Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA

PERIODE TABI’IN
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’

Dosen Pengampu:
Mohammad Harir Muzakki, S. Ag, M.H.I

Disusun Oleh :
Rizqi Ummi Rafidah (101220178)
Ro’is Fachruddin (101220179)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam dari masa Rasulullah sampai pada masa tabi’in banyak mengalami
perkembangan yang signifikan. Ketika pada masa rasul, dalam penyelesaian masalah umat
Islam langsung bisa menanyakan kepada Rasulullah, dan jawaban dari Rasulullah akan
menjadi sumber hukum bagi umat Islam. Setelah beliau wafat selain menggunakan Al-Qur’an
dan Hadits sebagai dasar hukum Islam, maka telah berkembang adanya Ijma dan Qiyas.

Islam adalah agama yang benar yang diridhai Allah. Agama yang bersifat universal, tidak
terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Dan ruang lingkup keberlakuan ajaran islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah untuk semua umat
manusia, dimanapun mereka berada. Islam dapat diterima oleh seluruh manusia di muka bumi
ini atas kehendak-Nya. Sejak awal mula sejarah islam, hukum bersumber pada Syari’ah
(wahyu Allah dan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam). Dan dalam pembahasan
hukum Islam, terdapat masa-masa dimana terdapat penetapan hukum Islam. Melalui makalah
ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai Hukum Islam pada masa tabi’in.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tabi’in?


2. Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa tabi’in?
3. Apa saja sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in?
4. Bagaimana kondisi masyarakat beserta keadaan pendidikannya dimasa tabi’in?
5. Siapa sajakah mufti mashur pada masa tabi’in ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tabi’in
Tabi'in adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para sahabat nabi
dan tidak mengalami masa hidup di masa Nabi Muhammad Saw. Generasi tabi’in
mengambil dan penerimaan pelajaran dari sahabat mengenai tafsir Al-qur’an, hadis,
fatwa-fatwa mereka dan lebih khususnya pengetahuan penetapan hukum serta metode-
metode penetapan hukum. Tabi'in artinya pengikut, adalah orang Islam awal yang masa
hidupnya setelah para sahabat nabi dan tidak mengalami masa hidup di masa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Generasi Tabi’in mengambil dan penerimaan
pelajaran dari sahabat mengenai tafsir Al-Qur’an, hadis, fatwa-fatwa mereka dan lebih
khususnya pengetahuan penetapan hukum serta metode- metode penetapan-penetapan
hukum.1
Keberadaan Tabi’iin ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat (At-Taubah:100).
‫عدَّ لَ ُه أم َج َّٰنَّتٖ ت أَج ِري‬
َ َ ‫ع أنهُ َوأ‬
َ ‫ع أن ُه أم َو َرضُوا‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫ٱَلل‬ َ َّٰ ‫ار َوٱلَّذِينَ ٱت َّ َبعُوهُم ِبإِ أح‬
ِ ‫سنٖ َّر‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ص‬َ ‫س ِبقُونَ أٱۡل َ َّولُونَ مِ نَ أٱل ُم َّٰ َه ِج ِرينَ َو أٱۡلَن‬ َّ َّٰ ‫َوٱل‬
١٠٠ ‫تَحأ ت َ َها أٱۡل َ أن َّٰ َه ُر َّٰ َخ ِلدِينَ فِي َهآ أَ َبدٖا َّٰذَلِكَ أٱلف أَو ُز أٱل َعظِ ي ُم‬
Artinya: ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (At-Taubah: 100).
Keberadaan Tabi’in juga dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
sabdanya:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-


orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yaitu generasi tabi’uttabi’in). ”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
3650]. [Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427,
dan Abu Dawud no. 4657.]. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu

1
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo)hal.74
‘alaihi wasallam memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi
Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh
masalah (berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”.2

