1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sudah memberikan kesehatan jasmani dan rohani
sehingga kita masih bisa menikmati indahnya Alam ciptaan-Nya. Sholawat serta salam kita haturkan kepada teladan
kita semua Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang telah memberitahu kepada kita jalan yang benar
berupa ajaran agama yang sempurna serta menjadi rahmat bagi seluruh alam.Sangat bersyukur karena kelompok kami
dapat menyusun makalah yang menjadi tugas dalam mata kuliah “Diagnostik Kesulitan dan Bimbingan Belajar” dengan
judul “Teori Belajar: 1). Behavioristik dan 2). Kognitif”. Selain itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
berbagai pihak yang sudah membantu sampai makalah ini dapat terselesaikan.Akhir kata, kami sangat memahami apa
bila makalah ini tentu jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami butuh kritik dan sarannya yang bertujuan untuk
menyempurnakan makalah ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1 latar belakang 4
1.2 Rumusan masalah 4
1.3 Tujuan masalah 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
2.1 Teori Belajar Behavioristik 5
2.2 Teori belajar kognitif 7
2.3 Teknik-Teknik Kreatif Untuk Menggunakan CBT pada Anak dan Remaja 9
BAB III
PENUTUP 11
Kesimpulan 11
Daftar pustaka 12
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan pengetahuan, referensi tentang teori
belajar Behavioristik dan Kognitif. Dan semoga makalah ini juga bisa bermanfaat bagi pembaca serta penulis.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Menurut teori behavioristik, belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang dapat diamati secara langsung,
yang terjadi melalui hubungan stimulusstimulus dan respon-respon (Dahar, 1988: 24). Para penganut teori ini
berpendapat bahwa sudah cukup bagi siswa untuk mengasosiasikan stimulus-stimulus dan respon-respon yang diberi
reinforcement apabila ia memberikan respon yang benar. Mereka tidak mempersoalkan apa yang terjadi dalam pikiran
siswa sebelum dan sesudah respon dibuat. Behavioris berkeyakinan bahwa setiap anak manusia lahir tanpa warisan
kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan dan warisan yang bersifat abstrak lainnya (Muhibbin Syah, 2004: 104) dan
menganggap manusia bersifat mekanistik, yaitu merespon terhadap lingkungan dengan kontrol yang terbatas dan
mempunyai peran yang sedikit terhadap dirinya sendiri.Dalam hal ini konsep behavioristik memandang bahwa perilaku
individu merupakan hasil belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar
dan didukung dengan berbagai penguatan (reinforcement) untuk mempertahankan perilaku atau hasil belajar yang
dikehendaki (Sanyata, 2012: 3). Semuanya itu timbul setelah manusia mengalami kontak dengan alam dan lingkungan
sosial budayanya dalam proses pendidikan. Maka individu akan menjadi pintar, terampil, dan mempunyai sifat abstrak
lainnya tergantung pada apakah dan bagaimana ia belajar dengan lingkungannya.
6
(storage stage), artinya hasil belajar disimpan untuk digunakan di masa yang akan datang.3. Tahap transfer. Ada
kalanya gagasan yang disimpan dalam memori sulit diingat kembali saat akan digunakan di masa depan. Untuk itu,
kemampuan mengingat kembali informasi dan mentransferkannya dalam pembelajaran yang baru memang memerlukan
strategi yang bermacam-macam. Namun yang paling utama adalah ingatan terhadap informasi yang valid.
Terlepas dari kelemahan dan kekuatan teori belajar behavioristik ini, harus diakui bahwa teori ini relatif sederhana dan
mudah dipahami karena hanya berkisar sekitar perilaku yang dapat diamati dan dapat menggambarkan beberapa macam
hukum perilaku. Teori ini sering diterapkan oleh guru ataupun lembaga pendidikan yang menyukai pemberian hadiah
(reward) dan hukuman (punishment) terhadap perilaku siswa. Pondok-pondok modern seperti Al-Amien, Gontor, dan
semacamnya sedikit banyak menerapkan teori ini dalam pelaksanaan beberapa program pendidikannya.
