Anda di halaman 1dari 26

1

STUDI ABSORPSI OBAT SECARA IN VITRO

I. TUJUAN
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi obat di saluran pencernaan secara in
vitro.
II. METODE
Alat
a. Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi o. Sentrifugator
b. Spektrofotometer UV p. Kuvet
c. Water-bath (penangas air) q. Kapas
d. Timbangan analitik r. Batang gelas
e. Alat-alat bedah s. Jarum

f. Gelas beaker t. Benang


g. Gelas ukur u. Gunting
h. Pipet tetes v. Penggaris
i. Pipet volume 2 ml dan 1 ml w. Alas bedah
j. Propipet
k. Labu takar 200 ml
l. Tabung reaksi
m. Rak tabung reaksi
n. Tabung sentrifugator
Bahan
a. Organ terisolasi berupa usus tikus putih jantan
b. Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2)
c. Cairan usus tanpa pankretin (pH 7,5)
d. Larutan NaCl 0,9% b/v
e. Asam salisilat
f. Eter
g. Gas oksigen
h. Alkohol
i. Seng sulfat (ZnSO4)
2

j. Barium hidroksida (Ba(OH)2)

Cara Kerja
1. Preparasi Hewan Uji
Diambil tikus putih jantan sebanyak 2 ekor, lalu diambil dua buah kapas untuk penyerap
eter.

Kedua tikus dimasukkan ke dalam toples untuk dikorbankan.

Diambil 10 mL eter lalu dituangkan pada masing-masing kapas sebanyak
5 mL setiap kapas.

Kedua kapas dimasukkan secara bersamaan ke dalam toples.

Ditunggu sampai hewan coba mati, setelah mati hewan coba siap dibedah untuk diambil
ususnya

2. Penyiapan Larutan Obat


Ditimbang 276,24 mg asam salisilat lalu dimasukkan ke dalam labu takar 200 mL

Ditambahkan buffer pH 1,2 atau pH 7,5 sampai 200 ml
ke dalam labu takar 200 mL

Dilakukan sonikasi untuk melarutkan asam salisilat

Didapatkan asam salisilat dengan kadar 0,01 M

3. Penyiapan Kantong Usus


Diambil hewan coba yang telah dimatikan dengan eter

Ditelentangkan hewan coba pada alas bedah lalu membedah hewan coba sepanjang
linea mediana
3


Dikeluarkan usus hewan coba lalu dipotong 15 cm usus di bawah pilorus untuk dibuang

Sisa usus yang lain dipotong sepanjang 20 cm dari bagian yang dibuang, bagian ini
digunakan untuk percobaan

Dibagi usus yang di potong menjadi dua bagian sama panjang lalu bagian anal
digunakan sebagai kontrol

Ujung anal dari bagian usus diikat dengan benang kemudian usus tersebut dibalik
dengan menggunakan batang gelas

Dipotong bagian oral usus sampai didapat usus sepanjang 7 cm sebagai panjang usus
efektif

Bagian oral usus dimasukkan ke dalam kanula lalu diisi dengan larutan NaCl 0,9 %
sebagai cairan serosal sebanyak 1,4 mL

Kantong usus yang telah diisi oleh cairan serosal dimasukkan ke dalam tabung Crane
Wilson yang telah dikondisikan bersuhu 37oC yang berisi buffer pH 1,2 atau 7,5 sebagai
cairan mukosal dan bahan obat sebagai sampel

Kantong usus untuk kontrol diperlakukan sama seperti sampel tetapi untuk cairan
mukosal digunakan buffer pH 1,2 atau ph 7,5.

Selama percobaan seluruh bagian usus harus direndam di dalam cairan mukosal lalu
dialiri dengan gas oksigen dengan kecepatan 100 gelembung per menit

Untuk tikus kedua, diperlakukan seperti tikus pertama

4. Analisis Kadar Asam Salisilat


4

Sampel diambil dengan cara menuang cairan serosal ke dalam tabung reaksi lalu kanula
dicuci dengan cairan serosal 1,4 mL kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
sama

Kanula diisi dengan cairan serosal lagi sebanyak 1,4 mL lagi kemudian di kembalikan
ke dalam tabung Crane-Wilson yang terendam di dalam water-bath bersuhu 37oC

Pengambilan sampel dilakukan setiap 15 menit sekali sampai menit ke-60
(4x 15 menit)

Sampel yang ada diambil sebanyak 1 mL lalu dipindahkan ke dalam tabung
sentrifugator

Sampel lalu ditambahkan 2 mL ZnSO4 5 % dan 2 mL Ba(OH)2

Kemudian, tabung sentrifugator digojok perlahan lalu dimasukkan ke dalam
sentrifugator untuk dipusingkan selama 10 menit dengan 5000 rpm

Diambil bagian jernih setelah dipusingkan

Untuk kontrol, diperlakukan sama seperti sampel

Membaca kadar obat dalam sampel pada 233 nm dengan NaCl 0,9% sebagai blangko

Didapatkan nilai absorbansi sampel

5. Evaluasi Data
Dimasukkan nilai absorbansi pada persamaan kurva baku untuk mendapatkan kadar
asam salisilat dalam sampel

Didapat kadar asam salisilat setiap sampel (perhatikan faktor pengenceran)

Dilakukan evaluasi data berupa :
5

o Grafik jumlah dan kadar asam salisilat vs waktu


o Permeabilitas dan lag time
o Konstanta kecepatan absorbsi
o Membandingkan parameter di atas pada pH 1,2 dan pH 7,5
III. DATA DAN PERHITUNGAN
Cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH 7,5)
a. Data Percobaan
1. Nama bahan obat : Asam salisilat 0,01 M
2. Cairan serosal : NaCl 0,9 % b/v
Volume : 1. 1,4 mL 3. 1,4 mL (kontrol)
2. 1,4 mL 4. 1,4 mL (kontrol)
3. Medium cairan serosal: Buffer fosfat pH: 7,5, volume : 1. 75 mL 2. 75 mL
3. 75 mL 4. 75 mL
No 2 dan 4 merupakan kontrol
Kadar obat : 0,01 M
4. Berat tikus (Gol B1) : 1) 104,5 gram 2) 104,25 gram
5. Panjang usus kontrol : 1) 6,5 cm 2) 7,5 cm
Panjang usus uji : 1) 8,5 cm 2) 7,5 cm
6. Pengambilan larutan sampel/kontrol setelah menit ke:
1. 15, 30, 45, 60 menit
2. 15, 30, 45, 60 menit
7. Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris.
Percobaan dilakukan pada max = 233 nm
Kurva baku dengan persamaan garis: y = 0,473 x 0,0267
b. Hasil Percobaan
Sampel terkoreksi = Absorbansi sampel awal- Absorbansi kontrol
Kontrol sebagai Blangko
1. Cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH 7,5)
6

Tikus 1
Jenis larutan Pengenceran Serapan (A)
1x 0,047
1x 0,805
Sampel terkoreksi
1x 0,518
1x 0,699

Tikus 2
Jenis larutan Pengenceran Serapan (A)
1x -0,044
1x 0,525
Sampel terkoreksi
1x 0,483
1x 0,576

c. Perhitungan
1. Perhitungan Kadar
Kurva baku: y = 0,473 x 0,0267
+0,0267
x= X ( )
0,473

Sampel pada tikus 1


Menit ke 15
0,047+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 0,1558 mg%
0,473

Menit ke 30
0,805+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,7584 mg%
0,473

Menit ke 45
0,518+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,1516 mg%
0,473

Menit ke 60
0,699+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,5342 mg%
0,473

Sampel pada tikus 2


Menit ke 15
7

0,044+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = -0,0366 mg%
0,473

Menit ke 30
0,525+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,1664 mg%
0,473

Menit ke 45
0,483+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,0776 mg%
0,473

Menit ke 60
0,576+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,2742 mg%
0,473

2. Jumlah Obat
kadar sampel
Jumlah Obat = 100
x 1,4

Sampel pada tikus 1


Menit ke 15
0,1558
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0022 mg
100

Menit ke 30
1,7584
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0246 mg
100

Menit ke 45
1,1516
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0161 mg
100

Menit ke 60
1,5342
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0215 mg
100

Sampel pada tikus 2


Menit ke 15
0,0366
Jumlah Obat = x 1,4 = -0,0005 mg
100

Menit ke 30
1,1664
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0163 mg
100

Menit ke 45
1,0776
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0151 mg
100

Menit ke 60
1,2742
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0178 mg
100
8

3. Parameter Evaluasi Data


Tikus 1
Waktu Kadar obat Jumlah obat Jumlah obat
(menit) (mg%) (mg) kumulatif (mg)

15 0,1558 0,0022 0,0022

30 1,7584 0,0246 0,0268

45 1,1516 0,0161 0,0429

60 1,5342 0,0215 0,0644

Hubungan Waktu vs Jumlah


Kumulatif Obat Tikus 1 pH 7,5
0.0700
Jumlah Kumulatif Obat (mg)

0.0600 y = 0.0014x - 0.0166


R = 0.9942
0.0500
0.0400
0.0300
0.0200
0.0100
0.0000
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Jumlah obat kumulatif = Jumlah obat t sebelumnya + Jumlah obat pada t


Dari hasil regresi linier antara waktu (x) vs jumlah obat kumulatif (y) didapat nilai:
a = - 1,66 .10-2
b = 1,4 .10-3
r = 0,9942
Sehingga didapat persamaan garis: y = 1,4.10-3 x 1,66 .10-2
Parameter:
Ka (Tetapan Kecepatan Absorbsi)
Ka = b = 1,4.10-3 /menit
Pm (Permeabilitas)
9

Slope = Pm Cg
Diketahui Cg = M (asam salisilat) x BM (asam salilisat)
= 0,01 mol/L. 138,12 g/mol
= ~1,38 g/L
= 1,38 mg/ml
Slope 1,4.103 /
Pm = = = 1,0145 . 10-3 cm/menit
Cg 1,38 /

Lag time
Diketahui y = 1,4.10-3 x 1,66 .10-2
+1,66.102
maka x = 1,4.103

Pada saat y = 0 x = 11,857 menit


sehingga dapat disimpulkan:
Ka = 1,4.10-3 /menit
Pm = 1,0145. 10-3 cm/menit
Lag time = 11,857 menit
Tikus 2
Waktu Kadar obat Jumlah obat Jumlah obat
(menit) (mg%) (mg) kumulatif (mg)
15 -0,0366 -0,0005 -0,0005
30 1,1664 0,0163 0,0158
45 1,0776 0,0151 0,0309
60 1,2742 0,0178 0,0487
10

Hubungan Waktu vs Jumlah


Kumulatif Obat Tikus 2 pH 7,5
0.0600
Jumlah Kumulatif Obat (mg)

0.0500 y = 0.0011x - 0.017


R = 0.999
0.0400
0.0300
0.0200
0.0100
0.0000
-0.0100 0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Dari hasil regresi linier antara waktu (x) vs jumlah obat kumulatif (y) didapat nilai:
a = - 0,017
b = 1,1 .10-3
r = 0,9995
Sehingga didapat persamaan garis: y = 1,1 .10-3 x 0,017
Parameter:
Ka (Tetapan Kecepatan Absorbsi)
Ka = b = 1,1 .10-3/menit
Pm (Permeabilitas)
Slope = Pm Cg
Slope 1,1.103 /
Pm = = = 0,7971 .10-3 cm/menit
Cg 1,38 /

Lag time
Diketahui y = 1,1 .10-3 x 0,017
+0,017
maka x = 1,1.103

Pada saat y = 0 x = 15,4545 menit


sehingga dapat disimpulkan:
Ka = 1,1 .10-3/menit
Pm = 0,7971 .10-3 cm/menit
Lag time = 15,4545 menit
d. Perbandingan Obat Terion vs Obat Tak Terion
Pada pH 7,5
11


pH = pKa + log

7,5 = (3-log 1,06) + log

7,5 2,97 = log

= 3,388.104

Cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH 1,2)


a. Data Percobaan
1. Nama bahan obat : Asam salisilat 0,01 M
2. Cairan serosal : NaCl 0,9 % b/v
Volume : 1. 1,4 mL 3. 1,4 mL (kontrol)
2. 1,4 mL 4. 1,4 mL (kontrol)
3. Medium cairan serosal: Buffer fosfat pH: 1,2 volume : 1. 75 mL 2. 75 mL
3. 75 mL 4. 75 mL
No 2 dan 4 merupakan kontrol
Kadar obat : 0,01 M
4. Berat tikus (Gol B1) : 1) 140 gram 2) 160 gram
5. Panjang usus kontrol : 1) 7,5 cm 2) 6,0 cm
Panjang usus uji : 1) 8,0 cm 2) 7,5 cm
6. Pengambilan larutan sampel/kontrol setelah menit ke:
1. 15, 30, 45, 60 menit
2. 15, 30, 45, 60 menit
7. Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris.
Percobaan dilakukan pada max = 233 nm
Kurva baku dengan persamaan garis: y = 0,473 x 0,0267
b. Hasil Percobaan
Sampel terkoreksi = Absorbansi sampel awal- Absorbansi kontrol
Kontrol sebagai Blangko
Cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH 1,2)
12

Tikus 1
Jenis larutan Pengenceran Serapan (A)
1x 0,702
1x 0,603
Sampel terkoreksi
1x 0,347
1x 0,211

Tikus 2
Jenis larutan Pengenceran Serapan (A)
1x 0,593
1x 0,712
Sampel terkoreksi
1x 0,853
1x 0,717

c. Perhitungan
1. Perhitungan Kadar
Kurva baku: y = 0,473 x 0,0267
+0,0267
x= X ( )
0,473

Sampel pada tikus 1


Menit ke 15
0,702+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,5416 mg%
0,473

Menit ke 30
0,603+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,3313 mg%
0,473

Menit ke 45
0,347+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 0,7901 mg%
0,473

Menit ke 60
0,211+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 0,5025 mg%
0,473

Sampel pada tikus 2


Menit ke 15
13

0,593+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,3101 mg%
0,473

Menit ke 30
0,712+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,7731 mg%
0,473

Menit ke 45
0,853+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,8598 mg%
0,473

Menit ke 60
0,717+0,0267
Kadar Asam salisilat (x) = x 1 = 1,5723 mg%
0,473

2. Jumlah Obat
kadar sampel
Jumlah Obat = 100
x 1,4

Sampel pada tikus 1


Menit ke 15
1,5416
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0216 mg
100

Menit ke 30
1,3313
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0186 mg
100

Menit ke 45
0,7901
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0111 mg
100

Menit ke 60
0,5025
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0070 mg
100

Sampel pada tikus 2


Menit ke 15
1,3101
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0183 mg
100

Menit ke 30
1,7731
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0248 mg
100

Menit ke 45
1,8598
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0260 mg
100

Menit ke 60
1,5723
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0220 mg
100
14

3. Parameter Evaluasi Data


Tikus 1
Waktu Kadar obat Jumlah obat Jumlah obat
(menit) (mg%) (mg) kumulatif (mg)
15 1,5416 0,0216 0,0216

30 1,3313 0,0186 0,0402

45 0,7901 0,0111 0,0513

60 0,5025 0,0070 0,0583

Hubungan Waktu vs Jumlah


Kumulatif Obat Tikus 1 pH 1,2
0.07
Jumlah Kumulatif Obat (mg)

0.06
0.05
0.04
0.03 y = 0.0008x + 0.0126
0.02 R = 0.9555
0.01
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Jumlah obat kumulatif = Jumlah obat t sebelumnya + Jumlah obat pada t


Dari hasil regresi linier antara waktu (x) vs jumlah obat kumulatif (y) didapat nilai:
a = 1,26 .10-2
b = 0,8 .10-3
r = 0,9555
Sehingga didapat persamaan garis: y = 0,8.10-3 x + 1,26 .10-2
Parameter:
Ka (Tetapan Kecepatan Absorbsi)
Ka = b = 0,8.10-3 /menit
Pm (Permeabilitas)
Slope = Pm Cg
15

Diketahui Cg = M (asam salisilat) x BM (asam salilisat)


= 0,01 mol/L. 138,12 g/mol
= ~1,38 g/L
= 1,38 mg/ml
Slope 0,8 .103 /
Pm = = = 0,5797 . 10-4 cm/menit
Cg 1,38 /

Lag time
Diketahui y = 0,8.10-3 x + 1,26 .10-2
Parameter:
1,26 .103
maka x = 0,8.103

Pada saat y = 0 x = -1,575 menit


sehingga dapat disimpulkan:
Ka = 0,8.10-3 /menit
Pm = 0,5797 . 10-4 cm/menit
Lag time = -1,575 menit
Tikus 2
Waktu Kadar obat Jumlah obat Jumlah obat
(menit) (mg%) (mg) kumulatif (mg)
15 1,3101 0,0183 0,0183
30 1,7731 0,0248 0,0431
45 1,8598 0,0260 0,0691
60 1,5723 0,0220 0,0911

Hubungan Waktu vs Jumlah


Kumulatif Obat Tikus 2 pH 1,2
0.1
Jumlah Kumulatif Obat (mg)

0.08
0.06
0.04 y = 0.0016x - 0.0057
R = 0.9989
0.02
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
16

Dari hasil regresi linier antara waktu (x) vs jumlah obat kumulatif (y) didapat nilai:
a = - 0,0057
b = 1,6 .10-3
r = 0,9989
Sehingga didapat persamaan garis: y = 1,6.10-3 x 0,0057
Parameter:
Ka (Tetapan Kecepatan Absorbsi)
Ka = b = 1,6.10-3/menit
Pm (Permeabilitas)
Slope = Pm Cg
Slope 1,6.103 /
Pm = = = 1,1594 .10-3 cm/menit
Cg 1,38 /

Lag time
Diketahui y = 1,6.10-3 x 0,0057
+0,0057
maka x = 1,6.103

Pada saat y = 0 x = 3,5625 menit


sehingga dapat disimpulkan:
e. Ka = 1,6 .10-3/menit
f. Pm = 1,1594 .10-3 cm/menit
g. Lag time = 3,5625 menit
d. Perbandingan Obat Terion vs Obat Tak Terion
Pada pH 1,2

pH = pKa + log

1,2 = (3-log 1,06) + log

1,2 2,97 = log

= 1,698.10-2

IV. PEMBAHASAN

Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi obat


di saluran pencernaan secara in vitro. Metode in vitro (metode tabung) sendiri
merupakan proses studi metabolisme yang dilakukan di luar tubuh hewan percobaan.
17

Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh hewan
percobaan yang meliputi proses metabolisme dalam rumen dan abomasum (Cock,
2008). Kelarutan obat pada berbagai pH ditunjukkan oleh profil pH vs kelarutan obat, di
mana obat yang bersifat asam akan larut dalam media basa karena pembentukan garam
yang larut. Demikian juga sebaliknya, obat yang bersifat basa akan lebih larut dalam
media asam.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna
(yang meliputi mulut hingga rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Pada pemberian
obat secara per oral, tempat absorpsi utama adalah usus halus, karena memiliki luas
permukaan absorpsi yang besar dengan disertai villi dan mikrovilli (Gunawan, 2009).
Percobaan yang dilakukan kali ini cenderung membahas tentang absorpsi obat secara
sistemik, dimana absorpsi merupakan faktor yang sangat penting bagi masuknya obat ke
dalam tubuh dan berkorelasi langsung terhadap efek suatu obat. Rate limiting step, sifat
fisikokimia, dan anatomi fisiologi tempat absorpsi sangat mempengaruhi absorpsi
sistemik suatu obat dari saluran pencernaan.
Umumnya, absorpsi obat dalam saluran cerna melalui membran biologis terbagi
menjadi dua, yaitu aktif dan pasif. Perpindahan secara aktif membutuhkan energi
sedangkan pada perpindahan secara pasif tidak. Perpindahan pasif terjadi berdasarkan
gradien konsentrasi obat pada kedua sisi membran, di mana obat akan bergerak dari
konsentrasi yang lebih tinggi menuju ke konsentrasi yang lebih rendah rendah. Pada
percobaan ini, absorpsi obat yang diamati terjadi melalui difusi pasif. Absorpsi obat
dengan cara difusi pasif dipengaruhi oleh derajat ionisasi pada waktu zat tersebut
berhadapan dengan membran. Membran sel lebih permeabel terhadap bentuk obat yang
tidak terionkan daripada bentuk terionkan. Derajat ionisasi bergantung pada pH larutan
dan pKa obat seperti pada persamaan Henderson-Hasselbach sebagai berikut:
- Asam
pH = pKa + log fi/fu
- Basa
pH = pKa - log fi/fu
* fi = fraksi obat yang terionkan
* fu = fraksi obat yang tak terionkan
18

Dari persamaan tersebut dapat ditentukan jumlah relatif dari suatu obat dalam
bentuk tidak terionkan pada berbagai kondisi pH.
Obat yang digunakan dalam percobaan ini adalah asam salisilat. Asam salisilat
atau orthohydroxybenzoic acid merupakan asam lemah (pKa 2,97) sehingga bila berada
dalam lingkungan basa, senyawa tersebut akan berada dalam bentuk terionkan
sedangkan dalam lingkungan asam akan terdapat dalam bentuk tidak terionkan.
Informasi tentang asam salisilat :
O

OH
OH

Asam Salisilat

C7H6O3 (BM 138,12)

Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 101,0%
C7H6O3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian : Hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus atau serbuk


hablur putih, rasa agak manis, tajam dan stabil di udara. Bentuk sintetis warna putih dan
tidak berbau. Jika dibuat dari metil salisilat alami dapat berwarna kekuningan atau
merah jambu dan berbau lemah.

Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah larut dalam
etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih, agak sukar larut dalam kloroform.

(Anonim, 1995)

Langkah awal yang dilakukan dalam percobaan kali ini adalah mengambil dua
ekor tikus untuk dikorbankan. Pengorbanan dilakukan dengan cara memasukkan tikus
ke dalam wadah atau toples berisi kapas yang sudah ditetesi eter pada kapasnya. Hal ini
dilakukan di lemari asam, bertujuan agar uap eter yang toksik tidak menyebar. Dipilih
pengorbanan dengan eter karena tidak merusak organ dalam tikus yang nantinya dapat
berpengaruh pada hasil percobaan. Ditunggu beberapa saat hingga kedua tikus mati,
kemudian tikus diap untuk di bedah. Sebelumnya, tikus yang akan digunakan sebagai
19

hewan percobaan telah dipuasakan makan selama 20-24 jam, namun tetapi diberi air
masak sebagai minum. Pemuasaan tikus ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh
makanan dan kecepatan pengosongan lampung yang dapat menjadi variabel pengacau
sehingga dikhawatirkan mampu mempengaruhi validasi data yang diperoleh. Obat dapat
berikatan atau membentuk senyawa kompleks dengan makanan di lambung yang bisa
membuat proses absorpsi menjadi lebih cepat atau lebih lambat. Hal itu dapat
merugikan pasien karena bisa jadi kadar obat yang diabsorpsi kurang dari batas
minimum sehingga tidak berefek atau pun lebih dari kadar maksimum obat yang
berakibat toksik. Karena keterbatasan waktu, pemuasaan tikus dilakukan oleh laboran.

Di sisi lain, dilakukan penyiapan larutan obat yaitu dengan menimbang sebanyak
276,24 mg asam salisilat kemudian dilarutkan dalam dapar pH 1,2 atau 7.5 pada labu
takar 200 ml. Kondisi pH 1,2 menggambarkan cairan lambung sedangkan pH 7,5
menggambarkan kondisi cairan intestinal. Kemudian larutan asam salisilat dalam dapar
disonifikasi yang bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel asam salisilat sehingga
memudahkan melarut.

Langkah selanjutnya adalah menyiapkan kantong usus yang akan digunakan


dalam studi absorpsi obat secara in vitro. Kedua tikus yang sebelumnya sudah
dikorbankan kemudian ditelentangkan pada alas bedah. Untuk menghindari adanya
rambut tikus yang terikut pada usus halus, sebelum dibedah hendaknya dicukur sedikit
rambut di sekitar perut tikus. Selanjutnya dibedah perut tikus di sepanjang linea
mediana dan usus halus dikeluarkan. Usus sepanjang 15 cm dibawah pilorus dipotong
dan tidak digunakan, kemudian sepanjang 20 cm di bawahnya diambil untuk percobaan.
Bagian yang digunakan adalah bagian jejunum dan bukan pada duodenum karena
terdapat ductus pancreaticus yang keluar dari pankreas membawa getah pankreas dan
ductus choledochus yang membawa getah empedu. Bila digunakan duodenum
dikhawatirkan saluran ini dapat bocor sehingga dapat mempengaruhi nilai absorpsi
sebenarnya. Selain itu, adanya vili dan mikrovili pada jejunum menyebabkan
permukaan semakin luas sehingga absorpsi dapat berjalan cepat.

Setelah bagian jejunum diambil sepanjang 20 cm, kemudian dibagi menjadi 2


bagian sama panjang dan diletakkan dalam petri berisi NaCl 0.9% b/v. NaCl berfungsi
sebagai larutan fisiologis agar usus tetap hidup. Usus bagian atas akan digunakan untuk
20

