Uji Absorbsi Obat Asam Salisilat Secara In Vitro Dengan Teknik Usus Terbalik Pada
Tikus Jantan Putih Dengan Metode Spektofotometer Visible
A. Tujuan
1. Mampu menjelaskan proses absorbsi obat asam salisilat dalam saluran percernaan.
2. Mampu menjelaskan pengaruh pH terhadap absorbansi obat asam salisilat dengan
rumus Handerson-Hasselbach.
3. Mampu membuat grafik hubungan antara jumlah kumulatif obat asam salisilat yang
ditransport sebagai fungsi waktu.
B. Latar Belakang
Pada umumnya, manusia sering mengkonsumsi obat ataupun makanan secara oral.
Obat yang diberikan secara oral akan diteruskan ke sirkulasi darah disebut dengan
absorbsi obat. Absorbsi dapat dilakukan dengan memberi obat melewati beberapa jalur
pemberian (secara PO, rektal, IM, SC, inhalasi, topical, dsb). Bila obat diadministrasikan
secara intravena, maka kebutuhan akan absorbsi tidak ada (IUPHAR, 2019). Proses
absorpsi yang terjadi sangat ditentukan oleh sifat fisiko kimia dari satu molekul obat,
seperti kelarutan obat. Obat-obat yang memiliki kelarutan kecil di dalam air akan
menyebabkan jumlah obat yang diabsorpsi menjadi kecil (Shargel & Andrew, 1999).
Absorbsi obat setelah penggunaan melalui mulut dapat terjadi pada berbagai tubuh
antara rongga mulut dan anus. Umumnya hal penting yang diharapkan dari sebagian besar
contoh adalah makin tinggi absorbsi suatu obat sepanjang saluran makanan, kerjanya akan
lebih cepat. Bagaimanapun karena perbedaan secara fisika dan kimia di antara zat obat
serta bentuk sediaan dimana obat diberikan ke dalam tubuh, maka suatu obat mungkin
akan diabsorbsi lebih baik pada suatu keadaan lingkungan daripada lainnya, tanpa
memandang tempatnya yang berhubungan satu sama lain didalam saluran cerna (Ansel,
2011).
pH dari system saluran cerna meningkat maju sepanjang saluran mulai dari pH
sekitar 1 dalam lambung sampai lebih kurang pH 8 pada tempat yang paling ujung dari
usus. pH punya kelakuan tertentu terhadap derajat ionisasi dari kebanyakan obat, dan ini
selanjutnya mempengaruhi kelarutan lipid, permeabilitas membrane dan absorbsi. Karena
sebagian besar obat diabsorbsi secara difusi pasif melalui dinding lipoid maka koefisien
partisi lipid/air dan pKa obat merupakan hal penting yang utama terhadap derajat dan
tempat absorbs obat dalam system saluran cerna (Ansel, 2011).
Dalam hal cara pemilihan pemberian obat dan dalam merancang bentuk sediaan,
factor absorbsi obat sangatlah penting(Ansel, 2011). Pada pemberian sediaan obat secara
ekstravaskular, molekul obat harus terlepas dari vesikel (bahan pembawa) dan larut di
dalam cairan tubuh di daerah tempat pemberian obat. Dalam hal pemberian obat per oral,
molekul obat harus larut di dalam cairan lumen usus sebelum terabsorpsi. Kecepatan dan
jumlah obat yang terabsropsi tergantung pada sifat fisika dan kimiawi obat (Hakim, 2015).
Usus halus merupakan tempat utama untuk penyerapan senyawa yang dicerna,
baik itu senyawa yang bergizi, senyawa untuk terapi, atau senyawa yang beracun.
Enterosit usus akan membentuk penghalang selektif untuk xenobiotik dan obat-obatan
yang terdiri dari membran transporter yang spesifik dan biotransformasi enzim (Takano,
2006). Terdapat villi yang dapat meningkatkan area penyerapan usus halus. Pengujian
absorbsi suatu obat dapat dilakukan secara in vitro dengan menggunakan teknik usus
terbalik. Uji in vitro dilakukan untuk mengukur kecepatan, banyaknya obat dalam
membran, serta dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh pH terhadap absorbsi suatu
obat dalam tubuh (Balatan dan Bobick, 2014).