B. Sejarah Perkembangan Hukum Islam pada masa Tabi’in


Perkembangan hukum islam (fiqh) pada masa bani Umayyah atau masa tabi’in
sebenarnya masih banyak menimbulkan kebingungan. Oleh Ibrahim bin Yazid an
Nakha’l, seorang ahli fiqh Irak Hammad bin Sulaiman yang banyak mewariskan
pemikiran fiqh rasionalitas kepada Abu Hanifah. Walaupun banyak ahli fiqh yang
memegang hukum rasionalitas, namun aliran ini banyak mendapatkan tanggapan dan
tantangan. Reaksi paling keras berasal dari ulama Hijaz (Madinah) yang menganggap
aliran ini telah banyak menyeleweng dari manhaj sahabat. Kebingungan itu didasari
karena adanya pergolakan-pergolakan yang muncul pada masa kekhalifahan Utsman dan
Ali, akhirnya memuncak pada pemerintahan daulah Umayyah. Pergolakan tersebut justru
membawa pengaruh besar terhadap perkembangan hukum Islam. Sehingga mengantarkan
pada masa kodifikasi dan munculnya para imam madzhab.3
Secara umum para tabi’in pada masa itu mengikuti manhaj (metode, kaidah)
sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk kepada Al-qur’an dan Hadist, dan
apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru
setelah itu mereka sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Ada kecenderungan dari beberapa ahli hukum islam (fuqaha) yang memandang bahwa
hukum sebagai pertimbangan rasionalitas. Mereka tidak hanya menggunakan rasio dalam
memahami hukum dan menyikapi persoalan yang muncul, tetapi juga memprediksikan
suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberikan hukumnya.
Aliran pemikiran dengan menggunakan rasionalitas ini dipelopori bahkan
dianggap berpaling dari ajaran Rasulullah. Dengan adanya aliran ini, dianggap telah
membuka pintu untuk memasuki krisis pemahaman keagamaan sebagaimana yang telah
menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalam I’lamul Muqi’il karangan Ibnu
Qayyim Al Jauziy, Ibnu Syihab Zuhri seorang ahli hadist pada masa itu pernah

2
Imam Ibnul Qoyyim, I’lamul Muwaqqi’in, (Kairo. DarulHadits, 2002) hal 392
3
Mu’minin A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm 49
mengatakan, “sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani kehilangan ilmu yang
mereka miliki ketika mulai disibukkan dengan pendapat rasio dan pemikiran”.
Dari banyaknya kontroversi terhadap pemikiran rasionalitas, kemudian meluasnya
ruang ikhtilaf periode hukum pada masa bani Umayyah, Dr. Tahaha Jabir dalam bukunya
“Adabul Iktilaf Fil Islam” menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf itu
sebenarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Usman adalah
khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk pergi dari Madinah dan menyebar
ke berbagai daerah dan lebih dari 300 sahabat pergi ke Basrah dan Kufah, sebagian lagi
pergi ke Mesir dan Syam.
Dari penyebaran, para sahabat memberikan peluang yang sangat besar dalam
perluasan ikhtilaf dikalangan tabi’in. Hal itu juga menjadi faktor perkembangan dari fiqih
yang disebabkan karena masing-masing tabi’in memiliki perbedaan situasi, kebiasaan,
dan kebudayaan. Disamping perbedaan kapasitas pemahaman para ahli fiqih dalam
mengantisipasi masalah yang muncul. Dalam mengatasi masalah yang ada, sering juga
terjadi perbedaan dalam pengambilan hukum.

