Anda di halaman 1dari 15

Asuhan gizi batu ginjal

Batu ginjal adalah terjadinya kristalisasi dari kalsium, oksalat, struvit, sistin hidroksiapatit
atau asam urat yang tidak dapat diekskresikan secara normal melalui urine oleh berbagai
macam sebab (Karen Lacey dan Marcia N. Nelms 2011).

EPIDEMIOLOGI

Penyakit batu ginjal menjadi salah satu masalah kesehatan yang serius, prevalensi batu ginjal
berdasarkan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2007 hingga
2010 sebesar 8,8%. Karakteristik batu ginjal adalah dengan seringnya timbul pada dekade
ke-4 sampai ke-5 kehidupan (usia 40-50 tahun) dan tingkat kekambuhan yang cukup tinggi
(Scales, dkk, [2012] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

Batu ginjal adalah penyakit yang lebih sering pada pria daripada wanita dengan prevalensi
bergantung pada etnis dan wilayah geografis. Ras kaukasia lebih rentan mengalami batu
ginjal daripada ras Afrika dan Asia (Scales, dkk, [2012] dalam Mahan L. Kathleen, 2017)

ETIOLOGI

Salah satu faktor risiko batu ginjal adalah riwayat keluarga, risiko ini makin meningkat jika
disertal obesitas, diabetes dan sindrom metabolik yang pada akhirnya meningkatkan risiko
batu ginjal. Selain itu, kondisi medis tertentu (hiperkalsiuria, hiperurikosuria, dan
hipooksalouria). Hiperkalsiuria merupakan faktor genetik yang menjadi 50% penyebab
terbentuknya batu ginjal. Penyebab batu ginjal yang lain adalah asam urat, kelebihan asupan
vitamin D, infeksi salu an kemih, dan adanya penyumbatan saluran kemih. Dari semua faktor
risiko di atas rendahnya volume urine adalah faktor utama pembentukan batu ginjal (Karen
Lacey dan Marcia N. Nelms, 2011).

PATOFISIOLOGI

Pembentukan batu ginjal merupakan proses yang kompleks, melibatkan tingkat kejenuhan
urine, jumlah dan jenis bahan-bahan terlarut dalam urine, proses deation, pertumbuhan
kristal, retensi kristal dan pembentukan batu yang melibatkan faktor-faktor pemicu,
penghambat dan kompleksator dalam urine.

Batu ginjal terjadi jika konsentrasi dari garam terlarut melebihi ambang kelarutan urine
sehingga mencapai titik jenuh. Tingkat kejenuhan tergantung kelarutan zat pelarut yang
dipengaruhi oleh jumlah substansi terlarut. Volume urine dan pH. Perubahan dari salah satu
kondisi tersebut akan memicu terbentuknya batu ginjal. Pada suatu kondisi tertentu
meskipun kejenuhan telah sercapai, tetapi tidak terjadi batu, fenomena ini disebabkan
adanya zat-zat yang encegah terjadinya batu ginjal yaitu sitrat, osteopontin dan Tamm-
Horsfall Protein (Orfeas Liangos dan Bertrand L. Jaber dalam Nutrition in Kidney Disease,
2008)

Pembentukan batu ginjal pada individu obesitas dihubungkan dengan peningkatan


pengeluaran natrium, kalsium, asam urat dan asam sitrat melalui urine serta memiliki pH
urine yang rendah. Kondisi obesitas merupakan prediktor kuat terjadinya batu ginjal.
Peningkatan berat badan maka meningkat pengeluaran bahan-bahan tersebut melalui urine.
Pasien dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) tinggi akan mengalami penurunan pengeluaran
amonia dan gangguan buffering ion hidrogen. Batu asam urat lebih sering terjadi pada
adividu obes dibandingkan batu kalsium terutama pada pria. Berdasarkan odeks kejenuhan
urine dan faktor risiko urine, total lemak dan truncal fat berhubungan kuat dengan
pembentukan batu asam urat dibandingkan dengan utal berat badan dan massa otot (Pigna
dkk., [2014] dalam Mahan L. Kathleen. 2017) Oleh sebab itu, menjaga berat badan dalam
kisaran normal dengan IMT 18-25 kg/m² sangat direkomendasikan untuk pencegahan batu
ginjal.

Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 sering ditemukan batu asam urat. Kondisi
hiperinsulinemia merupakan kontributor terbentuknya batu kalsium. Patu dengan
meningkatkan pengeluaran kalsium melalui urine (Sorensen dk [2014] dalam Mahan L.
Kathleen, 2017). Pada wanita postmenopause jika vitas fisiknya meningkat maka risiko
pembentukan batu akan menurun Sorensen dkk, [2014] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

Pada kondisi malabsorptive barriatric procedure seperti pada Roux-en-Y ric bypass (RYGB),
kejadian urolitiasis lebih tinggi dibandingkan pada pasien karena meningkatnya kejadian
hiperoksalouria dan hipositraturia. Namun, mikian restrictive gastric surgery tidak dapat
dihubungkan dengan peningkatan ako batu ginjal (Semins dkk.. [2010] dalam Mahan L.
Kathleen, 2017).

Penambahan bahan tambahan secara sengaja maupun tidak dalam makanan dan produk
obat telah menimbulkan jenis batu ginjal baru yang mengandung Penambahan bahan
tambahan secara sengaja maupun tidak dalam makanan elamin dan indinavir (Zilberman
dkk., [2010] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

Komposisi pembentuk batu ginjal dapat tunggal maupun jamak. Beberapa Jenis batu ginjal
yang dapat terbentuk pada manusia diuraikan berikut.

