Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ETIKA DEONTOLOGIS

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Etika Dasar G
Dosen Pengampu: Oscar Yasunari, S.S., M.M.

Disusun oleh:

Kelompok 1

Alia Anindita Setiawan | 6091901297


Azka Maximiliano Gani | 6092001174
Fadlan Fadlurrahman Algifari | 6112001044
Jonathan Obaja Sibarani | 6132001224
Philip Sander | 6031901227
Elson Joevian | 2017120032

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN


BANDUNG
2021
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami senantiasa panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
izin-Nya, rahmat-Nya, dan karunia-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Teori Etika Deontologis” ini tepat pada waktunya.
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Oscar
Yasunari, S.S., M.M. pada mata kuliah etika dasar. Kami berharap agar apa yang kami tulis
di makalah ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi banyak orang yang membacanya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Oscar Yasunari, S.S., M.M . sebagai
dosen mata kuliah etika dasar yang telah memberikan tugas ini sehingga pengetahuan dan
wawasan kami bertambah.
Kami meminta maaf jika hasil makalah ini jauh dari sempurna. Maka dari itu, kami
membutuhkan kritik dan masukkan yang akan meningkatkan pengetahuan kami agar lebih
berkembang menjadi lebih baik di masa mendatang.

Bandung, 23 Mei 2021

Penulis
I. Daftar Isi

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

BAB I Error! Bookmark not defined.

Pendahuluan 14
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 4
Tujuan Pembahasan 4

BAB II Error! Bookmark not defined.

Pembahasan 6
2.1. Pengertian Etika Deontologis 6
2.2. Penjelasan menurut ahli 7
2.2.1. Immanuel Kant 7
2.2.1.1. Kritik Hegel 9
2.2.1.2. Kritik Berten 10
2.2.1.2. Kritik Keraf 10
2.2.2. W.D Ross 11
2.2.3. John Stuart Mill 12
2.3. Contoh Kasus 12
2.4. Kekuatan Etika Deontologis 12
2.5. Kekurangan Etika Deontologis 13

BAB III 14

Penutup 14
3.1. Kesimpulan 14
3.2. Saran 14

Daftar Pustaka 15
BAB I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Sebagai manusia, kita diciptakan sebagai makhluk sosial. Dimana setiap manusia
hidup berdampingan dan akan bergantung dengan orang lain serta memiliki kewajiban untuk
bertindak sesuai dengan etika yang ada di dalam ruang lingkupnya. Etika merupakan segala
sesuatu yang bersangkutan dengan tingkah laku manusia yang didasarkan pada nilai-nilai
moral di dalamnya. Dengan contoh, kita sebagai masyarakat Indonesia diharuskan bersikap
sesuai dengan etika yang berlaku di negara Indonesia. Untuk dapat bertindak sesuai dengan
etika-etika yang ada, kita harus mencari tahu lebih dalam lagi mengenai teori-teori etika yang
ada. Terdapat banyak teori etika dan salah satunya adalah teori etika deontologis. Dengan
adanya teori deontologis, kami harus bisa memilih apa yang akan kita lakukan untuk
mencapai tujuan yang baik.

Dalam makalah ini, kita akan lebih dalam mengetahui tentang teori etika deontologis.
Dengan mengetahui lebih dalam mengenai apa itu teori etika deontologis, kita dapat
memiliki cara pandang baru dan pengetahuan yang baru mengenai penilaian baik dan
buruknya suatu tindakan yang didasarkan pada tujuan tertentu yang memberikan dampak
yang baik bagi manusia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, kami akan merumuskan beberapa masalah. Mulai
dari apa itu teori deontologis, Bagaimana cara pandang dari para ahli, yaitu: Immanuel Kant,
William David Ross, dan John Stuart Mill. Serta bagaimana dan apa hubungan antara teori
deontologis dengan kasus yang ada dan pernah terjadi mengenai etika. Rumusan masalah
yang terakhir, apa kekuatan dan kekurangan dari teori deontologis.

