Anda di halaman 1dari 19

MAHRAM, KHITBAH, DAN KAFA’AH

Makalah disusun untuk memenuhi mata kuliah:

“FIKIH KELUARGA”

Dosen Pengampu:

Mughniatul Ilma, M.H.

Disusun Oleh PAI 2B:

Kelompok 2

Arina Diyas Sa’adah : 201220053

Ani Nur Asiyah : 201220044

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM PONOROGO

FEBRUARI 2023
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mahrom merupakan semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya
sebab karena keturunan, persusuan serta perkawinan dalam syariat islam. Sebelum
melakukan pernikahan kita harus tahu batasan - batasan mahrom, jangan sampai
yang kita nikahi adalah mahrom kita. agar terciptanya pasangan suami istri yang
sah berdasarkan agama. Lalu tahapan selanjutnya adalah khitbah, dimana seorang
laki - laki meminang seorang perempuan yang akan dijadikan seorang istri. Di
dalam unsur perkawinan juga terdapat Kafa'ah yaitu kesetaraan antara laki - laki
dan perempuan yang akan menikah baik dari segi Agama, Nasab, kekayaan, dan
lain- lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mahram, Dasar Hukum Mahram, serta Pembagian Mahram?
2. Apa Pengertian Khitbah (Peminangan), Dasar Hukum Khitbah, Syarat – Syarat
Khitbah, Memilih Pasangan, Ketentuan Peminangan dalam Kompilasi Hukum
Islam?
3. Apa Pengertian Kafa’ah, Kedudukan Kafa’ah dalam Pernikahan, Kriteria
Kafa’ah, Pendapat Ulama Madzhab Tentang Kafa’ah?

C. Tujuan Masalah
1. Agar dapat mengetahui Pengertian Mahram, Dasar Hukum Mahram, serta
Pembagian Mahram.
2. Agar dapat mengetahui Pengertian Khitbah (Peminangan), Dasar Hukum
Khitbah, Syarat – Syarat Khitbah, Memilih Pasangan, Ketentuan Peminangan
dalam Kompilasi Hukum Islam.
3. Agar dapat mengetahui Pengertian Kafa’ah, Kedudukan Kafa’ah dalam
Pernikahan, Kriteria Kafa’ah, Pendapat Ulama Madzhab Tentang Kafa’ah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahram, Dasar Hukum Mahram, serta Pembagian Mahram.

1) Pengertian Mahram
Ayat - ayat yang menjelaskan tentang mahram didalam al-Qur'an
tersebar di beberapa surah. Kata mahrum ( ‫ )مح روم‬adalah bentuk kata yang
menunjukkan objek (ism maful) dari kata kerja haruma, yahrumu,
haraman/haraman ( ً‫حرام ا‬/ً‫حرم ا‬/‫يَح ُر ُم‬/‫)ح ُر َم‬.
َ Menurut Ibnu Faris, semua akar kata
yang berasal dari ha-ra, dan mim mengandung arti larangan dan 'penegasan.
Mekah dan Madinah disebut haramani/haramain (‫حرمين‬/‫)حرمان‬.
Karena kemuliaan kedua kota tersebut dan larangan melakukan
beberapa hal yang diperbolehkan di luar kedua kota tersebut. Orang ihram (
‫ )اح رام‬yaitu orang yang sedang melakukan rangkaian ibadah haji atau umrah
yang ditandai dengan memakai pakaian tertentu pada miqat - miqat yang telah
ditetapkan. Disebut demikian dikarenakan adanya larangan melakukan hal - hal
yang dibolehkan diluar ihram seperti berburu dan menggaui istri. Orang yang
menahan diri untuk tidak meminta - minta meskipun ia sangat miskin disebut
mahrum (‫)مح روم‬. Demikian pula orang yang tidak boleh dikawini disebut
mahram (‫)محرم‬.1

Dalam ilmu Fiqh Mahram (‫ )محرم‬adalah semua orang yang haram untuk
dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam
syariat Islam. Muslim Asia Tenggara sering salah dalam menggunakan istilah
mahram ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang
lain. Dalam bahasa Arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang
berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram
(mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita, dan haram
(tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya.
Mahram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang
(perempuan, laki - laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena
keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah
di antaranya. Selain itu, mahram juga diartikan orang laki-laki yang dianggap
dapat melindungi perempuan yang akan melakukan ibadah haji (suami, anak
laki - laki, dsb).2

1
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur'an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm.
557.
2
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazali, M. A., FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta: Prenadamedia, Mei
2019), hlm. 24

3
Dari definisi mahram di atas, dapat kita ambil garis besar bahwa
mahram adalah sebuah istilah yang berarti perempuan yang haram dinikahi.
Mahram berasal dari makna haram, yaitu perempuan yang haram dinikahi.
sebenarnya yang menjadi objek yang biasa dipakaikan perhiasan. Sebab melihat
perhiasan itu sendiri hukumnya mubah secara mutlak. Maka kepala boleh
dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh untuk dipakaikan mahkota, leher
dan dada untuk kalung, telingan untuk anting, pergelangan tangan untuk gelang,
pergelangan kaki untuk gelang kaki, jari untuk cincin, punggungnya telapak
kaki untuk dihiasi daun pacar, dll. Berbeda dengan perut, punggung dan paha
yang lazimnya tidak untuk dipakaikan perhiasan.3

2) Dasar Hukum Mahram


Perempuan – perempuan yang haram dinikahi menurut Islam adalah golongan
perempuan yang dijelaskan di dalam Q.S. An-nisa’ [4]: 22 – 23 sebagai
berikut:4

ِ َ‫ف ۗ اِنَّهٗ َكا َن ف‬ َ َ‫ِّساِۤء اِاَّل َما قَ ْد َسل‬ ِ


‫شةً َّو َم ْقتًاۗ َو َساۤ َء‬
َ ‫اح‬ َ ‫َواَل َت ْنك ُح ْوا َما نَ َك َح ٰابَاُۤؤ ُك ْم ِّم َن الن‬
‫ٰت ااْل َ ِخ‬ ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم اَُّم ٰهتُ ُك ْم َو َبنٰتُ ُك ْم َواَ َخ ٰوتُ ُك ْم َو َع ّٰمتُ ُك ْم َو ٰخ ٰلتُ ُك ْم َو َبن‬ ُ ٢٢﴿ ‫َسبِْياًل‬
ْ ‫﴾ح ِّر َم‬
ِ ُ ‫اع ِة واَُّم ٰه‬ ٰ
‫ساۤ ِٕى ُك ْم َو َربَاۤ ِٕىبُ ُك ُم‬
َ‫تن‬ َ َ‫ض‬ َ ‫الر‬َّ ‫ض ْعنَ ُك ْم َواَ َخ ٰوتُ ُك ْم ِّم َن‬ َ ‫ت َواَُّم ٰهتُ ُك ُم الّتِ ْيٓ اَ ْر‬ ِ ‫ٰت ااْل ُ ْخ‬ُ ‫َو َبن‬
ِ َّ ِ ِ ِٰ ِ‫ا ٰلّتِي ف‬
َ َ‫ساۤ ِٕى ُك ُم الّت ْي َد َخلْتُ ْم ب ِه َّنۖ فَا ْن ل ْم تَ ُك ْو ُن ْوا َد َخلْتُ ْم ب ِه َّن فَاَل ُجن‬
‫اح‬ َ ِّ
‫ن‬ ‫ن‬
ْ ‫م‬
ِّ ‫م‬ْ ‫ك‬
ُ ِ
‫ر‬ ‫و‬ْ ‫ج‬
ُ ‫ح‬
ُ ‫ي‬ْ ْ
‫ف ۗ اِ َّن‬ َ َ‫صاَل بِ ُك ْمۙ َواَ ْن تَ ْج َمعُ ْوا َب ْي َن ااْل ُ ْخَت ْي ِن اِاَّل َما قَ ْد َسل‬ ِ ِ
ْ َ‫َعلَْي ُك ْم ۖ َو َحاَلۤ ِٕى ُل اَْبنَاۤ ِٕى ُك ُم الَّذيْ َن م ْن ا‬
٢٣﴿‫﴾ال ٰلّهَ َكا َن غَ ُف ْو ًرا َّر ِح ْي ًما‬
Artinya: "Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang
telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau.
Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk
jalan (yang ditempuh)." (22) "Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
3
Ibid, hlm. 27
4
Ibid, hlm. 35

4
kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (23)

Sebagiannya diharamkan untuk selamanya, dan sebagiannya


diharamkan dinikahinya dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan ayat – ayat
tentang mahram tercantum dalam Q.S. An-Nur [24]: 31 dan Al-Ahzab [33]: 55.
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwasanya dalam suatu ikatan pernikahan
terdapat hukum – hukum yang mendasarinya, dan di dalam hukum tersebut
terdapat hukum – hukum yang mengenai perempuan – perempuan yang tidak
boleh dinikahi dan di ilmu fiqh disebut dengan mahram.5

3) Pembagian Mahram
Dalam pelaksanaan mahram, secara garis besar mahram menurut
pendapat penulis itu dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Mahram Nikah (Mahal al-Nikah)


Mahram nikah yaitu larangan untuk menikah. Bentuk kemahraman
ini adalah semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tetapi tidak
membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama.
Menurut pendapat para ulama' mahram nikah dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) Keharaman bersifat Abadi (Tahrim Mu'abbad)
Keharaman yang bersifat abadi ada yang disepakati da nada juga yang
masih diperselisihkan. Yang disepakati ada tiga, yaitu hubungan
keturunan atau nasab, hubungan kekeluargaan karena tali
pernikahanatau besanan, dan hubungan persusuan.
b) Keharaman yang bersifat sementara (Tahrim Mu'aqqat)
Yaitu seorang perempuan dilarang dikawin selama dalam keadaan
tertentu. Jika nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan menjadi
halal. Adapun prempuan-perempuan yang di larang dinikahi hingga
waktu tertentu, yaitu; saudara perempuan istri, bibinya dari garis ayah
dan ibu.isteri orang lain dan perempuan yang menjalani masa iddah,
perempuan yang dijatuhi talak 3, kawin denga perempuan pezina hingga
ia taubat.6

b. Mahram Aurat (Mahal al-Zinah)


Mahram aurat yaitu larangan melihat aurat. Maksudnya adalah aurat
bagi perempuan dihadapan laki-laki asing, yang bukan mahramnya, adalah
5
Ibid,
6
Ibid, hlm. 27 - 28

5
seluruh badannya. Dengan demikian, mahallu zinah ini menjadi pembatas
aurat wanita yang boleh dilihat oleh laki-laki mahram dan sesama wanita.
Aurat perempuan atau anggota tubuh yang harus ditutupi itu berbeda, sesuai
dengan situasi dan kondisi dengan siapa dia berkumpul atau bertemu.
Apakah dengan laki-laki, dengan laki-laki yang semahram, dengan laki-laki
yang tidak semahram, dengan sesama perempuan atau saat shalat.
Penjelasan ini berdasarkan pandangan ulama' Fiqih madzab empat yaitu:
Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.7

B. Pengertian Khitbah (Peminangan), Dasar Hukum Khitbah, Syarat – Syarat


Khitbah, Memilih Pasangan, Ketentuan Peminangan dalam Kompilasi
Hukum Islam.

1) Pengertian Khitbah (Peminangan)


Secara etimologi khitbah dalam bahasa Indonesia adalah pinangan atau
lamaran yang berasal dari kata Pinang meminang meminang dimaknai sebagai
Tholabah Al mar'ah li al-zawaj permintaan kepada wanita untuk dijadikan istri.
Secara terminologi khitbah adalah pernyataan permintaan untuk menikah
dari seorang laki – laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan
perantaraan seseorang yang dipercayai maupun secara langsung tanpa
perantara. Adapun Salah satu tujuan disyariatkannya khitbah adalah agar
masing – masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.8
Khitbah (pinangan) adalah suatu aktifitas yang menjadi pembuka untuk
melangsungkan pernikahan. Allah swt. memberlakukan pinangan (sebagai
langkah awal untuk menikah) agar orang yang akan melangsungkan
pernikahan saling mengenal satu sama lain (antara calon istri dan calon suami),
sehingga di antara ke duanya mantap untuk melangsungkan pernikahan.
Kalimat ‫ رج ل خط اب‬artinya seseorang yang sering mengajukan pinangan.
Kata al-Khathib, artinya seseorang yang meminang perempuan. Kata
Khathabq, Yakhtubu artinya seseorang yang berbicara untuk memberi nasihat
atau mencela orang lain.9

2) Dasar Hukum Khitbah


Adapun hukum meminang itu ada dua yaitu:
a) Jaiz (diperbolehkan)

7
Ibid, 28 - 31
8
Dr. M. Dahlan R, MA, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, juni 2015), hlm. 10
9
Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH Jilid 3, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2015), hlm. 225

6
a. Yaitu apabila perempuan yang dipinang itu tidak dalam status
perkawinan (bersuami) dengan orang lain.
b. Perempuan itu tidak dalam masa iddah10

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al - Baqarah ayat 235:

 ۗ ‫آء اَ ْو اَ ْکَن ْنتُ ْم فِ ْۤي اَْن ُف ِس ُك ْم‬ِ ‫ضتم بِهٖ ِمن ِخطْب ِة النِّس‬ ِ
َ َ ْ ْ ُ ْ ‫َواَل ُجنَا َح َعلَْي ُك ْم ف ْي َما َع َّر‬
ِ ‫َعلِم ال ٰلّهُ اَنَّ ُكم ستَ ْذ ُكرو َنه َّن و ٰل‬
‫ـك ْن اَّل ُت َوا ِع ُد ْو ُه َّن ِس ًّرا اِاَّلۤ اَ ْن َت ُق ْولُْوا َق ْواًل‬ َ ُ ُْ َ ْ َ
ٰ ِ
َ‫ٰب اَ َجلَهٗ ۗ  َوا ْعلَ ُمْۤوا اَ َّن اللّه‬ ُ ‫اح َح ٰتّى َي ْبلُ َغ الْكت‬ ِ ‫َّم ْع ُر ْوفًا ۗ  َواَل َت ْع ِز ُم ْوا ُع ْق َدةَ النِّ َک‬
‫َي ْعلَ ُم َما فِ ْۤي اَْن ُف ِس ُك ْم فَا ْح َذ ُر ْوهُ ۗ  َوا ْعلَ ُمْۤوا اَ َّن ال ٰلّهَ غَ ُف ْو ٌر َحلِ ْي ٌم‬

Artinya: “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu


dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut – nyebut kepada mereka. Tetapi
janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata – kata yang baik. Dan janganlah
kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa
Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.
Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.”

Yang dimaksud dalam ayat di atas adalah perempuan yang sedang


menjalani masa'iddah karena kematian suaminya. Yang dimaksud dengan kata
'sindiran' adalah ungkapan seseorang yang ditujukan kepada (perempuan yang
ditinggal suaminya) yang menunjukkan makna lain. Seperti ungkapan, 'Aku
ingin sekali menikah, aku berharap semoga Allah memudahkan jalanku untuk
menikahi seorang perempuan yang salehah. Atau ungkapan, semoga Allah
memberi kemantapan dan kebaikan bagimu." 11

b) Haram (dilarang)
a. Yaitu apabila perempuan itu dalam status perkawinan (bersuami).
b. Apabila perempuan itu telah dipinang lebih dahulu oleh laki-laki lain.

10
Sudarto, M. Pd.I, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: CV Budi Utama,2021), hlm. 32
11
Sayyid Sabiq, op.cit: hlm. 227

7
c. Apabila perempuan itu dalam masa 'iddah baik dalam 'iddah thalak raj'l,
thalak bain maupun 'iddah karena ditinggal mati oleh suaminya.12

3) Syarat – Syarat Khitbah

Syarat-syarat meminang ada dua macam, yaitu:


1. Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada
laki-laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan
dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustahsinah
tidak wajib untuk dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untuk
dilaksanakan. Sehingga tanpa adanya syarat ini, hukum peminangan tetap
sah.
Syarat-syarat mustahsinah tersebut adalah:
a) Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki -
laki yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya, status
sosial, dan kekayaan.
b) Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.
c) Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan
lelaki yang meminang. Dalam hal ini sayyidina ‘Umar bin Khattab
mengatakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki dan wanita
yang dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan
rohani keturunannya.
d) Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan - keadaan lainnya
yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.13

2. Syarat Lazimah
Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya
syarat – syarat lazimah. Syarat – syarat tersebut adalah:
a) Tidak dalam pinangan orang lain
Perempuan tersebut tidak terikat dengan khitbah dari laki – laki lain,
yang sudah diajukan dan diterima baik oleh si perempuan dan
keluarganya. Sebab mengajukan pinangan terhadap perempuan yang
sebelumnya telah terikat dengan pinangan laki – laki lain adalah
haram.14

b) Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang


dilangsungkannya pernikahan.

12
Sudarto, M. Pd.I, op.cit. hlm. 33
13
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag, FIQH MUNAKAHAT 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah,
(Sulawesi Selatan: CV Kaaffah Learning Center, 2019), hlm. 44-45
14
Ibid. hlm. 45 - 46

8
Penghalang – penghalang syar’i adalah perempuan - perempuan
yang haram untuk dinikahi. Seperti perempuan-perempuan yang senasab
(saudara perempuan, bibi, tante, ponakan) dan perempuan – perempuan
yang sesusuan. Begitu juga halnya dengan pengharaman secara
temporal, seperti: saudara perempuan isteri, mengumpulkan antara
ponakan dan bibi.

c) Perempuan tidak dalam masa iddah


Perempuan yang masih berada dalam masa iddah termasuk dalam
kategori perempuan yang haram dikhitbah bersifat secara temporal.
Karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu
masih berhak merujknya kembali sewaktu-waktu. Jika perempuan yang
sedang iddah karena talak ba’in maka ia haram dipinang secara terang –
terangan karena mantan suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap
dirinya, untuk menikahinya dengan akad baru. Perempuan yang sedang
iddah karena kematian suaminya, maka ia boleh dipinang secara
sindiran selama masa iddahnya, karena hubungan suami istri di sini
telah terputus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang sama sekali.15

4) Memilih Pasangan
a) Memilih Calon Istri
Di antara kelebihan yang mesti ada pada diri perempuan yang akan
dilamar adalah:
a. Dia berasal dari lingkungan keluarga yang baik, mampu mengendalikan
diri, tidak temperamental, serta tidak berperilaku aneh sehingga dia
layak untuk menjalankan perannya dalam mengasihi anak-anaknya dan
memenuhi hak suaminya. Sebab, perempuan yang memiliki sifat seperti
ini, kemungkinan besar dia bisa mencurahkan kasih sayangnya kepada
anak-anaknya dan mampu menjaga hak suaminya.

b. Dapat memberi keturunan (tidak mandul).


Di antara tujuan dari pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan.
Karenanya, hendaknya perempuan yang (akan dijadikan sebagai istri)
dapat melahirkan (tidak mandul). Hal ini dapat diketahui dengan melihat
kondisi fisik calon istri, juga dapat dilihat dari keluarganya yang lain,
seperti saudaranya atau bibinya.16

c. Memiliki paras yang menawan (cantik).


Fitrah yang ada pada diri setiap orang adalah menyukai dan tertarik
pada sesuatu yang indah; Dia akan merasa hampa jika suatu yang indah
15
Ibid. Hlm. 49 - 50
16
Sayyid Sabiq, op.cit: hlm. 217 - 218

9
jauh dari dirinya. Jika sesuatu yang indah dan menarik hatinya selalu
berdekatan dengannya, dia akan merasakan kedamaian dan ketenangan.
Karena itu, Islam tidak menafikan kecantikan sebagai salah satu kriteria
yang perlu diperhatikan saat memilih istri.

d. Mendahulukan yang masih Perawan.


Hendaknya perempuan yang akan dijadikan istri rrrasih perawan, karena
dia cenderung lebih tulus dan belurn pernah menjalin hubungan dengan
laki-laki lain (bersuami). Dengan demikian, cinta yang ada pada dirinya
merupakan cinta yang pertama.

e. Hendaknya mencari yang sepadan.


Hal lain yang perlu diperhatikan r.rsia, yaitu hendaknya tidak terpaut
amat jauh, kedudukan sosial, pendidikan, clan ekonomi. Adanya
kesetaraan dalam beberapa hal tersebut dapat menjirga keharmonisan
rumah tangga. Abu Bakar dan umar bin Khaththab ra. pernah melarnar
Fathimah binti Muhammad, kemudian Rasulullah saw. menolaknya
sambil berkata, "Dia masih kecil.” Dan ketika Ali melamarnya,
Rasulullah saw. lantas menikahkannya.17

b) Memilih Calon Suami


Sifat-sifat yang hendaknya dimiliki oleh calon suami:

a. Taat beragama, hal ini berdasarkan QS. Al-Baqarah/2: 221

‫َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر ٍك َّولَ ْو اَ ْع َجبَ ُك ْم‬


Artinya: “...Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik
daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu...”

b. Dia seorang laki-laki yang mampu memberikan ba-ah.


Ba-ah yaitu kemampuan untuk berjima’ dan kemampuan
memberikan pembiayaan nikah dan nafkah hidup.18

c. Dia seorang laki-laki yang lemah lembut kepada wanita, tidak ringan
tangan dan tidak melecehkan.

17
Ibid, hlm. 220
18
Rusdaya Basri, op.cit. hlm. 40 - 41

10
Suami yang ideal dalam pandangan Islam ialah yang menghormati
isterinya, tidak melecehkannya, bersabar menghadapinya dan tidak
memukulnya.

d. Tidak pelit mengucapkan kata-kata yang baik.


Para suami harus lebih banyak mengucapkan kata-kata yang dapat
menyenangkan hati istrinya. Menyenangkan hati Istri meraih dua tujuan:
pahala di Akhirat dan cinta Istri di dunia bahkan boleh berkata dusta
terhadap istri untuk menyenangkan dan memuaskan hatinya.

e. Mengajak istri taat kepada Allah sesuai dengan firman Allah dalam
Qs.Tahrim/66: 619

‫آي َها الَّ ِذيْ َن ٰا َمُن ْوا ُق ْوآ اَْن ُف َس ُك ْم َواَ ْهلِ ْي ُك ْم نَ ًارا‬
ُّ ‫ٰي‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian
dan keluarga kalian dari api neraka..." (Tahrim: 6)

Ada beberapa hal yang dapat membantu suami dalam merealisir


tugas ini:
a) Suami menyodorkan buku-buku Islami
b) Menyampaikan kembali nasehat yang dia dengar diberbagai
pengajian
c) Suami harus menjadi teladan dan panutan tentang apa yang dia
perintahkan.

f. Memandang istri dengan mesra.


“Jika seorang suami memandang istrinya dan istri memandangnya,
maka Allah memandang keduanya dengan pandangan Rahmat. Jika dia
memegang telapak tangan isterinya, maka dosa keduanya berjatuhan
dari sela-sela jari mereka berdua.”20

g. Memprioritaskan pemberian kepada isteri dari pada yang lainnya.


“Dinar yang engkau nafkahkan dijalan Allah, untuk memerdekakan
budak wanita, yang engkau berikan kepada orang miskin, dan dinar
yang engkau nafkahkan kepada keluarga, yang paling besar pahalanya
ialah yang engkau nafkah kepada keluargamu” (HR. Muslim).

h. Menghormati kerja isteri dirumah dan membantunya.

19
Ibid, hlm. 40 - 42
20
Ibid, hlm. 43

11
Dalam Islam, seorang suami diharuskan untuk senantiasa membantu
isterinya dalam bekerja dan mengurus rumah.
“Rasulullah saw. senantiasamembantu pekerjaan keluarganya dan
apabila dating waktu shalat , maka beliau pergi ke masjid untuk
menunaikan shalat berjamaah.” (HR. Bukhari).21

5) Ketentuan Peminangan dalam Kompilasi Hukum Islam


Peminangan di Indonesia di atur dalam pasal – pasal kompilasi hukum
Islam (KHI) dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa peminangan adalah permintaan
seorang laki – laki kepada seorang isteri atau penanggung jawabnya untuk
memperistrikan wanita itu.22
Dan ketentuan – ketentuan yang berkaitan dengannya disebutkan pada
pasal 11,12 dan 13.

Pasal 11:
”Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari
pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dipercaya”.

Pasal 12:
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan
atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya;
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah
haram dan dilarang untuk dipinang,
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain,
selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak
wanita;
(4) Putus pinangan pihak pria karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam – diam pria yang meminang telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13:
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan;
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga
tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

C. Pengertian Kafa’ah, Kedudukan Kafa’ah dalam Pernikahan, Kriteria


Kafa’ah, Pendapat Ulama Madzhab Tentang Kafa’ah.

21
Ibid, hlm. 44
22
Abdul Ghani Abdulloh, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional
( Jakarta: Gema Insani, 1994), hlm. 77.

12
1) Pengertian Kafa’ah
Kafa'ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi- a. Artinya adalah sama
atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan
terdapat dalam al- Qur'an dengan arti "sama" atau setara.
Kafaah sering juga disebut dengan istilah kufu yang berarti sama, setara,
sederajat, sepadan atau sebanding. Sedangkan yang dimaksud dengan kufu
dalam pernikahan adalah laki-laki sebanding atau sama dengan calon isterinya,
dalam hal kedudukan, tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jadi tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan dan
keserasian terutama dalam agama yaitu tentang akhlak dan budi pekertinya.
Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga
yang sejahtera.
Dengan demikian maksud dari kafa'ah dalam perkawinan ialah
persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama
kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik.
akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan istri akan
membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari
ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh Kebanyakan Ahli
Fiqh tentang Kafa'ah.23

2) Kedudukan Kafa’ah dalam Pernikahan


Fuqaha’ berbeda pendapat tentang apakah kafa’ah merupakan syarat
keabsahan sebuah aqad pernikahan atau tidak, antara lain:11
a) Al-Tsauri, Hasan Basri, dan Karakhi berpendapat bahwa kafa’ah bukan
merupakan syarat keabsahan sebuah pernikahan, dan bukan pula syarat
luzumnya. Sebuah pernikahan yang dilangsungkan oleh suami istri yang
tidak sekufu’ adalah sah dan luzum (mengikat dan tidak terdapat peluang
khiyar). Dasar hukum yang mereka pakai adalah;
Beberapa ayat dan hadits yang menerangkan bahwa kedudukan semua
manusia sama kecuali orang yang bertaqwa, salah satunya adalah :
Hadits riwayat Ibn Lail;
“Manusia itu pada prinsipnya sama, sebagaimana rata gigi sisir. Tiada
kelebihan bagi seorang Arab atas orang ‘ajam( luar arab), kecuali aspek
taqwanya”. Hadis ini menjelaskan persamaan mutlak, serta tidak
disyaratkan adanya kesetaraan.24

b) Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa, kafa’ah merupakan syarat luzum


sebuah pernikahan, bukan syarat sah. Alasan yang mereka kemukakan
adalah
i. Memerintahkan wali agar menikahkan anak perempuannya dengan
laki - laki yang sekufu’
23
Sudarto, M. Pd.I, op.cit. hlm. 19 - 20
24
Rusdaya Basri, op.cit: hlm. 75

13
ii. Salah satu hadits yang memberikan hak khiyar bagi istri dan
suaminya tidak sekufu’:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad,dan An-Nasa’i;
Artinya: “Telah datang seorang perempuan muda kepada Rasul,
lalu dia berkata: Ayahku telah menikahkan aku dengan anak paman
(saudara ayah) untuk mengangkat derajatnya dengan perantaraan
(pernikahanku). Perawi berkata: Lalu Rasul menyerahkan perkara
itu kepada perempuan tersebut. Kemudian perempuan itu berkata:
Sesungguhnya aku membolehkan perbuatan ayahku, tetapi aku
hanya ingin memberitahukan kepada para perempuan bahwa para
ayah tidak mempunyai hak perintah sedikitpun”. 25

c) Alasan Nalar.
Pernikahan mesti didasarkan pada kemaslahatan bersama, suami-
istri. Untuk mencapai kemaslahatan itu tidaklah mudah. Banyak hal yang
harus dilakukan diantaranya suami-istri harus sekufu’, akal sehat siapa pun
akan membenarkan asumsi ini.
Menurut jumhur ulama, syarat kafa’ah menjadi gugur dengan
ridhanya para pihak yang berhak. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa
syarat kafa’ah hanya diberlakukan terhadap laki-laki saja, tidak
diberlakukan terhadap perempuan. Artinya, perempuan yang kaya,
perempuan yang keturunan bangsawan, atau perempuan yang shalih harus
menikah dengan laki-laki yang sekufu’ dengannya. Jika dia menikah dengan
laki-laki yang miskin, laki-laki yang bukan keturunan bangsawan atau laki-
laki yang fasiq, maka wali berhak mengajukan gugatan agar pernikahan itu
difasakhkan menurut Hanafiyah dan hak ijbar ayah terhadap anak gadisnya
menjadi gugur menurut syafi’iyah. Berbeda dengan laki-laki.26
Hal ini disyaratkan QS. An-Nuur/24: 26.

‫ت لِلطَّيِّبِْي َن َوالطَّيُِّب ْو َن‬ ِ ‫ٰت لِ ْل َخبِْيثِْين والْ َخبِْي ُثو َن لِ ْل َخبِْيث‬


ُ ‫ٰتۚ َوالطَّيِّ ٰب‬ ْ ََ ُ ‫اَلْ َخبِْيث‬
ِ ‫ࣖ لِلطَّيِّ ٰب‬
ۚ‫ت‬

Artinya: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-
wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik
adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...”
Kebijakan pemerintah dalam hal kafaah/kesepadan dalam hal ini,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 61 menyatakan bahwa:

25
Ibid, hlm. 76
26
Ibid, hlm. 77

14
“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkwinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan Agama atau ikhtilaafu al-diin."27
3) Kriteria Kafa’ah
Dalam menetapkan kriteria ini para ulama berbeda pendapat. Menurut
mazhab Maliki, sifat kafaah ada dua, yaitu agama dan kondisi, maksudnya
selamat dari aib bukan kondisi dalam arti kehormatan dan nasab. Menurut
mazhab Hanafi ada 6 sifat kafa’ah: yaitu agama, Islam, kemerdekaan, nasab,
harta dan profesi. Menurut mazhab Syafi’I ada enam sifat kafa’ah yaitu: agama,
kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib dan profesi. Sedangkan
menurut mazhab Hambali sifat kafaah ada lima yaitu: agama, profesi, nasab,
harta dan profesi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi silang
pendapat dikalangan para fuqahah mengenai sifat – sifat kesetaraan (kafa'ah).
Masing – masing ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah
ini. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam menilai
sejauh mana segi-segi kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melangengkan
kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, jika suatu segi dipandang mampu
menjalankan peran dan fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga,
maka bukan tidak mungkin segi tersebut dimasukkan dalam sifat kafa’ah.
Sifat – sifat kesetaraan (kafaah) dari penjelasan kriteria kafa’ah di atas
dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Segi Agama atau ketakwaan.


Agama/ ketakwaan yang dimaksud di sini adalah kebenaran dan
kelurusan terhadap hukum – hukum agama, istiqomah dan mengamalkan
apa yang diwajibkan agama. Semua ulama mengakui agama sebagai salah
satu unsur kafa’ah yang paling esensial. Penempatan agama sebagai unsur
kafa’ah tidak diperselisihan dikalangan ulama. Laki – laki yang bermaksiat
dan fasik tidak sebanding dengan wanita yang salihah yang merupakan anak
orang salih dan keluarganya memiliki jiwa agamis dan akhlak yang terpuji.
Dasar penetapan segi agama ini adalah Q. S. As-Sajdah/32: 1828

ِ َ‫اَفَمن َكا َن مْؤ ِمنًا َكمن َكا َن ف‬


‫اس ًقاۗ اَل يَ ْستَوٗ َن‬ َْ ُ َْ
Artinya: “Apakah orang - orang beriman itu sama dengan orang-orang
yang fasik? mereka tidak sama”.

b. Segi Kemerdekaan.
Kriteria tentang kemerdakaan ini sangat erat kaitannya dengan
masalah perbudakan. Perbudakan diartikan dengan kurangnya kebebasan.
27
Ibid, hlm. 78 -79
28
Ibid, hlm, 67

15
Budak adalah orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain. Ia tidak
mempunyai hak atas dirinya sendiri. Adapun maksud kemerdekaan sebagai
kriteria kafa’ah adalah bahwa seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan
perempuan yang merdeka. Demikian juga seorang budak laki-laki tidak
kufu’ dengan perempuan yang merdeka sejak lahir.

c. Segi Nasab.
Nasab adalah hubungan seseorang manusia dengan asal - usulnya
dari bapak dan kakek-kakek. Nasab yang dimaksud di sini adalah seseorang
yang diketahui siapa bapaknya. Jumhur fuqaha (Hanafi, Syafi’I dan Hanbali
dan sebagian mazhab Syiah Zaidiah menganggap keberadaan nasab dalam
kafaah.29

d. Segi Kekayaan.
Kekayaan yang dimaksud di sini adalah kemampuan seseorang
untuk membayar mahar dan memenuhi nafkah. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam kehidupan manusia terdapat stratifikasi sosial, di antara
mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Walaupun kualitas seseorang
terletak pada dirinya sendiri dan amalnya, namun kebanyakan manusia
merasa bangga dengan nasab dan bertumpuknya harta. Oleh karena itu
sebagian fuqaha’ memandang perlu memasukkan unsur kekayaan sebagai
faktor kafa’ah dalam perkawinan. Selain itu, jika seorang fakir mengawini
perempuan yang sudah terbiasa hidup dalam kemewahan harta,
dikhawatirkan perempuan tersebut nantinya akan melecehkan suaminya
yang tak berharta itu, dan yang demikian itu akan membuat retaknya
hubungan perkawinan mereka.

e. Segi Pekerjaan/ Profesi.


Pekerjaan yang dimaksud di sini adalah berkenaan dengan segala
sarana maupun prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik di
bidang pemerintahan, perusahaan maupun yang lainnya. Profesi atau
pekerjaan seseorang adakalanya menimbulkan perasaan kebanggaan
ataupun kehinaan pada dirinya. Jadi apabila ada seorang wanita yang
berasal dari kalangan orang yang mempunyai pekerjaan tetap dan terhormat,
maka dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang rendah penghasilannya.30

f. Segi Bebas dari Cacat/ Kesempurnaan Anggota Tubuh


Cacat yang dimaksudkan adalah keadaan yang dapat memungkinkan
seseorang untuk dapat menuntut faskh. Karena orang cacat dianggap tidak
sekufu’ dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang dimaksud adalah
29
Ibid, hlm. 68 - 70
30
Ibid, hlm. 71 - 73

16
meliputi semua bentuk cacat baik fisik maupun psikis yang meliputi
penyakit gila, kusta atau lepra.31

4) Pendapat Ulama Madzhab Tentang Kafa’ah

Menurut Hanafiyah, ada enam jenis kafa’ah, yakni nasab, Islam,


ḥirfah (mata pencaharian suami seimbang dengan mata pencaharian keluarga
istri), merdeka, diyānah (ada keseimbangan dalam ketaatan beragama, misalnya
wanita salihah tidak dikawinkan dengan laki – laki fasik seperti penjudi,
pemabuk, dan lain – lain), dan harta.
Menurut Malikiyah, kafa’ah meliputi agama dan al-salamah, yakni
tidak ada cacat yang menyebabkan pihak istri berhak atas khiyar (memilih
untuk meneruskan pernikahan atau membatalkannya), misalnya gila, impoten,
dan lain-lain.
Menurut Mazhab Syafi’i, kafa’ah meliputi nasab, agama, merdeka,
dan ḥirfah. Kafa’ah merupakan masalah penting yang harus diperhatikan
sebelum melaksanakan pernikahan. Keberadaan kafa’ah diyakini sebagai faktor
yang dapat menghindarkan munculnya aib dalam keluarga.32
Menurut Hanabilah, kafa’ah terdiri dari lima hal, yakni al-diyanah, al-
ṣina’ah (seorang putri pemilik usaha/industri kelas atas, misalnya, dinilai tidak
seimbang jika dinikahkan dengan putra seorang pembekam, dan lain-lain),
harta, merdeka, serta nasab.33

BAB III

PENUTUP

31
Ibid, hlm. 74
32
Zahrotun Nafisah dan Uswatun Khasanah, Komparasi Konsep Kafa’ah Perspektif M. Quraish
Shihab Dan Fiqh Empat Mazha, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 5 No. 2, (Juli – Desember, 2018), hlm. 131
33
Dr. Hj. Iffah Muzammil, FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernkahan dalam Islam), (Tangerang:
Tira Smart, Maret 2019), hlm. 63

17
A. Mahram

Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinkahi selamanya karena
sebab keturunan, persusuan, dan pernikahan dalam syariat Islam. Dalam suatu
ikatan pernikahan terdapat hukum – hukum yang mendasarinya, dan di dalam
hukum tersebut terdapat hukum – hukum yang mengenai perempuan – perempuan
yang tidak boleh dinikahi dan di ilmu fiqh disebut dengan mahram. Mahram dibagi
menjadi dua yaitu Mahram Nikah (Mahal al-Nikah) dan Mahram Aurat (Mahal al-
Zinah).

B. Khitbah

Khitbah (pinangan) adalah suatu aktifitas yang menjadi pembuka untuk


melangsungkan pernikahan. Allah swt. memberlakukan pinangan (sebagai langkah
awal untuk menikah) agar orang yang akan melangsungkan pernikahan saling
mengenal satu sama lain (antara calon istri dan calon suami), sehingga di antara ke
duanya mantap untuk melangsungkan pernikahan. Dasar Hukum Khitbah ada 2
yaitu: Jaiz (diperbolehkan) dan Haram (dilarang). Syarat – syarat Khitbah juga ada
2 yaitu: Syarat Mustahsinah dan Syarat Lazimah.

Dalam memilih pasangan juga terdapat ketentuan – ketentuan tersendiri.


Dalam memilh seorang Istri terdapat ketentuan, antara lain Dia berasal dari
lingkungan keluarga yang baik, mampu mengendalikan diri, tidak temperamental,
serta tidak berperilaku aneh sehingga dia layak untuk menjalankan perannya dalam
mengasihi anak-anaknya dan memenuhi hak suaminya, Hendaknya mencari yang
sepadan, dan lain – lain. Begitupun sebaliknya dalam memilh calon Suami juga
terdapat ketentuannya, antara lain Taat beragama, Dia seorang laki-laki yang lemah
lembut kepada wanita, tidak ringan tangan dan tidak melecehkan, dan lain – lain.
Peminangan di Indonesia di atur dalam pasal – pasal kompilasi hukum Islam (KHI)
dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa peminangan adalah permintaan seorang laki –
laki kepada seorang isteri atau penanggung jawabnya untuk memperistrikan wanita
itu. Dan juga disebutkan dalam pasal 11, 12, dan 13.

C. Kafa’ah

Kafa'ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami


dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di
masyarakat, sama baik. akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami
dan istri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari
ketidakberuntungan.

DAFTAR PUSTAKA

18
Abdulloh, Abdul Ghani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional,
Jakarta: Gema Insani, 1994

Basri, Rusdaya. FIQH MUNAKAHAT 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah, Sulawesi


Selatan: CV Kaaffah Learning Center, 2019

Dahlan. Fikih Munakahat, Yogyakarta: Deepublish, juni 2015

Ghazali, Abdul Rahman. FIQH MUNAKAHAT, Jakarta: Prenadamedia, Mei 2019

Muzammil, Iffah. FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernkahan dalam Islam), Tangerang: Tira
Smart, Maret 2019

Nafisah, Zahrotun dan Khasanah, Uswatun. Komparasi Konsep Kafa’ah Perspektif M.


Quraish Shihab Dan Fiqh Empat Mazhab, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 5 No. 2,
Juli – Desember, 2018

Sabiq, Sayyid. FIKIH SUNNAH Jilid 3, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2015

Shihab, Quraish, Ensiklopedia Al-Qur'an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007

Sudarto. Fikih Munakahat, Yogyakarta: CV Budi Utama, 2021

19

Anda mungkin juga menyukai