Tugas Kel 3 (Emma-Syifa) - Ekonomi Kesehatan-Pak Budi
Tugas Kel 3 (Emma-Syifa) - Ekonomi Kesehatan-Pak Budi
Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
Tentunya sumber dari demand adalah wants, meskipun tidak semua wants diwujudkan
sebagai demand. Tentunya beberapa demand dan wants dinilai sebagai need tapi tidak semua
need akan ditampung kedalam demand dan wants. Berarti ada sumber need yang sama sekali
terpisah dari demand maupun wants tadi ; maksudnya ahli kesehatan mungkin saja menentukan
need tertentu yang tidak termasuk dalam demand maupun wants dengan demikian need
mungkin saja demanded dan wanted; undemanded dan wanted; undemanded dan unwanted.
Apakah demand dan need dapat digabungkan? Salah satu cara untuk melakukan
penggabungan adalah dengan pendekatan agency relationship. Agar hubungan tersebut
beroperasi secara efisien, menurut Artells (1981) diperlukan tiga kelompok informasi yaitu
sebagai berikut:
a. Pengetahuan dasar tentang masalah medis, yaitu suatu bentuk informasi yang pada
dasarnya pasien tidak harus memilikinya. Informasi ini menyangkut pengetahuan
khusus untuk melakukan penilaian status kesehatan dan mengidentifikasikan perawatan
apa saja yang tersedia.
b. Keterangan tentang keadaan pasien meliputi pengetahuan tentang simptom pasien,
sejarah kesehatan dan keadaan lingkungan pasien sehingga memungkinkan dokter
untuk menerapkan ilmu kedokterannya terhadap kasus yang sedang dialami pasiennya.
c. Informasi tentang penilaian pasien sendiri tentang penyakit yang dideritanya termasuk
preferensi pasien atas berbagai alternatif perawatan yang tersedia, sikapnya dalam
menghadapi resiko dan penilaiannya atas kemungkinan trade off dari berbagai dimensi
keadaan sehat.
BAB II
PEMBAHASAN
Kasus Kelompok 3:
Rumah sakit memiliki potensi mengalami fenomena "supplier induced demand" yang
menggambarkan suatu keadaan fasilitas kesehatan (health provider) menetapkan
demand pasiennya dengan cara tidak berbasis pada need. Fenomena ini dikarenakan informasi
yang tidak berimbang (asymetry of information) antara penyedia pelayanan kesehatan dengan
pasien.
A. Contoh Fenomena "supplier induced demand"
Terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai Supplier Induced Demand, dimana istilah
ini menggambarkan suatu keadaan rumah sakit berpotensi menetapkan demand pasiennya
dengan cara tidak berbasis pada need. Patut ditekankan bahwa keadaan ini bukan suatu "over-
treatment". Supplier Induced Demand terjadi akibat tidak seimbangnya informasi yang ada
pada rumah sakit atau pelayan kesehatan dengan pasiennya. Contoh seorang dokter
meningkatkan demand pasiennya berbasis pada motivasi ekonomi untuk meningkatkan
pendapatannya. Selain itu supplier induced demand dapat diartikan penyalahgunaan hubungan
dokter-pasien oleh dokter dalam usaha memperoleh keuntungan pribadi dokter.
Sebagai gambaran dalam kasus tersebut, berbasis pada pendidikan dan pengalamannya,
dokter lebih menguasai informasi keluhan sakit pasien dibanding pasien sendiri yang
mengeluh. Dokter dalam hal ini bertindak sebagai pemberi jasa sekaligus bertindak sebagai
wakil dari pasien untuk mendapatkan jasa lain, misalnya obat-obatan, pemeriksaan, atau
tindakan kesehatan lainnya. Pemahaman pasien mengenai prosedur tindakan Kesehatan sangat
terbatas dan dokter mempunyai wewenang untuk bertindak atas nama pasien. Keadaan
informasi yang dimiliki oleh penjual dan pembeli yang tidak seimbang ini serupa dengan
hubungan kerja antara montir mobil dan pemilik mobil yang awam soal mesin dan hubungan
pengacara dengan klien- nya yang awam soal hukum. Akibat ketidakseimbangan pengetahuan
ini maka hubungan kerja dapat disalahgunakan untuk keuntungan dokter, montir, ataupun
pengacara, bahkan bisa untuk kepentingan dari pihak rumah sakit sendiri.
