Anda di halaman 1dari 28

PERCOBAAN IV

Uji Absorbsi Obat Asam Salisilat Secara In Vitro Dengan Teknik Usus Terbalik Pada
Tikus Jantan Putih Dengan Metode Spektofotometer Visible
A. Tujuan
1. Mampu menjelaskan proses absorbsi obat asam salisilat dalam saluran percernaan.
2. Mampu menjelaskan pengaruh pH terhadap absorbansi obat asam salisilat dengan
rumus Handerson-Hasselbach.
3. Mampu membuat grafik hubungan antara jumlah kumulatif obat asam salisilat yang
ditransport sebagai fungsi waktu.
B. Latar Belakang
Pada umumnya, manusia sering mengkonsumsi obat ataupun makanan secara oral.
Obat yang diberikan secara oral akan diteruskan ke sirkulasi darah disebut dengan
absorbsi obat. Absorbsi dapat dilakukan dengan memberi obat melewati beberapa jalur
pemberian (secara PO, rektal, IM, SC, inhalasi, topical, dsb). Bila obat diadministrasikan
secara intravena, maka kebutuhan akan absorbsi tidak ada (IUPHAR, 2019). Proses
absorpsi yang terjadi sangat ditentukan oleh sifat fisiko kimia dari satu molekul obat,
seperti kelarutan obat. Obat-obat yang memiliki kelarutan kecil di dalam air akan
menyebabkan jumlah obat yang diabsorpsi menjadi kecil (Shargel & Andrew, 1999).
Absorbsi obat setelah penggunaan melalui mulut dapat terjadi pada berbagai tubuh
antara rongga mulut dan anus. Umumnya hal penting yang diharapkan dari sebagian besar
contoh adalah makin tinggi absorbsi suatu obat sepanjang saluran makanan, kerjanya akan
lebih cepat. Bagaimanapun karena perbedaan secara fisika dan kimia di antara zat obat
serta bentuk sediaan dimana obat diberikan ke dalam tubuh, maka suatu obat mungkin
akan diabsorbsi lebih baik pada suatu keadaan lingkungan daripada lainnya, tanpa
memandang tempatnya yang berhubungan satu sama lain didalam saluran cerna (Ansel,
2011).
pH dari system saluran cerna meningkat maju sepanjang saluran mulai dari pH
sekitar 1 dalam lambung sampai lebih kurang pH 8 pada tempat yang paling ujung dari
usus. pH punya kelakuan tertentu terhadap derajat ionisasi dari kebanyakan obat, dan ini
selanjutnya mempengaruhi kelarutan lipid, permeabilitas membrane dan absorbsi. Karena
sebagian besar obat diabsorbsi secara difusi pasif melalui dinding lipoid maka koefisien
partisi lipid/air dan pKa obat merupakan hal penting yang utama terhadap derajat dan
tempat absorbs obat dalam system saluran cerna (Ansel, 2011).
Dalam hal cara pemilihan pemberian obat dan dalam merancang bentuk sediaan,
factor absorbsi obat sangatlah penting(Ansel, 2011). Pada pemberian sediaan obat secara
ekstravaskular, molekul obat harus terlepas dari vesikel (bahan pembawa) dan larut di
dalam cairan tubuh di daerah tempat pemberian obat. Dalam hal pemberian obat per oral,
molekul obat harus larut di dalam cairan lumen usus sebelum terabsorpsi. Kecepatan dan
jumlah obat yang terabsropsi tergantung pada sifat fisika dan kimiawi obat (Hakim, 2015).
Usus halus merupakan tempat utama untuk penyerapan senyawa yang dicerna,
baik itu senyawa yang bergizi, senyawa untuk terapi, atau senyawa yang beracun.
Enterosit usus akan membentuk penghalang selektif untuk xenobiotik dan obat-obatan
yang terdiri dari membran transporter yang spesifik dan biotransformasi enzim (Takano,
2006). Terdapat villi yang dapat meningkatkan area penyerapan usus halus. Pengujian
absorbsi suatu obat dapat dilakukan secara in vitro dengan menggunakan teknik usus
terbalik. Uji in vitro dilakukan untuk mengukur kecepatan, banyaknya obat dalam
membran, serta dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh pH terhadap absorbsi suatu
obat dalam tubuh (Balatan dan Bobick, 2014).
C. Alat dan Bahan
1. Alat
 Tabung Crane dan Wilson  Pengaduk Kaca
 Kanula  Labu Takar 10, 25, 50 mL
 Spektrofotometer Visibel  Papan Bedah
 Waterbath  Gunting Bedah
 Timbangan Analitik  Jarum
 pH meter  Lidi
 Gelas Beker  Pinset
 Tabung Sentrifuge  Stopwatch
 Pipet Tetes  Statis
 Pipet Volume  Benang
 Penjepit  Vortex
 Pipet ukur 0,5;1;2;3 mL  Sentrifugator
 Glassfirn  Air Pump
 Cawan Petri

2. Bahan
 Tikus jantan putih
 Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2)
 Cairan usus buatan tanpa pankreatinin (pH 7,5)
 Larutan NaCl 0,9% b/v
 Asam salisilat
 Eter
 Gas Oksigen
 Alkohol
 Reagen Trinder

D. Skema Kerja
1. Pembuatan larutan stok asam salisilat
Larutan stok asam salisilat konsentrasi 1mg/mL dibuat sebanyak 50 mL (dilarutkan
menggunakan NaCl 0.9%)

Sebanyak 5 mL diambil, dimasukkan kedalam labu takar 50 mL

NaCl 0.9% kemudian ditambahkan hingga tanda batas


2. Pembuatan larutan intermediet
Dari larutan stok selanjutnya dibuat larutan intermediet 0.02; 0.03; 0.04; 0.05; 0.06;
0.07 mg/mL
(diencerkan dengan larutan serosal NaCl 0.9% dan di add 10 mL)
3. Penentuan OT
Larutan intermediet 0.05 mg/mL diambil sebanyak 3.5 mL

Reagen Trinder sebanyak 1.5 mL ditambahkan, kemudian didiamkan selama OT (5, 10,
dan 15 menit)

Absorbansi pada λ teoritis kemudian dibaca

4. Penentuan λ maksimum
Larutan intermediet 0.02; 0.05; 0.07 mg/mL diambil sebnyak 3.5 mL
Sebanyak 1.5 mL Reagen Trinder ditambahkan, kemudian didiamkan selama OT yang
diperoleh

Absorbansi kemudian dibaca


5. Pembuatan kurva baku
Tiap larutan intermediet diambil sebanyak 3.5 mL

Sebanyak 1.5 mL Reagen Trinder ditambahkan, kemudian didiamkan selama OT yang


diperoleh

Absorbansinya kemudian dibaca pada λ maksimal


6. Penentuan absorbansi asam salisilat in vitro
Tikus dipuasakan selama 24 jam, dan hanya diberi air minum mask ad linitium

Pada hari percobaan tikus dikorbankan (dibius dengan eter)

Perutnya kemudian dibuka sepanjang linea mediana dan usus dikeluarkan serta
dibersihkan

Usus sepanjang 15 cm dibawah pylorus dibuang dan diambil 20 cm selanjutnya dari


usus yang sama untuk percobaan (disebut usus perlakuan)

Usus perlakuan dibagi menjadi dua sama panjang dan dibersihkan

Bagian anal digunakan untuk kontrol

Ujung anal dari potongan usus tersebut diikat dengan benang


Kemudian dengan menggunakan batang lidi, usus tersebut dibalik, sehingga bagian
mukosa berada diluar

Kanula dimasukkan keujung oral (bagian yang tidak diikat)

Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi dengan cairan serosa
1.4 mL larutan NaCl 0.9% b/v
Kantong usus yang telah berisi cairan serosal ini dimasukkan dalam tabung yang sudah
berisi carian mukosal 50 mL cairan lambung buatan pH 1.2 dan pH 7.5 yang
mengandung asam salisilat

Selama percobaan seluruh bagian usus harus terendam dalam cairan mukosal

Kadar obat dalam cairan serosal diukur pada 15, 30, 45, dan 60 menit

Seluruh cairan serosal kemudian diambil melalui kanula, lalu dimasukkan kedalam
tabung sentrifuge

Usus segera dicuci 2x dengan 1.4 mL larutan NaCl 0.9% b/v

Cairan hasil pencucian dimasukkan di tabung tabung sentrifuge yang sama

Cairan serosal yang telah didapatkan kemudian disentrifuge selama 5 menit

Cairan sampel yang didapatkan sebagai hasil sentrifugasi kemudian diambil bagian
jernihnya (supernatan) pada volume yang sama (2.5 mL)

Kemudian ditambahkan 1 mL Reagen Trinder

Larutan tersebut divortex 1 menit, ditunggu selama OT dan kemudian dibaca


absorbansinya pada λ maksimal

Kontrol percobaan diperlakukan sama, tetapi cairan mucosal tidak mengandung asam
salisilat
Catatan:
1. Cairan mukosal: 0.01 M asam salisilat dalam cairan lambung buatan tanpa pepsin pH
1.2 dan dalam cairan usus buatan tanpa pankreatinin pH 7.5
Ditimbang asam salisilat 0,345 g

Dilarutkan dengan sedikit alkohol


Ditambahkan cairan lambung buatan tanpa pepsin pH 1.2 dengan cara gerus tuang dari
gelas beker ke labu takar dan ad hingga 250 ml

Ditimbang asam salisilat 0,345 g

Dilarutkan dengan sedikit alkohol

Ditambahkan cairan usus buatan tanpa pankreatin pH 7.5 dengan cara gerus tuang dari
gelas beker ke labu takar dan ad hingga 250 ml

E. Perhitungan Data dan Kurva


MEJA 1
1. Perhitungan stok Asam salisilat
Berat Asam salisilat konsentrasi 0.1%
0,1
= 100 x 50 ml = 0,05 gram = 50 mg

Data penimbangan Asam salisilat


Berat wadah kosong = 0,243 g
Berat wadah + isi = 0,300 g
Berat wadah+ sisa = 0,244 g
Berat isi = 0,056 g
2. Operating time
t ( menit ) Absorbansi
5 0,477
10 0,699
15 0.563
OT yang digunakan adalah 10 menit
3. Panjang gelombang maksimum (λmaks) adalah 525 nm
4. Kurva baku
Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi
0,02 0,285
0,03 0,369
0,04 0,449
0,05 0.562
0,06 0,621
0,07 0.703
Regresi linier
a = 0,118
b = 8,454
r = 0,998
y = bx + a
y = 8,454x + 0,118

Konsentrasi vs Absorbansi
0.8

0.6
Konsentrasi

0.4

0.2

0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08
Absorbansi

5. Tabel Perlakuan pH 7,5(usus)

t Abs Abs Abs Abs Abs


(menit) kontrol perlakuan 1 Perlakuan 2 Terkoreksi 1 Terkoreksi 2

15 0,164 1,587 0,867 1,423 0,203


30 0,106 2,382 0,810 2,276 0,704
45 0,046 1,632 0,601 1,586 0,555
60 0,159 1,543 0,530 1,384 0,371

a. Konsentrasi terkoreksi 1(mg/ml)


Y= 8,454x+ 0,118
 15 menit
1,423 = 8,454x+0,118
X =0,154mg/ml
 30 menit
2,276 =8,454x+0,118
X =0,255mg/ml
 45 menit
1,586 =8,454x+0,118
X =0,174mg/ml
 60 menit
1,384 =8,454x+0,118
X =0,150mg/ml
b. Konsentrasi (C) terkoreksi 2
 15 menit
0,703 = 8,454x+0,118
X = 0,069 mg/ml
 30 menit
0,704 = 8,454x+0,118
X = 0,069 mg/ml
 45 menit
0,555 = 8,454x+0,118
X = 0,052 mg/ml
 60 menit
0,371 = 8,454x+0,118
X = 0,030 mg/ml
c. Q terkoreksi 1
Q =C.Q
 Q15 menit = 0,154 mg/ml x 4,2 ml
= 0,647 mg
 Q30 menit = 0,255 mg/ml x 4,2 ml
= 1,071 mg
 Q45 menit = 0,174 mg/ml x 4,2 ml
= 0,731 mg
 Q60 menit = 0,150 mg/ml x 4,2 ml
= 0,630 mg
d. Q terkoreksi 2
 Q15 menit = 0,069 mg/ml x 4,2 ml
= 0,290 mg
 Q30 menit = 0,069mg/ml x 4,2 ml
= 0,290 mg
 Q45 menit = 0,052 mg/ml x 4,2 ml
= 0,218 mg
 Q60 menit = 0,030 mg/ml x 4,2 ml
= 0,126 mg
e. Tabel
Waktu (menit) Q terkoreksi 1 Q kumulatif 1 Q terkoreksi 2 Qkumulatif 2
(mg) (mg) (mg) (mg)
15 0,647 0,647 0,290 0,290
30 1,071 1,718 0,290 0,580
45 0,731 2,449 0,218 0,798
60 0,630 3,079 0,126 0,924
e. Regresi linear t vs Q kumulatif 1
a = -0,034
b = 0,054
r =0,992
Y = 0,054x – 0,034
Slope =0,054
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,054
k = 0,01 𝑥 138,12

k = 0,039 ml/menit

t vs Qkumulatif (Terkoreksi 1)
2.5
2
Qkumulatif

1.5
1
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
f. Regresi linear t vs Q kumulatif 2
a = 0,118
b = 0,014
r =0,985
Y = 0,014x + 0,118
Slope =0,014
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,014
k = 0,01 𝑥 138,12

k = 0,01 ml/menit

t vs Qkumulatif (Terkoreksi 2)
2.5

2
Qkumulatif

1.5

0.5

0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)

g. Rata-rata nilai K
K1+k2
k= 2
0,039ml/menit+0,010ml/menit
k= 2

= 0,0245 ml/menit
h. Lag time
1) perlakuan 1
y = 0,054x- 0,034
o = 0,054x- 0,034
x = 0,630 menit
2) perlakuan 2
y = 0,014x- 0,034
o = 0,014x- 0,034
x = -8,429 menit
j. Persamaan Handerson Hasselbach
[𝐴− ]
Ph = pKa + log 𝐻𝐴
[𝐴− ]
7,5 = 3 + log 𝐻𝐴
[𝐴− ]
4,5 = log 𝐻𝐴
[𝐴− ] 31622,77
=
𝐻𝐴 1
1
% terionkan = 31622,77 x 100% = 99,997 %
1
% tidak terionkan = 31622,77 x 100% = 0,00316%

6. Tabel perlakuan Ph 1,2 (Lambung)


Waktu (menit) Abs Abs Abs Abs Abs
kontrol perlakuan perlakuan terkoreksi terkoreksi
1 2 1 2
15 0,328 2,422 1.084 2,094 0,756

30 0,562 2,165 1.471 1,603 0,409

45 0,118 1,940 1,749 1,822 1,631

60 0,105 1,632 2,010 1,527 1,905

a. Konsentrasi terkoreksi 1(mg/ml)


 15 menit
2,094 = 8,454x+0,118
X =0,234mg/ml
 30 menit
1,603 =8,454x+0,118
X =0,176mg/ml
 45 menit
1,822 =8,454x+0,118
X =0,202mg/ml
 60 menit
1,527 =8,454x+0,118
X =0,167mg/ml
b. Konsentrasi terkoreksi 2
 15 menit
0,756 = 8,454x+0,118
X = 0,075 mg/ml
 30 menit
0,909 = 8,454x+0,118
X = 0,094mg/ml
 45 menit
1,631 = 8,454x+0,118
X = 0,179 mg/ml
 60 menit
1,905 = 8,454x+0,118
X = 0,211 mg/ml
c. Q terkoreksi 1
 Q15 menit = 0,234 mg/ml x 4,2 ml
= 0,983 mg
 Q30 menit = 0,176 mg/ml x 4,2 ml
= 1,739 mg
 Q45 menit = 0,202 mg/ml x 4,2 ml
= 0,848 mg
 Q60 menit = 0,167 mg/ml x 4,2 ml
= 0,701mg
d. Q terkoreksi 2
 Q15 menit = 0,075 mg/ml x 4,2 ml
= 0,315 mg
 Q30 menit = 0,094 mg/ml x 4,2 ml
= 0,395 mg
 Q45 menit = 0,179 mg/ml x 4,2 ml
= 0,752 mg
 Q60 menit = 0,211 mg/ml x 4,2 ml
= 0,886 mg
e. Tabel
Waktu Q terkoreksi 1 Q kumulatif 1 Q terkoreksi 2 Q kumulatif 2
(menit) (mg) (mg) (mg) (mg)
15 0,983 0,315 0,983 0,315
30 0,739 0,395 1,722 0,710
45 0,848 0,752 2,570 1,462
60 0,701 0,886 3,271 2,348
f. Regresi linear t vs Q kumulatif 1
a = 0,029
b = 0,051
r =0,999
Y = 0,051x – 0,029
Slope =0,051
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,051
k = 0,01 𝑥 138,12