 Batu Kalsium
Sepertiga hingga setengah dari pasien dengan batu kalsium mengalami hipers
kalsiurta. Hiperkalsiuria didefinisikan sebagai ekskresi kalsium urine 2300 (7.5 mmol)
mg/24 jam pada pria atau 2250 mg pada wanita atau 4 mg (0.1 mmol)/ kg/hari pada
koleksi urine random tanpa pembatasan diet atau dengan definisi klasik, yaitu
jumlah kalsium urine lebih dari 200 mg/hari dengan diet rendah kalsium, natrium
dan protein hewani (Pak dkk, (2011) dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

Mekanisme potensial terjadinya hiperkalsiuria adalah meningkatnya penyerapan


kalsium di usus (absorptive hypercalcuria), penurunan penyerapan kembali kalsium
dalam tubular ginjal (renal hypercalciuria), atau adanya demi neralisasi tulang
(resorptive hypercalciuria). Absorptive hypercalciuria lebih sering terjadi (90%) dari
semua kondisi hiperkalsiuria. Pada gangguan in peningkatan penyerapan kalsium
dalam usus adalah defek primer karena level serum kalsium normal dan kalsium
urine (puasa) juga normal. Penyebab lain adanya penekanan pada fungsi hormon
paratiroid, termasuk juga the milk alko syndrome dan sarcoidosis.
Pada renal hypercalciuria, kalsium urine (puasa) merupakan defek ginjal
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan penyerapan kalsium
dalam usus. Pada gangguan ini level serum kalsium biasanya normal Resorbtive
hypercalciuria sering kali merupakan hasil dari hiperparatiroid primer atau kondisi
imobilisasi lama, menyebabkan peningkatan serum kalsium peningkatan penyerapan
kalsium di usus dan hiperkalsiuria.

Idiopathic Hypercalciuria (IH) merupakan suatu kelainan genetik terkait


ketidaknormalan serum kalsium tanpa adanya penyebab hiperkalsiuria yang biasa
terjadi seperti hiperparatiroidisme, sarkoidosis, kelebihan asupan vitamin D,
hipertiroid, penggunaan glukokortikosteroid atau tubular acidosis (RTA) Kejadian
pembentukan batu ginjal pada kelompok ini sangat tinggi (sekitar 90%) karena
sedikit saja kalsium urine meningkat, akan bertambah tingkat kejenuhat kalsium
oksalat. Sedangkan pembentukan batu dipicu oleh asupan kalsium dan makanan
yang berlebihan, peningkatan penyerapan kalsium pada usus bulk dengan
keterlibatan vitamin D ataupun tidak, penurunan reabsorpsi kalstam pada tubulus
ginjal atau karena tiduran dalam waktu lama (bed rest). Peningkatan kalsium di usus
terjadi meskipun telah dilakukan pembatasan asupan kabum natrium dan protein
hewani dari makanan, selanjutnya diketahui bahwa kalstam tersebut berasal dari
tulang.

Pasien dengan IH cenderung mengalami keseimbangan fosfor negat meskipun


asupan fosfat normal, keadaan ini menyebabkan peningkatan kadar vitamin D dan
meningkatkan penyerapan kalsium di usus. Ini mengakibatkan peningkatan risiko
osteoporosis karena asupan kalsium yang rendah justru meningkatkan kehilangan
kalsium dari tulang (Krieger dan Bushinsky [2013] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).
Selanjutnya berakibat pada peningkatan risiko patah tulang, risiko patah tulang
belakang meningkat empat kali pada pasien batu ginjal. (Krieger dan Bushinsky
[2013] dalam Mahan L. Kathleen, 2017). Reabsorpsi kalsium dari tulang dapat
meningkat karena asupan protein dari bahan non susu (non dairy). Asupan kalsium
yang tidak adekuat bersamaan dengan asupan protein tinggi dapat menyebabkan
asidosis metabolik, meningkatkan ekskresi kalsium dan menurunkan pH urine.
Muatan asam ini menghambat reabsorpsi kalsium oleh ginjal sehingga
direkomendasikan mengurangi asupan protein dari sumber non-susu.

Suplemen kalsium ternyata tidak memiliki efek proteksi, seperti pada kalsium dalam
makanan. Penggunaan suplemen kalsium untuk mencegah osteoporosis justru
meningkatkan risiko pembentukan batu ginjal pada wanita (Wallace, dkk. [2011]
dalam Mahan L. Kathleen, 2017). Pada mereka yang mengalami intoleransi laktosa,
alergi susu atau karena tidak suka susu makan suplemen kalsium boleh dikonsumsi.
Suplemen kalsium sebaiknya dikonsumsi bersama dengan makanan karena dapat
meningkatkan kalsium dan sitrat dalam urine, tetapi menurunkan kelarutan oksalat
dalam urine. Peningkatan sitrat dan penurunan oksalat dalam urine dapat
mengimbangi efek peningkatan kalsium urine.

Perlu diperhatikan, sebelum memulai penggunaan suplemen kalsium sebaiknya


kadar kalsium dalam urine diukur, selanjutnya secara berkala dicek untuk
menghindari hiperkalsiuria. Jika terjadi pengeluaran kalsium urine yang meningkat
maka pasien disarankan meningkatkan konsumsi cairan untuk mengencerkan
konsentrasi kalsium dalam urine. Konsumsi kalsium dari sumber Susu maupun non-
susu menurunkan risiko terjadinya batu ginjal (Taylor dan Curhan [2013] dalam
Mahan L. Kathleen, 2017). Sebaiknya untuk memenuhi kebutuhan terhadap kalsium
sesuai usia dipilih dari makanan yang mengandung kalsium daripada dari suplemen.
Jika diperlukan, suplemen kalsium hanya diberikan untuk memenuhi kebutuhan
sesuai AKG dan dikonsumsi dalam porsi kecil bersama dengan makanan untuk
memaksimalkan pengikatan oksalat (Manson dan Bassuk [2014] dalam Mahan L.
Kathleen, 2017).