perlakuan dengan obat (asam salisilat) dan bagian bawah untuk kontrol, sehingga
bagian usus yang dibagi 2 harus ditandai bagian mana yang merupakan bagian atas
jejunum dan bagian bawahnya. Untuk memaksimalkan absorpsi obat, usus dibersihkan
terlebih dahulu dari lemak dan kotoran lainnya yang mungkin masih masih menempel.
Kemudian pada masing-masing bagian usus, ujung anal (bawah) diikat dengan benang
dan dengan hati-hati dibalik menggunakan batang gelas berdiameter 2 mm yang
didorong dari bagian atas ikatan bawah usus. Pembalikan usus menyebabkan bagian
mukosa dan villi usus berada di bagian luar. Setelah dibalik, bagian usus tidak boleh
bergesekan dengan benda lain atau tangan kecuali bagian ujung usus karena
dikhawatirkan akan merusak jonjot atau vili usus.
Metode usus terbalik yang digunakan pada percobaan kali ini ertujuan untuk
menggambarkan proses terjadinya absorpsi di dalam saluran cerna. Beberapa kelebihan
dilakukan metode usus terbalik ini adalah:
1. Sederhana dan reprodusibel
2. Dapat dilakukan untuk mengetahui daerah pada usus halus dengan absorpsi
optimal terutama dalam kasus transpor aktif
3. Dapat membedakan antara proses absorpsi secara aktif dan pasif
Selanjutnya ujung oral dihubungkan ke kanula (bagian dari tabung Crane-Wilson
yang dimodifikasi). Usus yang digunakan diukur dengan panjang efektifnya kurang
lebih 7 cm (dihitung dari ujung kanula hingga ujung anal yang terikat). Jika panjang
usus > 7 cm dilakukan pemotongan. Hal ini dilakukan agar volume cairan serosal yang
akan dimasukkan yaitu sebanyak 1,4 ml dapat kontak dengan seluruh permukaan dalam
usus terbalik.
Selanjutnya cairan serosal (NaCl 0,9% b/v) sebanyak 1,4 ml dimasukkan ke
dalam mulut tabung kecil. Cairan ini akan mengalir ke dalam usus. Kantong usus yang
sudah berisi cairan serosal ini kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi cairan
mukosal yaitu larutan dapar pH 1,2 atau 7,5 yang berisi asam salisilat 0,01M (untuk
sampel) dan larutan dapar (untuk kontrol) sebanyak 75ml. Dapar dianggap sebagai
cairan mukosal yang diasumsikan sebagai cairan pada saluran cerna. Kontrol berfungsi
untuk menghitung koreksi terhadap absorpsi larutan dapar.
Setelah cairan serosal dimasukkan, tabung diinkubasi pada suhu 37C. Hal ini
berguna untuk menjaga usus berada pada kondisi suhu yang sama dengan suhu tubuh.
21

Suhu 37C ini harus dijaga agar tetap konstan karena kenaikan atau penurunan suhu
dapat mempengaruhi laju pelarutan dan kecepatan absorpsi. Kantong usus untuk kontrol
dilakukan dengan cara yang sama hanya berbeda pada cairan mukosal yang tidak
mengandung asam salisilat. Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus dijaga
agar dapat terendam dalam cairan mukosal dan selalu dialiri gas karbogen dengan
kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit. Gas karbogen berfungsi agar usus tetap
dapat hidup . Bila kecepatan aliran gas lebih dari 100 gelembung per menit
dikhawatirkan dapat merusak villi usus akibat adanya tekanan yang cukup besar.
Sampling dilakukan tiap 15 menit selama 4x atau sampai menit ke-60 dengan cara
menuang cairan serosal ke dalam tabung reaksi lalu kanula dicuci dengan cairan serosal
1,4 mL kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sama. Kemudian kanula
diisi dengan cairan serosal lagi sebanyak 1,4 mL lagi kemudian di kembalikan ke dalam
tabung Crane-Wilson yang terendam di dalam water-bath bersuhu 37oC. Sampel yang
ada diambil sebanyak 1 mL lalu dipindahkan ke dalam tabung sentrifugator. Sampel
kemudian ditambahkan 2 mL ZnSO4 5 % dan 2 mL Ba(OH)2 dan selanjutnya
disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Atom Zn merupakan logam
berat sehingga dapat mengikat protein yang mungkin terikut dalam sampel sehingga
tidak mempengaruhi absorbansi dan Ba(OH)2 akan mengendapkan kompleks sehingga
terpisah dari obat. Setelah selesai disentrifugasi, diambil supernatan atau bagian yang
jernih menggunakan pipet tetes dan dibaca serapannya pada panjang gelombang () 239
nm. Pengukuran absorbansi harus dilakukan pada panjang gelombang maksimum (
maksimum) hasil scanning supaya absorbansi yang didapat juga maksimal sehingga
kadar yang terukur nantinya lebih tepat dan kesalahannya kecil. Namun saat praktikum,
praktikan salah dalam memilih maksimum untuk pengukuran absorbansi sampel
menggunakan spektrofotometer. Pengukuran absorbansi sampel tersebut untuk
mengukur kadar asam salisilat hasil absorpsi dinding usus percobaan. Praktikan
menggunakan maks. untuk larutan obat asam salisilat dalam buffer pH 1,2. Karena
larutan obat yang dibuat oleh praktikan dalam praktikum adalah larutan obat asam
salisilat dalam buffer pH 1,2. Namun seharusnya maks. yang digunakan adalah
maks. untuk asam salisilat dalam NaCl fisiologis, yaitu 233 nm. Sebab sampel yang
diukur tersebut diambil dari kantong usus yang berisi cairan serosal NaCl fisiologis
(NaCl 0,9%). Dan berarti sampel yang diukur merupakan kadar asam salisilat hasil
22

absorpsi dinding usus percobaan, yang sudah menembus dinding usus dan terlarut
dalam NaCl fisiologis dalam kantong usus. Kesalahan praktikan ini akan mempengaruhi
data hasil percobaan yang dilakukan, tetapi tidak fatal. Karena perbedaan maks. yang
seharusnya digunakan (233 nm), dengan maks. yang dipilih oleh praktikan (239 nm)
tidak berbeda jauh. Jadi diharapkan hasil percobaan yang diperoleh dengan teori
seharusnya tidak berbeda bermakna.

