Makala Qowaid Fiqhiyah
Makala Qowaid Fiqhiyah
Syarifudin
Tugas: Qowa’id Fiqhiyah
A. Pendahuluan
Dalam berbagai literatur qawa’id fiqhiyah, macam-macam kaedah fiqh, secara
umum disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, kaidah-kaidah fiqh induk
(al-qawaid al-asasiyah). Disebut induk, karena banyak kaidah-kaidah cabang yang dapat
dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya. Kedua, kaidah-kaidah fiqh cabang yang
disepakati oleh mayoritas ulama. Ketiga, kaidah-kaidah fiqh cabang yang diperselisihkan
oleh para ulama.
Kaedah-kaedah fiqh induk, secara kuantitatif atau jumlahnya masih
diperselisihkan oleh para ulama. AsSuyuthi mengemukakan bahwa al-Qadhi Abu Sa’id
mengembalikan semua persoalan mazhab Syafi`i kepada empat kaidah hukum induk.
Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa kaidah fiqh induk ini ada lima:
1. Al-Umuuru bimaqaashidiha (segala perkara tergantung dengan niatnya)
2. Al-yaqiinu laa yuzaalu bissyakk (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan)
3. Al-masyaqqatu tajlibu at-taysiir (kesulitan mendatangkan kemudahan)
4. Ad-dhararu yuzaalu (kemudharatan itu hendaklah dihilangkan)
5. Al-‘aadatu muhakkamah (adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum)
Dari kaedah inilah muncul qaedah idza saqhata al-ashlu saqatha al far’u, dengan
kata lain kaedah idza saqhata al-ashlu saqatha al far’u merupakan turunan dari kaedah at-
taabi’u taabi’un.
B. Pengertian kaedah idza saqhata al-ashlu saqatha al far’u
Dalam bahasa Arab al-ashlu adalah asaas as-sya’i (asas, landasan, dasar, pondasi
atau pangkal sesuatu). Dalam ilmu ushul fiqh, al-ashlu adalah maa yubnaa ‘alaihi
ghairuhu (sesuatu yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain) seperti al-ashlu dari
bangunan adalah pondasinya dan al-ashlu dari pohon adalah akarnya. Adapun al-far’u
adalah lawan dari al-ashlu yang artinya cabang, ranting atau bagian, sedangkan dalam
ushul fiqih, al-far’u adalah maa yubnaa ‘ala ghairihi (sesuatu yang dibangun diatas
sesuatu yang lain). Dua entitas ini, yakni al-ashlu dan al-far’u bisa dibuatkan sebuah
narasi: setiap ada al-far’u pasti ada al-ashlu, namun sebaliknya, tidak setiap ada al-
ashlu pasti al-far’u juga ada.
idza saqhata al-ashlu saqatha al far’u: Apabila asal telah gugur, maka cabang pun
menjadi gugur. Maksud kaedah ini bahwa sesuatu yang keberadaannya menjadi asal,
dasar, pondasi terhadap keberadaan sesuatu yang lain, maka ketika asal atau dasar gugur,
sesuatu yang berpijak kepadanya menjadi gugur juga. Dapat disimpulkan bahwa ketika
pondasi ambruk bangunan pun menjadi roboh, namun ketika bangunan yang roboh
pondasi bisa saja masih kokoh
C. Dasar Kaedah
Dari beberapa literature klasik tentang kaedah ini bahkan kaedah asalnya at-taabi’
taabi’un tidak ditemukan nash al-Qur’an maupun al-Hadits yang secara jelas dijadikan
sebagai dasar kaedah ini. Namun Ulama kontemporer mencoba mencarikan teks nash
yang dapat dijadikan dasar kaedah ini. Abdul Latiif bin Muhammad al-Hasan dalam
tulisannya yang berjudul ‘dirasaat fis syari’ah wal aqiidah min al-qawa’id al-fiqhiyah
mencoba untuk memberikan teks nash sebagai dasar kaedah ini. Yaitu hadits tentang jual
beli habalul habalah yaitu transaksi jual beli yang tidak tunai dan jatuh tempo
pembayarannya tidak pasti. Bentuk lain dari jual beli habalul habalah adalah jual beli
janin yang masih dalam kandungan (untuk semua jenis binatang). Inilah bentuk jual beli
yang memasyarakat di masa jahiliyah, lalu dibatalkan oleh islam. Hal ini dilarang karena
menyebabkan terjadinya sengketa dan perselisihan antara penjual dan pembeli.
‘Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang jual beli habalul habalah” (HR. Bukhari).
Pada dasarnya kaedah ini walau tanpa berlandaskan nash telah dapat dipahami
akal bahwa sesuatu yang mengikuti merupakan kesatuan dari yang diikuti, oleh
karenanya tidak patut berdiri sendiri dari segi hukumnya.