TAFSIR AHKAM
WANITA YANG HARAM DI NIKAHI
DOSEN PENGAMPU:
Dr. Muhammad Faisala Hamdani M.Ag.
DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:
• Rafli Khairy (0206212114)
• Muhammad Reinaldy Lubis (0206212151) • Fatihur
Rizki Alhusain (0206212105)
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir baik
yang secara langsung maupun tidak langsung. Semoga allah SWT
senantiasa meridhoi segala ikhtiar kita.
Aamiin
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat yang berkaitan
B. Tafsir an nisa ayat 23
C. Tafsir an nisa ayat 24
D. Fadhilah an nisa ayat 23-24
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Konsep mahram banyak yang belum membahasnya secara rinci. Terutama ketika
beberapa daerah telah menerapkan syariat Islam bagi kaum perempu- an ketika keluar
malam harus ditemani mahram. Tentu saja hal ini sangat mencemaskan bagi kaum
perempuan yang bekerja sampai malam, sementa- ra harus keluar rumah dan tidak
memiliki mahram. Karena kehidupan dulu dengan zaman modern saat ini pun sangat
berbeda. Di satu sisi keharusan dengan mahram tersebut berdampak positif demi
keamanan dan perlin- dungan kaum perempuan, akan tetapi di sisi lain mengundang
problem ka- rena dinamika kehidupan zaman modern mengharuskan aktifitas di luar ru-
mah dan tidak memandang gender. Menurut Quraish Shihab, selama jiwa seseorang itu
normal tidak mugkin mempunyai birahi atau ketertarikan ter- hadap orang tuanya,
saudara ataupun keluarga dekat tertentu.
Kata mahram berasal dari kata haram (fi’il maadhi), ataupun bisa saja harima dan
haruma, dengan jama’ nya maharrim serta mempunyai arti suatu yang tidak boleh
dilanggar asalnya dari arti haranm lawan kata dari hallal artinya merupakan suatu yang
dilarang serta tidak boleh dico- ba..Mahram merupakan wanita-wanita yang haramkan
buat dinikahkan oleh seorang pria sebab masih mempunyai ikatan kekeluargaan (nasab),
sepersusuan (radla’ah) serta perbesanan (mushaharah).
Mahram ialah perempuan yang haram untuk dinikahin, meskipun masih dalam
konservatif ataupun telah maju. Karena keharamanya tersebut beragam pemahamanya
sesuai yang dimengerti masyarakat, sangat sedikt uraian ini digolongan terbelakang
serta menyempit dikalangan masyarakat yang telah maju. Mahram ini berkaitan erat
dengan kehidupan saat ini, contoh maraknya perempuan yang traveling jarak jauh tanpa
didampingi mahram karena menjadi hal lumrah perempuan itu secara tidak langsung
dituntut untuk hidup mandiri. Meskipun kehidupan saat ini jauh berbeda dengan zaman
jahiliyah dahulu, keamanan menggunakan transportasi umum telah ditingkatkan seperti
pesawat, kereta maupun bus..Akan tetapi tidak dipungkiri sesungguhnya perempuan itu
membutuhkan pendamping selama perjalanan jauh untuk memastikan keamanan
dijalan. Karena per- empuan sangat rentan terhadap pelecehan seksual yang marak
terjadi, maka dari itu peran mahram sangat penting dari segi dhohir maupun batin.
Konsep mahram yang telah diatur didalam islam ini sangat memberi pengaruh positif
terhadap kaum perempuan dan laki-laki, sehingga terjaga kehormatan dan
kemuliaannya. Jadi islam mengatur etika dalam ber- interaksi terhadap lawan jenis
dengan sempurna.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja yang haram di nikahi ?
