Anda di halaman 1dari 10

Laporan Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan

“supplier induced demand”

Disusun Oleh:

Emma Puspita K (I2A022001)


Syifa Nurfadlilah S (I2A022009)

Konsentrasi Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK)


Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat
Universitas Jenderal Soedirman
2022
BAB I

PENDAHULUAN

Ada 2 pendekatan yang lazim digunakan dalam membahas permintaan (demand)


terhadap jasa pelayanan kesehatan. Pertama yaitu teori agency relationship atau yang lebih
dikenal dengan supplier induced demand model. Sedangkan pendekatan yang kedua yaitu
investment model yang diajukan oleh Grossman (1972).
Supplier Induced Demand menggambarkan suatu keadaan dimana seorang dokter
menetapkan demand pasiennya dengan cara tidak berbasis pada need. Penetapan ini dilakukan
dengan basis usaha meningkatkan demand dari tingkat yang seharusnya. Dengan demikian
istilah terjemahannya adalah “dokter meningkatkan demand” pasiennya.
Supplier Induced Demand terjadi akibat tidak seimbangnya informasi yang ada pada
dokter dengan pasiennya (Rice 1998). Dokter meningkatkan demand pasiennya berbasis pada
motivasi ekonomi untuk meningkatkan pendapatannya. Folland dkk (2001), memberikan suatu
pernyataan bahwa supplier induced demand adalah penyalahgunaan hubungan dokter-pasien
oleh dokter dalam usaha memperoleh keuntungan pribadi dokter. Supplier induced demand
terutama terjadi pada sistem pembayaran fee-for-service. Apabila tidak terdapat etika yang
kuat, maka dengan mudah akan terjadi penyimpangan profesi. Prinsip bahwa “bangsal rumah
sakit harus diisi” dapat mendorong terjadinya Supplier Induced Demand”.
Pada fenomena supplier induced demand peranan pasien begitu kecil dibandingkan
pada ahli/tenaga kesehatan dalam membentuk atau menentukan permintaan terhadap jasa
pelayanan kesehatan. Sementara Grossman menyatakan bahwa konsumen (pasien) cukup
memiliki informasi dan kebebasan dalam menentukan permintaannya.
Hubungan antara need dengan demand merupakan sesuatu yang rumit dengan beberapa
argumentasi sebagai berikut:
a. Sebagai individu semua orang sering mempunyai wants kesehatan yang lebih baik dari
yang dimiliki saat ini.
b. Sebagian individu tidak melakukan apapun dengan wants tadi dan sebagian lagi secara
aktif berusaha memperoleh pelayanan kesehatan misalnya secara rutin melakukan
kontrol ke dokter pribadi dan sebagainya.
c. Terkadang para dokter tidak sependapat tentang penilaian wants atau demand. Para
dokter mengatakan bahwa beberapa wants atau demand kita tidak selalu membutuhkan
perawatan. Atau ada beberapa aspek kesehatan yang lebih baik yang seharusnya lebih
diperhatikan tapi luput dari perhatian kita. Sebenarnya justeru yang luput dari perhatian
tersebutlah yang memerlukan perawatan.
Cooper (1975) mencoba memformulasikan ketiga hal di atas secara diagramatis seperti
pada gambar berikut ini:

Tentunya sumber dari demand adalah wants, meskipun tidak semua wants diwujudkan
sebagai demand. Tentunya beberapa demand dan wants dinilai sebagai need tapi tidak semua
need akan ditampung kedalam demand dan wants. Berarti ada sumber need yang sama sekali
terpisah dari demand maupun wants tadi ; maksudnya ahli kesehatan mungkin saja menentukan
need tertentu yang tidak termasuk dalam demand maupun wants dengan demikian need
mungkin saja demanded dan wanted; undemanded dan wanted; undemanded dan unwanted.
Apakah demand dan need dapat digabungkan? Salah satu cara untuk melakukan
penggabungan adalah dengan pendekatan agency relationship. Agar hubungan tersebut
beroperasi secara efisien, menurut Artells (1981) diperlukan tiga kelompok informasi yaitu
sebagai berikut:
a. Pengetahuan dasar tentang masalah medis, yaitu suatu bentuk informasi yang pada
dasarnya pasien tidak harus memilikinya. Informasi ini menyangkut pengetahuan
khusus untuk melakukan penilaian status kesehatan dan mengidentifikasikan perawatan
apa saja yang tersedia.
b. Keterangan tentang keadaan pasien meliputi pengetahuan tentang simptom pasien,
sejarah kesehatan dan keadaan lingkungan pasien sehingga memungkinkan dokter
untuk menerapkan ilmu kedokterannya terhadap kasus yang sedang dialami pasiennya.
c. Informasi tentang penilaian pasien sendiri tentang penyakit yang dideritanya termasuk
preferensi pasien atas berbagai alternatif perawatan yang tersedia, sikapnya dalam
menghadapi resiko dan penilaiannya atas kemungkinan trade off dari berbagai dimensi
keadaan sehat.
BAB II

