Anda di halaman 1dari 8

Al-Ra`Yi Dan Al-Hadis

- Januari 30, 2013

Al-Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih
banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis, dan al-hadis merupakan
kelompok di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan
hadis ketimbang ra’yu.  Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang
dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis.
Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah.

A. Pendahuluan
Menurut Muhammad al-Husein al-Hanafi, pada masa tabi’in diperkirakan muncul pada masa
awal berdirinya Bani Umayyah dan berakhir pada abad ke II H. Dengan demikian periode inii
merupakan masa transisi antara sahabat dengan masa timbulnya Imam-imam mazhab baik dari
kalangan sunni dengan tokohnya atau dari kalangan Syi’ah.

Pada priode ini dikenal dua kecenderungan dalam metode pelegislasian hukum Islam, pertama
adalah aliran yang cenderung memberikan kelonggaran ketika menetapkan hukum suatu masalah
dan metode ijtihadnya banyak berorientasi kepada penalaran (ra’yi), qiyas serta kajian terhadap
maksud dan tujuan diturunkannya syari’at Islam. Kedua adalah aliran yang cenderung bersifat
ketat ketika menetapkan hukum suatu masalah sebab lebih mengedepankan hadis ketimbang
penalaran. Kedua kelompok yang berbeda ini dikenal dengan ahlul ra’yi dan ahlul hadis. Makalah
ini akan mencoba memaparkan lebih lanjut tentang faktor-faktor yang melatar belakangi
munculnya kedua aliran tersebut, metode istinbat hukun serta tokoh-tokohnya dan sebagainya.

B. Ahl Ra’yi.
1. Latar Belakang Kemunculan.
Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih
banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini muncul lebih
banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis
bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:
Keterikatan yang sanga kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang
dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering
menggunakan ra’yu.
Minimnya mereka menerima hadis nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan hadis
yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi
Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga
meinim menggunakan hadis sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ra’yu juga
dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadis dengan cara memberikan kriteria-
kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang mereka terapkan berpengaruh
terhadap minimnya hadis yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat
yang mereka lakukan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadis yang kala itu
jumlahnya yang tidak sedikit.
Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini
muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Iraq kala itu, terutama yang
berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang
ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya hadis yang
mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ra’yu.

2. Keitimewaan Ahl Ra’yu


Para ulama menyebutkan bahwa Ahl Ra’yu memiliki beberapa keistimewaan tertentu, di
antaranya:
Banyaknya hukum-hukum furu’iyah yang mereka tetapkan termasuk yang bercorak taqdiri yaitu
hukum-hukum yang bersifat kemungkinan sebab masalahnya belum muncul ketika itu. Hal ini
sangat dimungkinkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang mereka temukan terutama
yang berasal dari budaya-budaya lokal yang lebih dahulum maju ketimbang Islam. Munculnya
masalah-masalah baru ini memberikan dampak terhadap produktifitas kegiatan ilmiah mereka di
bidang fiqh termasuk dalam melahirkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap masalah yang
belum terjadi.
Dalam pelegeslasian huku, mereka tidak hanya memakai makna tekstual saja, akan tetapi mereka
juga memperhatikan apa yang menjadi sebab (illat), hikmah dan relevansi syari’at dengan
peristiwa konkrit. Hal ini dilakukan karena syari’at dipandang sangat cocok dengan akal (ma’qul
ma’na) dan diturunkan untuk memberikan maslahat kepada manusia.
Seefektifnya mereka dalam menerima suatu hadis dengan memberikan kriteria-kriteria yang ketat
dalam penukilan suatu hadis ehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari kriteria yang ketat
dalam penukilan suatu hadis sehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari kriteria tersebut.
Hal ini dilakukan agar sunnah nabi dapat terpelihara dengan baik, sebab pada saat itu banyak
sekali muncul-muncul hadis da’if dan maudhu’.
3. Tokoh-Tokohnya.
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai berikut:
1. Alqamah bin Qais an-Nakha’I (w. 62 H).
2. Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63).
3. al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).
4. Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
5. al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
4. Metode dalam Pelegeslasian Hukum Islam

Berdasarkan uraian terdahulu, jelaslah bahwa ahl ra’yu dalam pelegislasian hukum lebih banyak
menggunakan ra’yu ketimbang hadis. Bila timbul suatu masalah yang memerlukan jawaban
hukum maka mereka terlebih dahulu mencari dalilnya di dalam Alquran. Bila ketentuan
hukumnya tidak mereka temukan, mereka mencarinya di dalam hadis, yang dalam hal ini mereka
memberikan kriteria yang ketat sehingga sedikit hadis-hadis yang lolos seleksi, meskipun tentu
saja tidak berarti bahwa mereka tidak menggunakan hadis sama sekali. Apabila tidak ada hadis
yang menerangkan masalah tersebut maka mereka menggunakan penalaran, dan penggunaan
ra’yu inilah yang banyak mereka terapkan dalam penetapan hukum.

Termasuk dari metode penalaran yang mereka gunakan adalah istihsan, yaitu suatu metode
penetapan hukum Islam yang lebih menonjolkan aspek qiyas dengan arahan utamanya ditujukan
kepada makna yang terkandung pada qiyas khafi’. Akan tetapi pola istihsan yang mereka
gunakan belum seutuh yang dikembangkan oleh imam Hanafi berserta murid-muridnya.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah putusan hukum yang ditetapkan oleh Qadi
Syuraih agar orang yang diberi amanah untuk menjaga barang titipan memberi ganti rugi bila
barang tersebut rusak di tangannya. Padahal menurut hadis nabi bahwa orang yang menjaga
amanah tidak dikenakan wajib ganti rugi bila barang titipan rusak di tangannya. Putusan hukum
seperti itu yang ditetaokan oleh Syuraih bukan dikarenakan tidak meyakini keabsahan hadis
tersebut, akan tetapi beliau memandang perlu menetapkan hukuman agar tidak terjadi peyepelean
terhadap amanah yang diberikan kepadanya. Dari kasusu ini jelas bahwa putusan yang diambil
Syuraih lebih mengedepamkan aspek ra’yu ketimbang hadis.

C. Ahl Hadis
1. Latar Belakang Kemunculan.
Sesuai dengan namanya, maka ahl al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam
pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu. Kelompok ini
merupakan kebalikan dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz (Mekkah, Madinah dan
Thaif) dan memperoleh fiqh dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin
Umar.
Menurut para ulama, munculnya kelompok ini di wilayah Hijaz karena dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya:
adanya ketertarikan terhadap metode yang digunakan guru-guru mereka terutama Abdullah bin
Umar yang sangat kuat berpegang pada hadis.
banyaknya hadis yang mereka peroleh, sebab para sahabat yang hiudp pada zaman nabi banyak
yang tinggal di Hijaz terutama di Mekkah dan Madinah.
gaya hidup orang Hijaz yang sangat eksklusif dan tidak sedinamis dan seheterogen di wilayah
Iraq.
masalah-masalah baru yang memerlukan fatwa sangat minim sekali, hal ini di samping karena
penduduknya cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Iraq.
2. Keistimewaan.
Di antara bentuk-bentuk keistimewaan yang dimiliki kelompok ahl hadis adalah:
Sangat kuat berpegang terhadap hadis dan tidak memberikan kriteria yang sangat ketat dalam
penukilan hadis, sebab mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari penduduk Hijaz
adalah siqat.
Tidak suka mempersoalkan atau mendiskusikan masalah-masalah yang belum muncul karena
akan mendorong penggunaan ra’yu.
Dalam memahami suatu nash, sangat berpatokan kepada makna zahir nash dan tidak
mendiskusikan lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash tersebut.
Tidak menggunakan ra’yu kecuali pada saat terpaksa.
3. Tokoh-Tokohnya.
Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadis adalah para fuqaha yang tujuh,
yaitu:

1. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2. al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3. Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
4. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
5. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
6. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
7. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.).
4. Metode Legislasi Hukum.

Ahl al-Hadis, sesuai dengan namanya sangat menguatamakan penggunaan hadis ketimbang ra’yu.
Setiap permasalahan yang muncul, mereka mencari jawabannya di dalam Alquran, bila tidak
diketemukan, lalu mereka mencarinya di dalam hadis merskipun berupa hadis ahad, dan bila juga
tidak diketemukan maka mereka tidak mengeluarkan fatwa akan tetapi mereka tunda dan
mencarinya dalam ucapan jama’ah sahabat dan tabi’in terutama pendapat para khalifah rasyidun
dan para fuqaha lainnya. Apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, maka dilihat
siapa yang paling wara’ dan paling banyak ilmunya. Bila masih ada juga perbedaan pendapat,
maka mereka memilih pendapat yang lebih mendekati pemahaman mereka. Dengan demikian
terlihatlah bahwa ra’yu digunakan dalam keadaan terpaksa bila pada sumber-sumber hukum
utama tidak diketemukan keterangannya.

D. Penutup
Ahl al-Hadis dan Ahl Ra’yi adalah dua kecenderung dalam metode pelegislasian hukum Islam.
Hal ini dikarenakan faktor sumber hadis, homoginitas dan heteroginitas penduduk yang
mendiami tempat tersebut. Ahl Hadis yang berkembang di Hijaz mempunyai banyak sumber
hadis karena sahabat yang mendengar nabi lebih banyak tinggal di wilayah ini, di samping itu,
penduduknya juga termasuk homogen yang tentu tidak akan melahirkan terlalu banyak persoalan.
Sedangkan Ahl Ra’yi yang berkembang di Iraq lebih sedikit mendapatkan hadis, baik karena
sumbernya atau kehati-hatian mereka dalam menseleksi hadis karena banyaknya hadis maudhu’.
Iraq juga dikenal dengan masyarakat yang heterogen dan berlatar berbagai perdaban,
percampuran perdaban inilah yang melahirkan berbagai masalah yang membutuhkan pemecahan
hukum.

Meski dikatakan sebagai Ahli Ra’yi, mereka masih menggunakan hadis, perbedaannya dengan
Ahl Hadis adalah dalam mendahulukan ra’yu ketimbang hadis ahad yang oleh Ahl Hadis, hadis
ahad didahulukan ketimbang ra’yu.
Urutan sumber hukum yang dipakai oleh Ahl Hadis adalah:

1. Alquran.
2. Hadis.
3. Ijma’ (konsep ijma’ pada abad II).
4. Hadis Ahad

Sementara sumber hukum Ahl Ra’yi adalah:


Alquran,
Hadis,
Ijma’
Ra’yu (Qiyas, Istihsan dan sebagainya).

Daftar Pustaka
·         Ahmad, Abd al-Hay. Syazarat al-Zahab fi Akhbar Imam Mazhab, jil. I. Kairo: al-Maktabah al-
Qudsy, 1350 H.
·         Fath, Ahmad Abu. Kitab al-Mukhtarat al-Fathiyat fi Tarikh al-Tasyri’ wa Ushul al-Fiqh. Mesir:
Maktabah an-Nahdhah, 1924.
·         Hanafi, Muhammad al-Husein. al-Madhkal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, jil. I. Kairo: an-Nahdhah
al-Arabiyah, 1969.
·         Musa, Muhammad Yusuf. Tarikh Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Kitab, 1958.
·         Qayyim, Ibn. I’lam al-Muwaqqin, jil. I. Kairo: Munir ad-Dimasyqi, t.th.
·         Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh, t.th.
·         Syalbi, Yusuf as-Sayyid. Muhadarat fi Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: at-Tiba’ah al-
Muhammadiyah, 1962.
·         Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jil. I. Jakarta: Wacana Ilmu, 1997.
·         Tim Penulis. Ensiklopedi Islam, jil. V. Jakarta: Ichtiar Baru, 1999.
·         Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
·         Zahrah, Abu. Muhadarat fi Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyat . t.p.: Ma’hal ad-Dirasah al-Islamiyah,
1996.
at s= � a m �3 @1 gan pendapat ulama-ulama terdahulu; (c) memerangi orang-orang
yang menyimpang dari aqidah kaum salaf seperti kemusyrikan, khurafat, bid’ah, taqlid
dan tawasul; (d) kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utama ajaran
Islam.

Ahlul Ra’yi adalah sebuah gerakan pemikiran keislaman yang berpusat di Baghdad, Irak, yang


dalam mengambil sebuah fatwa terhadap ilmu fiqih lebih dominan berpikir
dengan akal daripada hadist.[1] Tetapi, setiap fatwa yang dikemukakan tidaklah menyimpang dari
nilai-nilai keislaman.[2]
Menurut Muhammad Ali Sayis bahwa munculnya aliran ini dipengaruhi oleh tiga faktor:[1]

1. Keterikatan yang sanga kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin
Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar
bin Khattab yang sering menggunakan ijtihad.[1]
2. Minimnya mereka menerima hadist nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya
memilih hadist yang disampaikan oleh para sahabat yang datang
ke Irak seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa
al-Asy’ari dan sebagainya.[1] Di samping itu, mereka juga minim
menggunakan hadist sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ijtihad.
[1]
 Hal ini dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka
terhadap hadist dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang ketat. Sehingga
mempengaruhi jumlah hadist yang mereka gunakan sebagai dasar pengambilan
sebuah fatwa.[1] Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini
disebabkan oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadist yang kala itu jumlahnya
yang tidak sedikit.[1]
3. Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum.
[1]
 Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya
perkembangan budaya yang terjadi di Irak, seperti;
budaya Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang
berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi
hukumnya.[1] Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka untuk
menggunakan ijtihad.[1]

Ahlul Rayi vs Ahlul Hadis

Ahlul Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh
lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad daripada menggunakan hadis.
Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah.

Kemunculan aliran ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:

1) Banyak dipengaruhi oleh Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud yang sering
menggunakan ijtihad.

2) Munculnya pemalsu-pemalsu hadis pada zaman itu.


3) Munculnya berbagai masalah baru yang memerlukan ijtihad kerana tiada penjelasan yang
kukuh dalah nash.

Di antara sifat-sifat yang dimiliki oleh kelompok Ahl Rayi adalah:

Ahl Rayi banyak mengeluarkan fatwa untuk masalah-masalah furu’iyah yang bersifat
kemungkinan sebab masalahnya belum muncul ketika itu. Mereka melahirkan ketentuan-
ketentuan hukum terhadap masalah yang belum terjadi, contohnya seperti fatwa tawaf di atas
kaabah.

Ahli Rayi tidak hanya memakai makna tekstual saja dalam pembentukkan hukum, tetapi
mereka juga akan memperhatikan apa yang menjadi sebab (illat), hikmah dan maqasid
syariatnya kerana mereka berpendapat bahwa hukum syarak diturunkan bersesuaian dengan
fahaman akal (ma’qul ma’na) kerana ia diturunkan untuk memberikan kemaslahatan dan
kebaikan kepada manusia.

Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai berikut:

1. Alqamah bin Qais an-Nakha’I (w. 62 H)


2. Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63)
3. al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78)
4. Sa’id bin Jubair (w. 95 H)
5. al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114)

Urutan sumber hukum yang dipakai oleh Ahl Rayi adalah:

1) Al-Quran,
2) Hadis Mutawatir
3) Ijma’
4) Ijtihad (Qiyas, Istihsan, Maslahah dan sebagainya)

Ahlul Hadis pula merupakan kelompok di masa tabi’in yang mengeluarkan hukum Islam
dengan menggunakan hadis daripada menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad. Kelompok ini
berkembang di Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif) dan memperolehi fiqh dari Zaid bin
Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.

Menurut para ulama, munculnya kelompok Ahlul Hadis ini di wilayah Hijaz kerana
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1) Mengikut metode yang digunakan guru-guru mereka terutama Abdullah bin Umar yang
sangat kuat berpegang pada hadis.

2) Banyaknya hadis yang mereka perolehi dari para sahabat yang hidup pada zaman Nabi
SAW yang ramai tinggal di Hijaz terutama di Mekkah dan Madinah.

3) Gaya hidup orang Hijaz yang berbeza dengan penduduk di wilayah Iraq.

4) Tidak banyak masalah-masalah baru yang memerlukan fatwa pada masa itu.

Di antara sifat-sifat yang dimiliki oleh kelompok ahl hadis adalah:


Sangat kuat berpegang kepada hadis dan tidak memberikan kriteria yang sangat ketat dalam
penukilan hadis, sebab mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari penduduk
Hijaz adalah tsiqat (dipercayai).

Tidak suka mempersoalkan masalah-masalah yang belum muncul kerana ia akan mendorong
kepada penggunaan ijtihad. Sangat memegang kepada zahir nash dan tidak membahaskan
lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash tersebut. Ahl Hadis
tidak akan menggunakan ijtihad kecuali pada saat terpaksa.

Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadis adalah:

1. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris (w. 94 H)


2. al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H)
3. Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H)
4. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H)
5. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H)
6. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H)
7. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H)

Urutan sumber hukum yang dipakai oleh Ahl Hadis adalah:

1. Alquran.
2. Hadis Mutawatir
3. Ijma’
4. Hadis Ahad
5. Ijtihad (Qiyas, Istihsan, Maslahah dan sebagainya jika perlu)
Wallahu'alam

Ahlul Hadits adalah orang-orang atau golongan yang dalam menetapkan hukum berpegang


teguh kepada Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad Shallahu'alaihi wassalam.[1] Mereka juga
umum disebut golongan Atsari dan Hanbali (berkaitan tapi tidak selalu sama dengan mazhab
Hanbali di ranah fiqih).[1] Istilah ini timbul pada masa ke dua dari sejarah pembinaan
hukum Islam, dimulai sejak wafatnya Rasulullah dan diakhiri pada pertengahan abad ke-
2 Hijriyah.[1] Masa ini dinamai pula dengan periode sahabat.[1] Dalam menetapkan hukum,
sebagaian para sahabat Nabi dan pengikutnya membatasi diri pada sumber hukum yang terdiri
dari AlQur’an dan Hadits.Mereka berpegang teguh pada dalil naqli (AlQur’an dan Hadits) untuk
memurnikan ajaran Islam dari sumber sumber yang tidak jelas. Adapun jika suatu permasalahan
tidak memiliki dalil maka mereka akan menggunakan ijtihad dan juga qiyas yang tentunya
memiliki syarat syarat yang ketat sebagai kehati-hatian dalam membuat cabang hukum baru.
Allahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai