Anda di halaman 1dari 4

Teori Cultural Imperialism (Imperialisme Budaya)

January 19, 2013 # 12:54 am # Communications # No Comment

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Tulisan pertama
Schiller yang dijadikan dasar bagi munculnya teori ini adalah Communication and Cultural
Domination. Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di
seluruh dunia ini. Ini berarti pula, media massa negara Barat juga mendominasi media massa di
dunia ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media
dunia ketiga. Media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka
ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi
proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran
budaya asli di negara ketiga.

Kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film,
berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu? Pertama,
mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi
berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Kedua, mereka mempunyai teknologi.
Dengan teknologi modern yang mereka punyai memungkinkan sajian media massa diproduksi
secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”.

Negara-negara dunia ketiga melihat media massa di negara barat sebagai bentuk sajian yang
kemudian menjadi gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran. Diyakini, keinginan negara-negara
dunia ketiga untuk menerapkan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat,
sedikit banyak merupakan hasil sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.
Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah
banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli
negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat. Kejadian ini bisa
dikatakan terjadinya imperialisme budaya Barat. Imperialisme itu dilakukan oleh media massa
Barat yang telah mendominasi media massa dunia ketiga[1].

Imperialisme budaya menempatkan media -televisi, radio, jurnalisme, periklanan- diatas


segalanya. walaupun media secara analistis terpisah dari segala aspek budaya, namun dapat
terlihat dengan jelas bahwa media dan budaya memiliki koneksi yang sangat dekat dengan
berbagai aspek lain yang mengkaji tentang kehidupan manusia. Yang dialami orang-orang
terhadap pengaruh televisi misalnya, seringkali menimbulkan efek mediasi yang bermakna. Pada
dasarnya abstraksi yang terdapat dalam budaya secara keseluruhan memiliki problematika yang
tinggi. Namun ada juga timbulnya argumen tentang kegunaan media sebenarnya pada masa
Imperialisme budayal imperialisme media yang harus kita coba ketahui dari luar

Imperialisme media adalah cara khusus untuk mempersoalkan tentang imperialisme budaya.
Bukan hanya sebuah nama agar kita mempelajari media guna pembangunan negara atau untuk
market internasional dalam komunikasi. Tetapi didalamnya melibatkan berbagai isu-isu politik
yang bersifat kompleks -termasuk juga komitmen potitik- yang mengarahkan kedalam pengertian
dominasi budaya[2].
Johan Galtung dalam tulisannya berjudul A Structural Theory of Imperialism mengembangkan
teori dependensia. Ia menjelaskan adanya dominasi negara maju atas negara berkembang dalam
bidang komunikasi ini. Menurut Galtung, dunia dikuasai oleh negara maju (pusat). Penyebaran
informasi ke negara-negara berkembang (pinggiran) tergantung sepenuhnya pada negara maju
tersebut. Karena itu, tidak heran kalau negara-negara maju dapat dengan mudah dan gencar
menyampaikan informasi berita-berita yang mempunyai bias kepentingan mereka secara politik,
sosial, ekonomi maupun budaya. Di sisi lain, negara-negara berkembang tidak mampu
menyaingi kedigdayaan informasi dan komunikasi negara-negara maju. Inilah yang akhirnya
menimbulkan benturan-benturan di dalam negara berkembang[3].

Begitulah peran dan pengaruh media massa dalam membentuk perilaku, pola hidup dan cara
pandang suatu masyarakat. Sebagai sarana penyampai informasi, media massa telah terbukti
mampu membentuk opini publik, yang pada gilirannya turut mewarnai arus utama dinamika
masyarakat tersebut. Saat ini media massa memainkan peranan sebagai kekuatan dalam
perubahan sosial. Bagaimana eksistensi media massa, kekuatan yang mengitari dan
mempengaruhi perkembangan media massa, hubungan pemerintah dan media massa di masa
lampau dan masa sekarang serta peran media massa sebagai penafsir informasi, pembujuk,
investigator dan hiburan saat ini sudah sedemikian dinamis dan bahkan saling kompetitif.

Media massa memang merupakan kekuatan massif yang mampu membentuk masyarakat.
Perkembangan dan kebangkrutan sebuah media massa sangat dipengaruhi oleh berbagai
kekuatan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang melingkupinya. Sebaliknya, perkembangan
ekonomi, sosial, politik dan budaya suatu masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh akses
informasi media massa yang mereka terima.

TEORI IMPERIALISME BUDAYA


Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Tulisan pertama
Schiller yang dijadikan dasar bagi munculnya teori ini adalah Communication and Cultural
Domination. Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di
seluruh dunia ini. Ini berarti pula, media massa negara Barat juga mendominasi media massa di
dunia ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media
dunia ketiga. Media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka
ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi
proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran
budaya asli di negara ketiga.
Kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini,
seperti film, berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu?
Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk
memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah
dikembangkan secara kapitalis. Dengan kata lain, media massa Barat sudah dikembangkan
menjadi industri yang juga mementingkan laba.
Kedua, mereka mempunyai teknologi. Dengan teknologi modern yang mereka punyai
memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah
nyata”. Jika Anda pernah menyaksikan film Titanic ada kesan kapal Titanic tersebut benar-benar
ada, padahal itu semua tidak ada. Bahkan ketika kapal tersebut akhirnya menabrak gunung es
dan tenggelam, seolah para penumpang kapal itu seperti berenang di laut lepas, padahal semua
itu semu belaka. Semua sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian
nyata. Semua itu bisa diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern.
Negara dunia ketiga tertarik untuk membeli produk Barat tersebut. Sebab, membeli
produk itu jauh lebih murah jika dibanding dengan membuatnya sendiri. Berapa banyak media
massa Indonesia yang setiap harinya mengakses dari media massa Barat atau kalau berita dari
kantor berita Barat. Setiap hari koran-koran di Indonesia seolah berlomba-lomba untuk
menampilkan tulisan dari kantor berita asing. Bahkan, foto demonstrasi di Jakarta yang
seharusnya bisa difoto oleh wartawan Indonesia sendiri justru berasal dari kantor berita AFP
(Perancis). Sesuatu yang sulit diterima, tetapi nyata terjadi.
Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di
negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan
pemikiran. Kalau kita menonton film Independence Day saat itu kita sedang belajar tentang
Bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam mencapai
kemerdekaan. Berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan dan pemikiran orang Amerika
ada dalam film itu. Mengapa bangsa di dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi yang
memberikan kebebasan berpendapat? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang
masuk ke dunia ketiga.
Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa
yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran
budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat.
Kejadian ini bisa dikatakan terjadinya imperialisme budaya Barat. Imperialisme itu dilakukan
oleh media massa Barat yang telah mendominasi media massa dunia ketiga.[1]
Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia
tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan
dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya
dari televisi. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan televisi.
Mengapa? Karena televisi menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan.
Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang
negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara
Barat, orang-orang dunia ketika akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir
dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari
kebudayaan Barat.
Teori imperislisme budaya ini juga tak lepas dari kritikan. Teori ini terlalu memandang
sebelah mata kekuatan audience di dalam menerima terpaan media massa dan
menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap bahwa budaya yang
berbeda (yang tentunya lebih maju) akan selalu membawa pengaruh peniruan pada orang-orang
yang berbeda budaya. Tetepi yang jelas, terpaan yang terus-menerus oleh suatu budaya yang
berbeda akan membawa pengaruh perubahan, meskipun sedikit.
HIPOTESA - MENGAPA BUDAYA ASING DAPAT MASUK?
Kebudayaan asli bangsa kita sudah tidak nampak. Padahal bangsa kita adalah bangsa
yang terkenal mempunyai berjuta ragam bahasa, adat suku dan sebagainya. Namun dalam hal ini,
pernahkah anda berpikir -sebagai individu yang juga sebagai “korban” globalisasi- bagaimana
hal itu bisa terjadi? Disini ada beberapa dugaan tentang hal ini yang rujukannya sebagian besar
kami kutip dari buku krya Denis Mc Quail[2].
Pertama, alasan dimasukinya budaya asing dikarenakan, massa dinilai sebagai sumber
atau agen perubahan sosial yang progresif. Karena memang pada dasarnya manusia itu terlalu
mudah untuk terpengaruh untuk melakukan sebuah hal yang baru.
Kedua, unsur-unsur budaya rakyat atau yang benar-benar dari rakyat serta sudah ada
sebelumnya perlahan-lahan punah. Budaya asing akhirnya masuk tanpa disadari. Orang-orang
menggunakan corak, tema, dan bahan-bahan tradisional dianggap terlalu sederhana dan dianggap
sebagai kehidupan kelas bawah. Disamping itu upaya pemerintah untuk melestarikannya sebagai
budaya yang hidup, biasanya dilakukan agak terlambat.
Ketiga, media menyerap beberapa unsur budaya asing lewat acaranya, lalu
menyesuaikannya dengan keadaan kehidupan masyarakat.
Keempat, budaya rakyat banyak mengalami pengikisan karena khalayak media kurang
meminatinya, dan jenis keterampilan yang mendukung budaya tersebut pun kurang diperlukan
dibanding jenis keterampilan yang mendukung budaya tinggi.

Anda mungkin juga menyukai