b. Struktur dan fungsi kognitifMenurut teori kognitif, aktivitas mengetahui dan memahami sesuatu (cognition) itu
tidaklah berdiri sendiri. Aktivitas ini selalu dihubungkan dengan rencana disempurnakan oleh kognisi yang lain. Proses
penjalinan dan tata hubungan diantara kognisi-kognisi ini membangun suatu struktur dan system. Struktur dan system
ini dinamakan struktur kognitif. Sifat yang pasti dari system kognitif ini tergantung akan (1) karakteristik dari stimuli
yang doproses kedalam kognisi, (2) pengalaman dari masing-masing individu.Sistem kognitif mempunyai beberapa
fungsi. Diantara fungsi-fungsi, antara lain:
1. Memberikan pengertian
Pada kognitif baru menurut teori kognitif, pengertian terjadi jika suatu kognitif baru dihubungkan dengan system
kognitif yang telah ada. Kognisi membentuk atribut-atribut tertentu, tergantung pada bagaimana ia berinteraksi dengan
satu atau lebih system kognitif.
2. Menghasilkan emosi
Interaksi antara kognisi dan system kognitif tidak hanya memberikan pengertian pada kognisi saja, tetapi dapat
pula memberikan pengertian pada kognisi saja, tetapi dapat pula memberikan konsekuensi-konsekuensi yang berupa
perasaan, misalnya perasaan senang dan tidak senang, baik atau buruk, dan lain sebagainya.
7
3. Membentuk Sikap
Menurut teori kognitif jika suatu system kognitif dari sesuatu memerlukan komponen-komponen yang
mengandung efektif emosi, maka sikap untuk mencapai suatu tujuan atau objek itu telah terbentuk. Bersatunya system
kognitif dan komponen afektif menghasilkan tendensi perilaku untuk mencapai suatu objek sikap seseorang itu
mempunyai kognitif (pengetahuan), afektif (emosi), dan tindakan (tendensi perilaku).
4. Memberikan motivasi terhadap konsekuensi perilaku
Relevansi teori kognitif untuk menganalisa dan memahami perilaku manusia yang mudah diamati adalah
terletak pada motivasi dari perilaku seseorang. Hal ini disebabkan karena:a. Perilaku tidak hanya terdiri dari tindakan-
tindakan yang terbuka saja, melainkan juga termasuk faktor-faktor internal, seperti: berfikir, emosi, persepsi, dan
kebutuhanb. Perilaku itu dihasilakn oleh ketidakselarasan yang timbul dalam struktur kognitif.
8
2.3 Teknik-Teknik Kreatif Untuk Menggunakan CBT pada Anak dan Remaja
Permainan (Game)
Dalam konteks CBT, permainan bisa menjadi alat pengajaran yang kaya, terutama untuk anak-anak usia sekolah dasar.
Perma inan sangat berguna dalam CBT untuk membantu anak-anak me ngembangkan dan melatih strategi-strategi
kognitif. Terapis dapat menyusun struktur tugas dalam permainan tersebut untuk menantang anak-anak untuk
mengevaluasi situasi secara realistis dan menafsirkan konsekuensi dari pilihan mereka dalam konteks yang aman
Banyak permainan yang menyertakan risiko dan pengambi an keputusan. Untuk dapat menavigasi mereka dengan
berhas anak-anak harus memperhatikan dan merencanakan. Dengan ra ini, permainan dapat menyimulasikan realitas,
memberi kesem patan bagi anak-anak untuk melatih keterampilan-keterampilan dan cara berpikir baru tanpa harus
merasakan konsekuensi yang terjadi dalam kehidupan nyata. Swanson dan Casarjian (2001) me ngatakan bahwa
permainan dapat membantu anak-anak mem praktikkan keterampilan-keterampilan sosial, terutama pengen dalian diri
dan regulasi.