C. Sumber Hukum pada masa Tabi’in


Dalam melakukan ijtihad, para ulama tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis
sebelumnya oleh para sahabat, meliputi:
1. Al-Qur’an merupakan sebuah kitab petunjuk dan bimbingan agama secara umum.
Oleh karena itu, ketentuan hukum dalam Al-Qur’an tidak bersifat rinci, pada
dasarnya ketentuan Al-Qur’an merupakan kaidah-kaidah umum.
2. Sunnah, intinya adalah ajaran-ajaran Nabi Saw yang disampaikan lewat ucapannya,
tindakannya, atau persetujuannya.
3. Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama (ahli hukum yang melakukan penemuan
hukum syara) Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada
hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang dianggap kuat dalilnya.
4. Qiyas merupakan perluasan ketentuan hukum yang disebutkan di dalam teks Al-
Qur’an dan Sunnah sehingga mencakup kasus serupa yang tidak disebutkan dalam
teks kedua sumber pokok itu berdasarkan persamaan.
Untuk sahnya dilakukan qiyas, harus terpenuhinya empat rukun qiyas:
a. Adanya kasus pokok, yaitu kasus yang disebutkan di dalam Al-Qur’an atau
hadist.
b. Adanya ketentuan hukum kasus pokok.
c. Adanya kasus cabang, yaitu kasus baru yang belum ada hukumnya.
d. Adanya illat bersama, yaitu alasan hukum yang sama antara kedua kasus
bersangkutan.
Disamping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan sahabat.
Dalam penggunaan ra’yu, mereka menggunakan qiyas, apabila mereka menemukan
masalahnya dengan apa yang ada pada sumber-sumber hukum Islam.4

D. Kondisi Masyarakat beserta Keadaan Pendidikannya dimasa Tabi’in


Saat itu pandangan pemerintah terhadap ilmu pengetahuan sungguh antusias
terbukti dengan banyaknya pembuktian ilmu pengetahuan yang terdiri diantaranya
tentang hukum Islam, As-Sunnah, tafsir dan lain-lain. Karena banyaknya sahabat-
sahabat yang sudah wafat, maka sebagian sahabat yang masih hidup adalah sebagai guru
dari orang-orang yang meminta fatwa serta belajar kepadanya, mereka mempunyai
hadits-hadist dan yang diriwayatkan dalam jumlah yang besar, sebagian diantaranya :
Musnad Abu Hurairah 313 halaman dari Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Abdullah
bin Umar 156 halaman, dalam Musnad Abu Bakar tertulis 41 halaman serta Musnad Ali
dalam 85 halaman.
Zaman tabi’in ini pemerintahanya dipimpin oleh Bani Umayyah. Pemerintahan ini
dipimpin oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan radhiallahu’anhu yang sebelumnya pernah
menjadi Gubernur Damaskus. Fitnah besar yang dihadapi umat islam pada akhir
pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib radhiallahu’anhu ini adalah tahkim.
Pendukung Ali yang tidak menyetujui tahkim tidak lagi mendukung Ali (sehingga
mereka keluar dari Jama’ah umat rasulullah Shallallau’alaihi Wasallam) yang kemudian
dikenal sebagai Khawarij. Kelompok ini memusuhi sahabat bahkan mengkafirkan orang
yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim. Dengan terbunuhnya Ali kemudian
Muawiyah mengambil alih kepemimpinan umat islam dengan digantinya sistem
pemerintahan menjadi sistem kerajaan. Ketika itu umat islam, terpecah menjadi 3 yaitu