1.3. Tujuan Pembahasan


Tujuan yang kami harap dapat tercapai melalui pembuatan makalah ini.
1. Memahami konsep dasar etika deontologis.
2. Mengetahui cara pandang teori etika deontologis menurut para ahli.
3. Menerapkan etika deontologis yang sudah dipahami dalam kehidupan sehari-
hari.
BAB II

Pembahasan

2.1. Pengertian Etika Deontologis


Etika merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang moralitas dan juga tentang
manusia yang berkaitan dengan moralitas. Fokus utama dalam etika terletak pada hal-hal
yang menyangkut dengan perilaku manusia, yang mana manusia harus mengatur tingkah
lakunya sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Dalam mempelajari etika
terdapat beberapa pendekatan, salah satunya adalah Etika Normatif. Pada dasarnya, Etika
Normatif ini memberikan penilaian moral terhadap perilaku manusia dengan tujuan untuk
merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan dengan cara rasional
dan dapat menjadi dasar atas tindakan seseorang.1 Kemudian, pembahasan mengenai etika
normatif dibagi menjadi dua bagian yaitu teori etika teleologis dan etika deontologis. Etika
teleologis merupakan etika yang menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan
tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan akibat atau konsekuensi yang
ditimbulkan oleh tindakan itu.2 Sementara, etika deontologis menilai baik atau buruknya
suatu tindakan berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban.

Etika deontologis berasal dari kata Yunani “deon” yang berarti kewajiban dan “logos”
yang memiliki arti ilmu atau teori.3 Oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban manusia
bertindak secara baik yang sangat ditekankan oleh etika deontologis karena suatu tindakan
dapat dikatakan sebagai baik atau buruk, tidak dinilai dan dibenarkan atas dasar akibat atau
tujuan baik dari tindakan tersebut.4 Tetapi, atas dasar tindakan itu sendiri, yang mana
tindakan tersebut baik menurut dirinya sendiri. Sejalan dengan hal itu, kita wajib melakukan
suatu tindakan apabila tindakan tersebut merupakan tindakan yang baik. Sementara, apabila
tindakan itu buruk, maka dilarang bagi kita untuk melakukan perbuatan tersebut karena
tindakan itu bukan menjadi kewajiban yang harus dilakukan. Contohnya, manusia harus
bersikap adil, jujur, dan tidak mencelakai orang lain karena hal tersebut merupakan suatu
kewajiban. Seperti halnya manusia yang dilarang untuk melakukan tindakan seperti mencuri,
korupsi, dan memiliki rasa iri, yang mana larangan tersebut ada karena memang terdapat
dalam ajaran agama. Kemudian, Kant menyatakan bahwa dalam Prinsip deontologis. Akibat
atau konsekuensi yang muncul setelah tindakan tersebut dilakukan, adalah persoalan lain
yang tidak boleh menjadi pertimbangan. Sederhananya, sebuah tindakan tidak akan pernah
dapat menjadi baik hanya karena hasilnya baik, hal tersebut dapat dikatakan sebagai baik
hanya karena itu suatuh hal yang wajib dilakukan. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa

1Kees Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 18.


2Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: PT KANISIUS,
1978), 113.
3Tim Dosen MKU Etika Dasar, ‘Kesadaran Moral dan Suara Hati” dalam Draft Buku Referensi Mata Kuliah
Etika Dasar, 128.
4Bertens, Etika, 255.
dalam etika deontologis menekankan bahwa apabila seseorang melakukan suatu tindakan
dengan tujuan yang baik, tetapi cara dalam melakukan tindakan tersebut salah tindakan
tersebut tidak bisa dianggap baik. Sebagai contoh, ada seorang murid SMA ingin
memperoleh nilai yang bagus dalam Ujian Nasional, tetapi dalam pelaksanaan ujian orang
tersebut menghalalkan segala cara termasuk membeli kunci jawaban dan menyontek. Dapat
disimpulkan, bahwa tindakan seperti itu tidak akan pernah dianggap baik.
Pada dasarnya teori ini menegaskan baik atau buruknya suatu perilaku itu tidak dinilai
berdasarkan dampak yang ditimbulkannya, tetapi atas dasar kewajiban. Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa teori deontologis ini sangat bertolak belakang dengan teori teleologis yang
menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan
tindakan tersebut.

