Makalah Fikih Keluarga Kel. 2
Makalah Fikih Keluarga Kel. 2
“FIKIH KELUARGA”
Dosen Pengampu:
Kelompok 2
FEBRUARI 2023
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mahrom merupakan semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya
sebab karena keturunan, persusuan serta perkawinan dalam syariat islam. Sebelum
melakukan pernikahan kita harus tahu batasan - batasan mahrom, jangan sampai
yang kita nikahi adalah mahrom kita. agar terciptanya pasangan suami istri yang
sah berdasarkan agama. Lalu tahapan selanjutnya adalah khitbah, dimana seorang
laki - laki meminang seorang perempuan yang akan dijadikan seorang istri. Di
dalam unsur perkawinan juga terdapat Kafa'ah yaitu kesetaraan antara laki - laki
dan perempuan yang akan menikah baik dari segi Agama, Nasab, kekayaan, dan
lain- lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mahram, Dasar Hukum Mahram, serta Pembagian Mahram?
2. Apa Pengertian Khitbah (Peminangan), Dasar Hukum Khitbah, Syarat – Syarat
Khitbah, Memilih Pasangan, Ketentuan Peminangan dalam Kompilasi Hukum
Islam?
3. Apa Pengertian Kafa’ah, Kedudukan Kafa’ah dalam Pernikahan, Kriteria
Kafa’ah, Pendapat Ulama Madzhab Tentang Kafa’ah?
C. Tujuan Masalah
1. Agar dapat mengetahui Pengertian Mahram, Dasar Hukum Mahram, serta
Pembagian Mahram.
2. Agar dapat mengetahui Pengertian Khitbah (Peminangan), Dasar Hukum
Khitbah, Syarat – Syarat Khitbah, Memilih Pasangan, Ketentuan Peminangan
dalam Kompilasi Hukum Islam.
3. Agar dapat mengetahui Pengertian Kafa’ah, Kedudukan Kafa’ah dalam
Pernikahan, Kriteria Kafa’ah, Pendapat Ulama Madzhab Tentang Kafa’ah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1) Pengertian Mahram
Ayat - ayat yang menjelaskan tentang mahram didalam al-Qur'an
tersebar di beberapa surah. Kata mahrum ( )مح رومadalah bentuk kata yang
menunjukkan objek (ism maful) dari kata kerja haruma, yahrumu,
haraman/haraman ( ًحرام ا/ًحرم ا/يَح ُر ُم/)ح ُر َم.
َ Menurut Ibnu Faris, semua akar kata
yang berasal dari ha-ra, dan mim mengandung arti larangan dan 'penegasan.
Mekah dan Madinah disebut haramani/haramain (حرمين/)حرمان.
Karena kemuliaan kedua kota tersebut dan larangan melakukan
beberapa hal yang diperbolehkan di luar kedua kota tersebut. Orang ihram (
)اح رامyaitu orang yang sedang melakukan rangkaian ibadah haji atau umrah
yang ditandai dengan memakai pakaian tertentu pada miqat - miqat yang telah
ditetapkan. Disebut demikian dikarenakan adanya larangan melakukan hal - hal
yang dibolehkan diluar ihram seperti berburu dan menggaui istri. Orang yang
menahan diri untuk tidak meminta - minta meskipun ia sangat miskin disebut
mahrum ()مح روم. Demikian pula orang yang tidak boleh dikawini disebut
mahram ()محرم.1
Dalam ilmu Fiqh Mahram ( )محرمadalah semua orang yang haram untuk
dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam
syariat Islam. Muslim Asia Tenggara sering salah dalam menggunakan istilah
mahram ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang
lain. Dalam bahasa Arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang
berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram
(mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita, dan haram
(tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya.
Mahram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang
(perempuan, laki - laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena
keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah
di antaranya. Selain itu, mahram juga diartikan orang laki-laki yang dianggap
dapat melindungi perempuan yang akan melakukan ibadah haji (suami, anak
laki - laki, dsb).2
1
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur'an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm.
