Anda di halaman 1dari 5

Analisis Kependudukan:

Kebijakan One Child Policy di China


Nayyiroh (1312 100 050)
Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia
e-mail: nayyiroh@gmail.com

Sejarah Kebijakan One Child Family


Pada tahun 1960-an, para pejabat China memberi kebebasan untuk menentukan ukuran
keluarga pasangan di China.Di bawah kepemimpinan Mao Zedong (1893-1976), keluarga
didorong untuk memiliki anak sebanyak mungkin. Mao percaya bahwa pertumbuhan
penduduk membuat negara semakin kuat. Mao, sejalan dengan teorinya bahwa China yang
padat adalah China yang makmur, mencegah program keluarga berencanaseperti yang
sedang diusulkan oleh negara lain pada saat itu.
Pada tahun 1979, pemimpin China, Deng Xiaoping, membuat kebijakan one child
policy ini guna mengatasi berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang timbul akibat
ledakan penduduk sebelum era kepemimpinannya. Kebijakan ini ditujukan kepada Han
Chinese, etnis mayoritas yang ada di China. Pada awal tahun 1980an, China sedikit
melonggarkan kebijakan satu anak ini, yakni memperbolehkan sepasang orang tua memiliki
anak kedua jika masing-masing dari mereka merupakan anak tunggal. Kelonggaran kebijakan
ini juga ditujukan kepada pasangan yang tinggal di pinggiran China dan etnis minoritas
dengan populasi sedikit di China[1].
Latar belakang kebijakan ini dibuat adalah baby boom yang terjadi pada tahun 1950an
yang mengakibatkan jumlah populasi mencapai 500 juta orang. Pada tahun 1960an, baby
boomers ini memasuki usia reproduktif dan hal ini berimbas pada meningkatnya jumlah
populasi China secara cepat pada tahun 1979. Dua pertiga dari populasi China berusia di
bawah 30 tahun. Diketahui pada tahun tersebut, jumlah populasi China adalah seperempat
jumlah populasi seluruh dunia, dengan luas area China yang hanya 7% dari luas area dunia.
Setidaknya 800 juta orang memadati wilayah China dengan tingkat kelahiran adalah 5,5 anak
per perempuan. Untuk memastikan bahwa pertumbuhan populasi ini dapat terkendali dan
tidak melampaui pengembangan ekonomi serta menghindari eksploitasi berlebihan pada
sumber daya alam dan lingkungan, maka diberlakukanlah kebijakan satu anak ini[2].
Berhentinya Kebijakan One Child Family dan Pendapat Masyarakat China
Setelah lebih dari tiga dekade 36 tahun kebijakan ini diberlakukan, Pemerintah China
mengeluarkan mandat yang berisi tentang diberhentikannya kebijakan ini secara resmi mulai
tanggal 29 Oktober 2015. Pemerintah China yang mengklaim bahwa telah berhasil mencegah
400 juta kelahiran ini akhirnya memberhentikan kebijakan ini dengan alasan demografi:
terlalu banyak warga China yang saat ini memasuki masa pensiun dan sedikit sekali jumlah
populasi China yang memasuki usia produktif (15 sampai 64 tahun) dan melanjutkan
pertumbuhan ekonomi nasional. Setidaknya 30% dari populasi China berusia lebih dari 50
tahun dan jumlah populasi China yang bekerja telah menurun selama tiga tahun terakhir ini [1].
The United Nations memproyeksikan bahwa China akan kehilangan 67 juta pekerja mulai
tahun 2010 hingga 2030, pada saat yang sama, populasi China berusia lanjut akan meningkat
dari 110 juta pada tahun 2010 menjadi sejumlah 210 juta orang pada tahun 20130[3].
Menurut Cai Yong, seorang ahli bidang demografi China dari University of North
Carolina mengatakan bahwa angka kelahiran masih jauh di bawah harapan para ahli.
Berdasarkan Chinas National Health and Family Planning Commission, sampai saat ini
tercatat ada 1,45 juta akta kelahiran baru yang dikeluarkan. Pengaruh kebijakan ini sudah
1

melekat bahkan sampai ke warga pinggiran China yang enggan memiliki lebih dari satu anak
karena akan berpengaruh pada bertambahnya biaya hidup yang harus mereka tanggung[3].
Beberapa pakar demografi dan pakar ekonomi berpendapat bahwa kebijakan baru yakni
two-child policy ini akan membawa perubahan yang sangat kecil terhadap pertumbuhan
ekonomi China dan juga tidak begitu berpengaruh besar pada permasalahan krisis tenaga
kerja. Masyarakat China kebanyakan lebih memilih untuk menunda menikah atau memiliki
sedikit anak bahkan tidak memiliki anak satupun seiring dengan biaya hidup yang semakin
tinggi. Menurut Cai, tingkat kelahiran yang mencapai 1,5 anak per perempuan ini tidak akan
meningkatkan signifikan selama perempuan China memilih menunda menikah dan
melahirkan[3].
Respon masyarakat China terhadap kebijakan baru ini beragam. Meskipun tidak ada
kebijakan satu anak, banyak warga China yang khawatir untuk memiliki anak kedua karena
akan menambah beban biaya hidup yang harus mereka tanggung, seperti biaya pendidikan
dan kebutuhan sehari-hari yang cukup mahal, belum lagi waktu dan tenaga yang harus
mereka keluarkan[4].
Implementasi Kebijakan One Child Family
Dalam mengimplementasikan kebijakan satu anak, Pemerintah China membentuk
regulasi yang mengatur tentang batasan jumlah orang dalam satu keluarga dan usia
pernikahan ideal dan usia melahirkan. Pemerintah membentuk The State Family Planning
Bureau yang bertugas untuk membuat regulasi tersebut dan membentuk Family-Planning
Committees di tiap provinsi untuk mengimplementasikan strategi yang telah dibuat. Bagi
keluarga yang menaati kebijakan satu anak, ada imbalan yaitu upah yang lebih tinggi, sekolah
yang lebih baik, pekerjaan, dan perlakuan istimewa dalam memperoleh bantuan pemerintah
dan pinjaman. Bagi keluarga yang melanggar kebijakan satu anak, ada sanksi berupa denda,
pemutusan hubungan kerja, dan kesulitan dalam memperoleh bantuan pemerintah.
Dampak Kebijakan One Child Family
Kebijakan satu anak yang telah berlangsung selama 35 tahun ini telah berdampak pada
berbagai sektor, berikut ulasannya:
a. Laju Pertumbuhan Penduduk

Berdasarkan data yang dihimpun oleh The World Bank, jumlah populasi pada tahun 1979
mencapai 969 juta orang dengan laju pertumbuhan penduduk 1,334%. Angka populasi
memang bertambah mencapai angka 1,357 miliar orang pada tahun 2013, namun laju
pertumbuhan penduduk terus mengalami penurunan hingga 0,494% pada tahun 2013. Laju
pertumbuhan yang terus menurun ini berdampak pada rasio penduduk usia produktif dan
penduduk usia lanjut[5].
2

Berdasarkan proyeksi yang dilakukan The Wall Street Journal dari berbagai sumber data,
jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan terus menurun hingga tahun 2050[4].
Pada saat yang sama, jumlah penduduk usia lanjut atau lebih drai 65 tahun akan
membeludak The United Nations memproyeksikan bahwa China akan kehilangan 67 juta
pekerja mulai tahun 2010 hingga 2030, pada saat yang sama, populasi China berusia lanjut
akan meningkat dari 110 juta pada tahun 2010 menjadi sejumlah 210 juta orang pada
tahun 20130[3]. Masalah berkurangnya tenaga kerja ini berimbas pada lesunya
pertumbuhan ekonomi di China.

China melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi ata GDP melemah pada angka 6,9% atau
turun 7% selama 6 tahun terakhir ini. Penurunan ini berlanjut hingga sekarang. Disparitas
antara penduduk usia produktif dan usia lanjut yang sangat tinggi ini menyulitkan China
untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan menyokong populasi yang terus bertambah[6].

Gambar Piramida Penduduk China Tahun 1990, Tahun 2000, dan Tahun 2015

b. Total Fertility Rate

Berdasarkan data The World Bank, tingkat fertilitas pada tahun 1970 mencapai 5,47
kelahiran per perempuan dengan angka harapan hidup 62 tahun. Angka ini terus menurun
sampai pada tahun 2013 tercatat tingkat fertilitas di China adalah 1,668 kelahiran per
perempuan dengan angka harapan hidup 75 tahun. Jika ditinjau dari angka ini, bisa
dikatakan bahwa kebijakan satu anak berhasil menekan ledakan penduduk hingga
maksimal dua anak tiap keluarga. Namun di balik itu, ada berbagai masalah yang timbul
sepertinya warga dipaksa untuk melakukan sterilisasi, aborsi, hingga tidak mendaftarkan
anak kedua yang lahir[4]. Pada tahun 2005, setidaknya 87% perempuan yang sudah
menikah menggunakan alat kontrasepsi, dengan 80% diantaranya mengatakan bahwa ia
tidak memiliki pilihan lain dan hanya menyetujui rekomendasi dari family planning
worker. Angka aborsi pada tahun tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan
Amerika Serikat, sekitar 25% perempuan berusia produktif pernah melakukan satu kali
aborsi. Alasan dari pemilihan aborsi ini adalah adanya kegagalan alat kontrasepsi dan
kebijakan satu anak ini. Bagi perempuan yang takut melakukan aborsi, satu-satunya jalan
yang dilakukan adalah membiarkan anaknya hidup namun ia tidak mendaftarkan suratsurat kependudukannya kepada pemerintah Cina[2].
c. Sex Ratio

The Economist mengatakan bahwa pada tahun 2050, akan ada 186 pria lajang di China
untuk setiap 100 perempuan lajang. Pada tahun 2014, rasio pria dan perempuan adalah 116
banding 100, dengan rata-rata rasio pria dan perempuan di dunia adalah 105 banding
100[5].

REFERENCES
[1] W. Connett, Understanding Chinas Former One Child Policy, 29 Oktober 2015,
[Online]. Available:
http://www.investopedia.com/articles/investing/120114/understanding-chinas-one-childpolicy.asp [Diakses 17 November 2015]
[2] T. Hesketh, L.Lu, Z.W.Xing, The Effect of Chinas One-Child Family Policy after 25
Years, The New England Journal of Medicine 353;11, (2005)
[3] L. Burkitt, 5 Things To Know About One-Child Policy, 29 Oktober 2015, [Online].
Available: http://blogs.wsj.com/briefly/2015/10/29/5-things-to-know-about-chinas-onechild-policy/ [Diakses 17 November 2015]
[4] L. Burkitt, China Abandons One-Child Policy, 29 Oktober 2015, [Online]. Available:
http://www.wsj.com/articles/china-abandons-one-child-policy-1446116462/ [Diakses 17
November 2015]
[5] D. Floyd, Benefits of China Changing Its One Child Policy, 30 Oktober 2015,
[Online]. Available: http://www.investopedia.com/articles/investing/052115/chineseopportunities-changing-child-policy.asp [Diakses 17 November 2015]
[6] M. DeCambre, Chart Show Why China Ended Its 35-year-old One-Child Policy, 29
Oktober 2015, [Online]. Available: http://www.marketwatch.com/story/charts-show-whychina-ended-its-35-year-old-one-child-policy-2015-10-29 [Diakses 17 November 2015]

Anda mungkin juga menyukai