Anda di halaman 1dari 7

Nama : Galuh Dia Mas'ulah

Nim : 043819736

Prodi : Manajemen

Tugas 2 : Pengantar Ilmu Politik

Pertanyaan :

1. Uraikan jenis-jenis Partisipasi , berikan pandangan anda partisipasi apa yang


sudah dilakukan selama ini .?

2. Melakukan review terhadap jurnal (2017-2022) yang membahas tentang


partisipasi dalam pemilu ?

3. Berikan analisis saudara tentang pembagian kekuasaan, checks and balance


serta otonomi daerah di Indonesia

Jawaban :

1. Bentuk dan Jenis Partisipasi

Bila dilihat dari bentuk dan tahapan partisipasi, maka tahapan partisipasi dapat dibagi
menjadi beberapa tahapan. Hoofsteede (1971: 25), dalam hal ini membagi partisipasi
menjadi tiga tingkatan, antara lain :

A. Partisipasi inisiasi (Inisiation Participation) adalah partisipasi yang mengundang inisiatif


dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat
mengenai suatu proyek, yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan bagi
masyarakat.

B. Partisipasi Legitimasi (Legitimation Participation) adalah partisipasi pada tingkat


pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.

C. Partisipasi Eksekusi (Execution Participation), adalah partisipasi pada tingkat


pelaksanaan.
Dari ketiga tahapan partisipasi di atas, partisipasi inisiasi mempunyai kadar yang lebih
tinggi dibanding partisipasi legitimasi dan eksekusi. Di sini penduduk tidak hanya
sekadar menjadi objek pembangunan saja, tetapi sudah dapat menentukan dan
mengusulkan segala sesuatu rencana yang akan dilaksanakan.

Sedangkan kalau masyarakat ikut hanya dalam tahapan pembicaraan saja, seperti
“rembug desa”, padahal proyek yang akan dibangun sudah jelas wujudnya, maka
masyarakat hanya berpartisipasi pada tingkat legitimasi saja. Sedangkan Partisipasi
Eksekusi adalah yang terendah dari semua tingkatan partisipasi di atas. Masyarakat
hanya turut serta dalam pelaksanaan proyek, tanpa ikut serta menentukan dan
membicarakan proyek tersebut.

Dilihat dari jenisnya, maka partisipasi masyarakatdalam pembangunan dapat bermacam


-macam sesuai dengan kemampuan, seperti tertera di bawah ini:

A. Partisipasi buah pikiran, adalah jenis partisipasi yang diberikan seperti menyumbangkan
buah pikiran, pengalaman, pengetahuan dalam pertemuan rapat.

B. Partisipasi tenaga, adalah jenis partisipasi yang diberikan dalam berbagai kegiatan,
seperti untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan untuk orang lain,
partisipasi spontan atas dasar sukarela.

C. Partisipasi harta benda, partisipasi yang diberikan oleh seseorang dalam suatu kegiatan
untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain dan sebagainya.

D. Partisipasi keterampilan dan kemampuan, yang diberikan orang untuk mendorong


aneka ragam bentuk usaha dan industri.

E. Partisipasi sosial, adalah jenis partisipasi yang diberikan sebagai tanda keguyuban,
seperti turut arisan, koperasi, melayat (dalam peristiwa kematian) tabungan dan
sebagainya. (Santoso Sastroputro, 1988: 44).

Sedangkan jenis partisipasi bila dilihat dari sifatnya adalah:

A. Memberi input pada proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan
ikut menikmati hasilnya.

B. Memberi input dan menikmati hasilnya.

C. Memberi input, menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan.


D. Menikmati hasil/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input.

E. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.

Dalam pembangunan, setiap warga masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi sesuai


dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini mengingat banyaknya jenis
partisipasi yang dapat disumbangkan dalam pembangunan. Adapun wujud partisipasi
masyarakat dalam pembangunan desa menurut Konkon Subrata dan Suyatna B. Atmaja
(1982: 28) adalah: Buah pikiran dan moril (persetujuan, dukungan sosial); Tenaga fisik;
Harta benda (material); Keterampilan/kemahiran; Sosial (koperasi, kondangan); Waktu;
dan Mengambil keputusan.

★ Pada dasarnya semua jenis partisipasi sudah dilakukan di Indonesia seperti


partisipasi buah pikiran, partisipasi tenaga, partisipasi harta benda, partisipasi
keterampilan dan kemampuan, serta partisipasi sosia

2. Review jurnal pemilu.

Judul : STUDI KASUS PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN KEPALA


DAERAH KABUPATEN BONE BOLANGO DI TENGAH PANDEMI COVID 19

Pengarang: Swastini Dunggio, dan Iskandar N. Yanto

Tempat : Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan

Yang dibahas : Penelitian ini bertujuan yaitu untuk mengetahui perilaku pemilih
masyarakat di Kecamatan Bulango Selatan serta bagaiamana peran faktor pendukung
dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam pilkada Kabupaten Bone
Bolango di tengah pandemi covid 19. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini
melalui pendekatan kualitatif dengan penyajian secara deskriptif. Teknik pengumpulan
data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pilkada Kabupaten Bone
Bolango di Tengah Pandemi Covid19 di Kecamatan Bulango Selatan, sudah dapat
dikatakan baik. Perilaku pemilih yang ada masyarakat di Kecamatan Bulango Selatan
dalam Pilkada banyak dipengaruhi oleh faktor daerah asal calon dalam pilkada di tahun
2020 hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh masyarakat. Selain faktor daerah asal
calon, masyarakat melihat visi-misi yang disampaikan oleh pasangan calon dalam
Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bone Bolango untuk bisa memperoleh informasi
serta menetapkan pilihan masyarakat terhadap pasangan calon Bupati dan calon Wakil
Bupati Kabupaten Bone Bolango.

3. Beberapa penyimpangan dan kendala dalam menciptakan pembagian kekuasaan yang


sehat dan seimbang dalam aturan ketatanegaraan menjadi salah satu alasan untuk
dilakukannya amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan (amandemen)
atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan secara bertahap, ketiga Bab penting
yang mengatur kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara tersebut mengalami
penyesuaian. Dalam Bab III dijelaskan mengenai kekuasaan Presiden untuk memegang
kekuasaan pemerintahan. Presiden juga berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR, serta menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya. Demikian pula halnya dengan masa jabatan Presiden
telah dibatasi selama maksimal 10 tahun (2) periode), kecuali kalau seorang presiden
memperoleh jabatan karena menggantikan Presiden yang diberhentikan MPR atau yang
meninggal dunia sebelum selesai masa jabatannya, atau yang mengalami "permanently
incapacitate" (secara permanen tidak mampu karena sakit). Dalam hal pelaksanaan
kekuasaan, Presiden telah dibatasi secara tegas untuk dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya. Wewenang pemberhentian Presiden ini dimiliki oleh MPR atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat setelah mengajukan usul pada Mahkamah Konstitusi yang
memutuskan pendapat benar tidaknya, Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 juga secara tegas menjelaskan bahwa Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam hal kewenangan Presiden lainnya, harus mendapat persetujuan dan


pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung, misalnya dalam hal
pemberian grasi dan rehabilitasi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung. Sementara itu dalam pernyataan perang, perdamaian, perjanjian
dengan negara lain, Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
juga dalam hal pengangkatan duta dan konsul, serta pemberian amnesti dan abolisi
harus mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal-hal tersebut dilakukan
untuk memperjelas batasan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden
agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana terjadi di masa lalu.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-
undang dan menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Untuk
menjalankan fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki hak-hak interpelasi, hak
angket, dan menyatakan pendapat.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 juga mengamanatkan penguatan kekuasaan


kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dan menjalankan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Setidaknya terdapat tiga lembaga penting untuk
menjalankan kekuasaan kehakiman ini. Pertama, Mahkamah Agung berwenang
melakukan pengujian peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang
terhadap undang-undang. Kedua, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menjaga kehormatan hakim.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan uji materiil undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara,
memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan putusan
atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Dalam hal mekanisme pengangkatan para hakim Agung dan hakim
konstitusi melibatkan peranan lembaga-lembaga tinggi negara. Hakim Agung misalnya
diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat
persetujuan Presiden. Sementara untuk hakim konstitusi, keanggotaannya diajukan oleh
Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Dengan demikian, lembaga
kehakiman benar-benar diharapkan menjadi kekuasaan yang merdeka, bebas dari
campur tangan lembaga negara lainnya dan dapat menjadi penjaga konstitusi.

Upaya untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan dalam mekanisme checks and


balances tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
yang dilakukan oleh satu lembaga negara. Untuk hal itu diperlukan kejelasan mengenai
wewenang, pembatasan kekuasaan, serta kewenangan untuk mengawasi antara satu
lembaga negara terhadap lembaga negara lainnya.

Pembahasan selanjutnya mengenai pembagian kekuasaan di Indonesia adalah tentang


otonomi daerah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa kekuasaan dapat dibagi
dengan dua cara, yakni pertama, secara horisontal menurut fungsi lembaga-lembaga
negara, dan kedua adalah secara vertikal dalam arti pembagian kekuasaan antara
beberapa tingkat pemerintahan.

Pembahasan pembagian kekuasaan secara horisontal di Indonesia telah dijelaskan di


atas, dalam interaksi checks and balances antara lembaga eksekutif, lembaga legislatif
dan lembaga yudikatif di Indonesia. Sementara pembagian kekuasaan secara vertikal
akan dijelaskan dengan penjelasan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Jika kita mempelajari pengalaman otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan
maupun federasi di Indonesia maka kita dapat melacak dari berbagai ketentuan hukum
yang diberlakukan untuk mengatur masalah tersebut. Dalam sejarah nasional Indonesia,
masalah otonomi daerah telah menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintahan kolonial
Belanda maupun Jepang. Mereka memiliki aturan dan sistem yang diterapkan bagi
koloninya Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda misalnya menerapkan Undang-
Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) Tahun 1903, dengan pemberian kewenangan
keuangan dan dewan perwakilan rakyat daerah (raad). Namun demikian, bentuk
desentralisasi yang diberikan kepada daerah tersebut masih sangat terbatas karena
masih dibatasinya kewenangan daerah dan terbatasnya kekuasaan pemerintah daerah
pada pemerintah pusat. Semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga kini telah
diterapkan setidaknya 6 undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah
dalam berbagai sistem politik yang dianut di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
pasal 18 secara jelas memberikan tempat bagi diaturnya pemerintahan daerah beserta
sistemnya dalam kerangka negara kesatuan. Hal ini diperkuat dengan keputusan PPKI
pada 19 Agustus 1945 yang untuk sementara menetapkan pembagian wilayah Republik
Indonesia ke dalam delapan daerah administratif yang disebut Provinsi. Masing-masing
Provinsi dibagi ke dalam Karesiden, Kooti (Yogyakarta dan Surakarta), serta Kota.
Berkaitan dengan pentingnya pemerintahan di daerah, maka pada 23 November 1945
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan pada
badan legislatif daerah untuk mengadakan peraturan- peraturan untuk kepentingan
daerahnya (otonomi), dan merupakan pertolongan kepada pemerintah atasan untuk
menjalankan peraturan- peraturan pemerintah itu, serta membuat peraturan mengenai
suatu hal yang diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa
peraturan itu harus disahkan terlebih dulu oleh pemerintah atasan.
Sesuai perkembangan keadaan dan tuntutan akan otonomi daerah yang diamanatkan
Undang-Undang Dasar 1945, maka diundangkanlah Undang- Undang Nomor 22 Tahun
1948. Undang-undang ini pada dasarnya memberikan hak otonomi rasional pada daerah
untuk mempercepat kemajuan rakyatnya. Daerah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
Provinsi (Daerah Tingkat I), Kabupaten dan Kota Besar (Daerah Tingkat II), dan Desa
(Kota Kecil, Marga, Negeri) bagi Daerah Tingkat III.

Sumber referensi :

Modul Pengantar Ilmu Politik, Modul 5 dan 6

https://ciburial.desa.id/bentuk-dan-jenis-partisipasi/

https://stia-binataruna.e-journal.id/PUBLIK/article/download/202/139/

Anda mungkin juga menyukai