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Tabung Crane dan Wilson Pengaduk Kaca
Kanula Labu Takar 10, 25, 50 mL
Spektrofotometer Visibel Papan Bedah
Waterbath Gunting Bedah
Timbangan Analitik Jarum
pH meter Lidi
Gelas Beker Pinset
Tabung Sentrifuge Stopwatch
Pipet Tetes Statis
Pipet Volume Benang
Penjepit Vortex
Pipet ukur 0,5;1;2;3 mL Sentrifugator
Glassfirn Air Pump
Cawan Petri
2. Bahan
Tikus jantan putih
Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2)
Cairan usus buatan tanpa pankreatinin (pH 7,5)
Larutan NaCl 0,9% b/v
Asam salisilat
Eter
Gas Oksigen
Alkohol
Reagen Trinder
D. Skema Kerja
1. Pembuatan larutan stok asam salisilat
Larutan stok asam salisilat konsentrasi 1mg/mL dibuat sebanyak 50 mL (dilarutkan
menggunakan NaCl 0.9%)
Reagen Trinder sebanyak 1.5 mL ditambahkan, kemudian didiamkan selama OT (5, 10,
dan 15 menit)
4. Penentuan λ maksimum
Larutan intermediet 0.02; 0.05; 0.07 mg/mL diambil sebnyak 3.5 mL
Sebanyak 1.5 mL Reagen Trinder ditambahkan, kemudian didiamkan selama OT yang
diperoleh
Perutnya kemudian dibuka sepanjang linea mediana dan usus dikeluarkan serta
dibersihkan
Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi dengan cairan serosa
1.4 mL larutan NaCl 0.9% b/v
Kantong usus yang telah berisi cairan serosal ini dimasukkan dalam tabung yang sudah
berisi carian mukosal 50 mL cairan lambung buatan pH 1.2 dan pH 7.5 yang
mengandung asam salisilat
Selama percobaan seluruh bagian usus harus terendam dalam cairan mukosal
Kadar obat dalam cairan serosal diukur pada 15, 30, 45, dan 60 menit
Seluruh cairan serosal kemudian diambil melalui kanula, lalu dimasukkan kedalam
tabung sentrifuge
Cairan sampel yang didapatkan sebagai hasil sentrifugasi kemudian diambil bagian
jernihnya (supernatan) pada volume yang sama (2.5 mL)
Kontrol percobaan diperlakukan sama, tetapi cairan mucosal tidak mengandung asam
salisilat
Catatan:
1. Cairan mukosal: 0.01 M asam salisilat dalam cairan lambung buatan tanpa pepsin pH
1.2 dan dalam cairan usus buatan tanpa pankreatinin pH 7.5
Ditimbang asam salisilat 0,345 g
Ditambahkan cairan usus buatan tanpa pankreatin pH 7.5 dengan cara gerus tuang dari
gelas beker ke labu takar dan ad hingga 250 ml
Konsentrasi vs Absorbansi
0.8
0.6
Konsentrasi
0.4
0.2
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08
Absorbansi
k = 0,039 ml/menit
t vs Qkumulatif (Terkoreksi 1)
2.5
2
Qkumulatif
1.5
1
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
f. Regresi linear t vs Q kumulatif 2
a = 0,118
b = 0,014
r =0,985
Y = 0,014x + 0,118
Slope =0,014
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,014
k = 0,01 𝑥 138,12
k = 0,01 ml/menit
t vs Qkumulatif (Terkoreksi 2)
2.5
2
Qkumulatif
1.5
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
g. Rata-rata nilai K
K1+k2
k= 2
0,039ml/menit+0,010ml/menit
k= 2
= 0,0245 ml/menit
h. Lag time
1) perlakuan 1
y = 0,054x- 0,034
o = 0,054x- 0,034
x = 0,630 menit
2) perlakuan 2
y = 0,014x- 0,034
o = 0,014x- 0,034
x = -8,429 menit
j. Persamaan Handerson Hasselbach
[𝐴− ]
Ph = pKa + log 𝐻𝐴
[𝐴− ]
7,5 = 3 + log 𝐻𝐴
[𝐴− ]
4,5 = log 𝐻𝐴
[𝐴− ] 31622,77
=
𝐻𝐴 1
1
% terionkan = 31622,77 x 100% = 99,997 %
1
% tidak terionkan = 31622,77 x 100% = 0,00316%
k = 0,037 ml/menit
t vs Qkumulatif (Terkoreksi 1)
2.5
2
Qkumulatif
1.5
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