 Batu Oksalat
Hiperoksalouria (>40 mg oksalat dalam urine/24 jam) merupakan kondisi yang
berhubungan dengan pembentukan batu kalsium dan merupakan penyebab
pembentukan batu ginjal berulang. Sedangkan hiperoksalouria primer berhubungan
dengan faktor genetika yang menyebabkan penurunan enzim yang dihasilkan oleh
hati sehingga produksi oksalat berlebih dan konsentrasinya meningkat 3-5 kali dari
kondisi normal. Kondisi tersebut memicu pembentukan batu ginjal multipel pada
anak-anak yang menyebabkan gangguan fungal ginjal dan kematian dini.

Pada pasien dengan inflammatory bowel disease (IBD) dan bypa lambung sering kali
mengalami hiperoksaluria yang berhubungan dengan malabsorpsi lemak Pada
keadaan normal, asam empedu yang dihasilkan pada proses pencernaan akan
diserap kembali di bagian proksimal saluran cerna. Jika mekanisme ini terganggu
maka garam empedu dan asam lemak akan meningkatkan permeabilitas oksalat.
Asam lemak yang tidak terserap ini akan menggandeng kalsium untuk membentuk
busa yang berakibat turunnya ketersediaan kalsium mudah serap. Akibatnya
ketersediaan kalsium untuk menggandeng oksalat menurun dan menghambat
penyerapannya sehingga akan meningkatkan serum oksalat selanjutnya
meningkatkan serum oksalat dalam urine.

Tubuh juga menyintesis oksalat secara endogen sebanding dengan jumlah masa
tubuh tanpa lemak (lean body mass). Kadar oksalat dalam urine juga dipengaruhi
oleh asam askorbat (vitamin C) dan asam glikosilat. Konsumsi vitamin C di atas
kebutuhan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK) tidak dianjurkan karena
dapat memicu terbentuknya batu ginjal. Sintesis oksalat tidak dipengaruhi oleh
asupan protein (Knight, dkk.. [2009] dalam Mahan L Kathleen, 2017), Piridoksin
merupakan ko-faktor pada proses konversi glikosilat menjadi glisin sehingga
kekurangan piridoksin akan meningkatkan produksi oksalat endogen.

Bioavaibilitas oksalat dalam makanan dan oksalat dalam urine dipengaruhi oleh
bentuk garam oksalat, pengolahan makanan dan metode pemasakan. komposisi
makanan dan keberadaan oxalobacter formingenes (OF) dalam saluran cerna
(Siener, dkk., [2013] dalam Mahan L. Kathleen, 2017). Keberadaan bakteri ini
berkaitan dengan risiko pembentukan batu ginjal, semakin rendah keberadaan
bakteri semakin tinggi risiko batu ginjal dan sebaliknya, semaldin tinggi bakteri ini
ada di saluran cerna maka semakin rendah risiko terjadinya batu ginjal (Lange [2014]
dalam Mahan L. Kathleen, 2017). Keberadaan bakteri ini dapat diketahui dengan
pemeriksaan feses. Untuk menurunkan oksalat dalam urine disarankan konsumsi
probiotik, menurunkan konsumsi bahan makanan tinggi oksalat, jika perlu konsumsi
makanan tinggi kalsium atau suplemen kalsium untuk menurunkan penyerapan
oksalat (Knight, dkk, [2009] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

Kandungan oksalat bahan makanan per saji:


 Tinggi (>10 mg/saji)
Kacang buncis
Bawang prei
Okra
Labu siam
Bayam*
Peterseli Seledri
Kangkung
Daun bawang
Terong
Wortel
Bit*
Ubi Jalar Kentang
Paprika
Jeruk
Stoberi kalengan
Bluberry
Blackberry
Raspberry
Kulit jeruk
Anggur
Kiwi
Koktail buah
Buah ara
Elderberry
Anggur concord
Yoghurt kedelai
Minuman bersoda
Jus blackberry
Kopi instan
Susu cokelat*
Cokelat*
Teh hitam*
Bir hitam
Bubur jagung
Sereal dengan serat tinggi
Selai
Biji wijen
Selai kacang
Talas
Pretzel
Produk gandum
Kacang-kacangan (kacang tanah, almond*, mete, hazelnut, kemiri)
Tahu

 Sedang (2-10 mg/saji)


Sarden
Biji bunga matahari
Yoghurt Biji rami
BBLU
Hati
Selada air
Tomat
Asparagus Artichoke
Kubis brussel Brokoli
Jagung
Pasta gandum
Oatmeal
Roti putih
Beras merah
Bagel
Minuman Anggur
Bir
Cranberry
Minuman dengan kismis
Hitam
Jus tomat
Jus jeruk Jus wortel
Stroberi
Nanas
Pir
Apel
Persik
Plum, plum ungu
Jeruk mandarin
Cranberry
Kelapa Aprikot
Kacang-kacangan (kenari,
Pistacio)
Jamur
Kopi (8 oz)

 Rendah (<2 mg/saji)


