siapa pun
Jadi, tutwuri memberi kebebasan pada siswa untuk berbuat sekehendak hatinya, namun jika
kebebasan itu akan menimbulkan kerugian, pamong harus memberi peringatan. Handayani
merupakan sikap yang harus ditaat oleh siswa hingga menimbulkan ketertundukan. Dengan
demikian, sebagai subjek siswa memiliki kebebasan, sebagai objek siswa memiliki
ketertundukan sebagai kewajibannya.
Tringa, Ngerti-Ngrasa-Ngalokoni
Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta
jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan
anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia
yang merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni
tringa yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni . Ki Hadjar mengingatkan, bahwa
terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian,
kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau
tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak
memperjuangkannya.