2.2. Penjelasan menurut ahli

2.2.1. Immanuel Kant


Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf Jerman yang melahirkan
sebuah teori etika deontologis yang biasa disebut Kantianisme. 5 Menurut Kant,
kemauan baik adalah syarat yang sempurna untuk melakukan tindakan secara moral.
Kemauan baik menjadi keadaan yang semestinya dilakukan agar manusia dapat
bertindak sepatutnya, sekaligus membenarkan tindakan yang dilakukannya.6
Berdasarkan itu, Kant berpendapat bahwa tindakan yang baik, tidak hanya yang
berdasar atas suatu kewajiban, tetapi juga harus berdasarkan tindakan yang baik
secara moral.7 Ia menolak segala perilaku yang bertolak belakang dengan kewajiban
yang berdasarkan moral baik, walau perilaku itu mendatangkan konsekuensi yang
baik. Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan sesuai dengan kewajiban, tetapi
tidak berdasar pada keinginan baik untuk menghargai perintah secara umum.
Misalnya karena terdesak oleh keadaan yang akan menimbulkan pandangan sebagai
tindakan yang tidak baik.

Berdasarkan hal itu, melakukan tindakan moral harus yang berdasar dengan
kemauan keras atau otonomi bebas juga merupakan prinsip yang penting bagi Kant.
Secara singkat, ada tiga hal yang harus dipenuhi menurut Kant:8

1. Suatu tindakan harus dilaksanakan berdasarkan kewajiban agar mempunyai


suatu nilai moral.
2. Nilai moral suatu tindakan tidak bergantung hanya dari pencapaian suatu
tujuan tindakan, tetapi berdasar pada kemauan baik yang memotivasi
seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Kalaupun tujuan tidak tercapai,
tindakan itu sudah dinilai baik.
5Kees Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 254.
6Ibid. 255.
7Ibid.
8Tina Ratnawati dan Sonny Keraf, “Teori Etika” dalam Etika Lingkungan (PWKL4302/Modul 1), 1.24.
3. Konsekuensi dari kedua perkara tersebut, kewajiban untuk mematuhi hukum
moral universal merupakan hal yang tentu bagi suatu tindakan moral.

Bagi Kant, hukum moral sudah terpendam di hati setiap orang. Hukum moral
itu dipandang sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris) yang bermakna
berlaku bagi semua orang pada semua tempat dan keadaan. Kant membedakan antara
perintah bersyarat (imperatif hipotetis) dan tak bersyarat untuk menjelaskan arti dari
hukum moral universal itu. Perintah bersyarat merupakan perintah yang hanya akan
dilakukan jika orang tersebut bersiap atas segala konsekuensinya.9 Sebaliknya,
perintah tak bersyarat merupakan perintah yang dilaksanakan secara percuma tanpa
ada syarat apapun; tanpa mempedulikan apakah akan berguna bagi orang tersebut atau
tidak.10

Terdapat tiga prinsip atau hukum universal yang merupakan perintah tak bersyarat.11
1. Prinsip universalitas.

Perintah yang dikehendaki sendiri akan menjadi suatu hukum universal. Bagi
Kant, seseorang mempunyai kewajiban untuk patuh atas apa yang kita anggap
benar dan yang akan dilakukan juga oleh orang lain. Dengan demikian, jika
kita menuntut orang untuk bertindak secara tertentu sesuai dengan hukum
moral, kita sendiri juga harus bertindak seperti itu.

2. Sikap hormat kepada manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri.

Hukum universal yang harus dipegang adalah bertindaklah sebegitu rupa agar
kita memperlakukan manusia, apakah diri kita sendiri ataupun orang lain.
Demikian pula, kita tidak boleh membiarkan diperlakukan sewenang-wenang
dan membiarkan hak kita dirampas. Kita harus menuntut agar hak kita
dihormati secara adil dan layak.