Lobak
Beras
Biskuit
Daging unggas
Daging sapi/domba/ kambing/babi tanpa
Lemak
Pepaya
Mangga
Keju
Anggur Mie telur
Susu dan produk susu
Limun
Teh herbal
Jus apel
Mentimun
Seafood
Alpukat
Pisang
Rebung
Telur

 Batu Asam Urat


Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin yang berasal dari makanan,
sintesis de novo dan katabolisme jaringan. Sekitar setengah dan muatan purin
berasal dari sumber endogen dan jumlahnya konstan, setengahnya berasal dari luar
tubuh (makanan), digunakan untuk menghitung asam urat dalam urine. Kelarutan
asam urat bergantung pada volume urine, jumlah asam urat yang dikeluarkan, dan
pH urine. Batu asam urat terbentuk saat urine mencapai titik jenuh dengan asam
urat yang tidak terdisosiasi, yang terjadi pada pH urine kurang dari 5,5.

Hal terpenting dalam pembentukan batu asam urat adalah rendahnya pH urine
karena peningkatan NAE (net acid excretion) dan gangguan buffering sebagal akibat
dari rendahnya asupan makanan yang bersifat basa atau kelebihan makanan yang
bersifat asam.

Beberapa penyakit berkaitan erat dengan kejadian batu asam urat antara lain
inflammatory bowel disease (IBD), risiko dehidrasi pada IBD menyebabkan urine
menjadi asam. Kondisi limfoproliferasi dan mielo-proliferasi meningkatkan
pemecahan sel yang menghasilkan purin sehingga meningkatkan kadar asam urat.
Diabetes, obesitas dan hipertensi juga merupakan faktor risiko batu asam urat.
Selain manajemen diabetes, pada pasien dengan batu asam urat dan hiperurisemia
pada batu kalsium oksalat perlu pembatasan bahan makanan sumber purin (Scales,
dkk., [2012] dalam Mahan L. Kathleen, 2017). Penggunaan daging, ikan dan unggas
yang kaya purin sebaiknya digunakan sekadar untuk memenuhi kebutuhan protein
sehari. Sedangkan bahan makanan tinggi purin sebaiknya dihindari yaitu jerohan,
ikan teri, ikan sarden, kaldu daging, dan kuah daging. Pada kondisi tertentu perlu
diberikan medikasi berupa allopurinol. Batu asam urat adalah satu-satunya batu
yang dapat diatasi tanpa tindakan medis, yaitu dengan mengubah suasana urine
menjadi basa (pH 6-6,5).

 Batu Sistin

Batu sistin sangat jarang terjadi hanya sekitar 1-2% dari batu ginjal, penyebab adalah
homozygous sistinuria. Pada kondisi normal, pengeluaran sistin me lalui urine
kurang dari sama dengan 20 mg/hari. Pada mereka yang mengalami nya sistinuria
mengeluarkan sistin lebih dari sama dengan 250 mg sistin/hari dalam urine mereka.
Kelarutan sisten meningkat pada pH urine lebih dari 7 sehingga perlu dilakukan
usaha untuk mempertahankan pH ini setiap hari termasuk saat tidur. Kondisi
tersebut dicapai dengan menggunakan obat-obatan. Pencegahan kristalisasi sistin
dapat dilakukan dengan meningkatkan asupan cairan 4 liter sehari, mengurangi
asupan natrium, membatasi konsumsi protein hewani (sumber sistin dan metionin).
Konsumsi sayuran dan buah tinggi asam sitrat dan malat seperti melon, jeruk nipis,
jeruk dan jus tomat dapat membantu meningkatkan kebasaan urine (Heilberg and
Gold Farb, [2013] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

 Batu Melamin dan Indinavir

Pemberian susu formula yang mengandung melamin pada anak-anak dapat


mengakibatkan batu ginjal, gagal ginjal akut hingga kematian. Melamin adalah hasil
sintesis organik dari urea. Saat ditambahkan ke dalam susu cair maupun susu bubuk,
seolah-olah kandungan proteinnya meningkat. Di bagian distal tubulus ginjal,
melamin akan membentuk batu dan batu yang menyerupai pasir. Peningkatan
asupan cairan dan mengubah suasana urine menjadi basa dapat membantu
mengeluarkan batu melalui urine.

Pengobatan pasien HIV menggunakan protease inhibitor dapat memicu


terbentuknya batu indinavir. Ditemukan adanya hipositraturia pada keadaan ini,
yang menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan, volume dan pH urine. Jenis batu
ini lunak, kenyal, dan tembus pandang. Pilihan terapi yang dapat dipilih adalah
hidrasi intravena (Zilberman, dkk., [2010] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

 Batu Struvit

Susunan batu struvit terdiri atas magnesium, amonium fosfat dan karbonat apatit
(triple phosphate) atau batu infeksi. Jenis batu ini paling sering dialami oleh wanita
daripada pria dengan perbandingan 2:1. Pembentukannya terjadi karena adanya
bakteri Pseudomonas, klebsiella, Proteus mirabilis, dan urea lyticum yang thembawa
urease (enzim pemecah urea). Pemecahan urea menghasilkan amonia dan karbon
dioksida yang akan meningkatkan pH dan kadar karbonat urine. Pertumbuhan batu
struvit sangat cepat membentuk batu staghorn di daerah pelvis ginjal. Pengobatan
menggunakan extracorporeal shockwave lithothripsy (ESWL) dan obat anti-mikrobial
digunakan untuk menghambat urease. Target penatalaksanaannya adalah
menghambat atau mencegah infeksi saluran kemih dengan melakukan skrining dan
monitoring kultur urine secara berkala, peran diet adalah untuk menghindari
terbentuknya suasana urine basa.

 PENATALAKSANAAN MEDIS
Penanganan batu ginjal dilakukan berdasarkan sifat dan jenis batu. Beberapa
alternatif penanganan batu ginjal adalah:
1. Batu asam urat adalah satu-satunya batu yang dapat diatasi dengan terapi
disolusi atau pelarutan batu dengan alkalinisasi urine, yaitu dengan cara
memperbanyak konsumsi makanan vegetarian (rendah purin) atau
menggunakan oobat-obatan
2. Teknik litrotripsi dan teknik endrologi telah banyak digunakan untuk
menggantikan prosedur pembedahan sebagai usaha mengeluarkan batu.
3. Batu struvit ditangani dengan memberikan obat anti mikroba spesifik untuk
menghambat urease. Saat ini tujuan penatalaksanaan batu ginjal lebih
banyak dilakukan untuk mencegah terbentuknya batu.

 MANIFESTASI KLINIS
Keberadaan batu ginjal sering kali menyebabkan gejala mulai dari nyeri pinggang,
kencing darah, kencing tidak tuntas dan pengeluaran batu saat berkemih. Tidak
semua pasien mengalami episode pertama batu ginjal. Saat diketahui pasien berisiko
menderita batu ginjal maka perlu dilakukan evaluasi sederhana, yaitu penelusuran
riwayat diet dan riwayat medis, urinalisis, kultur urine, pemeriksaan darah dan
analisis batu (jika ada). Pemeriksaan lebih detail dilakukan jika diketahui pasien
mengalami pembentukan batu berulang terdiri dari penelusuran riwayat diet dan
riwayat medis, urinalisis dan kultur pemeriksaan darah, analisis batu (jika ada), CT-
Scan, urine tampung 24 jam serta food frequency questionare (FFQ) (Orfeas Liangos
and Bertrand 1 Jaber 518 dalam Byham-Gray Laura. Nutrition and Health Nutrition in
Kidney Disease, 2008)

 PERUBAHAN METABOLISME TERKAIT GIZI

Risiko terjadinya batu ginjal meningkat saat ekskresi kalsium dan oksalat dalam urine
meningkat, risiko turun saat eksresi sitrat dan volume urine meningkat Perlu
dipahami terkait ekskresi kalsium dan oksalat, bahwa pada pasien tanpa kelainan
metabolik, risiko dapat meningkat walaupun kadar kalsium, oksalat, I dan sitrat
masih dalam batas normal. Karena kandungan kimia dari urine berubah-ubah setiap
hari bergantung pada lingkungan dan asupan makanan

 ASUHAN GIZI
Terapi gizi medis (TGM) atau medical nutrition therapy (MNT) pada pasien batu
ginjal bergantung pada evaluasi metabolik yang komprehensif. Konseling gizi dan
monitoring metabolik akan sangat efektif. Saat menangani pasien dengan batu ginjal
perlu dipastikan apakah pertama kali menderita batu ginjal atau merupakan
kejadian berulang. Efektivitas TGM harus dimonitor dengan evaluasi urine tampung
24 jam untuk menunjukkan kepada dietisien dan pasien efek dari terapi diet yang
diberikan. Pemberian TGM bertujuan mencegah pembentukan kembali batu ginjal.

 Pengkajian Gizi
Asesmen atau pengkajian gizi difokuskan pada asupan zat gizi yang diduga berefek
pada pembentukan batu-batu (spesifik sesuai komposisi batu). Penggalian terkait
asupan cairan (jumlah dan jenisnya) merupakan hal terpenting yang tidak boleh
ditinggalkan saat penggalian data
 Riwayat terkait gizi dan makanan (FH)
Asupan cairan (jumlah, jenis, pengetahuan, kebiasaan, kesukaan/ketidaksukaan,
tidak tersedianya air, perilaku lupa, tidak sempat, tidak haus, menghindari)
Anamnesis gizi menggunakan Food Frequency Questionare (FFQ) untuk menelusuri
riwayat asupan bahan makanan sumber protein hewani, oksalat, kalium,
magnesium, fosfat, natrium, sitrat, fruktosa, vitamin C, vitamin B6, vitamin D. omega
3. Obat-obatan: thiazide, allopurinol vitamin C, vitamin B6, vitamin D. cod liver oil,
kalsium karbonat, terapi glukokortikoid, kalium sitrat, antasida
 Data antropometri (AD)
Riwayat peningkatan berat badan atau obesitas, Indek Massa Tubuh (IMT) saat ini.
 Data biokimia (BD)
Serum kalsium, fosfor, kreatinin, asam urat, CO,, albumin, hormon paratiroid,
HgbA1c. Urine analisis (pH, kultur urine); urine tampung 24 jam (volume, kalsium,
oksalat, asam urat, natrium, sitrat, magnesium, fosfor, urea, kreatinin, sistin
kualitatif).
 Data fisik-klinis terkait gizi (PD)
Tanda dehidrasi (kulit kering, penurunan turgor kulit); aktivitas fisik (mening katkan
jumlah keringat, kemungkinan imobilisasi); rasa haus, mual-muntah, rasa nyeri
hingga menurunkan asupan makan, diare; tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh).
 Riwayat
1. Riwayat klien (CH): Penggalian data terkait riwayat kejadian (pertama atau
berulang) dan frekuensi; Riwayat keluarga (faktor keturunan).
2. Riwayat pengeluaran batu (pengeluaran batu tanpa tindakan medis).
3. Analisis batu (jika ada).
4. Riwayat penyakit dahulu (hiperparatiroid, asidosis tubular ginjal, infeksi
saluran kencing, sarkoidosis, hipertensi, osteoporosis, inflammatory bowl
disease (IBD), sindrom malabsorpsi, operasi bypass usus karena obesitas
(Roun-en Y atau gastric banding/sleeve gastrectomy), sindrom metabolik
atau resistensi insulin, diabetes melitus, riwayat obesitas, riwayat dehidrasi);
kondisi lingkungan (sulit air) (Karen Lacey dan Marcia N. Nelms, Nutrition
Therapy and Pathophysiology, 2011).

 Diagnosis Gizi
Diagnosis gizi yang biasa ditegakkan pada batu ginjal adalah asupan cairan yang
tidak adekuat, kelebihan asupan mineral, atau pengetahuan tentang makanan dan
gizi yang kurang (Karen Lacey dan Marcia N. Nelms, 2011). Penyebab dari problem
gizi yang ditemukan sangat variatif pada setiap individu.

Etiologi dan tanda/gejala yang mungkin terjadi dengan diagnosis gizi di atas adalah:
1. Asupan cairan yang tidak adekuat (NI-3.1)
Definisi: Asupan cairan dari makanan atau zat lain yang mengandung cairan
lebih rendah dibandingkan dengan standar rujukan yang di tetapkan atau
rekomendasi berdasarkan kebutuhan fisiologis. Perhatikan informasi klinis,
biokimia, antropometri, diagnosis medis, status klinis dan/atau faktor lain
yang kemungkinan berpengaruh terhadap kebutuhan cairan seseorang.

Etiologi/penyebab:
a. Penyebab fisiologis yang meningkatkan kebutuhan cairan karena
terjadi perubahan suhu tubuh, peningkatan kehilangan cairan
tubuh, penurunan rasa haus atau penggunaan obat-obatan yang
dapat menurunkan rasa haus
b. Kurang atau terbatasnya akses untuk memperoleh cairan seperti
masalah ekonomi, ketidakmampuan mencukupi kebutuhan cairan
secara mandiri (lansia, anak-anak)
c. Kebudayaan yang memengaruhi kemampuan untuk memperoleh
cairan
d. Pengetahuan, mengenai makanan dan zat gizi yang kurang ter
utama mengenai asupan cairan yang tepat
e. Penyebab psikologis seperti depresi atau gangguan makan
f. Gangguan kemampuan kognitif termasuk keterbatasan kemam puan
belajar, gangguan saraf atau sensorik dan/atau demensia

2. Kelebihan asupan mineral (NI-5.10.2) Definisi: Asupan satu atau lebih jenis
mineral berlebih dibandingkan dengan standar referensi atau rekomendasi
yang ditentukan berdasar kan kebutuhan fisiologis.

Etiologi/penyebab:
a. Pengetahuan yang kurang mengenai makanan dan terutama
makanan dan zat gizi sumber suplemen mineral
b. Sikap dan kepercayaan yang salah mengenai makanan, zat gizi dan
zat gizi terkait topik
c. Food faddism (kepercayaan terhadap makanan tertentu)
d. Kelebihan suplementasi yang tidak disengaja
e. Kelebihan konsumsi beberapa jenis makanan yang dibatasi
f. Kurang pengetahuan tentang manajemen terhadap diagnosis
penyakit yang membutuhkan pembatasan mineral (insufisiensi
ginjal-pembatasan fosfor, magnesium dan kalium)

3. Kurang pengetahuan terkait makanan dan zat gizi (NB-1.1) Definisi:


Pengetahuan yang tidak lengkap atau tidak akurat mengenal makanan, zat
gizi atau informasi dan petunjuk terkait zat gizi

Etiologi/penyebab:
a. Tidak ada dukungan keyakinan/sikap terhadap makanan, zat gizi
atau topik terkait gizi
b. Tidak memiliki pengetahuan tentang gizi sebelumnya
c. Keyakinan/budaya yang memengaruhi kemampuan untuk belajar/
menerapkan informasi
d. Gangguan kemampuan kognitif, termasuk ketidakmampuan Belajar,
gangguan neurologis atau sensorik dan/atau demensia
e. Terpapar informasi yang salah sebelumnya
f. Tidak mau/tidak tertarik Dalam mempelajari/menerapkan Informasi
g. Ketidakpastian dalam menerapkan informasi gizi

 Intervensi Gizi
Intervensi gizi bertujuan untuk meminimalkan tingkat kejenuhan urine yang
berhubungan dengan pembentukan batu dan mencegah pembentukan batu
kembali. Pencegahan yang paling efektif adalah dengan meningkatkan asupan cairan
lebih dari 2,5 L/hari dengan komposisi 50% adalah air putih. Dalam mengonsumsi
cairan sebaiknya dibagi dalam beberapa kali minum termasuk saat malam (250 ml
setiap kali makan, di antara waktu makan dan saat malam hari) untuk memastikan
jumlah urine 2-2.5 L/hari
Tidak semua jenis cairan bermanfaat untuk menurunkan risiko batu ginjal. Cranberry
juice mengasamkan urine bermanfaat pada penanganan batu struvit. Blackcurrant
juice dan jus jeruk meningkatkan sitrat dan oksalat dalam urine sehingga
menimbulkan efek alkali, bermanfaat untuk mencegah batu asam urat. Teh dan kopi
mempunyai efek diuresis karena kandungan kafein, sedangkan kopi tanpa kafein
tidak memiliki efek ini sehingga diperlukan keterlibatan fitokimia yang bersifat
antioksidan. Alkohol juga memiliki efek diuresis, Kandungan oksalat dalam teh hitam
maupun teh hijau (ukuran reguler) sekitar 300-1500 umol/L. Oleh karena tingginya
kandungan oksalat dalam teh, sebaiknya dikonsumsi dengan penambahan susu.
Susu menurunkan penyerapan oksalat di usus dengan cara membentuk ikatan
kalsium oksalat yang tidak mudah diserap Teh herbal hanya mengandung oksalat 31-
75 µmol/L, dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pilihan (Taylor dan Curhan
[2008] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

Protein hewani dianjurkan 0,8-1,0 gram/kg BB/hari, hindari asupan protein yang
melebihi Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Gaya hidup modern
berakibat peningkatan konsumsi protein hewani yang berdampak pada peningkatan
risiko batu ginjal. Daging, ikan, unggas, telur, keju, dan biji-bijian merupakan
kontributor keasaman urine (dapat diukur menggunakan skor LAKE [Load of Acid to
Kidney Evaluation] untuk mengevaluasi diet Potential Renal Acid Load [PRAL]).
Modifikasi diet perlu dilakukan untuk menurunkan skor LAKE sebagai upaya
menurunkan risiko batu ginjal. Buah-buahan, jus, sayuran, kentang dan kacang
polong dapat dipilih karena memiliki PRAL, negatif. Konsumsi kalsium yang adekuat
disertai asupan protein hewani yang rendah, diet rendah garam (NaCI <4 g) dapat
menurunkan ekskresi oksalat lebih baik dibandingkan diet rendah oksalat saja.

 Oksalat

Oleh karena jumlah oksalat dalam urine lebih sedikit daripada kalsium (1:5) sehingga
perubahan sedikit saja konsentrasi oksalat akan berdampak besar pada kadar
kalsium urine. Penyerapan oksalat 3-8% dari makanan dipengaruhi oleh jumlah
kalsium. Kalsium dalam diet mengurangi penyerapan oksalat. Pada semua proses
pembentukan batu, pembatasan oksalat dalam diet disertai dengan asupan kalsium
yang rendah (<200 mg/hari) sangat tidak efektif karena penyerapan oksalat justru
meningkat. Penyerapan oksalat menurun jika kandungan kalsium dalam diet 1000-
1200 mg (sesuai usia) (Agarwal, dkk.[2011] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).

Konseling gizi untuk menurunkan penyerapan oksalat sangat bermanfaat bagi


mereka yang diketahui mengonsumsi tinggi oksalat dan kandungan oksalat urine 3
mg/hari (350 μmol). Perlu ditekankan bahwa pembatasan asupan oksalar harus
disertai dengan peningkatan asupan kalsium agar tujuan pencegahan pembentukan
batu dapat dicapai. Konsumsi kalsium dianjurkan untuk dibag dalam beberapa waktu
karena setiap 150 mg kalsium mampu mengikat 100 mg oksalat, oleh sebab itu,
sangat dianjurkan mengonsumsi kalsium dalam jumlah kecil dan sering setiap kali
makan. Kalsium sebesar 150 mg dapat diperoleh dengan mengonsumsi ½ cup susu
(75 ml), es krim, puding susu, yoghurt atau oz keju (20 mg)
 Kalsium

Pasien batu ginjal sering kah kurang mengonsumsi kalium dan lebih banyak
mengonsumsi natrium sehingga rasia Na K meningkat. Asupan kalium meru pakan
penghambat pembentukan batu (Nouvenne, dkk, [2010] dalam Mahan L. Kathleen,
2017). Asupan buah dan sayur sebaiknya diperhitungkan dalam evaluasi metabolik.
Dianjurkan mengonsumsi buah dan sayuran yang rendah oksalat, tetapi tinggi
kalium beberapa kali sehari karena makanan tinggi kalium mempunyai efek alkali
yang akan merangsang ekskresi sitrat (salah satu penghambat pembentukan batu
ginjal). Setiap 20 mEq kalium (17 mg/hari) mampu menurunkan kalsium urine

 Magnesium

Magnesium adalah inhibitor dengan berat molekul rendah yang membentuk


kompleks terlarut dengan okasalat Seperti halnya kalsium, magnesium menghambat
penyerapan oksalat dan kemungkinan memiliki peran dalam hiperoksalouria pada
pasien.

 Fosfat

Kelebihan fosfat memang berkontribusi terhadap pembentukan batu, tetapi tidak


sekuat faktor pH urine, yang perlu diperhatikan adalah berapa banyak fosfat dalam
bentuk hidrogen fasfat (HPO) Batu kalsium fosfat sering ditemukan pada wanita
hamil trimester kedua dan ketiga kehamilan

 Natrium

Jumlah NaCl dalam diet modern mencapai 10 g/hari, kadar natrium dalam urine
berkorelasi langsung terhadap penyerapan natrium dan kalsium di dalam tubulus
ginjal (Taylor, dkk. [2009] dalam Mahan L. Kathleen, 2017). Risiko pembentukan batu
ginjal lebih tinggi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan pasien normotensi.
Asupan natrium pada pasien IH sebaiknya diturunkan disertai dengan terapi air
untuk menurunkan konsentrasi natrium, kalsium dan oksalat daripada hanya
menjalani terapi air saja. Kadar natrium urine berhubungan positif dengan kalsium
urine dan volume urine serta berhubungan negatif dengan kejenuhan kalsium
oksalat dalam urine. Asupan natrium dianjurkan kurang dari 2300 mg/hari pada
pasien dengan hiperkalsiuria. Penerapan diet DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension) mampu menurunkan risiko batu ginjal. Tingginya skor DASH
menunjukkan tingginya asupan kalsium, kalium, magnesium, oksalat dan vitamin C
serta rendahnya asupan natrium karena diet tersebut menggunakan cukup tinggi
produk susu rendah lemak, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan dan kurang
menggunakan protein hewani (Baia, dkk., [2012], Trinchien [2013] dalam Mahan L.
Kathleen, 2017).