2. Hikmah mengetahui Tafsir an nisa ayat 23-24
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat yang berkaitan
An- Nisaa ayat 23, berbunyi
Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang mengharamkan mengawini wanita mahram
dari segi nasab dan hal-hal yang mengikutinya, yaitu karena sepersusuan dan mahram
karena menjadi mertua, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan, telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman ibnu Mahdi, dari Sufyan ibnu Habib, dari Said
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Telah diharamkan bagi kalian tujuh
wanita dari nasab dan tujuh wanita karena mertua (hubungan perkawinan)." Lalu ia
membacakan firman-Nya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian (An-Nisa:
23), hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya ibnu Said, telah menceritakan
kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari
Ismail ibnu Raja, dari Umair maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
diharamkan tujuh orang karena nasab dan tujuh orang pula karena sihrun (kerabat
karena perkawinan). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Diharamkan atas
kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang perempuan: saudara-saudara
kalian yang perempuan; saudara-saudara bapak kalian yang perempuan: saudara-saudara
ibu kalian yang perempuan: anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kalian: dan anak-
anak perempuan dari saudara perempuan kalian ( An-Nisa: 23)
Telah diriwayatkan pula suatu hadis yang berpredikat garib mengenai hal tersebut
dan di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan. Hadis itu adalah apa yang
telah diceritakan kepadaku oleh Ibnul Musanna.
َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن،اح َّ َأ ْخَب َرنَ ا ال ُْم َثنَّى بْ ُن، َح َّد َثنَا ابْ ُن ال ُْمبَ َار ِك،وس ى ِ
ِ َّالص ب َ َح َّد َثنَا حبَّا ُن بْ ُن ُم
َ َ َع ْن جده عن النبي صلىاهلل َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق،يه
َّ ِإ َذا نَ َك َح:ال
الر ُج ُل ال َْم ْرَأ َة فَاَل ِ ِب َعن َأب
ْ ٍ ُش َع ْي
اُأْلم َفلَ ْم يَ ْد ُخ ْل بِ َه ا ثُ َّم
َّ َوِإ َذا َت َز َّو َج،ت َْأو لَ ْم يُ ْد َخ َل ِ ُد ِخ ل بِ الْبِْن،ي ِح ُّل لَ هُ َأ ْن يَت َز َّوج َُّأم َه ا
َ َ َ َ
َاء َت َز َّو َج ااِل ْبنَة َّ
َ فَِإ ْن َش،طَل َق َها
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna
ibnus Sabbah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw. yang
telah bersabda: Apabila seorang lelaki mengawini seorang wanita, maka tidak halal
baginya mengawini ibu wanita itu, baik ia telah menggaulinya atau masih belum
menggaulinya. Dan apabila ia kawin dengan ibu si wanita, lalu ia tidak menggaulinya dan
menceraikannya, maka jika ia suka boleh kawin dengan anaknya.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hadis ini —sekalipun di dalam sanad-nya terkandung
sesuatu yang perlu dipertimbangkan— sesungguhnya menurut kesepakatan hujah
menunjukkan keabsahan pendapat ini, hingga sudah dianggap cukup tanpa mengambil
dalil dari selainnya dan tanpa bergantung kepada kesahihan hadis tersebut.
Memang ada suatu pendapat yang mengatakan tidak ada faktor yang
menyebabkan rabibah menjadi mahram kecuali jika si rabibah berada dalam
pemeliharaan orang yang bersangkutan. Jika si rabibah bukan berada dalam
pemeliharaannya, maka rabibah bukan termasuk mahram.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam
(yakni Ibnu Yusuf), dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ubaid ibnu
Rifa’ah, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Aus ibnul Hadsan yang mengatakan,
"Dahulu aku mempunyai seorang istri, lalu ia meninggal dunia, sedangkan sebelum itu ia
telah punya seorang anak perempuan, dan aku menyukainya. Ketika Ali ibnu Abu Talib
bersua denganku, ia bertanya, 'Mengapa kamu?' Aku menjawab, 'Istriku telah meninggal
dunia.' Ali bertanya, 'Apakah dia punya anak perempuan?' Aku menjawab, 'Ya, dan tinggal
di Taif.' Ali bertanya, 'Apakah dahulunya ia berada dalam pemeliharaanmu?' Aku
menjawab, 'Tidak, tetapi ia tinggal di Taif." Ali berkata, 'Kawinilah dia'. Aku berkata,
'Bagaimanakah dengan firman-Nya yang mengatakan: anak-anak istri kalian yang dalam
pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23). Ali berkata, 'Sesungguhnya dia bukan berada dalam
pemeliharaanmu. Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam
pemeliharaanmu'."
Sanad asar ini kuat dan kukuh hingga sampai kepada Ali ibnu Abu Talib dengan syarat
Muslim. Akan tetapi Pendapat ini garib (aneh) sekali. Pendapat inilah yang dipegang
oleh Daud Ibnu Ali Az-Zahiri dan semua muridnya, diriwayatkan oleh Abul Qasim Ar-Rafi'i.