k = 0,033 ml/menit
t vs Qkumulatif (Terkoreksi 2)
2.5
2
Qkumulatif
1.5
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
h. Rata-rata nilai K
K1+k2
k= 2
0,037ml/menit+0,033ml/menit
k= 2
= 0,035 ml/menit
i. Lag time
3) perlakuan 1
y = 0,051x- 0,209
o = 0,051x- 0,209
x = -4,098 menit
4) perlakuan 2
y = 0,014x- 0,054
o = 0,046x- 0,054
x = 10,957 menit
j. Persamaan Handerson Hasselbach
[𝐴− ]
Ph = pKa + log 𝐻𝐴
[𝐴− ]
1,2 = 3 + log 𝐻𝐴
[𝐴− ]
-1,8 = log 𝐻𝐴
[𝐴− ] 0,016
=
𝐻𝐴 1
0,016
% terionkan = 1,016 x 100% = 1,575 %
1
% tidak terionkan = 1,016 x 100% = 98,425%
F. Pembahasan
Tujuan praktikum ini adalah mampu menjelaskan proses absorbsi obat asam salisilat
dalam saluran pencernaan, mampu menjelaskan pengaruh pH terhadap absorbsi obat asam
salisilat dengan rumus Handersson-Hasselbach serta mampu membuat grafik hubungan antara
jumlah kumulatif obat yang ditransport sebagai fungsi waktu. Obat yang digunakan dalma
praktikum ini adalah asam salisilat. Struktur asam Salisilat:
(Pubchem, 2019)
Asam salisilat memiliki nilai pKa 2,98 pada suhu 20°C. Asam salisilat sangat larut
dalam etanol, methanol, larut dalam kloroform, benzena, propanol, sedikit larut dalam air.
(Riswiyanto, 2009).Asam salisilat bertindak sebagai obat analgesik, antipiretik. Asam salisilat
memiliki sifat asam lemah. Berdasarkan teori “like dissolve like” dalam dapar asam senyawa
tersebut akan lebih banyak dalam bentuk molekulnya. (Rainfords, 2013).
Asam salisilat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-Visibel.
Asam saisilat memiliki gugus kromofor karena cincin aromatik yang dapat mengabsorbsi
radiasi elektromagnetik yang
dihasilkan oleh spektrofotometer UV-
Vis. Prinsip dari spektrofotometer
visibel adalah radiasi elektromagnetik
dalam bentuk cahaya polikromatis
yang diubah oleh monokromator
menjadi cahaya monokromatis yang
akan dilewatkan pada sampel. Energi
cahaya yang diserap akan
menyebabkan elektron tereksitasi dari ground state ke excited state. Hal ini disebabkan
keadaan elektron di excited state kurang stabil maka elektron kembali ke ground state sambil
melepaskan energi, kemudian energi tersebut diteruskan ke detektor dan dibaca sebagai nilai
absorbansi (Panji, 2012).
Pemberian asam salisilat secara per oral, diabsorpsi langsung di usus halus melalui
difusi pasif. Asam salisilat mencapai plasma darah dalam waktu 30 menit dan mencapai
konsentrasi puncaknya setelah 1-2 jam. Kecepatan absorpsi x ekskresi bergantung pada jenis
preparat, besar dosis dan individu (Rainsford,2013).
Menurut Gilman (2008) dalam bukunya menerangkan bahwa absorpsi merupakan
proses perpindahan obat atau suatau senyawa dari tempat pemberiannya ke dalam darah
melalui proses difusi pasif. Namun ada beberapa pemahaman tentang absorpsi yang berbeda
beda. Secara tradisional, absorpsi terjadi ketika obat mencapai sirkulasi sistemik, atau kadang-
kadang ketika mencapai aliran darah vena porta. Dalam beberapa tahun terakhir, definisi baru
disajikan, di mana obat diasumsikan diserap ketika meninggalkan lumen dan melintasi
membran apikal enterosit yang melapisi usus (GastroPlus manual) (Shargel And Yu, 2016).
Absorpsi obat terjadi melalui beberapa proses :
1. Difusi pasif. Dimana pada proses difusi pasif tenaga penggerak absorpsi suatu obat
adalah perbedaan konsentrasi antarmembran pemisah dua kompartemen tubuh.