 Sitrat
Peran sitrat sebagai penghambat pembentukan batu ginjal, yaitu dengan
membentuk kompleks bersama dengan kalsium urine, kalsium mengikat oksalat
dalam urine sehingga mekanisme pembentukan batu kalsium oksalat atau kalsium
fosfat dapat dihambat (Kang, dkk., [2007]. Taylor dan Curhan [2008] dalam Mahan L.
Kathleen, 2017). Keasaman yang terjadi di bagian distal tubulus ginjal (renal tubular
acidosis, RTA) berkaitan dengan hipokalemia. RTA, sindrom malabsorpsi dengan
hiperoksalouria dan asupan daging yang berlebihan (menurunkan pH urine)
berakibat turunnya ekskresi sitrat. Hipositraturia ditandai dengan kadar sitrat dalam
urine kurang dari 300 mg/hari sedangkan kadar normalnya lebih dari 640 mg/hari.
Sitrat ditemukan dalam beberapa jenis minuman seperti minuman bersoda, sport
drink, jus tomat, limun, jus jeruk. Terapi jus (jeruk lemon/nipis) dalam waktu lama
pada pasien hipositraturia dapat membantu meningkatkan sitrat dalam urine dan
menurunkan laju pembentukan batu.
 Fruktosa
Peningkatan asupan fruktosa hingga 2000% merupakan dampak kehidupan modern
karena penggunaan sirup jagung pada makanan meningkat drastis. Fruktosa
meningkatkan ekskresi kalium dan oksalat, dan satu-satunya karbo hidrat yang
dapat meningkatkan produksi asam urat dan mengeluarkannya dalam urine (Tang
dkk., [2012] dalam Mahan L. Kathleen, 2017). Selain itu, fruktosa Juga menyebabkan
resistensi insulin yang berhubungan dengan penurunan pH urine. Asupan fruktosa
berkorelasi positif pada semua proses pembentukan batu ginjal. Anjuran
mengonsumsi buah dan sayur untuk meningkatkan kadar kalium urine perlu
dicermati karena selain mengandung kalium, buah juga mengandung fruktosa
sehingga untuk meningkatkan kadar kalium urine lebih ditekankan konsumsi sayuran
dari pada buah.
 Vitamin C
Asupan suplemen vitamin C sekitar 1000 mg/hari dapat meningkatkan risiko batu
ginjal pada pria, tetapi tidak pada wanita (Agarwal, dkk., [2011] dalam Mahan L.
Kathleen, 2017). Kebutuhan normal vitamin C sekitar 90 mg, jika mengonsumsi 1000
mg maka akan terbentuk 6,8 mg oksalat dalam urine. Asupan suplemen vitamin C
yang berlebihan berisiko pada pembentukan batu. Untuk itu bagi mereka yang
menderita batu kalsium oksalat dan memiliki kadar oksalat urine yang tinggi
dianjurkan tidak mengonsumsi suplemen vitamin C lebih dari 90 mg/hari (Ferraro,
dkk., [2016] dalam Mahan L. Kathleen, 2017).
 Vitamin B
Vitamin B dalam bentuk piridoksal fosfat dibutuhkan sebagai ko-faktor pada
metabolisme oksalat. Dianjurkan mengonsumsi 2-10 mg/hari (gunakan suplemen
jika perlu) untuk menurunkan oksalat urine pada pasien batu kalsium oksalat.
 Vitamin D
Peranannya dalam pembentukan batu ginjal masih kontroversial.
 Asam lemak omega 3
Peningkatan kadar asam arachidonat (AA) dalam membran sel dapat mening. katkan
hiperkalsiuria dan hiperoksalouria (Taylor, dkk, 2005 dalam Mahan L. Kathleen.
2017). Asupan asam lemak omega-3 seperti eicosa pentaenoic acid (EPA) dan
docosahexaenoic acid (DHA) mampu menurunkan kandungan AA di membran sel
dan menurunkan kadar kalsium-oksalat dalam urine. EPA merupakan penghambat
metabolisme AA dengan menurunkan sintesis prostaglandin 2 (E-2 (PGE-2)), suatu
substansi yang berpotensi mengeluarkan kalsium dalam urine. Berbeda dengan
omega-3 dalam makanan, suplemen omega-3 (EPA dan DHA) tidak dapat
menurunkan risiko batu ginjal, asupan AA dan asam linoleat tidak meningkatkan
risiko pembentukan batu pada suatu riset Penggunaan minyak ikan dengan
kandungan omega-3 sekitar 1200 mg/hari pada terapi hiperkalsiuria dikombinasikan
dengan konseling diet yang empiris diketahui dapat menurunkan kalsium dalam
urine sehingga menjadi normal dan juga menurunkan ekskresi oksalat serta
meningkatkan sitrat dalam urine. Asupan EPA sekiar 1800 mg/hari mampu
menurunkan episode pembentukan batu (Yasui, dkk., [2008] dalam Mahan L.
Kathleen, 2017).

Anda mungkin juga menyukai