PEMBAHASAN

Kasus Kelompok 3:
Rumah sakit memiliki potensi mengalami fenomena "supplier induced demand" yang
menggambarkan suatu keadaan fasilitas kesehatan (health provider) menetapkan
demand pasiennya dengan cara tidak berbasis pada need. Fenomena ini dikarenakan informasi
yang tidak berimbang (asymetry of information) antara penyedia pelayanan kesehatan dengan
pasien.
A. Contoh Fenomena "supplier induced demand"
Terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai Supplier Induced Demand, dimana istilah
ini menggambarkan suatu keadaan rumah sakit berpotensi menetapkan demand pasiennya
dengan cara tidak berbasis pada need. Patut ditekankan bahwa keadaan ini bukan suatu "over-
treatment". Supplier Induced Demand terjadi akibat tidak seimbangnya informasi yang ada
pada rumah sakit atau pelayan kesehatan dengan pasiennya. Contoh seorang dokter
meningkatkan demand pasiennya berbasis pada motivasi ekonomi untuk meningkatkan
pendapatannya. Selain itu supplier induced demand dapat diartikan penyalahgunaan hubungan
dokter-pasien oleh dokter dalam usaha memperoleh keuntungan pribadi dokter.
Sebagai gambaran dalam kasus tersebut, berbasis pada pendidikan dan pengalamannya,
dokter lebih menguasai informasi keluhan sakit pasien dibanding pasien sendiri yang
mengeluh. Dokter dalam hal ini bertindak sebagai pemberi jasa sekaligus bertindak sebagai
wakil dari pasien untuk mendapatkan jasa lain, misalnya obat-obatan, pemeriksaan, atau
tindakan kesehatan lainnya. Pemahaman pasien mengenai prosedur tindakan Kesehatan sangat
terbatas dan dokter mempunyai wewenang untuk bertindak atas nama pasien. Keadaan
informasi yang dimiliki oleh penjual dan pembeli yang tidak seimbang ini serupa dengan
hubungan kerja antara montir mobil dan pemilik mobil yang awam soal mesin dan hubungan
pengacara dengan klien- nya yang awam soal hukum. Akibat ketidakseimbangan pengetahuan
ini maka hubungan kerja dapat disalahgunakan untuk keuntungan dokter, montir, ataupun
pengacara, bahkan bisa untuk kepentingan dari pihak rumah sakit sendiri.

B. Bentuk Intervensi dari Pemerintah yang dapat dilakukan


Pengeluaran kesehatan pada suatu negara dapat dibentuk oleh pengeluaran publik dan
swasta. Demi mencapai tujuan kesehatan melalui peningkatan pengeluaran kesehatan,
pemerintah dapat lebih berperan melalui otoritasnya dalam menentukan pengeluaran kesehatan
publik dibandingkan pengeluaran kesehatan swasta. Dalam kasus Indonesia, pengeluaran
kesehatan publik diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yang menyatakan
bahwa alokasi anggaran kesehatan pemerintah adalah sebesar minimal 5% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diluar gaji.
Berdasarkan adanya hubungan positif antara pengeluaran Kesehatan terutama
pengeluaran kesehatan public dan kesehatan, serta adanya rekomendasi terkait proporsi
pengeluaran kesehatan minimal sebuah negara, Indonesia perlu mengevaluasi besaran
pengeluaran kesehatan demi mencapai berbagai indikator kesehatan dalam Sustainable
Development Goals (SDGs) dan jaminan kesehatan semesta yang berkesinambungan.
Salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian yang dapat secara
langsung memengaruhi kesehatan masyarakat adalah kebijakan fiskal. Tujuan kebijakan fiskal
untuk kesehatan dapat dibagi ke dalam tiga hal utama, yaitu untuk menekan perilaku tidak sehat
(unhealthy behaviours), mempromosikan perilaku sehat dan pencegahan penyakit, serta
memperluas cakupan dan akses layanan kesehatan. Selain tiga hal utama tersebut, pemerintah
juga menerapkan kebijakan fiskal pada beberapa komoditas yang secara tidak langsung
memengaruhi kesehatan, seperti sanitasi dan air bersih, makanan pokok, dan listrik.
Kebijakan fiskal untuk kesehatan juga dapat dibagi berdasarkan statusnya dalam
anggaran negara, yaitu pengeluaran dan pemasukan. Pada sisi pendapatan pemerintah,
kebijakan fiskal untuk kesehatan dapat berupa iuran (asuransi kesehatan publik), pajak dan
cukai komoditas tertentu, dan pengaturan bea masuk alat- alat atau komoditas kesehatan;
sedangkan pada sisi pengeluaran pemerintah, kebijakan fiskal untuk kesehatan bisa dalam
bentuk subsidi atau pengadaan langsung.
Pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan fiskal untuk mendorong promosi perilaku
sehat dan pencegahan penyakit, yang pada umumnya dilakukan melalui subsidi dan penyediaan
langsung. Kebijakan fiskal juga dapat diterapkan pada penyediaan hal terkait layanan
kesehatan, seperti asuransi kesehatan, obat-obatan, dan biaya layanan kesehatan. Apabila hal-
hal tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah untuk fenomena supplier induced demand di
Indonesia setidaknya bisa teratasi.
Langkah-langkah antisipasi & solusi yang dapat dilakukan:
1. Penerapan peraturan (law enforcement)
Ketika kepentingan publik dirugikan adalah kewajiban pemerintah untuk
mencegahnya. Namun berbagai kiat yang dikemukakan diatas sangat sulit diintervensi melalui
law enforcement. Supplier induced demand akan selalu berlindung dibalik kemandirian dokter
dalam menentukan apa yang terbaik bagi pasiennya. Demikian juga mengenai pengobatan yang
tidak perlu. Promosi atau publikasi yang menyesatkan dapat lebih mudah ditertibkan, namun
penggunaan “pihak ketiga” atau pemasar dalam mengirim pasien akan sulit dicari buktinya.
Pemberian informasi yang kurang lengkap juga sulit dicari buktinya.

2. Pendekatan moral
Pendekatan moral dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dan penyuluhan
kepada institusi RS untuk menjaga etika dalam kiat meningkatkan pendapatannya. Hal ini
dianggap pendekatan yang rasional oleh orang-orang tertentu karena dianggap sumber
permasalahan adalah kurangnya kesadaran moral para pengelola RS. Dengan pendekatan
moral kita hanya dapat menjangkau orang yang memiliki kesadaran moral tertentu untuk tidak
berbuat diluar batas. Namun bila tidak ada system hukum yang dapat mencegahnya maka akan
terus berjalan.

3. Pendekatan system
Dalam rangka mencegah ekses pemasaran rumah sakit, pendekatan sistem yang bisa dilakukan
adalah dengan mengurangi asimetri pengetahuan antar dokter dan pasien. Dalam hal ini pihak
pasien perlu diwakili oleh lembaga yang mengetahui hak-hak dan kewajihannya. Lembaga
semacam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLK1) yang mempekerjakan dokter dapat
mewakili kepentingan pasien. Dengan adanya wakil pasien maka akan terdapat pressure group
apabila terdapat pelayanan yang kurang sesuai atau herlehihan. Namun yang lehih baik adalah
adanya pihak pembayar yang dapat mengontrol perilaku dokter dan rumah sakit agar tidak
merugikan kepentingan publik. Dengan pendekatan ini maka pihak rumah saki tidak punya
pilihan lain selain melakukan pelayaman medik yang akan dibayar oleh pihak pembayar. Pihak
pembayar dilain pihak juga dapat mempunyai kontrol terhadap jenis pelayanan yang dapat
diberikan atau yang harus diberikan karena kalau tidak maka pembayar akan mengalami
kerugian.
Pihak pembayar yang dimaksud diatas dapat berupa sebuah lembaga yang menjamin
Kesehatan penduduk suatu daerah melalui mekanisme pembayaran pra upaya. Lembaga
semacam ini sudah dirintis oleh Departemen Kesehatan dengan diberi nama Jaminan Pelayanan
Kesehatan Masyarakat (JPKM). Idealnya JPKM sebagai pembayar akan dapat mengontrol
mutu dan biaya pelayanan medik karena memiliki kepentingan finansial untuk pesert JPKM.
Dengan adanya sistem pembayaran pra upaya (tidak pasca upaya seperti saat ini) maka akan
dapat ditentukan paket pelayanan yang disetujui bersama. Supplier induced demand dapat
diatasi karena pihak pembayar akan merasa rugi bila setiap pesenra yang hamil harus dilakukan
pemeriksaan USG atau laboratorium yang terlalu canggih padahal tidak perlu atau tidak
darurat. Rumah sakit boleh saja melakukan berbagai metode promosi namun tidak akan banvak
berpengaruh karena pilihan berobat ke RS akan ditentukan dengan perjanjian antara pembayar
dan peserta. Bila RS yang melakukan promosi tersebut dianggap tidak baik mutu pelayanannya
oleh pembayar atau pelayanan yang dipromosikan tidak mempunyai nilai tambah medis maka
tidak akan dijamin oleh pembayar.
Rumah sakit juga dapat saja mempunyai banyak "pemasar” yang dibayar cukup tinggi
untuk menarik atau membujuk orang tertentu agar dating ke RS lertentu, namun pihak
pembayar akan mengevaluasi apakah indikasi masuk RS tersehut sesuai dengan prosedur
medik yang benar, dan yang lebih penting pembayar dapat menerapkan sistem bagi hasil yang
adil kepada pihak dokter apabila angka rujukan ke RS scsuai dengan kepentingun medik
sehingga dalam hal ini terjadi kebalikan. Justru apabila angka rujukan rendah maka dokter akan
untung. Kesengajaan memberikan informasi yang terbatas seperti kasus pemberian kode
terentu pada resep jelas dapat dicegah karena pihak pembavar dapat mengaudit resep yang ada.
Dengan demikian apabila obat tersebut ternyata tidak diperlukan dapat tidak dibayar.
Unnecessary treatment juga dapat dicegah karena bagi pembayar tidak ada untungnya
membayar sesuatu pelayanan atau pengobatan yang tidak perlu.
Namun perlu diperhatikan bahwa pihak pembayar dalam hal ini adalah bukan sekedar
perusahaan asuransi yang akan menanggung kerugian apapun asal ada premi yang dibayar
dimuka. Pembayar yang dapat mencegah terjadinya kerugian kepentingan publik kesehatan
yang dimaksud disini adalah pilak pembayar yang juga berkepentingan untuk meningkatkan
derajat kesehatan penduduk dan peduli tentang pentingnya kesamaan kesempatan dan cakupan
(akses) dari masyarakat luas akan kesehatan dan fasilitas kesehatan. Lembaga atau pembayar
semacam ini ditemukan dalam konsep Managed Health Care. Saat ini konsep tersebut dicoba
diterjemahkan oleh Departemen Kesehatan sebagai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat.
Pendekatan system dengan membentuk lembaga pembayar ini juga mempunyai
keuntungan penghematan sumber daya yang lebih besar daripada harus melalukan pendekatan
moral atau pendekatan hukum. Dengan pendekatan hukum maka akan diperlukan lembaga-
lembaga pengawas/pemantau atau inspektur (artinya perlu ada tenaga khusus yang digaji
khusus pula), dan pendekatan moral memerlukan sesi-sesi pertemuan serta media promosi yang
juga dapat menyerap sumber daya. Walaupun kedua pendekatan tersebut tetap penting dan
harus ada namun pendekatan system akan mengubah perilaku dengan sendirinya tanpa
pengorbanan sumber daya yang berlebihan.

C. Bentuk Intervensi di Sistem Kesehatan Indonesia


Kebijakan fiskal untuk kesehatan di Indonesia masih memiliki banyak ruang untuk
perbaikan. Pemahaman tentang hubungan antara ekonomi makro dan kesehatan diperlukan
untuk dapat menganalisis sebab dan akibat dari perubahan dan kebijakan pada satu indikator
terhadap indikator satunya. Meskipun peran kesehatan terhadap perekonomian sempat
terabaikan oleh pembuat kebijakan terdahulu, kini peran kesehatan dalam perekonomian
semakin mendapat perhatian dalam dunia ilmiah maupun kebijakan publik. Untuk saat ini
Pemerintah sudah mengupayakan semaksimal mungkin terkait permasalahan Kesehatan di
Indonesia, dengan BPJS atau sekarang lebih dikenal dengan KIS (Kartu Indonesia Sehat)
dimana tujuannya untuk pemerataan Kesehatan masyarakat. Hanya saja untuk saat ini masih
sangat perlu dievaluasi kembali dan dilakukan perbaikan – perbaikan untuk bisa lebih
mensejahterakan masyarakat maupun pemberi layanan kesehatan seperti Rumah sakit,
Puskesmas, Dokter dan sebagainya. Sehingga pemerataan status Kesehatan di Indonesia tidak
lagi terjadi fenomena supplier induced demand.
Usaha pemerintah untuk mengatasi hal tersebut sebenarnya sudah dilandasi dengan
Undang- Undang atau bahkan ada dasar dari Permenkes, tapi untuk kesejahteraan ke pemberi
layanan kesehatan perlu diperhatikan dan ditinjau lagi oleh pemerintah saat ini. Besar kecilnya
demand dan need sebaiknya dipahami dengan baik oleh tenaga-tenaga kesehatan. Dalam hal
ini harus ada pengertian mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi demand for health
dan demand for health care melalui analisis yang tepat. Analisis demand yang pada akhirnya
akan menghasilkan peramalan demand merupakan hal penting untuk dilakukan oleh suatu
rumah sakit. Dari peramalan demand ini akan timbul berbagai pertanyaan seperti: (1) berapa
jumlah dan jenis tenaga medis yang diperlukan untuk memenuhi demand terhadap pelayanan
rumah sakit pada masa mendatang?; (2) apakah produksi pelayanan rumah sakit saat ini sudah
cukup untuk memenuhi demand? ; dan (3) apakah sarana, prasarana, dan berbagai kegiatan
pokok rumah sakit dapat diandalkan untuk memenuhi demand pada masa mendatang.
BAB III

KESIMPULAN

Pada prinsipnya analisis demand merupakan aktivitas dasar dalam manajemen rumah
sakit karena memberikan basis untuk menganalisis pengaruh pasar pada jenis kegiatan yang
dihasilkan rumah sakit dan mengadaptasikannya. Selain itu analisis demand juga akan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi demand dan memberikan arah untuk
perencanaan rumah sakit.
Faktor- faktor yang mempengaruhi demand pelayanan kesehatan antara lain: kebutuhan
berbasis pada aspek fisiologis; penilaian pribadi akan status kesehatannya; variabel-variabel
ekonomi seperti tarif, ada tidaknya sistem asuransi, dan penghasilan; variabel-variabel
demografis dan organisasi. Di samping faktor-faktor tersebut terdapat faktor lain misalnya,
pengiklanan, pengaruh jumlah dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengaruh inflasi.
Faktor-faktor ini satu sama lain saling terkait secara kompleks.
Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis menekankan pentingnya keputusan petugas
medis yang menentukan perlu tidaknya seseorang mendapat pelayanan medis. Keputusan
petugas medis ini akan mempengaruhi penilaian seseorang akan status kesehatannya.
Berdasarkan situasi ini maka demand pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan atau dikurangi.
Faktor-faktor ini dapat diwakilkan dalam pola epidemiologi yang seharusnya diukur
berdasarkan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, data epidemiologi yang ada sebagian besar
menggambarkan puncak gunung es yaitu demand, bukan kebutuhan (needs).
DAFTAR PUSTAKA

Cooper MH. 1975. Rationing Health Care. Croom – Helm : London.


Grossman G. 1972. Human Capital Approach . Journal of Political Economics.
Grossman M. 1972a. The Demand for Health : A Theorical and Emperical Investigation.
National Bureau of Economic Research Occasional Paper 119. Columbia University
Press : New York – London.
Grossman M. 1972b. On the Concept of Health Capital and the Demand for Health. Journal of
Political Economy, 80.
Munadhir. (2017) ‘Bahan Ajar Ekonomi Kesehatan FKM UPRI’. Makassar
Riyarto, Sigit. (2000) ‘( Berbagai Kiat Rumah Sakit Untuk Meningkatkan Pendapatan: Potensi
Kerugian Kepentingan Publik dan Antisipasinya )’, Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 3(3), pp. 115-120.

Anda mungkin juga menyukai