4
Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat, (Yogyakkarta. Philosophy Press. 2001) hal 59
golongan khawarij, golongan syi’ah, dan jumhur. Fase ini merupakan awal zaman
Tabi’in. terbunuhnya Ali kemudian Muawiyah mengambil alih kepemimpinan umat
islam dengan digantinya sistem pemerintahan menjadi sistem kerajaan. Ketika itu umat
islam, terpecah menjadi 3 yaitu golongan khawarij, golongan syi’ah, dan jumhur. Fase
ini merupakan awal zaman Tabi’in.5
1. Khawarij adalah mereka yang kecewa dengan proses tahkim (perdamaian) pada
masa Ali. Akibat kejahilan mereka akan ilmu Sunnah Rasulullah
Shallalahu’alaihi Wasallam, mereka mengkafirkan Ali pun juga Muawiyah
Radhiallahu’anhuma serta siapa saja yang terlibat dan setuju dengan tahkim. Dan
mereka berpendapat wajib untuk melantik seorang khalifah yang taat agama versi
mereka.
2. Syi’ah adalah orang- orang yang fasik dengan dalih mengutamakan Ali- Bin Abi
Thalib Radhiallahu’anhu. Mereka mengangap khalifah hanya milik Ali dan
keturunannya saja, pemikiran ini muncul dari seorang yang bernama Abdullah
bin Saba’ yang berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin
Affan radhiallahu ‘anhu. Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi dari Shan’a,
Yaman, yang berpura-puramasuk Islam dan berpura-pura menampakkan rasa
cinta kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Dialah yang menjadi
penyebab utama terbunuhnya Utsman bin Affan.
3. Jumhur kaum Muslimin adalah mayoritas muslim yang meiliki sifat adil dan
selalu berhati-hati. Saat itu pandangan pemerintah terhadap ilmu pengetahuan
sungguh antusias terbukti dengan banyaknnya pembuktian ilmu pengetahuan
yang terdiri diantaranya tentang hukum Islam, As-Sunah, Tafsir dan lain-lain.
Pada saat itu karena banyaknya sahabat yang sudah meninggal, maka sebagian
sahabat yang masih hidup adalah sebagai guru dari orang- orang yang meminta
fatwa serta belajar kepadannya.
Adapun faktor- faktor perkembangan tarikh tasyri’ pada masa ini adalah :
1. Politik

5
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung. PT.Remaja Rosdakarya.2003) hal 53-54
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-
aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum
(termasuk aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan Islam).
2. Perluasan wilayah
Sebagaimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada
periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode Tabiin
mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat dengan demikian telah banyak
daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam, sehubungan dengan itu semangat
dari para ulama untuk mengembalikan segala sesuatunya terhadap sumber-sumber
hukum Islam, yang seiring banyak terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk
terciptanya kemaslahatan bersama.
3. Peredaan penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat
digolongkan menjadi dua golongan yaitu; Ulama yanag kembali pada Hadits yaitu
para ulama yang dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam
penggunaan ra’yu. Dan kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam
penggunaan pemikirannya dengan ra’yu (akal ) dibandingkan dengan Hadits,
dengan demikian, inilah sebab adanya perkembangan pemikiran yang dapat
mendorong terbentuknya Firqah-firqah dalam Islam.
4. Pahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Al-
hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun
sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang
dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan
sehingga keputusan-keputasan itu dapat dijadikan yurispudensi pada masa hakim
saat ini.
5. Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abu Hanifah,
Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan seterusnya dengan keluasan ilmu
mereka telah berperan besar dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang
dalam masyarakat saat itu.
6. Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak permaslahan-
permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para
pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan
permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli
perundang-undangan.

E. Mufti Mashur Pada Masa Tabi’in


Mufti menurut kamus bahasa Indonesia adalah pemberi fatwa untuk memutuskan
masalah yg berhubungan dengan hukum Islam, sedangkan Masyhur adalah orang yang
dikenal orang banyak atau kenamaan. Periode ini memiliki ciri khas, banyaknya ulama
yang memberi fatwa selain banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh para ahli fikih.
Ruang perbedaan fikih pun semakin meluas sebagai bukti bahwa aktivitas fikih pada
zaman ini meningkat dibanding sebelumnya seperti zaman sahabat. Meningkatnya
aktivitas fikih pada zaman ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah
Umar bin Khattab melarang para pembesar sahabat terutama mereka yang
terkenal sebagai ahli ra’yi (merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok
yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau
ijtihad ketimbang hadits). Untuk meninggalkan kota Madinah, kecuali dalam
keadaan darurat seperti memimpin pasukan dan memimpin negeri-negeri. Hal
tersebut dikarenakan mereka memang menganut sistem syuro, dan komitmen
Umar ini sampai pada jika ada masalah yang muncul, ia mengemukakannya
kepada ahli ra’yi dengan cara mengirimkan surat dan hal ini sudah tentu
memberikan pengaruh positif bagi lahirnya ijma’ terhadap masalah yang muncul
pada zamannya.
2. Perbedaan adat istiadat, hubungan sosial, keadaan dan taraf hidup
Jenis pekerjaan baik pertanian dan perdagangan, ilmu, dan wawasan telah
memberikan pengaruh yang besar terhadap perbedaan masalah fatwa pada satu
negeri dengan negeri yang lain, dan sulit untuk membangun komunikasi karena
jarak tempuh yang jauh serta sarana transportasi yang minim. Kondisi dan
dinamika tasyri’ pada zaman tabi’in ini sedikit banyak berbeda dengan kondisi
pada masa sahabat, dalam hal kebutuhan untuk memperbanyak periwayatan hadis
semakin menguat pada zaman tabi’in ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
sebagai berikut:
a. Luasnya wilayah kekuasaan negara Islam setelah terjadi banyak
penaklukan sehingga menimbulkan banyak masalah yang perlu diberikan
fatwa. Disamping itu, para fuqaha’ menghadapi kondisi sosial yang
beragam dengan adanya orang Persia dan Romawi serta Kristen Ortodoks.
b. Jarak antara satu negeri dengan negeri yang lain sangat jauh dan sulit
berkomunikasi sesama mereka. Oleh karena itu, setiap ulama hadis
terpaksa meriwayatkan apa yang dihafalnya untuk berfatwa, dan terkadang
mereka pergi ke Madinah untuk mengumpulkan hadis dan menghafalnya.
Adapun Beberapa mufti masyhur di masa Tabi’in diantaranya adalah :
1. Di Madinah yaitu di antaranya Said bin al-Musayyab (94 H/713 m) dan lain-lain.
2. Di Makkah yaitu : Ikrimah Maula Ibnu Abbas (107
H/ 726 M)
3. Di Kufah yaitu : Alqamah bn Qais al-Hakha’iy (62 H/681 m)
4. Di Mesir yaitu : Yazid bin abu Habib Maula a-Azad (128 H/ 746 M)
5. Di Basrah yaitu: al-Hasan al-Basri (111 H/730 M)
6. Di Syam/ Siria yaitu: Sed al-Rahman bin bunmin al-Asyari (78 H).6

6
Abdul Wahab Khalaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Ialam, (Jakarta.RajaGrafido Persd 2001)
Hal 78-80
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Secara umum para tabi’in pada masa itu mengikuti manhaj (metode, kaidah) sahabat dalam
mencari hukum. Mereka merujuk kepada Al-qur’an dan Hadist, dan apabila tidak
mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu
mereka sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat. Ada beberapa
sumber hukum pada masa tabi’in, meliputi: Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas.
2. Kondisi masyarakat dimasa ini adalah sangat perhatiannya pandangan pemerintah terhadap
ilmu pengetahuan sungguh antusias ini terbukti dengan banyaknya pembuktian ilmu
pengetahuan yang terdiri diantaranya tentang hukum Islam, As-Sunnah, tafsir dan lain-lain.
3. Adapun Beberapa mufti masyhur di masa Tabi’in diantaranya adalah :
a. Di Madinah yaitu di antaranya Said bin al-Musayyab (94 H/713 m) dan lain-lain.
b. Di Makkah yaitu : Ikrimah Maula Ibnu Abbas (107
H/ 726 M)
c. Di Kufah yaitu : Alqamah bn Qais al-Hakha’iy (62 H/681 m)
d. Di Mesir yaitu : Yazid bin abu Habib Maula a-Azad (128 H/ 746 M)
e. Di Basrah yaitu: al-Hasan al-Basri (111 H/730 M)
f. Di Syam/ Siria yaitu: Sed al-Rahman bin bunmin al-Asyari (78 H).
Daftar Pustaka

Sirry, Mu’minin. Sejarah Fiqih: Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti. 1995

Rochman, Ibnu. Hukum Islam Perspektif Filsafat. Yogyakarta: Philosophy Press. 2001

Khallaf, Abdul wahab. Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam .Jakarta: PT.
Raja Grafindo. 2002

Qoyyim, Ibnul, I’lamul Muwaqqi’in, Kairo: Darul Hadits. 2002

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
2003

Anda mungkin juga menyukai