3. Prinsip otonomi.

Dalam bertindak seseorang harus mendasarkan keinginan dan pilihan diri


sendiri karena diyakini hal tersebut merupakan baik.

Maka dari itu, bagi Kant tindakan yang dianggap baik secara moral ialah suatu
tindakan yang apabila dilakukan didasarkan atas keinginan dan kebebasan memilih
dari seseorang. Apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban, orang
tersebut akan mentaati hukum moral universal. Maka dapat dikatakan bahwa tindakan
tersebut dikehendaki oleh diri sendiri, yang mana apabila seseorang telah

9Tim Dosen MKU Etika Dasar, ‘Kesadaran Moral dan Suara Hati” dalam Draft Buku Referensi Mata Kuliah
Etika Dasar, 130.
10Ibid.
11Ibid.
berkehendak sedemikian rupa artinya orang tersebut menganggap tindakan yang
dilakukannya benar.
Dalam hal ini, ada dua hal yang dihindari oleh Kant. Pertama, Kant tidak ingin
manusia terjebak dalam perilaku dalam menjalani perintah moral, seakan-akan
menjadikan perintah tak bersyarat sebagai perintah bersyarat. Hal tersebut akan
membuat seseorang melakukan tindakan kewajiban tetapi dengan iming-iming akan
mendapatkan sesuatu nantinya. Kedua, Kant menghindari sikap orang-orang yang
bertindak hanya Ketika didasari oleh dasar moral akibat perintah faktor eksternal.
Seperti atas dasar ingin mendapatkan perhatian lebih dari seseorang.

2.2.1.1. Kritik Hegel


Menurut Hegel, terdapat dua pandangan kant yang beliau anggap
bermasalah. Pertama, prinsip dasar moral kant yaitu, imperatif kategoris,
terlalu formal sehingga dapat menimbulkan bahaya yang mengarah ke
individualisme subjektif atau liberalisme.12 Oleh karenanya, berdasarkan
prinsip dasar tersebut seseorang tidak dapat secara jelas menentukan apa yang
harus dilakukan dirinya dalam situasi konkret. Seringkali apa yang dianggap
sebagai kewajiban objektif hanyalah apa yang ditentukan oleh subjek pelaku
tindakan itu sendiri. Tanpa memperhatikan konteks sosial-historis yang
merupakan medan konkret dalam menentukan akal budi, prinsip Kant sangat
menekankan pada kehendak baik sebagai penentu moralitas tindakan. Padahal,
kehendak baik atau maksud baik dari seseorang tidaklah cukup dalam
menentukan moralitas atas suatu tindakan. Sejalan dengan hal itu, prinsip
universalitas Kant dapat dibilang tidak efektif karena tidak semua kaidah yang
dapat di universalisasikan dengan sendirinya merupakan kaidah moral atau
kewajiban yang mengikat. Dengan demikian, prinsip tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai penilai dalam menilai suatu kaidah tindakan apakah bisa
dibenarkan secara moral dan juga belum mampu dapat dipakai sebagai
pedoman menentukan tindakan yang wajib diambil.13

Kritik hegel yang kedua menganggap bahwa pandangan Kant akan


moralitas sebagai alat penekanan kecenderungan kodrati akibat memandang
kecenderungan tersebut sebagai suatu hal yang selalu negatif atau irrasional.14
Pandangan tersebut membawa pemahaman dualistik tentang manusia. Tidak
dipungkiri, sebenarnya memang terkadang ada pertentangan antara keinginan
dan nafsu individu dengan hukum moral yang berlaku di umum. Meskipun
demikian, tidak semua kecenderungan kodrati bersifat buruk dan harus
ditekan. Dalam pandangan Kant manusia hilang kesatuanya sebagai pribadi
karena dipisahkan antara manusia empiris dan manusia moral. 15 Padahal,

12Peter Singer, Hegel: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2001), 42.
13Ibid.
14Ibid. 44-45.
15Peter Singer, Hegel: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2001), 44-45.
kecenderungan kondrati tersebut dapat disalurkan dan diatur oleh akal budi
tanpa harus dimatikan seluruhnya.

2.2.1.2. Kritik Berten

Menurut Berten, terdapat dua permasalahan signifikan dalam peranan


eksklusif kewajiban di bidang moral etika deontologi yang dipaparkan oleh
Kant. Pertama, sistem moral yang kaku dan suram 16. Hal tersebut menjadi
sebuah permasalahan karena pandangan sempit Kant akan kebebasan. Yang
mana beliau menganggap bahwa apabila seseorang melakukan sebuah
tindakan yang didasarkan atas belah kasih dan cinta, artinya mereka tidak
bebas karena tindakan tersebut hanya atas dasar kecenderungan. Seakan-akan
berkelakuan baik itu hanya dilakukan karena itu sudah menjadi kewajiban
kita, melawan kecenderungan yang bersifat spontan. Padahal, apabila
seseorang bertindak tanpa pamrih atas dasar belah kasih terhadap orang lain
merupakan suatu tindakan yang patut dianggap berkualitas moral tinggi.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Kant mengenai perbuatan yang tidak
bebas tidak bisa dianggap sebagai perbuatan moral itu benar adanya, namun
pada kenyataanya pernyataan tersebut didasari atas Kant yang tidak mengenal
adanya kebebasan eksistensial.17 Yang mana, justru kebebasan tersebutlah
yang paling sesuai dan berharga apabila dikaitkan dengan bidang moral.

Kritik kedua ialah konsekuensi atas tindakan yang diperbuat dapat


diabaikan begitu saja dalam menilai moralitas perbuatan.18 Berten sulit
menerima pandangan Kant yang mewajibkan seseorang untuk mengatakan
kebenaran dalam situasi apapun tanpa perlu memikirkan akibat dari kebenaran
tersebut. Dalam pernyataan Kant, tidak ada pengecualian walaupun ketika
kebenaran tersebut akan mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, kewajiban
mengatakan kebenaran menjadi sulit diterima karena apabila ada seseorang
menjadi korban dari kewajiban yang dilakukan, maka hal tersebut tidaklah
menjadi tanggung jawab bagi orang yang mengatakan kebenaran.

2.2.1.2. Kritik Keraf


Menurut Keraf, pandangan etika deontologis Kant tidak memadai
ketika dihadapkan atas bagaimana seseorang harus bertindak ketika berada di
situasi yang dilematis.19 Hal ini dikarenakan, etika deontologis hanya dapat

16Kees Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 258.


17Ibid.
18Ibid. 258-259.
19Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 14-15.
memberikan arahan dengan menyatakan bahwa orang tersebut harus bertindak
sesuai dengan kewajibannya.

Padahal, dalam situasi dilematis seseorang dapat dihadapkan atas dua


atau lebih kewajiban yang saling bertentangan yang mengharuskan mereka
untuk memilih satu kewajiban sekaligus menolak kewajiban yang lain. Selain
itu, Keraf juga melontarkan kritik terhadap hukum moral yang hanya akan
menjadi perintah bersyarat. Hal ini dikarenakan, penganut etika deontologis
tidak acuh terhadap pentingnya akibat dari suatu tindakan dalam menentukan
apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Mereka hanya menekankan
pentingnya tindakan sebagai bermoral karena nilai tindakan itu sendiri, yang
mana dalam hal ini Kant ingin menekankan pentingnya hukum moral
universal yang terdapat dalam hati masing-masing individu sekaligus
mencegah subjektivitas dalam bertindak secara moral. Walaupun sebenarnya,
tanpa hal tersebut seseorang dapat bertindak berubah-ubah sesuai dengan
konsekuensi yang ingin dicapai.