Banyak jenis permainan yang dapat diadaptasi untuk meme nuhi kebutuhan terapis. Berbagai permainan terapeutik
tersedia secara komersial, yang mencakup begitu banyak cara menyajikan masalah, seperti manajemen amarah,
keterampilan-keterampilan sosial, pengendalian diri, pengaturan emosi, dan seterusnya. Na mun demikian, konselor
mungkin melihat bahwa mengadaptasi permainan-permainan papan tradisional untuk memenuhi kebu tuhan spesifik
klien mereka tidak hanya lebih ekonomis, tetapi juga lebih efisien. Konselor, yang bekerja secara individu atau bersama
anak, dapat membuat aturan untuk mendorong pengembangan keterampilan. Misalnya, jika seorang anak senang
bermain Can dy Land, terapis dapat menambahkan aturan pada permainan tersebut bahwa setiap kali pemain mendarat
pada warna kuning mereka harus menjawab sebuah kartu yang berisi pertanyaa tentang perasaan, sedangkan setiap kali
mereka mendarat pada warna biru, mereka harus menjawab pertanyaan tentang pikiran Untuk anak-anak yang lebih
kecil atau sangat aktif, modifikasi modifikasi serupa dapat dilakukan pada permainan lokomotorik sperti engklek
(hopscotch) atau tangkap. Dalam Latihan Terpandu 76 lakukan curah pendapat mengenai cara-cara menggunakan
permainan populer dalam konseling anak-anak dan remaja.
Bercerita
Cerita menyediakan cara untuk memperkenalkan gagasan-gagas an baru dan dapat membantu anak-anak dan remaja
memersep sikan dunia secara berbeda melalui metafora. Freidberg dan Wilt 2010) menjelaskan bagaimana penggunaan
cerita dapat membe nkan metafora untuk membantu menciptakan situasi-situasi psi kalogis yang kompleks dan nyata
bagi anak-anak. Cerita dapat dibuat oleh terapis atau didasarkan pada media populer, tergan tung pada masalah yang
sedang ditangani. Tergantung pada usia dan tingkat perkembangan anak serta sifat masalahnya, metafora dan cerita bisa
dibuat lebih atau kurang abstrak. Dalam memban ti anak-anak memahami masalah, metafora dapat dibuat lebih abstrak
dan diajarkan melalui buku atau cerita. Misalnya, cerita nita tentang bajak laut yang menghindari hiu dan garis pantai
anak yang cemas secara sosial tentang ruang makan siang sekolah ng berbahaya dapat digunakan untuk memahami
persepsi dan tuntutan untuk berinteraksi dengan orang lain. Terapis dapat nenggunakan cerita untuk membantu anak
mengidentifikasi dan menyusun ulang bahaya yang dia persepsikan di dalam dunianya.Setelah masalah dipahami dan
dibingkai ulang, terapi dapat bera lih ke kegiatan bercerita yang lebih konkret dan realistis, lengkap dengan
keterampilan dan naskah untuk dipraktikkan.
Drama dan Permainan Boneka
Karya besar dari para peneliti dan teoretikus seperti Bandu (1969) dan Meichenbaum (1971) menyoroti kekuatan
pembelaja an sosial yaitu, anak-anak dan remaja jauh lebih cenderung un tuk melakukan sebuah perilaku jika mereka
melihat seorang te man sebaya atau model peran lain juga melakukannya terlebih dahulu. Semakin konkret dan selaras
cerita dengan realitas anak, semakin besar kemungkinan anak untuk meniru perilaku yang diinginkan (Freidberg &
Wilt, 2010) Drama yang dramatis dapat memberikan konteks yang sesuai secara perkembangan dan me nyenangkan
untuk penerapan gagasan-gagasan dan perilaku ba ru melalui pemodelan sosial.
Knell (1995, 2009) menjelaskan bagaimana wayang, barang mainan, atau boneka dapat digunakan untuk memodelkan
res pons-respons yang lebih adaptif terhadap situasi sosial. Terapis adalah seorang partisipan aktif dalam permainan
9
peran ini. Ter gantung pada fase konseling, konselor dapat bertindak sebagai model peran yang memberikan respons
yang tepat atau menjadi tokoh antagonis yang mencoba untuk mendapatkan respons ber beda yang lebih adaptif.