k = 0,037 ml/menit

t vs Qkumulatif (Terkoreksi 1)
2.5

2
Qkumulatif

1.5

0.5

0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)

g. Regresi linear t vs Q kumulatif 2


a = -0,054
b = 0,046
r =0,987
Y = 0,046x + (0,504)
Slope =0,046
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,46
k = 0,01 𝑥 138,12

k = 0,033 ml/menit

t vs Qkumulatif (Terkoreksi 2)
2.5

2
Qkumulatif

1.5

0.5

0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)

h. Rata-rata nilai K
K1+k2
k= 2
0,037ml/menit+0,033ml/menit
k= 2

= 0,035 ml/menit
i. Lag time
3) perlakuan 1
y = 0,051x- 0,209
o = 0,051x- 0,209
x = -4,098 menit
4) perlakuan 2
y = 0,014x- 0,054
o = 0,046x- 0,054
x = 10,957 menit
j. Persamaan Handerson Hasselbach
[𝐴− ]
Ph = pKa + log 𝐻𝐴
[𝐴− ]
1,2 = 3 + log 𝐻𝐴
[𝐴− ]
-1,8 = log 𝐻𝐴
[𝐴− ] 0,016
=
𝐻𝐴 1
0,016
% terionkan = 1,016 x 100% = 1,575 %
1
% tidak terionkan = 1,016 x 100% = 98,425%

F. Pembahasan
Tujuan praktikum ini adalah mampu menjelaskan proses absorbsi obat asam salisilat
dalam saluran pencernaan, mampu menjelaskan pengaruh pH terhadap absorbsi obat asam
salisilat dengan rumus Handersson-Hasselbach serta mampu membuat grafik hubungan antara
jumlah kumulatif obat yang ditransport sebagai fungsi waktu. Obat yang digunakan dalma
praktikum ini adalah asam salisilat. Struktur asam Salisilat:

(Pubchem, 2019)
Asam salisilat memiliki nilai pKa 2,98 pada suhu 20°C. Asam salisilat sangat larut
dalam etanol, methanol, larut dalam kloroform, benzena, propanol, sedikit larut dalam air.
(Riswiyanto, 2009).Asam salisilat bertindak sebagai obat analgesik, antipiretik. Asam salisilat
memiliki sifat asam lemah. Berdasarkan teori “like dissolve like” dalam dapar asam senyawa
tersebut akan lebih banyak dalam bentuk molekulnya. (Rainfords, 2013).
Asam salisilat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-Visibel.
Asam saisilat memiliki gugus kromofor karena cincin aromatik yang dapat mengabsorbsi
radiasi elektromagnetik yang
dihasilkan oleh spektrofotometer UV-
Vis. Prinsip dari spektrofotometer
visibel adalah radiasi elektromagnetik
dalam bentuk cahaya polikromatis
yang diubah oleh monokromator
menjadi cahaya monokromatis yang
akan dilewatkan pada sampel. Energi
cahaya yang diserap akan
menyebabkan elektron tereksitasi dari ground state ke excited state. Hal ini disebabkan
keadaan elektron di excited state kurang stabil maka elektron kembali ke ground state sambil
melepaskan energi, kemudian energi tersebut diteruskan ke detektor dan dibaca sebagai nilai
absorbansi (Panji, 2012).
Pemberian asam salisilat secara per oral, diabsorpsi langsung di usus halus melalui
difusi pasif. Asam salisilat mencapai plasma darah dalam waktu 30 menit dan mencapai
konsentrasi puncaknya setelah 1-2 jam. Kecepatan absorpsi x ekskresi bergantung pada jenis
preparat, besar dosis dan individu (Rainsford,2013).
Menurut Gilman (2008) dalam bukunya menerangkan bahwa absorpsi merupakan
proses perpindahan obat atau suatau senyawa dari tempat pemberiannya ke dalam darah
melalui proses difusi pasif. Namun ada beberapa pemahaman tentang absorpsi yang berbeda
beda. Secara tradisional, absorpsi terjadi ketika obat mencapai sirkulasi sistemik, atau kadang-
kadang ketika mencapai aliran darah vena porta. Dalam beberapa tahun terakhir, definisi baru
disajikan, di mana obat diasumsikan diserap ketika meninggalkan lumen dan melintasi
membran apikal enterosit yang melapisi usus (GastroPlus manual) (Shargel And Yu, 2016).
Absorpsi obat terjadi melalui beberapa proses :
1. Difusi pasif. Dimana pada proses difusi pasif tenaga penggerak absorpsi suatu obat
adalah perbedaan konsentrasi antarmembran pemisah dua kompartemen tubuh.
Molekul obat berpindah dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah . difusi pasif
tidak melibatkan suatu barrier. Sebagian besar obat masuk ke dalam tubuh melalui
cara ini (Harvey and Champe, 2009).
2. Tranport aktif : cara ini melibatkan protein karier pada membrane sel. Transport aktif
bergantung pada energy dan diatur oleh hidrolisis ATP. Transport aktif ini mamapu
memindahkan obat dengan melawan gradient konsentrasi, yaitu dari bagian yang
konsentrasi rendah menuju bagian dengan konsentrasi tinggi(Harvey and Champe,
2009).
3. Endositosis dan eksositosis. Cara ini digunakan untuk memindahkan obat dengan
molekul besar melintasi membrane sel. Endositosis merupakan pengambilan molekul
obat oleh membrane dan transport ke dalam sel menggunakan vesikel. Eksositosis
merupakan cara untuk mengeluarkan obat dari dalam vesikel untuk dilepaskan ke
permukaan sel (Harvey and Champe, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat :
1. Sifat fisiko-kimia obat dan keadaan lingkungan dari tempat absorpsi seperti kelarutan,
stabilitas, lipofilisitas, dan pH(Shargel And Yu, 2016; Waterbeemd and Testa, 2009).
a. Kelarutan, obat yang sangat hidrofilik kurang diabsorpsi karena ketidak
mampuannya menembus membrane sel yang kaya akan lipid. Sebaliknya obat
yang sangat hidrofobik juga diabsorpsi kurang karena tidak dapat melewati cairan
tubuh yang hidrofobik sehingga sulit mencapai permukaan (Harvey and Champe,
2009). Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan sering
kali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan
terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tahap yang
paling lambat didalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu
kecepatan (rate-limiting step)
a. pH, berdasarkan konsep partisi pH diprediksikan bahwa obat-obat golongan asam
lemah organic lebih baik di absorpsi di dalam lambung dari pada di intestinum
karena fraksi non ionic dari zatnya yang larut dalam lipid lebih besar dari pada
kalau berada di dalam usus yang pHnya lebih tinggi. Sebaliknya, obat yang
memiliki golongan basa lemah organic akan lebih baik terabsorpsi di dalam
intestinum (Gilman, 2008). Hubungan antara pH lingkungan dan pKa terhadap
derajat ionisasi molekul dirumuskan oleh Handerson dan Hasselbach dalam
persamaan:

(Shargel and Yu, 2012).


2. Bentuk dan ukuran sediaan obat yang mempengaruhi kecepatan disolusi obat, kecepatan
ini berbanding langsung dengan luas permukaan yang memiliki kontak dengan
cairan/pelarut semakin kecil partikel, luas permukaan total semakin besar, sehingga obat
lebih mudah larut (Gilman, 2008).
3. Anatomi dan fisiologi dari tempat absorpsi, seperti luas area gastrointestinal, laju
pengosongan lambung, mobilitas gastrointestinal, dan aliran darah tempat absorpsi.
Aliran darah menuju usus jauh lebih besar daripada lairan darah menuju lambung,
sehingga absorpsi pada usus jauh lebih baik daripada absorpsi dilambung. Selain itu,
Usus memiliki permukaan yang kaya dengan mikrovili, namun dilambug terdapat epitel
dengan lapsan mukosa yang mukosa yang tebal dengan luas permukaan yang kecil.
Dengan dimikian, laju absorpsi obat diusus akan lebih besar daripada dilambung. Jika
mobilitas dari saluran cerna terjadi dengan cepata makan obat tidak dapat terabsorpsi
dengan baik, sebaliknya juga apa bila mobilitas saluran cerna terjadi secara lambat maka
akan memperlambat pula transport obat dari lambung menuju usus dan juga
memperlambat absorpsi obat. Maka, keberadaan makan akan memperlambat
pengosongan lambung maka memperlambat juga transport dan absorpsi suatu obat
(Harvey and Champe, 2009).
Absorpsi obat dapat terjadi dan ditentukan dengan beberapa metode uji yaitu
1. In vitro merupakan metode uji absorbsi obat yang dilakukan di luar tubuh makhluk hidup,
dapat menggunakan organ target tertentu dari subjek uji seperti metode usus terbalik.
Kondisi diluar tubuh subjek uji harus menyerupai kondisi seperti didalam tubuh subjek
uji. (Dobaria, Mashru, Badha, 2009).
2. In vivo merupakan uji yang dilakukan dengan sel hidup lain (hewan) yang mirip yang
terisolasi untuk menentukan kadar obat dalam plasma yang dapat digunakan untuk
memprediksi kinetika/orde proses absorbsi, kecepatan, absorbsi, klirens, kecepatan
eliminasi serta volume distribusi (Dobaria, Mashru, Badha, 2009)..
3. In situ merupakan metode uji absorbsi yang dilakukan dalam organ target tertentu yang
masih berada dalam sistem organisme hidup. Bedanya dengan uji in vivo adalah karena
pada uji in situ organ target tersebut diusahakan tidak dipengaruhi oleh organ lain
sehingga profil obat yang diamati hanya berdasarkan pada proses yang terjadi pada organ
tersebut tanpa dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada organ lainnya sedangkan
bedanya dengan uji in vitro adalah organ pada uji in situ masih menyatu dengan sistem
organisme hidup, masih mendapat suplai darah, dan suplai oksigen (Varshosaz, 2008)
Absorpsi in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan hilangnya obat
dari lumen usus halus. Metode ini digunakan untuk mempelajari berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap permeabilitas dinding usus (Zulkarnain dkk,2008).
Metode uji absorbsi yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode usus
terbalik secara in vitro menggunakan usus tikus jantan. Prinsip metode usus terbalik dilakukan
dengan cara membalik usus, membran mukosa bagian dalam usus yang mengandung
mikrovili berada diluar dan tetap mendapatkan oksigen, sehingga proses absorpsi yang terjadi
menyerupai proses absorpsi yang terjadi dalam tubuh Metode ini dianggap lebih mudah
karena dapat melihat kemampuan absorbsi usus dengan mengukur banyaknya obat yang
berpindah dari medium ke dalam usus (Prihapsara, 2015).
Dipilih tikus jantan karena tidak menyusui dan tidak hamil sehingga dapat
menghindari pengaruh absorbsi obat akibat aktivitas hormone. Sedangkan organ yang
digunakan adalah usus halus karena mempunyai banyak vili sehingga luas permukaannya
besar, apabila luas permukaan besar proses absorbsi akan berjalan lebih cepat.
Pada praktikum ini, dibuat larutan stok asam salisilat menggunakan pelarut NaCl
0,9% b/v yang dipilih karena sama dengan cairan fisiologis tubuh sehingga tidak
mempengaruhi hasil reaksi yang terjadi dan juga berguna untuk menghindari nekrosis sel-sel
pada usus. Asam salisilat berbentuk krisal, sehingga dilarukan terlebih dahulu dengan alkohol.
Dari larutan stok tersebut, dibuat larutan intermediet yang digunakan untuk menentukan kuva
baku. Kemudian OT ditentukan menggunakan campuran larutna intermediet dengan reagen
trinder. OT yang ddapatkan adalah sebesar 10 menit. Selanjutnya adalah menentukan panjang
gelombang maksimum dimana absoransi akan paling sensitif dan selektif pada panjang
gelombang tersebut. Panjang gelombang yang di peroleh adalah 525 nm. Reagen trinder
digunakan untuk memperpanjang gugus kromofor dan ausokrom agar dapat dibaca dengan
baik pada spektrofotometri visibel. Hal tersebut dapat terjadi karena reagen trinder
mengandung HgCl2, Ferri Nitrat dan HCl. Ferri Nitrat kemudian akan bereaksi dengan HgCl2
dan akan membentuk FeCl3. FeCl3 kemudian akan bereaksi dengan asam salisilat
membentuk kompleks berwarna ungu.
Pada percobaan ini, cara mengorbankan tikus adalah dengan diberikan eter. Untuk
mengambil cairan obat digunakan kanula yang dimasukkan pada usus yang terletak 15 cm
dari lambung dan diikat dengan benang. Pemilihan usus sepanjang 20 cm yang diukur mulai
dari 15 cm setelah lambung bertujuan untuk menghindari pengaruh pH usus. Kemudian usus
diletakkan dalam tabung yang berisi cairan lambung dan cairan usus. Cairan lambung berguna
untuk memberikan suasana pH asam seperti di dalam lambung, sedang kan cairan usus
berguna untuk memberikan suasana pH basa seperti di dalam usus.
Kemudian usus diinkubasi pada penangas air pada suhu 37⁰C yang merupakan suhu
tubu. Pada saat inkubasi tersebut, diberikan gas oksigen untuk memberikan kondisi seperti
pada tubuh. Pada menit ke 15, 30, dan 45 dihitung sejak usus diinkubasi mengambil cairan
serosal melalui kanula, segera dicuci 2 kali, dengan 1,4 mL NaCl 0,9% sebagai pembilas dan
hasil bilasan ditampung serta ditentukan kadar obat dalam cairan serosal dengan
spektrofotometer visibel. Prinsip kerja dari spektrofotometri tersebut adalah merubah cahaya
polikromatis menjadi monokromatis, lalu cahaya diteruskan ke sampel, dan sampel akan
menyerap energi sehingga mengalami eksitasi dari ground state menuju exited state. Energi
yang dilepas, ditangkap oleh detektor dan dibaca sebagai absorbansi. Panjang gelombang
yang bisa diukur pada spektrofotometer visible adalah 400-800 nm (Suhartati, 2017). Panjang
gelombang secara teoritis adalah 236 nm sehingga dapat dibaca pada spektrofotometri UV,
tapi pembacaan pada spektrofotometri UV tidak spesifik, sehingga digunakan spktrofotometri
Visibel (Steward and Watson, 1987).
Pada menit ke 15, 30, dan 45 dihitung sejak usus diinkubasi mengambil cairan
serosal melalui kanula, segera dicuci 2 kali, dengan 1,4 mL NaCl 0,9% sebagai pembilas dan
hasil bilasan ditampung serta ditentukan kadar obat dalam cairan serosal dengan
spektrofotometer visibel. Persamaan kurva baku asam salisilat yang diperoleh adalah Y =
8,454 x + 0,118 dengan r = 0,998. Dari persamaan kurva baku ini, dapat digunakan untuk
mencari kadar obat dalam cairan serosal yang terukur sebagai absorbansi (nilai konsentrasi),
kemdian konsentrasi yang didapatkan bisa digunakan untuk menghitung nilai Q. Nilai Q
tersebut dapat diolah untuk mendapatkan nlai regresi linier waktu vs Q kumulatif pada pH 1,2
dan 7,5. Nilai A, B, r pH 1,2 perlakuan 1 adalah A= 0,209; B=0,051; r= 0,999 dengan
persamaan regresi linier y=0,051x – 0,209. Nilai A, B, r pH 1,2 perlakuan 2 adalah A= -
0,504; B=0,046; r= 0,987 dengan persamaan regresi linier y=0,046x – 0,504. Sedangkan, nilai
A, B, r pH 7,5 perlakuan 1 adalah A= -0,034; B=0,054; r= 0,992 dengan persamaan regresi
linier y=0,054x – 0,034. Nilai A, B, r pH 7,5 perlakuan 2 adalah A=0,118; B=0,014; r= 0,99
dengan persamaan regresi linier y=0,014x – 0,118. Dari persamaan-persamaan tersebut, nilai
B berfungsi sebagai nilai slope, dimana nilai slope ini, dapat digunakan untuk menghitung
tetapan permeabilitas membrane dengan cara nilai slope dibagi nilai Cg (Cg didapatkan dari
jumlah asam salisilat dibagi volume yang digunakan). Pada pH 1,2 didapatkan nilai K
sebesar 0.037 mL/menit dan 0.033 mL/menit yang kemudian dirata-rata menjadi 0.035
mL/menit. Sedangkan, pada pH 7,5 didapatkan nilai K sebesar 0,039 mL/menit dan 0.010
mL/menit yang kemudian dirata-rata menjadi 0.0245 mL/menit. Tetapan permeabilitas
membrane ini menunjukkan banyak asam salisilat yang dapat menebus membrane per satuan
waktu, dimana pada praktikum ini satuan waktu yang digunakan adalah menit. Nilai K
(koefisien permeabilitas) dapat dihitung dengan membagi nilai slope pada kurva atau
persamaan linier waktu vs Q kumulatif dengan konsentrasi obat pada GI, rumus dapat
𝑏 𝑚𝑔/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
dituliskan sebagai berikut, 𝐾 = .
𝐶𝑔 𝑚𝑔/𝑚𝑙

Persamaan regresi t vs Qkum untuk menghitung lag time dan konstanta permeabilitas
(k). Lag time adalah waktu yang diperlukan obat (asam salisilat) untuk menembus membran
di lambung dan di usus. Lag time obat asam salisilat dari data pada pH 1,2 (pH lambung)
perlakuan I adalah -4,098 menit, perlakuan II adalah 10,957 menit. Sementara pada pH 7,5
(pH usus) perlakuan I adalah 0,630 menit, perlakuan II adalah -8,429 menit. Persamaan
regresi t vs Qkum pada pH 1,2 perlakuan I adalah y = 0,051x – 0,209, perlakuan II adalah y =
0,046x – 0,504 dan pada pH 7,5 perlakuan I adalah y = 0,054x – 0,034, perlakuan II adalah y
= 0,014x + 0,118.
Selanjutnya adalah menghitung persen terionisasinya obat. Pada pH 1,2, obat yang
terion adalah sebesar 1,575% dan yang tidak terion sebesar 98,425%. Pada pH 7,5, obat yang
terion adalah sebesar 99,997% dan obat yang tidak terion sebesar 0,003162%. Dari hasil
percobaan, asam salisilat lebih mudah terabsorpsi pada pH 1,2 yang diibaratkan seperti pH
lambung dibandingkan pada pH 7,5 yang diibaratkan sebagai usus halus. Hasil data yang
didapatkan sesuai dengan teori, yaitu obat yang bersifat asam lemah seperti asam salisilat
dengan pKa 2,98 akan lebih banyk terabsorpsi pada lambung.
Sedangkan dari data lag time yang diperoleh dari percobaan dapat dikatakan asam
salisilat lebih cepat terabsorpsi dalam lambung daripada diusus, sehingga semakin banyak
pula obat asam salisilat yang terabsorbsi di lambung. Menurut teori, permeabilitas obat asam
salisilat lebih besar dilambung daripada diusus, sehingga data yang didapat telah sesuai
dengan teori dimana teori partisi Handerson-Hasselbach, obat asam salisilat terabsorpsi lebih
besar/lebih banyak dilambung daripada diusus, karena pada lambung obat dalam bentuk
molekul yang dapat terabsorpsi lebih banyak dibandingkan bentuk ionnya karena pH lambung
yang asam (pH 1,2).

G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Proses absorbsi obat dalam saluran pencernaan meliputi disolusi obat, pelepasan obat,
pelarutan obat dalm cairan dalam saluran pencernaan dan absorbsi melalui membran
sel menuuju sirkulasi sistemik terjadi dengan difusi pasif.
2. Pengaruh pH terhadap absorbsi obat dengan rumus Handerson – Haselbach adalah
dimana obat akan mudah diabsorbsi pada pH lambung dalam bentuk molekulnya
apabila obat dalam bentuk asam atau asam lemah. Jika obat bersifat basa atau basa
lemah, akan diabsorbsi diusus halus yang memiliki pH basa sehingga obat juga dapat
menjadi bentuk molekul. Pada praktikum didapatkan :
a. k pH 1,2 (lambung) > k pH 7,5, sesuai dengan teori Handerson-Hasselbach
Pada pH 1,2, obat yang terion adalah sebesar 1,575% dan yang tidak terion
sebesar 98,425%. Pada pH 7,5, obat yang terion adalah sebesar 99,997% dan
obat yang tidak terion sebesar 0,003162%.
b. Q kum pH 1,2 > 7,5, sesuai dengan teori
c. Lag time pH 1,2 < Lag time pH 7,5 sesuai dengan teori Handerson-Hasselbach
3. Persamaan regresi linear jumlah kumulatif obat yang ditranspor sebagai fungsi waktu
diperoleh dari kurva t vs Q kum
 Waktu vs Q kum perlakuan 1 pH 1,2
Y = 0,051x + 0,208, dengan r = 0,999
Lag time = 10,957 menit
 Waktu vs Q kum Perlakuan 2 pH 1,2
Y = 0,046x – 0,504 ; dengan r = 0,987
Lag time = 10,957 menit
 Waktu vs Q kum perlakuan 1 pH 7,5
Y = 0,054x – 0,034 dengan r = 0,992
Lag time = 0,63 menit
 Waktu vs Q kum perlakuan 2 pH 7,5
Y = 0,014x + 0,118 dengan r = 0,985
Lag time = 0,842 menit
H. Diskusi
1. Buatlah grafik hubungan antara jumlah kumulatif obat yang ditrasport sebagai fungsi
waktu sampling!
2. Hitunglah tetapan permeabilitasnya (k) dan lag time!
3. Bandingkan permeabilitas obta pada dua pH yang berbeda!
Jawab:

1. Grafik
pH usus 7,5

t vs Qkumulatif (Terkoreksi 1)
2.5
2
Qkumulatif

1.5
1
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)

t vs Qkumulatif (Terkoreksi 2)
2.5

2
Qkumulatif

1.5

0.5

0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)
pH Lambung 1,2

t vs Qkumulatif (Terkoreksi 1)
2.5

2
Qkumulatif

1.5

0.5

0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)

t vs Qkumulatif (Terkoreksi 2)
2.5

2
Qkumulatif

1.5

0.5

0
0 10 20 30 40 50 60 70
t(menit)

2. Tetapan permeabilitas dan lag time sebgai berikut :


a. Perlakuan pH 1,2 (lambung)
1) Regresi linear t vs Q kumulatif 1
a = -0,034
b = 0,054
r =0,992
Y = 0,054x – 0,034
Slope =0,054
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,054
k = 0,01 𝑥 138,12

k = 0,039 ml/menit
2) Regresi linear t vs Q kumulatif 2
a = 0,118
b = 0,014
r =0,985
Y = 0,014x + 0,118
Slope =0,014
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,014
k = 0,01 𝑥 138,12

k = 0,01 ml/menit
Rata-rata nilai K
K1+k2
k= 2
0,039ml/menit+0,010ml/menit
k= 2

= 0,0245 ml/menit
Lag time
perlakuan 1
y = 0,054x- 0,034
o = 0,054x- 0,034
x = 0,630 menit
perlakuan 2
y = 0,014x- 0,034
o = 0,014x- 0,034
x = -8,429 menit
b. Perlakuan pH 7,5 (usus)
1) Regresi linear t vs Q kumulatif 1
a = -0,034
b = 0,054
r =0,992
Y = 0,054x – 0,034
Slope =0,054
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,054
k = 0,01 𝑥 138,12
k = 0,039 ml/menit
2) Regresi linear t vs Q kumulatif 2
a = 0,118
b = 0,014
r =0,985
Y = 0,014x + 0,118
Slope =0,014
slope slope
k= = MxBM
Cg
0,014
k = 0,01 𝑥 138,12

k = 0,01 ml/menit
Rata-rata nilai K
K1+k2
k= 2
0,039ml/menit+0,010ml/menit
k= 2

= 0,0245 ml/menit
Lag time
perlakuan 1
y = 0,054x- 0,034
o = 0,054x- 0,034
x = 0,630 menit
perlakuan 2
y = 0,014x- 0,034
o = 0,014x- 0,034
x = -8,429 menit
3. Pada pH 1.2, obat yang terion sebesar 1.575%. Sedangkan pada pH 7.5, obat yang
terion sebesar 99.997%. Data tersebut menandakan bahwa permeabilitas obat (asam
salisilat) jauh lebih besar di lambung (+/- pH 1.2) dibandingkan dengan usus (+/- pH
7.5).
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. 2011. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Edisi IV). Jakarta : Universitas
Indonesia.
Balatan, N. G, dan Bobick, J. G. 2014. Ilmu Pengetahuan Anatomi dan Fisiologi. Jakarta :
Indeks. hal. 295, 296.
Dobaria N. B., Masharu R. C., Badhan A. C., Thakkar A. R., 2009, A Novel Intravaginal
Delivery System for Itraconazole : In Vitro and In Vivo Evaluation. Curr Drug Deliv. 6
(2) : 151-158.
Gilman, A. G., 2008. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi 10. Jakarta : Penerbit buku kedokteran
EGC,4-6.
Hakim, 2015. Farmakokinetik Klinik. Edisi I. Yogyakarta : Bursa Ilmu. hal. 14.
Harvey, R. A. and Champe, P. C., 2009. Lippincott’s Illustrated Reviews : Pharmacology. 4th
Edition. New York : Lippincott William and Wilkins, 5-9.
IUPHAR, 2019. Drug Absorption.
https://www.pharmacologyeducation.org/pharmacology/drug-absorption. Diakses pada
3 Mei 2019
Panji, T., 2012, Teknik Spektroskopi untuk Elusidasi Struktur Molekul, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Prihapsara F., Arfanti, A. N., Muruknihadi, M., 2015. The Influence Of Polyvinylpyrrolidone
(PVP) On Piroxicam Absorbtion With Everted Intenstinal Sac Method. Media Farmasi
Jurnal, Departemen Of Pharmacy. Faculty Of Mathematic and Science Sebelas Maret
University, UGM, hal.34.
Pubchem, 2019, Salicylic Acid, https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/salicylic_acid
#section=2D-Structure, diakses pada 11 Mei 2019.
Rainsford, D., 2013, Aspirin and Related Drug, Erlangga, Jakarta.
Riswiyanto, 2009 , Kimia Organik, Erlangga, Jakarta.
Shargel, L & Andrew, B. 1999. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan (Edisi II).
Surabaya : Airlangga University Press.
Shargel, L., and Yu, A. B. C., 2012. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. 7th
edition. New York : MCGraw-Hill Education, 177.
Steward, M.J, Watson, I.D., 1987. Analytical Rewiews in Clinical Chemistry : Methods for
The Estimation of Salicylate and Paracetamol in Serum, Plasma and Urine. Analytical
Review in Clinical Biochemistry., 24, 553.
Suhartati, Tati. 2017. Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrofotometri Massa
untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama
Raharja. 2-5.
Takano, M., Yumoto, R. Murakami, T. 2006. Expression And Function Of Efflux Drug
Transporters In The Intestine. 109, pp. 137–161.
Van de Waterbeemd, H., and Testa, B., 2009. Drug Bioavailability : Estimation Of Solubility,
Permeability, Absorption, and Bioavailability. Volume 40. New York : Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co. KGaA, 34.
Varshosaz J.,et al.,2008, Dissolution Enhancement of Gliclazide Using In Situ Micronization
by Solvent Change Method. Powder Tec,.187 : 220-300.
Zulkarnain, A. K., Kurniawati, T., dan Kusumawida, A., 2008. Pengaruh penambahan tween
80 dan polietilen glikol 400 terhadap absorpsi piroksikam melalui lumen usus in situ.
Majalah Farmasi Indonesia, vol 19(1), 25-31.

Anda mungkin juga menyukai