ETIKA DEONTOLOGIS
Disusun oleh:
Kelompok 1
Puji dan syukur kami senantiasa panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
izin-Nya, rahmat-Nya, dan karunia-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Teori Etika Deontologis” ini tepat pada waktunya.
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Oscar
Yasunari, S.S., M.M. pada mata kuliah etika dasar. Kami berharap agar apa yang kami tulis
di makalah ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi banyak orang yang membacanya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Oscar Yasunari, S.S., M.M . sebagai
dosen mata kuliah etika dasar yang telah memberikan tugas ini sehingga pengetahuan dan
wawasan kami bertambah.
Kami meminta maaf jika hasil makalah ini jauh dari sempurna. Maka dari itu, kami
membutuhkan kritik dan masukkan yang akan meningkatkan pengetahuan kami agar lebih
berkembang menjadi lebih baik di masa mendatang.
Penulis
I. Daftar Isi
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
Pendahuluan 14
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 4
Tujuan Pembahasan 4
Pembahasan 6
2.1. Pengertian Etika Deontologis 6
2.2. Penjelasan menurut ahli 7
2.2.1. Immanuel Kant 7
2.2.1.1. Kritik Hegel 9
2.2.1.2. Kritik Berten 10
2.2.1.2. Kritik Keraf 10
2.2.2. W.D Ross 11
2.2.3. John Stuart Mill 12
2.3. Contoh Kasus 12
2.4. Kekuatan Etika Deontologis 12
2.5. Kekurangan Etika Deontologis 13
BAB III 14
Penutup 14
3.1. Kesimpulan 14
3.2. Saran 14
Daftar Pustaka 15
BAB I
Pendahuluan
Sebagai manusia, kita diciptakan sebagai makhluk sosial. Dimana setiap manusia
hidup berdampingan dan akan bergantung dengan orang lain serta memiliki kewajiban untuk
bertindak sesuai dengan etika yang ada di dalam ruang lingkupnya. Etika merupakan segala
sesuatu yang bersangkutan dengan tingkah laku manusia yang didasarkan pada nilai-nilai
moral di dalamnya. Dengan contoh, kita sebagai masyarakat Indonesia diharuskan bersikap
sesuai dengan etika yang berlaku di negara Indonesia. Untuk dapat bertindak sesuai dengan
etika-etika yang ada, kita harus mencari tahu lebih dalam lagi mengenai teori-teori etika yang
ada. Terdapat banyak teori etika dan salah satunya adalah teori etika deontologis. Dengan
adanya teori deontologis, kami harus bisa memilih apa yang akan kita lakukan untuk
mencapai tujuan yang baik.
Dalam makalah ini, kita akan lebih dalam mengetahui tentang teori etika deontologis.
Dengan mengetahui lebih dalam mengenai apa itu teori etika deontologis, kita dapat
memiliki cara pandang baru dan pengetahuan yang baru mengenai penilaian baik dan
buruknya suatu tindakan yang didasarkan pada tujuan tertentu yang memberikan dampak
yang baik bagi manusia.
Berdasarkan latar belakang di atas, kami akan merumuskan beberapa masalah. Mulai
dari apa itu teori deontologis, Bagaimana cara pandang dari para ahli, yaitu: Immanuel Kant,
William David Ross, dan John Stuart Mill. Serta bagaimana dan apa hubungan antara teori
deontologis dengan kasus yang ada dan pernah terjadi mengenai etika. Rumusan masalah
yang terakhir, apa kekuatan dan kekurangan dari teori deontologis.