Molekul obat berpindah dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah . difusi pasif
tidak melibatkan suatu barrier. Sebagian besar obat masuk ke dalam tubuh melalui
cara ini (Harvey and Champe, 2009).
2. Tranport aktif : cara ini melibatkan protein karier pada membrane sel. Transport aktif
bergantung pada energy dan diatur oleh hidrolisis ATP. Transport aktif ini mamapu
memindahkan obat dengan melawan gradient konsentrasi, yaitu dari bagian yang
konsentrasi rendah menuju bagian dengan konsentrasi tinggi(Harvey and Champe,
2009).
3. Endositosis dan eksositosis. Cara ini digunakan untuk memindahkan obat dengan
molekul besar melintasi membrane sel. Endositosis merupakan pengambilan molekul
obat oleh membrane dan transport ke dalam sel menggunakan vesikel. Eksositosis
merupakan cara untuk mengeluarkan obat dari dalam vesikel untuk dilepaskan ke
permukaan sel (Harvey and Champe, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat :
1. Sifat fisiko-kimia obat dan keadaan lingkungan dari tempat absorpsi seperti kelarutan,
stabilitas, lipofilisitas, dan pH(Shargel And Yu, 2016; Waterbeemd and Testa, 2009).
a. Kelarutan, obat yang sangat hidrofilik kurang diabsorpsi karena ketidak
mampuannya menembus membrane sel yang kaya akan lipid. Sebaliknya obat
yang sangat hidrofobik juga diabsorpsi kurang karena tidak dapat melewati cairan
tubuh yang hidrofobik sehingga sulit mencapai permukaan (Harvey and Champe,
2009). Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan sering
kali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan
terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tahap yang
paling lambat didalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu
kecepatan (rate-limiting step)
a. pH, berdasarkan konsep partisi pH diprediksikan bahwa obat-obat golongan asam
lemah organic lebih baik di absorpsi di dalam lambung dari pada di intestinum
karena fraksi non ionic dari zatnya yang larut dalam lipid lebih besar dari pada
kalau berada di dalam usus yang pHnya lebih tinggi. Sebaliknya, obat yang
memiliki golongan basa lemah organic akan lebih baik terabsorpsi di dalam
intestinum (Gilman, 2008). Hubungan antara pH lingkungan dan pKa terhadap
derajat ionisasi molekul dirumuskan oleh Handerson dan Hasselbach dalam
persamaan:
Persamaan regresi t vs Qkum untuk menghitung lag time dan konstanta permeabilitas
(k). Lag time adalah waktu yang diperlukan obat (asam salisilat) untuk menembus membran
di lambung dan di usus. Lag time obat asam salisilat dari data pada pH 1,2 (pH lambung)
perlakuan I adalah -4,098 menit, perlakuan II adalah 10,957 menit. Sementara pada pH 7,5
(pH usus) perlakuan I adalah 0,630 menit, perlakuan II adalah -8,429 menit. Persamaan
regresi t vs Qkum pada pH 1,2 perlakuan I adalah y = 0,051x – 0,209, perlakuan II adalah y =
0,046x – 0,504 dan pada pH 7,5 perlakuan I adalah y = 0,054x – 0,034, perlakuan II adalah y
= 0,014x + 0,118.
Selanjutnya adalah menghitung persen terionisasinya obat. Pada pH 1,2, obat yang
terion adalah sebesar 1,575% dan yang tidak terion sebesar 98,425%. Pada pH 7,5, obat yang
terion adalah sebesar 99,997% dan obat yang tidak terion sebesar 0,003162%. Dari hasil
percobaan, asam salisilat lebih mudah terabsorpsi pada pH 1,2 yang diibaratkan seperti pH
lambung dibandingkan pada pH 7,5 yang diibaratkan sebagai usus halus. Hasil data yang
didapatkan sesuai dengan teori, yaitu obat yang bersifat asam lemah seperti asam salisilat
dengan pKa 2,98 akan lebih banyk terabsorpsi pada lambung.
Sedangkan dari data lag time yang diperoleh dari percobaan dapat dikatakan asam
salisilat lebih cepat terabsorpsi dalam lambung daripada diusus, sehingga semakin banyak
pula obat asam salisilat yang terabsorbsi di lambung. Menurut teori, permeabilitas obat asam
salisilat lebih besar dilambung daripada diusus, sehingga data yang didapat telah sesuai
dengan teori dimana teori partisi Handerson-Hasselbach, obat asam salisilat terabsorpsi lebih
besar/lebih banyak dilambung daripada diusus, karena pada lambung obat dalam bentuk
molekul yang dapat terabsorpsi lebih banyak dibandingkan bentuk ionnya karena pH lambung
yang asam (pH 1,2).
G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Proses absorbsi obat dalam saluran pencernaan meliputi disolusi obat, pelepasan obat,
pelarutan obat dalm cairan dalam saluran pencernaan dan absorbsi melalui membran
sel menuuju sirkulasi sistemik terjadi dengan difusi pasif.
2. Pengaruh pH terhadap absorbsi obat dengan rumus Handerson – Haselbach adalah
dimana obat akan mudah diabsorbsi pada pH lambung dalam bentuk molekulnya
apabila obat dalam bentuk asam atau asam lemah. Jika obat bersifat basa atau basa
lemah, akan diabsorbsi diusus halus yang memiliki pH basa sehingga obat juga dapat
menjadi bentuk molekul. Pada praktikum didapatkan :
a. k pH 1,2 (lambung) > k pH 7,5, sesuai dengan teori Handerson-Hasselbach
Pada pH 1,2, obat yang terion adalah sebesar 1,575% dan yang tidak terion
sebesar 98,425%. Pada pH 7,5, obat yang terion adalah sebesar 99,997% dan
obat yang tidak terion sebesar 0,003162%.
b. Q kum pH 1,2 > 7,5, sesuai dengan teori
c. Lag time pH 1,2 < Lag time pH 7,5 sesuai dengan teori Handerson-Hasselbach
3. Persamaan regresi linear jumlah kumulatif obat yang ditranspor sebagai fungsi waktu
diperoleh dari kurva t vs Q kum
Waktu vs Q kum perlakuan 1 pH 1,2
Y = 0,051x + 0,208, dengan r = 0,999
Lag time = 10,957 menit
Waktu vs Q kum Perlakuan 2 pH 1,2
Y = 0,046x – 0,504 ; dengan r = 0,987
Lag time = 10,957 menit
Waktu vs Q kum perlakuan 1 pH 7,5
Y = 0,054x – 0,034 dengan r = 0,992
Lag time = 0,63 menit
Waktu vs Q kum perlakuan 2 pH 7,5
Y = 0,014x + 0,118 dengan r = 0,985
Lag time = 0,842 menit
H. Diskusi
1. Buatlah grafik hubungan antara jumlah kumulatif obat yang ditrasport sebagai fungsi
waktu sampling!
2. Hitunglah tetapan permeabilitasnya (k) dan lag time!
3. Bandingkan permeabilitas obta pada dua pH yang berbeda!
Jawab:
1. Grafik
pH usus 7,5
t vs Qkumulatif (Terkoreksi 1)
2.5
2
Qkumulatif
1.5
1
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
t vs Qkumulatif (Terkoreksi 2)
2.5
2
Qkumulatif
1.5
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
pH Lambung 1,2
t vs Qkumulatif (Terkoreksi 1)
2.5
2
Qkumulatif
1.5
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
t vs Qkumulatif (Terkoreksi 2)
2.5
2
Qkumulatif
1.5
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
k = 0,039 ml/menit
2) Regresi linear t vs Q kumulatif 2
a = 0,118
b = 0,014
r =0,985
Y = 0,014x + 0,118
Slope =0,014
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,014
k = 0,01 𝑥 138,12
k = 0,01 ml/menit
Rata-rata nilai K
K1+k2
k= 2
0,039ml/menit+0,010ml/menit
k= 2
= 0,0245 ml/menit
Lag time
perlakuan 1
y = 0,054x- 0,034
o = 0,054x- 0,034
x = 0,630 menit
perlakuan 2
y = 0,014x- 0,034
o = 0,014x- 0,034
x = -8,429 menit
b. Perlakuan pH 7,5 (usus)
1) Regresi linear t vs Q kumulatif 1
a = -0,034
b = 0,054
r =0,992
Y = 0,054x – 0,034
Slope =0,054
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,054
k = 0,01 𝑥 138,12
k = 0,039 ml/menit
2) Regresi linear t vs Q kumulatif 2
a = 0,118
b = 0,014
r =0,985
Y = 0,014x + 0,118
Slope =0,014
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,014
k = 0,01 𝑥 138,12
k = 0,01 ml/menit
Rata-rata nilai K
K1+k2
k= 2
0,039ml/menit+0,010ml/menit
k= 2
= 0,0245 ml/menit
Lag time
perlakuan 1
y = 0,054x- 0,034
o = 0,054x- 0,034
x = 0,630 menit
perlakuan 2
y = 0,014x- 0,034
o = 0,014x- 0,034
x = -8,429 menit
3. Pada pH 1.2, obat yang terion sebesar 1.575%. Sedangkan pada pH 7.5, obat yang
terion sebesar 99.997%. Data tersebut menandakan bahwa permeabilitas obat (asam
salisilat) jauh lebih besar di lambung (+/- pH 1.2) dibandingkan dengan usus (+/- pH
7.5).
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H. C. 2011. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Edisi IV). Jakarta : Universitas
Indonesia.
Balatan, N. G, dan Bobick, J. G. 2014. Ilmu Pengetahuan Anatomi dan Fisiologi. Jakarta :
Indeks. hal. 295, 296.
Dobaria N. B., Masharu R. C., Badhan A. C., Thakkar A. R., 2009, A Novel Intravaginal
Delivery System for Itraconazole : In Vitro and In Vivo Evaluation. Curr Drug Deliv. 6
(2) : 151-158.
Gilman, A. G., 2008. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi 10. Jakarta : Penerbit buku kedokteran
EGC,4-6.
Hakim, 2015. Farmakokinetik Klinik. Edisi I. Yogyakarta : Bursa Ilmu. hal. 14.
Harvey, R. A. and Champe, P. C., 2009. Lippincott’s Illustrated Reviews : Pharmacology. 4th
Edition. New York : Lippincott William and Wilkins, 5-9.
IUPHAR, 2019. Drug Absorption.
https://www.pharmacologyeducation.org/pharmacology/drug-absorption. Diakses pada
3 Mei 2019
Panji, T., 2012, Teknik Spektroskopi untuk Elusidasi Struktur Molekul, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Prihapsara F., Arfanti, A. N., Muruknihadi, M., 2015. The Influence Of Polyvinylpyrrolidone
(PVP) On Piroxicam Absorbtion With Everted Intenstinal Sac Method. Media Farmasi
Jurnal, Departemen Of Pharmacy. Faculty Of Mathematic and Science Sebelas Maret
University, UGM, hal.34.
Pubchem, 2019, Salicylic Acid, https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/salicylic_acid
#section=2D-Structure, diakses pada 11 Mei 2019.
Rainsford, D., 2013, Aspirin and Related Drug, Erlangga, Jakarta.
Riswiyanto, 2009 , Kimia Organik, Erlangga, Jakarta.
Shargel, L & Andrew, B. 1999. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan (Edisi II).
Surabaya : Airlangga University Press.
Shargel, L., and Yu, A. B. C., 2012. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. 7th
edition. New York : MCGraw-Hill Education, 177.
Steward, M.J, Watson, I.D., 1987. Analytical Rewiews in Clinical Chemistry : Methods for
The Estimation of Salicylate and Paracetamol in Serum, Plasma and Urine. Analytical
Review in Clinical Biochemistry., 24, 553.
Suhartati, Tati. 2017. Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrofotometri Massa
untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama
Raharja. 2-5.
Takano, M., Yumoto, R. Murakami, T. 2006. Expression And Function Of Efflux Drug
Transporters In The Intestine. 109, pp. 137–161.
Van de Waterbeemd, H., and Testa, B., 2009. Drug Bioavailability : Estimation Of Solubility,
Permeability, Absorption, and Bioavailability. Volume 40. New York : Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co. KGaA, 34.
Varshosaz J.,et al.,2008, Dissolution Enhancement of Gliclazide Using In Situ Micronization
by Solvent Change Method. Powder Tec,.187 : 220-300.
Zulkarnain, A. K., Kurniawati, T., dan Kusumawida, A., 2008. Pengaruh penambahan tween
80 dan polietilen glikol 400 terhadap absorpsi piroksikam melalui lumen usus in situ.
Majalah Farmasi Indonesia, vol 19(1), 25-31.