Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH BAB 8

Disusun oleh kelompok 4 (XII IPS 4)


1. Daniel Ari Syahbana
2. Fatra Arigo Al-Bantani
3. M. Ruku Eka Azhari
4. Riski Al-Fatur Rohman
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Hukum Mawaris”. Makalah ini berisikan
bagaimanatentang warisan atau mawaris itu dibahas dalam islam.Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Amin.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah
aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang tinbul sebagai akibat dari suatu
kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan
tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara
mendapatkannya.
Aturan tentang waris tesebut ditetapkan oleh Allah melalui firmannya yang terdapat dalam Al-
Qur’an, terutama surah an-nisa’ ayat 7,8,11,12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang
berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya.
Hukum kewarisan islam atau yang juga dikenal the Islamic law of inheritance mempunyai
karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya.
Ditinjau dari perspektif sejarah, implementasi hokum kewarisan islam pada zaman penjajahan
belanda ternyata tidak berkembang, bahkan secara politis posisinya dikalahkan oleh sistem
kewarisan hokum adat. Pada masa itu diintrodusir teori persepsi yang bertujuan untuk
mengangkat hokum kewarisan adat dan menyisihkan penggunaan hokum kewarisan islam.
Banyak para sarjana hukum barat menganggap hokum kewarisan islam tidak mempunyai
sistemdan hukum islam itu hanya bersandar pada asas patrilineal. Sementara itu, diklalangan
umat islam sendiri banyak pula yang mengira tidak ada sistem tertentu dalam hukum kewarisan
islam, sehingga menimbulkan sebuah anggapan seolah-olah hukum kewarisan islam merupakan
hokum yang sangat rumit dan sulit. Kondisi yang demikian itulah yang menyebabkan hukum
kewarisan islam menurut fiqh kebudayaan arab itu sangat sulit diterima masarakat islam di
Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1.apakah pengertian mawaris
2.apa posisi hukum kewarisan islam di Indonesia
3.apakah penyebab dan penghalang mendapatkan harta warisan
4.apakah manfaat hukum mawaris
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian mawaris.
2. Mengetahui posisi hukum kewarisan islam di indonesia
3. Mengetahui penyebab dan penghalang mendapatkan harta warisan.
4. Mengetahui manfaat hukum mawaris.

PEMBAHASAN

1.4 Pengertian mawaris                  
            Menurut bahasa,mawaris merupakan bentuk jamak dari kata miras
artinya harta yang diwariskan. Sedangkan secara istilah,mawaris adalah ilmu
yang mempelajari cara pembagian harta peninggalan setelah orang
meninggal dunia.
             Ilmu mawaris juga disebut dengan ilmu Faraid,yaitu ilmu yang
menjelaskan perkara pusaka. Pusaka adalah peninggalan orang yang sudah
mati,artinya harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang sudah
mati untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya.                                                                  
               Dengan demikian,dapat disimpulkan,definisi ilmu mawaris adalah
ilmu yang mempelajari tentang ketentua- ketentuan pembagian harta pusaka
bagi ahli waris menurut hukum islam. tujuan ilmu mawaris atau Faraid
adalah untuk menyelamatkaan harta orang yang meninggal agar terhindar
dari pengambilan oleh oran- orang yang tidak berhak menerimanya,dan agar
jangan ada orang yang memakan harta hak milik oranag lain.

1.4 Posisi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia


1. Pewaris meninggalkan ahli waris :

 Istri = ¼ = 3/12 = 3

 Ibu = 1/6 = 2/12 = 2

 2 Saudara seibu = 1/3 = 4/12 = 4


 1 Saudara kandung = A = 3/12 = 3 ( masih ada sisa )

2. Pewaris meninggalkan ahli waris :

 Suami = ½ = 3  Nenek = 1/6


=1

 2 Saudara ibu = 1/3 = 2

 1 Saudari kandung = ½ = 3 (saudari kandung bagiannya ½

(separuh)) / aul 9

3. Pewaris meninggalkan ahli waris :

 Suami =½=3

 Ibu = 1/6 = 1

 1 Saudara seibu = 1/6 = 1 (syarat bagiannya 1/3)

 2 Saudara kandung = A =1

5. Pewaris meninggalkan ahli waris :

 Suami =½=3
 Ibu = 1/6 = 1

 3 saudara ibu = 1/3 = 2

 1 saudara 1 saudari seayah = saudara/saudari seayah tidak

Berserikat

6. Dan sebagainya

Metode musyarakah tersebut ternyata diikuti oleh pemerintah Mesir dengan


mencantumkan dalam pasal 10 kitab undang-undang hukum waris Mesir
yang berbunyi :

‫ أ والد االم االخ ا لشقيق‬N‫ ا لفروض ا لتركة يشارك‬N‫وفي ا لحا لة ا لثا نية إذا ا ستغرقت‬

‫دم‬NN‫المتق‬ ‫ه‬NN‫و ج‬NN‫م الثلث بيهم على ال‬NN‫ثر ويقس‬NN‫قيقة ا وأ ك‬NN‫ أ ومع أ خت ش‬N‫واال خىة اال شقاء باإلنفراد‬
artinya :Dalam keadaan kedua (mendapat1/3), bila faradl dari ashabul furudl
telah menghabiskan harta peninggalan, anak-anak ibu berserikat dengan
saudara kandung dan saudara-saudara kandung dengan infirad (sendiri tidak
bersama-sama dengan saudari) atau berserta saudari kandung 1 (satu) atau
lebih, dan 1/3 tersebut dibagi antara mereka menurut ketentuan yang telah
lalu (sama rata) . (Fatchur Rahman, 1994, 326)

Menurut Syiah, konsep musyarakah merupakan sistem yang sudah lama


berjalan dalam kelompoknya, tapi ada perbedaan, yakni antara para saudara
dalam berbagai jurusan tidak saling menghijab, hanya saja didahulukan
pemberian untuk saudara kandung kemudian saudara yang seayah dan
kemudian lagi yang seibu.

Kasus musyarakah sebagaimana yang dipresentasikan oleh Umar bin


Khathab atau kelompok Sunni menurut Syiah bahwa para saudara itu
mahjub oleh ibu kecuali ketika bersama ibunya ibu (nenek) atau dalam
jurusan bapak seperti kakek, maka mereka berserikat dalam pewarisan
sebagaimana masalah al-jad maal Ikhwah. (A. Sukris Sarmadi, 1997, 213).

Anda mungkin juga menyukai