Pembahasan
Etika deontologis berasal dari kata Yunani “deon” yang berarti kewajiban dan “logos”
yang memiliki arti ilmu atau teori.3 Oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban manusia
bertindak secara baik yang sangat ditekankan oleh etika deontologis karena suatu tindakan
dapat dikatakan sebagai baik atau buruk, tidak dinilai dan dibenarkan atas dasar akibat atau
tujuan baik dari tindakan tersebut.4 Tetapi, atas dasar tindakan itu sendiri, yang mana
tindakan tersebut baik menurut dirinya sendiri. Sejalan dengan hal itu, kita wajib melakukan
suatu tindakan apabila tindakan tersebut merupakan tindakan yang baik. Sementara, apabila
tindakan itu buruk, maka dilarang bagi kita untuk melakukan perbuatan tersebut karena
tindakan itu bukan menjadi kewajiban yang harus dilakukan. Contohnya, manusia harus
bersikap adil, jujur, dan tidak mencelakai orang lain karena hal tersebut merupakan suatu
kewajiban. Seperti halnya manusia yang dilarang untuk melakukan tindakan seperti mencuri,
korupsi, dan memiliki rasa iri, yang mana larangan tersebut ada karena memang terdapat
dalam ajaran agama. Kemudian, Kant menyatakan bahwa dalam Prinsip deontologis. Akibat
atau konsekuensi yang muncul setelah tindakan tersebut dilakukan, adalah persoalan lain
yang tidak boleh menjadi pertimbangan. Sederhananya, sebuah tindakan tidak akan pernah
dapat menjadi baik hanya karena hasilnya baik, hal tersebut dapat dikatakan sebagai baik
hanya karena itu suatuh hal yang wajib dilakukan. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa
Berdasarkan hal itu, melakukan tindakan moral harus yang berdasar dengan
kemauan keras atau otonomi bebas juga merupakan prinsip yang penting bagi Kant.
Secara singkat, ada tiga hal yang harus dipenuhi menurut Kant:8
Bagi Kant, hukum moral sudah terpendam di hati setiap orang. Hukum moral
itu dipandang sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris) yang bermakna
berlaku bagi semua orang pada semua tempat dan keadaan. Kant membedakan antara
perintah bersyarat (imperatif hipotetis) dan tak bersyarat untuk menjelaskan arti dari
hukum moral universal itu. Perintah bersyarat merupakan perintah yang hanya akan
dilakukan jika orang tersebut bersiap atas segala konsekuensinya.9 Sebaliknya,
perintah tak bersyarat merupakan perintah yang dilaksanakan secara percuma tanpa
ada syarat apapun; tanpa mempedulikan apakah akan berguna bagi orang tersebut atau
tidak.10
Terdapat tiga prinsip atau hukum universal yang merupakan perintah tak bersyarat.11
1. Prinsip universalitas.
Perintah yang dikehendaki sendiri akan menjadi suatu hukum universal. Bagi
Kant, seseorang mempunyai kewajiban untuk patuh atas apa yang kita anggap
benar dan yang akan dilakukan juga oleh orang lain. Dengan demikian, jika
kita menuntut orang untuk bertindak secara tertentu sesuai dengan hukum
moral, kita sendiri juga harus bertindak seperti itu.
Hukum universal yang harus dipegang adalah bertindaklah sebegitu rupa agar
kita memperlakukan manusia, apakah diri kita sendiri ataupun orang lain.
Demikian pula, kita tidak boleh membiarkan diperlakukan sewenang-wenang
dan membiarkan hak kita dirampas. Kita harus menuntut agar hak kita
dihormati secara adil dan layak.
3. Prinsip otonomi.
Maka dari itu, bagi Kant tindakan yang dianggap baik secara moral ialah suatu
tindakan yang apabila dilakukan didasarkan atas keinginan dan kebebasan memilih
dari seseorang. Apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban, orang
tersebut akan mentaati hukum moral universal. Maka dapat dikatakan bahwa tindakan
tersebut dikehendaki oleh diri sendiri, yang mana apabila seseorang telah
9Tim Dosen MKU Etika Dasar, ‘Kesadaran Moral dan Suara Hati” dalam Draft Buku Referensi Mata Kuliah
Etika Dasar, 130.
10Ibid.
11Ibid.
berkehendak sedemikian rupa artinya orang tersebut menganggap tindakan yang
dilakukannya benar.
Dalam hal ini, ada dua hal yang dihindari oleh Kant. Pertama, Kant tidak ingin
manusia terjebak dalam perilaku dalam menjalani perintah moral, seakan-akan
menjadikan perintah tak bersyarat sebagai perintah bersyarat. Hal tersebut akan
membuat seseorang melakukan tindakan kewajiban tetapi dengan iming-iming akan
mendapatkan sesuatu nantinya. Kedua, Kant menghindari sikap orang-orang yang
bertindak hanya Ketika didasari oleh dasar moral akibat perintah faktor eksternal.
Seperti atas dasar ingin mendapatkan perhatian lebih dari seseorang.
12Peter Singer, Hegel: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2001), 42.