Dipilih oleh Ibnu Hazm.
Guruku Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi menceritakan kepadaku bahwa masalah ini
pernah diajukan kepada Imam Taqi’ud Din Ibnu Taimiyyah, maka dia menganggap
masalah ini sulit dipecahkan dan ia bersikap diam terhadapnya.
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Al-Asram, dari
Abu Ubaidah sehubungan dengan firman-Nya: yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa:
23) Yakni di dalam rumah-rumah kalian.
Sehubungan dengan rabibah dalam kasus milkul yamin (budak perempuan yang
diperistri), Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Khalifah Umar
ibnul Khattab pernah ditanya mengenai masalah seorang wanita dan anak
perempuannya yang kedua-duanya adalah budak, kemudian salah seorang digauli
sesudah menggauli yang lainnya. Maka Khalifah Umar berkata, "Aku tidak suka
memperbolehkan keduanya digauli." ia bermaksud bahwa ia tidak mau menggauli
keduanya lewat milkul yamin. Asar ini munqati'.
Sunaid ibnu Daud mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami
Abul Ahwas, dari Tawus, dari Tariq ibnu Abdur Rahman, dari Qais yang mengatakan
bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah seorang lelaki boleh menggauli
seorang wanita dan anak perempuan yang kedua-duanya adalah budak miliknya?" Ia
menjawab.”Keduanya dihalalkan oleh suatu ayat, tetapi keduanya diharamkan oleh ayat
yang lain dan aku tidak akan melakukan hal tersebut."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di
kalangan para ulama, bahwa tidak halal bagi seorang lelaki menggauli seorang wanita
dan anak perempuannya yang kedua-duanya dari milkul yamin (budak perempuan).
Karena sesung-guhnya Allah Swt. mengharamkan hal tersebut dalam nikah melalui
firman-Nya: ibu-ibu istri kalian (mertua) dan anak-anak istri kalian yang dalam
pemeliharaan kalian dari istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23) Milkul
Yamin menurut mereka diikutkan ke masalah nikah, kecuali apa yang diriwayatkan dari
Umar dan Ibnu Abbas. Tetapi pendapat tersebut tidak pernah diikuti oleh seorang imam
pun dari kalangan ulama ahli fatwa, tidak pula selain mereka.
Hisyam meriwayatkan dari Qatadah, bahwa anak perempuan rabibah dan anak
perempuannya hingga terus ke bawah tidak layak (digauli secara bersamaan) di
kalangan banyak kabilah. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, dari Abul Aliyah.
Makna firman-Nya:
} َّدَخ ْل ُت ْم ِب ِهن
َ {الالتِي
dari istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23)
Yaitu telah kalian nikahi. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan
hanya seorang.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata. bahwa yang dimaksud dengan dukhlah ialah bila si
istri menyerahkan dirinya dan si suami membuka serta meraba-raba dan duduk di antara
kedua pangkal pahanya. Aku bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu jika si lelaki
melakukan hal itu di rumah keluarga istrinya?" Ata menjawab, "Sama saja. hal itu sudah
cukup membuat anak perempuan si istri menjadi mahramnya."
Ibnu Jarir mengatakan menurut kesepakatan ulama khalwat seorang lelaki dengan
istrinya tidak menjadikan mahram anak perempuan si istri bagi si lelaki. jika si lelaki
ternyata menceraikan istrinya sebelum mencampuri dan menyetubuhinya.
Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa memandang kemaluan si istri dengan nafsu
berahi tertentu yang menunjukan pengertian bahwa si lelaki telah sampai kepada istrinya
melalui jimak (hal ini cukup menjadikan mahram anak perempuan istri bagi si suami).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abu Wahb Al-Jusyani, dari Ad-Dahhak
ibnu Fairuz, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika masuk Islam, ia dalam
keadaan mempunyai dua orang istri yang bersaudara. Maka Nabi Saw.
memerintahkannya agar menceraikan salah seorangnya.
Kemudian Imam Ahmad, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya
melalui hadis Ibnu Luhai'ah. Imam Abu Daud dan Imam Tumiuzi
mengetengahkannya pula melalui hadis Yazid ibnu Abu Habib, keduanya menerima
hadis ini dari Abu Wahb Al-Jusyani —Imam Turmuzi mengatakan bahwa Aba Wahb
nama aslinya adalah Dulaim ibnul Hausya'—, dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami,
dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz yang diketengahkan oleh Imam Tumiuzi. lalu Nabi Saw. bersabda:
Ibnu Abdul Barr An-Nimri mengatakan di dalam kitab Istizkar, sebenarnya Qubaisah ibnu
Zuaib sengaja menyebut nama seorang le!aki dari sahabat Nabi Saw. —tanpa menyebut
nama jelasnya yang sebenarnya adalah Ali ibnu Aba Talib— tiada lain karena ia adalah
pengikut Abdul Malik ibnu Marwan – (yang tidak suka kepada Ali ibnu Abu Talib). Mereka
merasa keberatan bila menyebut nama Ali ibnu Abu Talib r.a. dengan sebutan yang jelas.
Kemudian Abu Umar mengatakan, telah menceritakan kepadaku Khalaf ibnu Ahmad
secara qiraah, bahwa Khalaf ibnu Mutarrit pernah menceritakan kepada mereka, telah
menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Sulaiman dan Sa'id ibnu Sulaiman serta
Muhammad ibnu Umar ibnu Lubabah; mereka mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Zaid Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur
Rahman Al-Muqri, dari Musa ibnu Ayyub Al-Gafiqi, telah menceritakan kepadaku
pamanku has ibnu Amir yang mengatakan, "Aku pernah berkata kepada Ali ibnu Abu
Talib. Untuk itu aku katakan, 'Aku mempunyai dua saudara perempuan di antara budak-
budak wanita yang kumiliki, lalu aku mempergundik salah seorangnya dan ia melahirkan
untukku banyak anak. Kemudian aku senang kepada saudara perempuannya, apakah
yang harus aku lakukan?' Ali ibnu Abu Talib r.a. menjawab. 'Kamu merdekakan budak
wanita yang telah kamu campuri itu. kemudian kamu boleh menggauli yang lainnya." Aku
berkata, "Akan tetapi. orang-orang (para ulama) mengatakan bahwa aku boleh
mengawininya dan menggauli yang lainnya." Ali ibnu Abu Talib berkata, 'Bagaimanakah
menurutmu jika ia diceraikan oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia, bukankah
ia pasti kembali kepadamu? Sesungguhnya kamu memerdekakannya adalah jalan yang
lebih selamat bagimu.' Kemudian Ali memegang tanganku dan berkata kepadaku,
'Sesungguhnya diharamkan atas kamu terhadap budak-budak milikmu hal-hal yang
diharamkan di dalam Kitabullah terhadap wanita-wanita merdeka, kecuali poligami.' Atau
Ali mengatakan, "Kecuali empat orang istri. dan diharamkan pula atas dirimu
sehubungan dengan masalah persusuan hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah
sehubungan dengan nasab."
Kemudian Abu Umar berkata bahwa asar ini merupakan hasil jerih payah perjalanan
seorang lelaki. Dia tidak memperoleh dari kawasan Magrib yang terjauh dan Masyriq
sampai ke Mekah kecuali hanya asar ini, yaitu ketika unta kendaraannya tidak dapat
melanjutkan perjalanannya lagi.
Menurut kami, asar ini diriwayatkan pula dari Ali dari Usman.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Abbas,
telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnul Mubarak Al-Makhrami,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Gazwan, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa Ali ibnu Abu Talib pernah berkata kepadaku, "Keduanya diharamkan oleh satu
ayat dan dihalalkan oleh ayat yang lain," yakni masalah kedua wanita yang bersaudara
tadi. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka mengharamkan aku untuk mendekatkan
diri dengan mereka, tetapi mereka tidak mengharamkan pendekatan sebagian mereka
dengan sebagian yang lain, yaitu para hamba sahaya wanita. Dahulu orang-orang
Jahiliah mengharamkan semua hal yang kalian haramkan —kecuali istri ayah (ibu tiri)—
dan menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan. Setelah Islam datang, maka
Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayah kalian, kecuali pada masa yang telah lampau. (An-Nisa: 22)
Firman Allah Swt. yang mengatakan: dan menghimpunkan dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (An-Nisa: 23) Yakni dalam
pernikahan.
Abu Umar mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dengan perkataan Khalifah
Usman dari segolongan ulama Salaf, antara lain Ibnu Abbas. Akan tetapi, pendapat
mereka berbeda dan tiada se-orang pun dari kalangan ulama fiqih kota-kota besar, Hijaz,
Irak, dan semua negeri Timur yang ada di belakangnya serta negeri Syam dan negeri
Magrib (Barat), kecuali orang yang berpendapat menyendiri dari jamaahnya karena
mengikut kepada makna lahiriah dan meniadakan qiyas (analogi). Orang yang
mengamalkan demikian secara terang-terangan harus dikucilkan bila kita berkumpul
dengannya.
Jamaah ulama fiqih sepakat, tidak halal menghimpun dua wanita bersaudara dengan
menyetubuhi keduanya melalui milkul yamin, sebagaimana hal tersebut tidak dihalalkan
dalam nikah.
Ulama kaum muslim sepakat bahwa makna firman-Nya: Diharamkan atas kalian
(mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, dan saudara-saudara perempuan
kalian. (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat. Bahwa nikah dan milkul yamin terhadap mereka
(yang disebut di dalam ayat ini) sama saja (ketentuan hukumnya). Demikian pula halnya
merupakan suatu keharusan ketentuan hukum ini berlaku secara rasio dan analogi
terhadap masalah menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan serta
masalah ibu-ibu istri dan anak-anak tiri. Demikianlah pendapat yang berlaku di kalangan
jumhur ulama, dan pendapat ini merupakan suatu hujah yang mematahkan alasan orang-
orang yang berpendapat menyendiri dan berbeda.
Allah Swt menetapkan suatu syari’at sudah pasti memiliki kan- dungan
hikmah yang besar. Diharamkannya menikahi perempuan- perempuan
yang memiliki hubungan mahram walaupun dari segi disebab- kan nasab,
sesusuan ataupun semenda.
Fadhilah haram menikahi mahram:
1. Untuk menjaga hubungan kekerabatan dan menghormati
keluarga secara nasab. Allah menjadikan di antara manusia ini
dua macam hubungan satu sama antara lain saling mengasihi
dan membantu mereka dalam mencari yang bermanfaat serta
mencegah mudharat. Ikatan seperti ini hanyalah ada dalam
kekeluargaan saja. Jikalau di perkenankan perkawinan sesama
mahram niscaya semua nafsu akan memandang kepada keluar-
ga terdekat sendiri dan dapat menyebabkan pertentangan dan
permusuhan dalam kekeluargaan.
2. Haramnya menikahi mahram sebab persusuan. Seorang
anak lahir adalah janin yang berasal dari darah ibu kemudian
anak itu menyusu pada ibunya sehingga setiap isapan air susu
ibu memancarkan suatu perasaan baru yang mengalir dari hati
ibu. Allah telah menganugerahi manusia fitrah bersih yang mem-
batasi pikirannya untuk tidak melampiaskan nafsu syahwat
kepada ibunya. Dan fitrah manusia pun akan mengagumi faidah
diharamkannya mengawini ibu. Demikian itu mengawini ibu
termasuk mustahil dan tidak masuk akal. Menikahi kerabat
dapat menyebabkan lemahnya tingkat natalitas dan apabila ber-
sambung terus menerus akan makan akan menghancurkan ke-
turunan..
3. Larangan menikah dengan mahram karena perkawinan
mem- iliki sebab hubungan darah sang istri. Jadi antara suami
dengan mertuanya tersambung darahnya melalui anak mertua
yakni istri. Bebrapa penelitian ada yang menunjukkan
pernikahan an- tar kerabat dekat memungkinkan sekali
mengakibatkan mem- iliki keturunan mudah terkena penyakit
dan juga cacat fisik, kesuburan rendah dan kemandulan.
4. Haram karena persusuan bukan ibu kandung. Seseorang
yang menetek seorang perempuan dan telah mencapai batas
per- susuan yang menyebabkannya sebagian daging bayi
tersebut adalah bagian dari perempuan tersebut. Karena bayi itu
tumbuh dari susu perempuan tersebut laksana ibunya sendiri.
Maka anak dari perempuan tersebut itu juga menjadi saudara
dengannya sebab berasal dari satu bahan baku yang sama yakni
air susu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-24#tafsir-jalalayn
http://www.ibnukatsironline.com › t...
http://www.ibnukatsironline.com › t...