557.
2
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazali, M. A., FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta: Prenadamedia, Mei
2019), hlm. 24
3
Dari definisi mahram di atas, dapat kita ambil garis besar bahwa
mahram adalah sebuah istilah yang berarti perempuan yang haram dinikahi.
Mahram berasal dari makna haram, yaitu perempuan yang haram dinikahi.
sebenarnya yang menjadi objek yang biasa dipakaikan perhiasan. Sebab melihat
perhiasan itu sendiri hukumnya mubah secara mutlak. Maka kepala boleh
dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh untuk dipakaikan mahkota, leher
dan dada untuk kalung, telingan untuk anting, pergelangan tangan untuk gelang,
pergelangan kaki untuk gelang kaki, jari untuk cincin, punggungnya telapak
kaki untuk dihiasi daun pacar, dll. Berbeda dengan perut, punggung dan paha
yang lazimnya tidak untuk dipakaikan perhiasan.3
4
kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (23)
3) Pembagian Mahram
Dalam pelaksanaan mahram, secara garis besar mahram menurut
pendapat penulis itu dibagi menjadi dua, yaitu :
5
seluruh badannya. Dengan demikian, mahallu zinah ini menjadi pembatas
aurat wanita yang boleh dilihat oleh laki-laki mahram dan sesama wanita.
Aurat perempuan atau anggota tubuh yang harus ditutupi itu berbeda, sesuai
dengan situasi dan kondisi dengan siapa dia berkumpul atau bertemu.
Apakah dengan laki-laki, dengan laki-laki yang semahram, dengan laki-laki
yang tidak semahram, dengan sesama perempuan atau saat shalat.
Penjelasan ini berdasarkan pandangan ulama' Fiqih madzab empat yaitu:
Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.7
7
Ibid, 28 - 31
8
Dr. M. Dahlan R, MA, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, juni 2015), hlm. 10
9
Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH Jilid 3, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2015), hlm. 225
6
a. Yaitu apabila perempuan yang dipinang itu tidak dalam status
perkawinan (bersuami) dengan orang lain.
b. Perempuan itu tidak dalam masa iddah10
ۗ آء اَ ْو اَ ْکَن ْنتُ ْم فِ ْۤي اَْن ُف ِس ُك ْمِ ضتم بِهٖ ِمن ِخطْب ِة النِّس ِ
َ َ ْ ْ ُ ْ َواَل ُجنَا َح َعلَْي ُك ْم ف ْي َما َع َّر
ِ َعلِم ال ٰلّهُ اَنَّ ُكم ستَ ْذ ُكرو َنه َّن و ٰل
ـك ْن اَّل ُت َوا ِع ُد ْو ُه َّن ِس ًّرا اِاَّلۤ اَ ْن َت ُق ْولُْوا َق ْواًل َ ُ ُْ َ ْ َ
ٰ ِ
َٰب اَ َجلَهٗ ۗ َوا ْعلَ ُمْۤوا اَ َّن اللّه ُ اح َح ٰتّى َي ْبلُ َغ الْكت ِ َّم ْع ُر ْوفًا ۗ َواَل َت ْع ِز ُم ْوا ُع ْق َدةَ النِّ َک
َي ْعلَ ُم َما فِ ْۤي اَْن ُف ِس ُك ْم فَا ْح َذ ُر ْوهُ ۗ َوا ْعلَ ُمْۤوا اَ َّن ال ٰلّهَ غَ ُف ْو ٌر َحلِ ْي ٌم
b) Haram (dilarang)
a. Yaitu apabila perempuan itu dalam status perkawinan (bersuami).
b. Apabila perempuan itu telah dipinang lebih dahulu oleh laki-laki lain.