13Ibid.
14Ibid. 44-45.
15Peter Singer, Hegel: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2001), 44-45.
kecenderungan kondrati tersebut dapat disalurkan dan diatur oleh akal budi
tanpa harus dimatikan seluruhnya.
John Stuart Mill (1806 - 1873) merupakan salah satu tokoh yang berperan
dalam perkembangan etika deontologis. Beliau menyatakan bahwa dalam etika
deontologis akibat dari suatu tindakan itu penting dalam menentukan apakah sebuah
tindakan dapat dikatakan baik atau buruk. Namun, dalam pelaksanaanya para
penganut etika deontologis seakan-akan tidak acuh terhadap hal tersebut. Mereka
menutup mata terhadap pentingnya akibat dari suatu tindakan, padahal akibat dari
suatu tindakan itu penting untuk melihat nilai suatu tindakan moral.22
Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan budaya. Keberagaman budaya
Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dalam banyaknya kebudayaan telah
memisahkan dan menggolongkan masyarakat menjadi beberapa kelompok etnis dan
kelompok budaya yang sangat banyak. Perbedaan ini menuntut kita untuk memiliki rasa
toleransi. Toleransi adalah sikap seseorang atau kelompok untuk saling menghormati
perbedaan yang ada. Dengan adanya toleransi, kita berkewajiban untuk saling menghargai
budaya kelompok lain dan menerima setiap perbedaan. Dengan terpenuhinya toleransi dan
kewajiban warga negara untuk bersatu, Indonesia akan menjadi bangsa yang satu dan dapat
menjadi bangsa yang maju.
22 Tina Ratnawati dan Sonny Keraf, “Teori Etika” dalam Etika Lingkungan (PWKL4302/Modul 1), 1.26.
23 Yohanes Prasetyo, “Kekuatan Dan Kelemahan Etika Deontologis.” JPIC-OFM Indonesia. 13 September
2020. https://jpicofmindonesia.org/2020/09/kekuatan-dan-kelemahan-etika-deontologis/. (Diakses pada tanggal
25 Mei 2021)
menilai moralitas tindakan.24 Tindakan yang secara moral yang dinilai benar harus didasarkan
kepada prinsip yang tidak hanya berlaku pada pelaku, waktu, kondisi. Tetapi prinsip yang
telah disetujui akan berlaku untuk semua orang, dimana dan kapan saja.
Pertama, tidak memberi tempat pada dilema moral dan jalan keluar pada saat terjadi
konflik prinsip moral.26 Perlu diketahui bahwa dilema moral merupakan situasi ketika pelaku
wajib melakukan kewajiban pertama sekaligus kewajiban kedua atau lebih. Namun, ia tidak
dimungkinkan melakukan keduanya atau lebih sekaligus. Hal ini menunjukkan bahwa
keterbatasannya sebagai manusia tidak memungkinkan melakukan dua tindakan secara
bersama.
Kedua, kemutlakan norma tanpa kemungkinan pengecualian dengan mengindahkan
akibat tindakan sulit diterima.27Dalam Etika Deontologi orang wajib berkata benar dalam
kondisi apapun tanpa pengecualian meskipun demi kebaikan. Hal tersebut tentu tidak dapat
dibenarkan sepenuhnya mengingat suatu hal tidak dapat disamaratakan.
Ketiga, imperatif kategoris melalui formal dan tidak membantu mengerti kewajiban
yang secara konkret mengikat pelaku moral.28 Hal ini menunjukkan bahwa imperatif
kategoris hanya menegaskan yang tidak boleh dilakukan. Misalnya, ingkar janji, berbohong,
bunuh diri, dll. Tetapi bukan secara positif mengenai apa yang harus dilakukan. Oleh karena
itu, hal tersebut hanya menetapkan batas ruang lingkup manusia dan tidak memberi arah.
Imperatif kategoris sekadar memberi tolak ukur dalam menguji benar atau tidaknya kaidah.
Namun, tidak membantu mengetahui dari mana pelaku moral memperoleh kaidah yang mau
diuji. Dengan demikian, moralitas dalam etika deontologis mengandaikan adanya praktik
moral yang sudah berlaku.
Keempat adalah Etika deontologis merenggut kebebasan bertindak secara bersyarat 29
karena di dalam Etika deontologis suatu kewajiban atau hal hal yang baik harus dilakukan
tanpa syarat. Namun Terkadang sesuatu hal yang bersyarat diperlukan untuk membentuk
manusia memiliki moralitas. Contohnya seperti kita menaati aturan hukum yang berlaku agar
24Ibid.
25Yohanes Prasetyo, “Kekuatan Dan Kelemahan Etika Deontologis.” JPIC-OFM Indonesia. 13 September
2020. https://jpicofmindonesia.org/2020/09/kekuatan-dan-kelemahan-etika-deontologis/. (Diakses pada tanggal
25 Mei 2021)
26Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002).
27Ibid.258-259
28Peter Singer, Hegel: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2001), 42.
29Kees Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 258.
menghindari sanksi. Hal tersebut sebenarnya boleh dilakukan karena dengan adanya hukum
manusia akan lebih taat dan terbiasa melakukan hal baik dalam kehidupan sehari harinya.
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa pada teori deontologis ini kita selayaknya
manusia wajib melakukan tindakan baik yang berdasarkan akal budi sebagai sumber hukum
yang mutlak dan menjauhkan bahaya dari etika teonom yang berlawanan karena
menempatkan tuhan sebagai sumber hukum tertinggi. Singkatnya pada teori ini lebih
mengedepankan kewajiban manusia dalam melakukan tindakan yang benar bukan
berdasarkan syarat ataupun memiliki maksud dan tujuan. Contohnya seperti saat kita
melakukan tindakan seperti berkata jujur, menolong, dan hal baik lainnya didasarkan karena
kewajiban kita sebagai manusia bukan karena memiliki tujuan agar masuk surga. Manusia
sebagai makhluk sosial perlu memiliki panduan dan tolak ukur dalam bertindak karena setiap
tindakannya akan timbal balik dengan sesamanya. Etika deontologi bisa menjadi panduan dan
tolak ukur manusia bertindak sehingga manusia dapat melakukan tindakan baik tanpa perlu
didasari tuhan sebagai sumber hukum tertinggi.
Meskipun teori ini baik adanya, tetapi tidak semua manusia dapat menerapkannya
dalam kehidupan sehari harinya. teori ini sangat menghindari Tuhan sebagai hukum tertinggi
karena hukum Tuhan merupakan pemahaman diluar akal budi dan dapat menjadikan sebuah
alasan bagi manusia dalam bertindak baik, sehingga negara negara yang berlandaskan agama
dan manusia yang memegang suatu agama tidak dapat menerapkan teori ini. Selain itu,
menurut kant teori deontologis ini hukum moral dipandang tak bersyarat (imperatif kategoris)
yang dimana hukum moral menjadi begitu formal sehingga tidak memedulikan latar belakang
dari suatu kejadian,
3.2. Saran
Dengan pemahaman yang didapat dari pembahasan di atas, ada beberapa saran yang
dapat disampaikan seperti:
1. Pemahaman yang baik diperlukan dalam manusia bersosialisasi dengan sesamanya.
Setiap manusia pada hakikatnya ingin diperlakukan dengan baik, maka teori ini dapat
membantu kita dalam bersosialisasi dengan sesame. Teori ini juga sangat
mengedepankan akal budi, sehingga dapat membedakan tindakan baik yang wajib
dilakukan berbeda dengan teori teonom yang mengedepankan perintah Tuhan.
2. Teori etika deontologi dapat menjadi pedoman dan tolak ukur manusia. Manusia
dapat menjadikan teori ini sebagai pedoman dalam melakukan kebaikan karena dalam
teori ini manusia wajib melakukan tindakan baik tanpa perlu memiliki tujuan
dibaliknya, sehingga manusia sebagai makhluk sosial dapat bertindak positif terhadap
sesama.
3. Pahami kekurangan dan kelebihan teori teori etika lainnya. Setiap teori etika memiliki
kekuatan dan kelemahannya masing masing, ada baiknya kita memahami makna
keseluruhan dari etika ini sehingga kita dapat menerapkannya dalam kehidupan kita.
Seperti contohnya pada teori deontologi, teori ini baik adanya namun sulit diterapkan
pada situasi konkret.
Daftar Pustaka
Tim Dosen MKU Etika Dasar, ‘Kesadaran Moral dan Suara Hati” dalam Draft Buku
Referensi Mata Kuliah Etika Dasar.