2.2.2. W.D Ross


William David Ross (1877-1971), setuju dan menerima teori deontologis dan
menambahkan unsur penting dalam kewajiban yaitu prima facie, yang artinya adalah
pandangan pertama.20 Jika digabungkan dengan teori deontologis yang melakukan
tindakan berdasarkan kewajiban menjadi kewajiban yang sementara. Menurut Ross
kewajiban yang lebih penting akan muncul menutupi kewajiban yang pertama. Dalam
hal ini tidak bisa memenuhi kedua kewajiban secara langsung. Kita harus memilih
salah satu kewajiban mana yang akan diselesaikan terlebih dahulu. Pandangan ini
merupakan pengembangan dari rigorisme dari Kant. Namun, bukan berarti konflik
kewajiban dapat diatasi, Ross sendiri masih sulit untuk menunjukan norma yang
menentukan kewajiban yang berlaku diatas kewajiban prima facie lainnya.

Dari pengertian diatas W. D. Ross menyusun daftar kewajiban yang termasuk


kewajiban prima facie:21
1. Kewajiban kesetiaan : kita harus menepati janji yang dibuat dengan
bebas.
2. Kewajiban ganti rugi : kita harus melunasi utang baik moral dan
materi.
3. Kewajiban terima kasih : kita memberikan rasa terima kasih kepada
orang yang telah berbuat baik terhadap kita.
4. Kewajiban keadilan : kita memberikan perlakuan yang sama kepada
semua orang.

20Kees Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 259.


21Ibid. 259-260.
5. Kewajiban berbuat baik : kita memberikan bantuan untuk orang yang
membutuhkan bantuan.
6. Kewajiban mengembangkan diri : kita harus meningkatkan serta mengembangkan
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki.
7. Kewajiban untuk tidak merugikan : kita tidak boleh melakukan tindakan yang
merugikan orang lain.

2.2.3. John Stuart Mill

John Stuart Mill (1806 - 1873) merupakan salah satu tokoh yang berperan
dalam perkembangan etika deontologis. Beliau menyatakan bahwa dalam etika
deontologis akibat dari suatu tindakan itu penting dalam menentukan apakah sebuah
tindakan dapat dikatakan baik atau buruk. Namun, dalam pelaksanaanya para
penganut etika deontologis seakan-akan tidak acuh terhadap hal tersebut. Mereka
menutup mata terhadap pentingnya akibat dari suatu tindakan, padahal akibat dari
suatu tindakan itu penting untuk melihat nilai suatu tindakan moral.22

2.3. Contoh Kasus


Kewajiban toleransi

Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan budaya. Keberagaman budaya
Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dalam banyaknya kebudayaan telah
memisahkan dan menggolongkan masyarakat menjadi beberapa kelompok etnis dan
kelompok budaya yang sangat banyak. Perbedaan ini menuntut kita untuk memiliki rasa
toleransi. Toleransi adalah sikap seseorang atau kelompok untuk saling menghormati
perbedaan yang ada. Dengan adanya toleransi, kita berkewajiban untuk saling menghargai
budaya kelompok lain dan menerima setiap perbedaan. Dengan terpenuhinya toleransi dan
kewajiban warga negara untuk bersatu, Indonesia akan menjadi bangsa yang satu dan dapat
menjadi bangsa yang maju.

2.4. Kekuatan Etika Deontologis


Terdapat tiga kekuatan dalam etika deontologis. Kekuatan pertama yaitu, memberi
dasar yang kokoh rasionalitas kesadaran manusia.23 Prinsip moralitas secara apriori yang
didapat dari akal budi murni ini tidak dapat ditentukan objek tindakan. Rasionalitas kesadaran
moral menuntut penentuan benar dan salah juga baik dan buruk dari kelakuan manusia. Hal
ini menjadikan keputusan moral harus dipertanggungjawabkan dan kebenaran yang dapat
diuji oleh orang lain, yang menjadikan kesadaran moral dijamin dalam etika deontologis.
Kekuatan etika deontologis yang kedua adalah, memberi tolak ukur penting dan perlu untuk

22 Tina Ratnawati dan Sonny Keraf, “Teori Etika” dalam Etika Lingkungan (PWKL4302/Modul 1), 1.26.
23 Yohanes Prasetyo, “Kekuatan Dan Kelemahan Etika Deontologis.” JPIC-OFM Indonesia. 13 September
2020. https://jpicofmindonesia.org/2020/09/kekuatan-dan-kelemahan-etika-deontologis/. (Diakses pada tanggal
25 Mei 2021)
menilai moralitas tindakan.24 Tindakan yang secara moral yang dinilai benar harus didasarkan
kepada prinsip yang tidak hanya berlaku pada pelaku, waktu, kondisi. Tetapi prinsip yang
telah disetujui akan berlaku untuk semua orang, dimana dan kapan saja.

Kekuatan terakhir etika deontologis, menjamin otonomi dan kemuliaan martabat


manusia.25 Hal ini memandu etika deontologis yang dilandasi akal budi sebagai sumber
hukum yang wajib ditaati dengan mutlak. Etika deontologis menolak heteronomi, penentuan
yang berasal dari luar, dikarenakan akal budi praktis atau kehendak rasional pada dasarnya
otonom, dan juga menghindari bahaya heteronomi etika teonom yang menempatkan tuhan
sebagai sumber hukum tertinggi dan tujuan akhir bersifat mutlak.

2.5. Kekurangan Etika Deontologis

Pertama, tidak memberi tempat pada dilema moral dan jalan keluar pada saat terjadi
konflik prinsip moral.26 Perlu diketahui bahwa dilema moral merupakan situasi ketika pelaku
wajib melakukan kewajiban pertama sekaligus kewajiban kedua atau lebih. Namun, ia tidak
dimungkinkan melakukan keduanya atau lebih sekaligus. Hal ini menunjukkan bahwa
keterbatasannya sebagai manusia tidak memungkinkan melakukan dua tindakan secara
bersama.
Kedua, kemutlakan norma tanpa kemungkinan pengecualian dengan mengindahkan
akibat tindakan sulit diterima.27Dalam Etika Deontologi orang wajib berkata benar dalam
kondisi apapun tanpa pengecualian meskipun demi kebaikan. Hal tersebut tentu tidak dapat
dibenarkan sepenuhnya mengingat suatu hal tidak dapat disamaratakan.
Ketiga, imperatif kategoris melalui formal dan tidak membantu mengerti kewajiban
yang secara konkret mengikat pelaku moral.28 Hal ini menunjukkan bahwa imperatif
kategoris hanya menegaskan yang tidak boleh dilakukan. Misalnya, ingkar janji, berbohong,
bunuh diri, dll. Tetapi bukan secara positif mengenai apa yang harus dilakukan. Oleh karena
itu, hal tersebut hanya menetapkan batas ruang lingkup manusia dan tidak memberi arah.
Imperatif kategoris sekadar memberi tolak ukur dalam menguji benar atau tidaknya kaidah.
Namun, tidak membantu mengetahui dari mana pelaku moral memperoleh kaidah yang mau
diuji. Dengan demikian, moralitas dalam etika deontologis mengandaikan adanya praktik
moral yang sudah berlaku.
Keempat adalah Etika deontologis merenggut kebebasan bertindak secara bersyarat 29
karena di dalam Etika deontologis suatu kewajiban atau hal hal yang baik harus dilakukan
tanpa syarat. Namun Terkadang sesuatu hal yang bersyarat diperlukan untuk membentuk
manusia memiliki moralitas. Contohnya seperti kita menaati aturan hukum yang berlaku agar

24Ibid.
25Yohanes Prasetyo, “Kekuatan Dan Kelemahan Etika Deontologis.” JPIC-OFM Indonesia. 13 September
2020. https://jpicofmindonesia.org/2020/09/kekuatan-dan-kelemahan-etika-deontologis/. (Diakses pada tanggal
25 Mei 2021)
26Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002).
27Ibid.258-259
28Peter Singer, Hegel: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2001), 42.
29Kees Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 258.
menghindari sanksi. Hal tersebut sebenarnya boleh dilakukan karena dengan adanya hukum
manusia akan lebih taat dan terbiasa melakukan hal baik dalam kehidupan sehari harinya.

BAB III

Penutup

3.1. Kesimpulan
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa pada teori deontologis ini kita selayaknya
manusia wajib melakukan tindakan baik yang berdasarkan akal budi sebagai sumber hukum
yang mutlak dan menjauhkan bahaya dari etika teonom yang berlawanan karena
menempatkan tuhan sebagai sumber hukum tertinggi. Singkatnya pada teori ini lebih
mengedepankan kewajiban manusia dalam melakukan tindakan yang benar bukan
berdasarkan syarat ataupun memiliki maksud dan tujuan. Contohnya seperti saat kita
melakukan tindakan seperti berkata jujur, menolong, dan hal baik lainnya didasarkan karena
kewajiban kita sebagai manusia bukan karena memiliki tujuan agar masuk surga. Manusia
sebagai makhluk sosial perlu memiliki panduan dan tolak ukur dalam bertindak karena setiap
tindakannya akan timbal balik dengan sesamanya. Etika deontologi bisa menjadi panduan dan
tolak ukur manusia bertindak sehingga manusia dapat melakukan tindakan baik tanpa perlu
didasari tuhan sebagai sumber hukum tertinggi.
Meskipun teori ini baik adanya, tetapi tidak semua manusia dapat menerapkannya
dalam kehidupan sehari harinya. teori ini sangat menghindari Tuhan sebagai hukum tertinggi
karena hukum Tuhan merupakan pemahaman diluar akal budi dan dapat menjadikan sebuah
alasan bagi manusia dalam bertindak baik, sehingga negara negara yang berlandaskan agama
dan manusia yang memegang suatu agama tidak dapat menerapkan teori ini. Selain itu,
menurut kant teori deontologis ini hukum moral dipandang tak bersyarat (imperatif kategoris)
yang dimana hukum moral menjadi begitu formal sehingga tidak memedulikan latar belakang
dari suatu kejadian,

3.2. Saran
Dengan pemahaman yang didapat dari pembahasan di atas, ada beberapa saran yang
dapat disampaikan seperti:
1. Pemahaman yang baik diperlukan dalam manusia bersosialisasi dengan sesamanya.
Setiap manusia pada hakikatnya ingin diperlakukan dengan baik, maka teori ini dapat
membantu kita dalam bersosialisasi dengan sesame. Teori ini juga sangat
mengedepankan akal budi, sehingga dapat membedakan tindakan baik yang wajib
dilakukan berbeda dengan teori teonom yang mengedepankan perintah Tuhan.
2. Teori etika deontologi dapat menjadi pedoman dan tolak ukur manusia. Manusia
dapat menjadikan teori ini sebagai pedoman dalam melakukan kebaikan karena dalam
teori ini manusia wajib melakukan tindakan baik tanpa perlu memiliki tujuan
dibaliknya, sehingga manusia sebagai makhluk sosial dapat bertindak positif terhadap
sesama.
3. Pahami kekurangan dan kelebihan teori teori etika lainnya. Setiap teori etika memiliki
kekuatan dan kelemahannya masing masing, ada baiknya kita memahami makna
keseluruhan dari etika ini sehingga kita dapat menerapkannya dalam kehidupan kita.
Seperti contohnya pada teori deontologi, teori ini baik adanya namun sulit diterapkan
pada situasi konkret.
Daftar Pustaka

Bertens, K. Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002)

Keraf, S. Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002)

Magnis-Suseno, Fran. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral


(Yogyakarta: PT KANISIUS, 1978).

Prasetyo, Yohanes “Kekuatan Dan Kelemahan Etika Deontologis.” JPIC-OFM


Indonesia. 13 September 2020.
https://jpicofmindonesia.org/2020/09/kekuatan-dan-kelemahan-etika-
deontologis/.

Ratnawati, T & Keraf, S. “Teori Etika” dalam Etika Lingkungan (PWKL4302/Modul


1)

Tim Dosen MKU Etika Dasar, ‘Kesadaran Moral dan Suara Hati” dalam Draft Buku
Referensi Mata Kuliah Etika Dasar.

Anda mungkin juga menyukai