10
Sudarto, M. Pd.I, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: CV Budi Utama,2021), hlm. 32
11
Sayyid Sabiq, op.cit: hlm. 227
7
c. Apabila perempuan itu dalam masa 'iddah baik dalam 'iddah thalak raj'l,
thalak bain maupun 'iddah karena ditinggal mati oleh suaminya.12
2. Syarat Lazimah
Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya
syarat – syarat lazimah. Syarat – syarat tersebut adalah:
a) Tidak dalam pinangan orang lain
Perempuan tersebut tidak terikat dengan khitbah dari laki – laki lain,
yang sudah diajukan dan diterima baik oleh si perempuan dan
keluarganya. Sebab mengajukan pinangan terhadap perempuan yang
sebelumnya telah terikat dengan pinangan laki – laki lain adalah
haram.14
12
Sudarto, M. Pd.I, op.cit. hlm. 33
13
Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc.,M.Ag, FIQH MUNAKAHAT 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah,
(Sulawesi Selatan: CV Kaaffah Learning Center, 2019), hlm. 44-45
14
Ibid. hlm. 45 - 46
8
Penghalang – penghalang syar’i adalah perempuan - perempuan
yang haram untuk dinikahi. Seperti perempuan-perempuan yang senasab
(saudara perempuan, bibi, tante, ponakan) dan perempuan – perempuan
yang sesusuan. Begitu juga halnya dengan pengharaman secara
temporal, seperti: saudara perempuan isteri, mengumpulkan antara
ponakan dan bibi.
4) Memilih Pasangan
a) Memilih Calon Istri
Di antara kelebihan yang mesti ada pada diri perempuan yang akan
dilamar adalah:
a. Dia berasal dari lingkungan keluarga yang baik, mampu mengendalikan
diri, tidak temperamental, serta tidak berperilaku aneh sehingga dia
layak untuk menjalankan perannya dalam mengasihi anak-anaknya dan
memenuhi hak suaminya. Sebab, perempuan yang memiliki sifat seperti
ini, kemungkinan besar dia bisa mencurahkan kasih sayangnya kepada
anak-anaknya dan mampu menjaga hak suaminya.
9
jauh dari dirinya. Jika sesuatu yang indah dan menarik hatinya selalu
berdekatan dengannya, dia akan merasakan kedamaian dan ketenangan.
Karena itu, Islam tidak menafikan kecantikan sebagai salah satu kriteria
yang perlu diperhatikan saat memilih istri.
c. Dia seorang laki-laki yang lemah lembut kepada wanita, tidak ringan
tangan dan tidak melecehkan.
17
Ibid, hlm. 220
18
Rusdaya Basri, op.cit. hlm. 40 - 41
10
Suami yang ideal dalam pandangan Islam ialah yang menghormati
isterinya, tidak melecehkannya, bersabar menghadapinya dan tidak
memukulnya.
e. Mengajak istri taat kepada Allah sesuai dengan firman Allah dalam
Qs.Tahrim/66: 619
آي َها الَّ ِذيْ َن ٰا َمُن ْوا ُق ْوآ اَْن ُف َس ُك ْم َواَ ْهلِ ْي ُك ْم نَ ًارا
ُّ ٰي
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian
dan keluarga kalian dari api neraka..." (Tahrim: 6)
19
Ibid, hlm. 40 - 42
20
Ibid, hlm. 43
11
Dalam Islam, seorang suami diharuskan untuk senantiasa membantu
isterinya dalam bekerja dan mengurus rumah.
“Rasulullah saw. senantiasamembantu pekerjaan keluarganya dan
apabila dating waktu shalat , maka beliau pergi ke masjid untuk
menunaikan shalat berjamaah.” (HR. Bukhari).21
Pasal 11:
”Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari
pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dipercaya”.
Pasal 12:
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan
atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya;
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah
haram dan dilarang untuk dipinang,
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain,
selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak
wanita;
(4) Putus pinangan pihak pria karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam – diam pria yang meminang telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13:
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan;
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga
tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
21
Ibid, hlm. 44
22
Abdul Ghani Abdulloh, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional
( Jakarta: Gema Insani, 1994), hlm. 77.
12
1) Pengertian Kafa’ah
Kafa'ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi- a. Artinya adalah sama
atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan
terdapat dalam al- Qur'an dengan arti "sama" atau setara.
Kafaah sering juga disebut dengan istilah kufu yang berarti sama, setara,
sederajat, sepadan atau sebanding. Sedangkan yang dimaksud dengan kufu
dalam pernikahan adalah laki-laki sebanding atau sama dengan calon isterinya,
dalam hal kedudukan, tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jadi tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan dan
keserasian terutama dalam agama yaitu tentang akhlak dan budi pekertinya.
Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga
yang sejahtera.
Dengan demikian maksud dari kafa'ah dalam perkawinan ialah
persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama
kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik.
akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan istri akan
membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari
ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh Kebanyakan Ahli
Fiqh tentang Kafa'ah.23
13
ii. Salah satu hadits yang memberikan hak khiyar bagi istri dan
suaminya tidak sekufu’:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad,dan An-Nasa’i;
Artinya: “Telah datang seorang perempuan muda kepada Rasul,
lalu dia berkata: Ayahku telah menikahkan aku dengan anak paman
(saudara ayah) untuk mengangkat derajatnya dengan perantaraan
(pernikahanku). Perawi berkata: Lalu Rasul menyerahkan perkara
itu kepada perempuan tersebut. Kemudian perempuan itu berkata:
Sesungguhnya aku membolehkan perbuatan ayahku, tetapi aku
hanya ingin memberitahukan kepada para perempuan bahwa para
ayah tidak mempunyai hak perintah sedikitpun”. 25
c) Alasan Nalar.
Pernikahan mesti didasarkan pada kemaslahatan bersama, suami-
istri. Untuk mencapai kemaslahatan itu tidaklah mudah. Banyak hal yang
harus dilakukan diantaranya suami-istri harus sekufu’, akal sehat siapa pun
akan membenarkan asumsi ini.
Menurut jumhur ulama, syarat kafa’ah menjadi gugur dengan
ridhanya para pihak yang berhak. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa
syarat kafa’ah hanya diberlakukan terhadap laki-laki saja, tidak
diberlakukan terhadap perempuan. Artinya, perempuan yang kaya,
perempuan yang keturunan bangsawan, atau perempuan yang shalih harus
menikah dengan laki-laki yang sekufu’ dengannya. Jika dia menikah dengan
laki-laki yang miskin, laki-laki yang bukan keturunan bangsawan atau laki-
laki yang fasiq, maka wali berhak mengajukan gugatan agar pernikahan itu
difasakhkan menurut Hanafiyah dan hak ijbar ayah terhadap anak gadisnya
menjadi gugur menurut syafi’iyah. Berbeda dengan laki-laki.26
Hal ini disyaratkan QS. An-Nuur/24: 26.
Artinya: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-
wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik
adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...”
Kebijakan pemerintah dalam hal kafaah/kesepadan dalam hal ini,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 61 menyatakan bahwa:
25
Ibid, hlm. 76
26
Ibid, hlm. 77
14
“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkwinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan Agama atau ikhtilaafu al-diin."27
3) Kriteria Kafa’ah
Dalam menetapkan kriteria ini para ulama berbeda pendapat. Menurut
mazhab Maliki, sifat kafaah ada dua, yaitu agama dan kondisi, maksudnya
selamat dari aib bukan kondisi dalam arti kehormatan dan nasab. Menurut
mazhab Hanafi ada 6 sifat kafa’ah: yaitu agama, Islam, kemerdekaan, nasab,
harta dan profesi. Menurut mazhab Syafi’I ada enam sifat kafa’ah yaitu: agama,
kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib dan profesi. Sedangkan
menurut mazhab Hambali sifat kafaah ada lima yaitu: agama, profesi, nasab,
harta dan profesi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi silang
pendapat dikalangan para fuqahah mengenai sifat – sifat kesetaraan (kafa'ah).
Masing – masing ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah
ini. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam menilai
sejauh mana segi-segi kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melangengkan
kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, jika suatu segi dipandang mampu
menjalankan peran dan fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga,
maka bukan tidak mungkin segi tersebut dimasukkan dalam sifat kafa’ah.
Sifat – sifat kesetaraan (kafaah) dari penjelasan kriteria kafa’ah di atas
dapat dijabarkan sebagai berikut:
b. Segi Kemerdekaan.
Kriteria tentang kemerdakaan ini sangat erat kaitannya dengan
masalah perbudakan. Perbudakan diartikan dengan kurangnya kebebasan.
27
Ibid, hlm. 78 -79
28
Ibid, hlm, 67
15
Budak adalah orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain. Ia tidak
mempunyai hak atas dirinya sendiri. Adapun maksud kemerdekaan sebagai
kriteria kafa’ah adalah bahwa seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan
perempuan yang merdeka. Demikian juga seorang budak laki-laki tidak
kufu’ dengan perempuan yang merdeka sejak lahir.
c. Segi Nasab.
Nasab adalah hubungan seseorang manusia dengan asal - usulnya
dari bapak dan kakek-kakek. Nasab yang dimaksud di sini adalah seseorang
yang diketahui siapa bapaknya. Jumhur fuqaha (Hanafi, Syafi’I dan Hanbali
dan sebagian mazhab Syiah Zaidiah menganggap keberadaan nasab dalam
kafaah.29
d. Segi Kekayaan.
Kekayaan yang dimaksud di sini adalah kemampuan seseorang
untuk membayar mahar dan memenuhi nafkah. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam kehidupan manusia terdapat stratifikasi sosial, di antara
mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Walaupun kualitas seseorang
terletak pada dirinya sendiri dan amalnya, namun kebanyakan manusia
merasa bangga dengan nasab dan bertumpuknya harta. Oleh karena itu
sebagian fuqaha’ memandang perlu memasukkan unsur kekayaan sebagai
faktor kafa’ah dalam perkawinan. Selain itu, jika seorang fakir mengawini
perempuan yang sudah terbiasa hidup dalam kemewahan harta,
dikhawatirkan perempuan tersebut nantinya akan melecehkan suaminya
yang tak berharta itu, dan yang demikian itu akan membuat retaknya
hubungan perkawinan mereka.
16
meliputi semua bentuk cacat baik fisik maupun psikis yang meliputi
penyakit gila, kusta atau lepra.31
BAB III
PENUTUP
31
Ibid, hlm. 74
32
Zahrotun Nafisah dan Uswatun Khasanah, Komparasi Konsep Kafa’ah Perspektif M. Quraish
Shihab Dan Fiqh Empat Mazha, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 5 No. 2, (Juli – Desember, 2018), hlm. 131
33
Dr. Hj. Iffah Muzammil, FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernkahan dalam Islam), (Tangerang:
Tira Smart, Maret 2019), hlm. 63
17
A. Mahram
Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinkahi selamanya karena
sebab keturunan, persusuan, dan pernikahan dalam syariat Islam. Dalam suatu
ikatan pernikahan terdapat hukum – hukum yang mendasarinya, dan di dalam
hukum tersebut terdapat hukum – hukum yang mengenai perempuan – perempuan
yang tidak boleh dinikahi dan di ilmu fiqh disebut dengan mahram. Mahram dibagi
menjadi dua yaitu Mahram Nikah (Mahal al-Nikah) dan Mahram Aurat (Mahal al-
Zinah).
B. Khitbah
C. Kafa’ah
DAFTAR PUSTAKA
18
Abdulloh, Abdul Ghani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional,
Jakarta: Gema Insani, 1994
Muzammil, Iffah. FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernkahan dalam Islam), Tangerang: Tira
Smart, Maret 2019
Shihab, Quraish, Ensiklopedia Al-Qur'an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007
19