Data absorbansi yang diperoleh dari setiap waktu sampling seharusnya sama
kurang lebih. Karena rentang waktu sampling sama yaitu 15 menit, dan setiap
dilakukan sampling dilakukan pencucian juga. Sehingga kondisi usus seperti awal lagi,
begitu juga dengan jumlah obat yang terabsorpsi. Dari data yang diperoleh sudah cukup
sesuai dengan teori. Pada data absorbansi yang mengalami penurunan, dapat
dikarenakan karena seiring dengan lamanya waktu percobaan, kondisi usus juga mulai
menurun, atau juga karena waktu preparasi usus terlalu lama, sehingga usus terlalu lama
di luar cairan serosal.

Setelah diperoleh data absorbasi untuk sampel maupun kontrol, maka dapat
ditentukan kadar asam salisilat yang terdapat pada tiap cuplikan, yaitu dengan
memplotkan harga absorbansi sebagai nilai y ke dalam persamaan kurva baku. Kurva
baku didapat dengan membuat seri kadar asam salisilat dalam NaCl fisiologis (NaCl
0,9%) yang sudah dilakukan oleh asisten praktikum/laboran sebelumnya . Selain data
percobaan (dengan cairan usus buatan/cairan mukosal tanpa pankreatin pada pH 1,2)
juga digunakan data tambahan pada percobaan dengan cairan mukosal pada pH 7,5 dari
data hasil percobaan kelompok lain untuk membandingkan absorpsi obat yang sama
pada pH berbeda. Kurva baku yang digunakan adalah : y = 0,473x 0,0267 (untuk data
percobaan asam salisilat dalam NaCl fisiologis). Diharapkan agar data percobaan yang
didapat tetap valid, persamaan yang digunakan untuk menghitung data tetap
menggunakan persamaan kurva baku untuk maks. 233 nm, yaitu asam salisilat dalam
NaCl fisiologis. Dalam percobaan tidak ditentukan berapa besar tetapan kecepatan
difusi obat melalui membran sehingga data yang didapatkan hanya jumlah obat yang
diabsorpsi (mg). Berikut ini adalah hasil perhitungan kadar dan jumlah obat yang
terabsorbsi pada pH 1,2 dan 7,5 :
23

Tikus 1 (pH 7,5)


Waktu Kadar obat Jumlah obat Jumlah obat
(menit) (mg%) (mg) kumulatif (mg)
15 0,1558 0,0022 0,0022
30 1,7584 0,0246 0,0268
45 1,1516 0,0161 0,0429
60 1,5342 0,0215 0,0644

Tikus 2 (pH 7,5)


Waktu Kadar obat Jumlah obat Jumlah obat
(menit) (mg%) (mg) kumulatif (mg)
15 -0,0366 -0,0005 -0,0005
30 1,1664 0,0163 0,0158
45 1,0776 0,0151 0,0309
60 1,2742 0,0178 0,0487

Tikus 1 (pH 1,2)


Waktu Kadar obat Jumlah obat Jumlah obat
(menit) (mg%) (mg) kumulatif (mg)
15 1,5416 0,0216 0,0216
30 1,3313 0,0186 0,0402
45 0,7901 0,0111 0,0513
60 0,5025 0,0070 0,0583

Tikus 2 (pH 1,2)


Waktu Kadar obat Jumlah obat Jumlah obat
(menit) (mg%) (mg) kumulatif (mg)
15 1,3101 0,0183 0,0183
30 1,7731 0,0248 0,0431
45 1,8598 0,0260 0,0691
60 1,5723 0,0220 0,0911
24

Dari data di atas dapat dilihat bahwa jumlah obat yang terabsorpsi lebih banyak
pada pH 1,2 dibandingkan dengan pH 7,5. Hal ini sudah sesuai dengan teori karena
pada pH 1,2 obat lebih banyak berada dalam bentuk tak terion (molekul) sehingga lebih
mudah di absorpsi. Pernyataan ini juga terbukti melalui perhitungan membandingkan
jumlah obat terion dan tak terion menurut persamaan Handerson-Hasselbach. Hasilnya
adalah fraksi obat terion pada pH 1,2 adalah 1,698.10-2 sedangkan fraksi obat terion
pada pH 7,5 menunjukkan angka 3,388.104.

Selanjutnya dibuat regresi linear hubungan waktu pengambilan sampel dengan


jumlah kumulatif obat yang diabsorpsi sehingga nantinya didapat suatu persamaan garis
lurus. Persamaan garis lurus ini digunakan untuk menghitung permeabilitas membran,
lag time dan kecepatan absorbsi. Kecepatan absorbsi diperoleh dari slope persamaan
garis lurus. Kecerpatan absorbsi pada pH 1,2 untuk masing-masing sampel berturut-
turut yaitu 0,8.10-3 /menit dan 1,6.10-3/menit. Sedangkan kecepatan absorbsi pada pH
7,5 untuk masing masing sampel berturut-turut adalah 1,4.10-3/menit dan
1,1.10-3/menit. Terlihat bahwa kecepatan absorbsi pH 7,5 lebih besar daripada pH 1,2.
Hasil tersebut tidak sesuai teori.