Bentuk-bentuk drama dramatis lainnya telah ditemukan dapat mendorong pengembangan keterampilan sosial pada anak
kecil (Lillard et al, 2013). Ketika bekerja dengan satu anak atau satu kelompok anak-anak, seorang terapis dapat
memberikan naskah yang menggambarkan sketsa yang parall dengan situasi kehidupan nyata yang menghadirkan
tantangan bagi anak-anak.
Pertimbangkan kasus Jasmine. Konselor menggunakan main an untuk membantu transisinya dengan sekolah dan
seorang guru baru.
Ketika anak-anak dan remaja belajar keterampilan-kete rampilan baru untuk pertama kali, mereka mungkin akan men
butuhkan lebih banyak dukungan melalui naskah yang leb lengkap. Ketika anak-anak menjadi lebih nyaman dengan le
terampilan-keterampilan baru tersebut, sketsanya bisa dibuat menjadi lebih terbuka, dan anak-anak dapat didorong
untuk mengimprovisasi resolusi cerita Anak-anak juga bisa diminta un ak memainkan banyak peran dalam adegan,
dengan anak-anak mengambil peran sebagai orang dewasa seperti guru dan orang a sementara terapis mengambil peran
anak Perlakuan semacam memungkinkan anak untuk mengambil perspektif orang lain serta untuk mempraktikkan
reaksi-reaksi yang mungkin mereka berikan terhadap situasi sosial yang berbeda. Sebagai tambahan untuk intervensi
yang dibuat secara individual oleh konselor, ada banyak manual perawatan berbasis CBT yang dapat dibeli. Dua di
antara sekian banyak intervensi semacam itu yang lebih populer dan efektif, Coping Cat (untuk kecemasan pada anak-
anak dan remaja) dan Penn Resiliency Program (untuk mengurangi gejala jala depresi pada remaja) dijelaskan dalam
Latihan Terpandu.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terapi Kognitif-Perilaku telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir sebagai sebuah
pendekatan yang didu kung secara empiris, efektif, dan efisien untuk menangani seba gian besar masalah psikososial.
Akan tetapi, penerapannya untuk anak-anak terbatas karena ketergantungan yang besar pada in struksi verbal dan
kebutuhan untuk memahami dan membingkai kognitif yang kompleks dan abstrak. Bermain menawarkan cara
menerjemahkan kerangka kerja yang mendasarinya dan mengon struksikan CBT menjadi bentuk yang membantu dan
dapat dipe hami anak-anak
Prinsif Dasar Konseling
CBT muncul dari menggabungkan teori-teori perilaku dan kognitif, yang sudah ada sejak awal 1900-an.
CBT adalah istilah payung untuk berbagai macam pera watan dan teknik menggabungkan unsur-unsur behavior
isme dan teori kognitif dalam bentuk tertentu.
Meskipun awalnya dirancang untuk digunakan pada orang dewasa, CBT telah dimodifikasi sesuai dengan ke
butuhan anak-anak dan remaja untuk diterapkan pada berbagai masalah dan budaya.
CBT memiliki basis penelitian terbesar dari semua ben tuk konseling hingga saat ini. Banyak pendekatan untuk
digunakan bersama anak-anak dan remaja telah ditelit sebagian dilakukan secara ekstensif, dan terbukti efekt
Konselor harus berhati-hati untuk tidak berasumsi bahwa suatu teknik atau program intervensi adalah valid dan
dapat diandalkan karena program ini dilabeli sebagai CBT. Beberapa program dan teknik bekerja dengan baik
hanya pada populasi atau masalah tertentu< dan banyak yang belum diteliti samasekali.
11
DAFTAR PUSTAKA
https://academia.edu/resource/work/6891707
Andriani, F. (2015). Teori belajar behavioristik dan pandangan islam tentang behavioristik. Syaikhuna: Jurnal
Pendidikan Dan Pranata Islam, 6(2), 165-180.
Anidar, J. (2017). Teori belajar menurut aliran kognitif serta implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Al-Taujih:
Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 3(2), 8-16.
Budiningsih, C. A. (2012). Belajar dan pembelajaran.
Konseling Anak-Anak dan Remaja.Sondra Smith-Adcock Catherine Tucker.PUSTAKA PELAJAR
12