2. Pendekatan moral
Pendekatan moral dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dan penyuluhan
kepada institusi RS untuk menjaga etika dalam kiat meningkatkan pendapatannya. Hal ini
dianggap pendekatan yang rasional oleh orang-orang tertentu karena dianggap sumber
permasalahan adalah kurangnya kesadaran moral para pengelola RS. Dengan pendekatan
moral kita hanya dapat menjangkau orang yang memiliki kesadaran moral tertentu untuk tidak
berbuat diluar batas. Namun bila tidak ada system hukum yang dapat mencegahnya maka akan
terus berjalan.
3. Pendekatan system
Dalam rangka mencegah ekses pemasaran rumah sakit, pendekatan sistem yang bisa dilakukan
adalah dengan mengurangi asimetri pengetahuan antar dokter dan pasien. Dalam hal ini pihak
pasien perlu diwakili oleh lembaga yang mengetahui hak-hak dan kewajihannya. Lembaga
semacam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLK1) yang mempekerjakan dokter dapat
mewakili kepentingan pasien. Dengan adanya wakil pasien maka akan terdapat pressure group
apabila terdapat pelayanan yang kurang sesuai atau herlehihan. Namun yang lehih baik adalah
adanya pihak pembayar yang dapat mengontrol perilaku dokter dan rumah sakit agar tidak
merugikan kepentingan publik. Dengan pendekatan ini maka pihak rumah saki tidak punya
pilihan lain selain melakukan pelayaman medik yang akan dibayar oleh pihak pembayar. Pihak
pembayar dilain pihak juga dapat mempunyai kontrol terhadap jenis pelayanan yang dapat
diberikan atau yang harus diberikan karena kalau tidak maka pembayar akan mengalami
kerugian.
Pihak pembayar yang dimaksud diatas dapat berupa sebuah lembaga yang menjamin
Kesehatan penduduk suatu daerah melalui mekanisme pembayaran pra upaya. Lembaga
semacam ini sudah dirintis oleh Departemen Kesehatan dengan diberi nama Jaminan Pelayanan
Kesehatan Masyarakat (JPKM). Idealnya JPKM sebagai pembayar akan dapat mengontrol
mutu dan biaya pelayanan medik karena memiliki kepentingan finansial untuk pesert JPKM.
Dengan adanya sistem pembayaran pra upaya (tidak pasca upaya seperti saat ini) maka akan
dapat ditentukan paket pelayanan yang disetujui bersama. Supplier induced demand dapat
diatasi karena pihak pembayar akan merasa rugi bila setiap pesenra yang hamil harus dilakukan
pemeriksaan USG atau laboratorium yang terlalu canggih padahal tidak perlu atau tidak
darurat. Rumah sakit boleh saja melakukan berbagai metode promosi namun tidak akan banvak
berpengaruh karena pilihan berobat ke RS akan ditentukan dengan perjanjian antara pembayar
dan peserta. Bila RS yang melakukan promosi tersebut dianggap tidak baik mutu pelayanannya
oleh pembayar atau pelayanan yang dipromosikan tidak mempunyai nilai tambah medis maka
tidak akan dijamin oleh pembayar.
Rumah sakit juga dapat saja mempunyai banyak "pemasar” yang dibayar cukup tinggi
untuk menarik atau membujuk orang tertentu agar dating ke RS lertentu, namun pihak
pembayar akan mengevaluasi apakah indikasi masuk RS tersehut sesuai dengan prosedur
medik yang benar, dan yang lebih penting pembayar dapat menerapkan sistem bagi hasil yang
adil kepada pihak dokter apabila angka rujukan ke RS scsuai dengan kepentingun medik
sehingga dalam hal ini terjadi kebalikan. Justru apabila angka rujukan rendah maka dokter akan
untung. Kesengajaan memberikan informasi yang terbatas seperti kasus pemberian kode
terentu pada resep jelas dapat dicegah karena pihak pembavar dapat mengaudit resep yang ada.
Dengan demikian apabila obat tersebut ternyata tidak diperlukan dapat tidak dibayar.
Unnecessary treatment juga dapat dicegah karena bagi pembayar tidak ada untungnya
membayar sesuatu pelayanan atau pengobatan yang tidak perlu.
Namun perlu diperhatikan bahwa pihak pembayar dalam hal ini adalah bukan sekedar
perusahaan asuransi yang akan menanggung kerugian apapun asal ada premi yang dibayar
dimuka. Pembayar yang dapat mencegah terjadinya kerugian kepentingan publik kesehatan
yang dimaksud disini adalah pilak pembayar yang juga berkepentingan untuk meningkatkan
derajat kesehatan penduduk dan peduli tentang pentingnya kesamaan kesempatan dan cakupan
(akses) dari masyarakat luas akan kesehatan dan fasilitas kesehatan. Lembaga atau pembayar
semacam ini ditemukan dalam konsep Managed Health Care. Saat ini konsep tersebut dicoba
diterjemahkan oleh Departemen Kesehatan sebagai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat.
Pendekatan system dengan membentuk lembaga pembayar ini juga mempunyai
keuntungan penghematan sumber daya yang lebih besar daripada harus melalukan pendekatan
moral atau pendekatan hukum. Dengan pendekatan hukum maka akan diperlukan lembaga-
lembaga pengawas/pemantau atau inspektur (artinya perlu ada tenaga khusus yang digaji
khusus pula), dan pendekatan moral memerlukan sesi-sesi pertemuan serta media promosi yang
juga dapat menyerap sumber daya. Walaupun kedua pendekatan tersebut tetap penting dan
harus ada namun pendekatan system akan mengubah perilaku dengan sendirinya tanpa
pengorbanan sumber daya yang berlebihan.
KESIMPULAN
Pada prinsipnya analisis demand merupakan aktivitas dasar dalam manajemen rumah
sakit karena memberikan basis untuk menganalisis pengaruh pasar pada jenis kegiatan yang
dihasilkan rumah sakit dan mengadaptasikannya. Selain itu analisis demand juga akan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi demand dan memberikan arah untuk
perencanaan rumah sakit.
Faktor- faktor yang mempengaruhi demand pelayanan kesehatan antara lain: kebutuhan
berbasis pada aspek fisiologis; penilaian pribadi akan status kesehatannya; variabel-variabel
ekonomi seperti tarif, ada tidaknya sistem asuransi, dan penghasilan; variabel-variabel
demografis dan organisasi. Di samping faktor-faktor tersebut terdapat faktor lain misalnya,
pengiklanan, pengaruh jumlah dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengaruh inflasi.
Faktor-faktor ini satu sama lain saling terkait secara kompleks.
Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis menekankan pentingnya keputusan petugas
medis yang menentukan perlu tidaknya seseorang mendapat pelayanan medis. Keputusan
petugas medis ini akan mempengaruhi penilaian seseorang akan status kesehatannya.
Berdasarkan situasi ini maka demand pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan atau dikurangi.
Faktor-faktor ini dapat diwakilkan dalam pola epidemiologi yang seharusnya diukur
berdasarkan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, data epidemiologi yang ada sebagian besar
menggambarkan puncak gunung es yaitu demand, bukan kebutuhan (needs).
DAFTAR PUSTAKA