Untuk absorpsi obat yang ditranspor dengan difusi pasif, dinding usus berperan
sebagai membrane difusi. Permeabilitas adalah suatu sifat atau kemampuan dari suatu
membrane untuk dapat dilewati oleh suatu zat. Sedangkan lag time adalah jeda waktu
antara pemberian obat sampai obat mulai diabsorpsi. Adanya jeda waktu tersebut
disebabkan oleh formulasi (bentuk sediaan obat) atau faktor psikolgis (kecepatan
pengosongan lambung). Hasil perhitungan permeabilitas sebagai berikut :

Sampel 1 (cm/menit) Sampel 2 (cm/menit)

pH 1,2 0,5797 . 10-4 1,1594 .10-3

pH 7,5 1,0145 . 10-3 0,7971 .10-3

Hasilnya menunjukkan bahwa nilai permeabilitas pada pH 7,5 lebih besar daripada
pH 1,2. Hal ini tidak sesuai dengan teori.
25

Perhitungan selanjutnya adalah lag time. Bahan obat yang baik apabila memiliki
lag time kurang dari 15 menit. Obat dengan lag time kurang dari 15 menit biasanya
tidak menimbulkan masalah pada proses transport melalui membrane biologi. Hasilnya
sebagai berikut :

Sampel 1 (menit) Sampel 2 (menit)

pH 1,2 -1,575 3,5625

pH 7,5 11,857 15,4545

Dari tabel di atas terdapat satu hasil yang nilainya lebih dari 15 menit, yakni
15,4545 menit. Lag time negatif dapat terjadi karena data absorpsi yang tidak lengkap
mencapai puncaknya atau kecepatan absorbsi tidak lebih tinggi daripada kecepatan
eliminasi dalam percobaan tersebut. Dari hasil di atas sudah sesuai teori bahwa lag time
obat pada pH 1,2 lebih singkat dibandingkan pada pH 7,5. Karena obat asam salisilat
pada pH 1,2 memang lebih mudah dan cepat diabsorpsi dibandingkan pada pH 7,5
dilihat dari bentuk molekul obatnya.

Berdasarkan data-data percobaan yang diperoleh, dapat disimpulkan adanya


ketidaksesuaian dengan teori seharusnya. Karena dari data-data di atas, yang sesuai
dengan teori yaitu jumlah obat yang diabsorpsi oleh usus, perbandingan jumlah obat
bentuk terion dengan bentuk tak terion, dan lag time. Sedangkan data permeabilitas dan
kecepatan absorpsinya tidak sesuai teori. Hal ini dapat disebabkan karena adanya
kesalahan praktikan dan variabel (faktor) lain yang tidak diketahui akibat perbedaan
perlakuan dan juga kondisi saat percobaan. Sebab percobaan pada kedua pH tersebut
dilakukan oleh kelompok praktikan yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda.
Kondisi usus yang kemungkinan sudah agak rusak (tidak segar lagi) akibat terlalu lama
dalam persiapan (preparasi) percobaan juga menjadi penyebab hasil percobaan ini tidak
sesuai teori. Namun tetap dapat diambil suatu kesimpulan pengaruh pH terhadap
absorpsi obat di saluran pencernaan secara in vitro yaitu obat asam lemah (asam
salisilat) pada pH asam (pH 1,2) akan berada dalam bentuk molekul (tak terion),
sedangkan pada pH basa (pH 7,5) obat akan berada dalam bentuk terion (bentuk garam),
begitu juga sebaliknya pada obat yang bersifat basa. Dan benar bahwa obat akan lebih
26

mudah dan cepat diabsorpsi oleh dinding saluran pencernaan (usus halus) dalam bentuk
molekul (tak terion).
V. KESIMPULAN
1. Sesuai teori bahwa jumlah obat yang diabsorpsi lebih banyak pada pH 1,2
dibandingkan dengan pH 7,5 karena pada pH 1,2 asam salisilat lebih banyak
berada pada bentuk tak terion (molekul).
2. Absorpsi lebih cepat terjadi pada pH 7,5 ditunjukkan dengan harga Ka yang
lebih besar daripada harga Ka pada pH 1,2, tidak sesuai teori.
3. Permeabilitas membran pada pH 7,5 lebih besar daripada pH 1,2, tidak sesuai
dengan teori.
4. Lag time asam salisilat pada pH 7,5 lebih besar daripada pH 1,2, sesuai teori.
5. Hasil yang tidak sesuai dengan teori dapat disebabkan karena adanya kesalahan
praktikan dalam melakukan percobaan dan adanya variabel lain akibat
perbedaan perlakuan serta waktu (kondisi) untuk percobaan 2 nilai pH tersebut.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Cock, M. J. W., 2008, Possibilities for Biological Control of Chromolaena odorata,
Tropical Pest Management, 30 : 7-13.
Gunawan, Gan Sulistia, 2009, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, UI Press, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai