Anda di halaman 1dari 106

PERENCANAAN WELL COMPLETION PADA SUMUR

PSK P-O1 LAPANGAN PUSAKA DI


BOB PT. BUMI SIAK PUSAKO – PERTAMINA HULU

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Profesional Sarjana Terapan pada Diploma IV
Program Studi Teknik Produksi Minyak dan Gas

Oleh:

Nama Mahasiswa : Ersatria Gerald Hilmy Prakasa


NIM : 171410019
Program Studi : Teknik Produksi Minyak dan Gas
Bidang Minat : Pemboran
Tingkat : IV

KEMENTRIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
POLITEKNIK ENERGI DAN MINERAL Akamigas
PEM Akamigas

Cepu, Juni 2021

i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Ersatria Gerald Hilmy Prakasa


NIM : 171410019
Program Studi : Teknik Produksi Minyak dan Gas Bumi
Tingkat : Ⅳ (empat)
Perguruan Tinggi : Politeknik Energi dan Mineral Akamigas

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi dengan judul “Perencanaan Well Completion Pada
Sumur PSK P-01 Lapangan Pusaka” adalah benar-benar karya saya sendiri dan bukan
plagiat dari karya yang lain. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat pada Skripsi
ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab.

Cepu, Mei 2021

Ersatria Gerald Hilmy P.


NIM. 171410019

ii
LEMBAR PENGESAHAN

PERENCANAAN WELL COMPLETION PADA SUMUR PSK P-O1


LAPANGAN PUSAKA DI BOB PT. BUMI SIAK PUSAKO –
PERTAMINA HULU

SKRIPSI

Oleh:
Ersatria Gerald Hilmy Prakasa
NIM. 171410019
Program Studi Teknik Produksi Minyak dan Gas Bumi
Tingkat Ⅳ

Menyetujui

Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II

Ir. Bambang Yudho Suranta, M.T. Purnomosidi, S.T., M.T., P.Hd.


NIP. 19640514 199303 1 002 NIP. 19780514 200312 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi: Teknik Produksi Minyak dan Gas Bumi

Akhmad Sofyan, S.T., M.T.


NIP. 19810119 201503 1 001

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadiran Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan
bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Perencanaan Well Completion Pada Sumur JAS-022 Lapangan JAS-I2 Di PT. Pertamina
EP Asset 3 Cirebon” dapat dilaksanakan dengan baik.
Penyusunan Skripsi diajukan sebagai syarat kelulusan Program Diploma IV pada
Program Studi Teknik Produksi Minyak dan Gas PEM Akamigas Cepu.
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan berkat dorongan, saran, serta bantuan
pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada:
1. Orang tua, dan saudara saudara, seluruh keluarga yang selalu mensupport saya
dalam pembuatan kertas kerja wajib ini.
2. Bapak Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan, M.Sc, selaku direktur PEM Akamigas
3. Bapak Akhmad Sofyan, S.T., M.T. selaku ketua program studi Teknik Produksi
Minyak dan Gas.
4. Bapak Purnomosidi, S.T., M.T., PhD. dan Ir. Bambang Yudho Suranta, M.T.
selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
5. Bapak dan Ibu Dosen PEM Akamigas.
6. Bapak Prastowo Kurniawan selaku pembimbing lapangan di PT. Pertamina EP
Asset 3 Cirebon.
7. Seluruh Karyawan lapangan PT. Pertamina EP Asset 3 Cirebon.
8. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Teknik Produksi Minyak dan Gas.
9. Teman- teman seperjuangan mahasiswa PEM Akamigas.

Penulis juga mengharapkan saran dan masukan kepada setiap pembaca Skripsi ini,
sehingga setiap masukan dan saran dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada
pada Skripsi penulis.

Cepu, Juni 2021


Penulis,

Ersatria Gerald Hilmy Prakasa


171410019

iv
ABSTRAK

v
ABSTRACT

vi
DAFTAR ISI

vii
DAFTAR TABEL

viii
DAFTAR GAMBAR

ix
DAFTAR LAMPIRAN

x
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat ini kebutuhan bahan bakar fossil masih terus melunjak naik, meskipun

sudah banyak bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Dengan seiring naiknya

permintaan konsumen terhadap bahan bakar berbahan dasar fossil, maka harus

dilakukan penggencaran eksplorasi dan eksploitasi bahan bakar fossil seperti minyak

dan gas bumi.

Aktivitas pengeboran adalah suatu kegiatan awal dalam industri minyak dan gas.

Aktivitas ini penting dilakukan untuk membuat jalur antara permukaan dan reservoir.

Pengeboran merupakan kegiatan yang sangat beresiko dan berbahaya bagi lingkungan,

peralatan maupun personal pekerja. Oleh karena itu pelaksanaan pengeboran yang baik

sangatlah penting dan harus memperhatikan aspek safety.

Dalam merencanakan sumur-sumur baru banyak aspek yang diperhatikan, mulai

dari geologi dari formasi yang diperkirakan ada cadangan minyak dan gas yang

nantinya akan ekonomis bila di produksikan, selain memperhatikan geologi dari suatu

formasi, pembuatan sumur juga harus memperhatikan, desain lubang pengeboran,

meliputi jenis sumur, arah sumur, kedalaman sumur hingga penentuan lubang. setelah

sumur selesai dibor, maka ada kegiatan yang disebut well completion.

11
Well Completion sendiri merupakan suatu kegiatan penyelesaian sumur dan

penyempurnaan dari proses pemboran supaya fluida hidrokarbon dapat diangkat dari

reservoir menuju permukaan. Well Completion sendiri dapat dilakukan dengan cara,

yakni formation completion, tubing completion, dan well head completion. Tujuan

utama well completion adalah untuk menyiapkan sumur agar dapat memproduksikan

minyak / gas seoptimal mungkin, murah, aman, mudah dalam perawatan dan tidak

memberikan efek kerusakan formasi.

Pada bahasan kali ini penulis mengkaji lebih lanjut tentang perencanaan well

completion pada sumur PSK-PO1 lapangan PUSAKA di BOB PT. BUMI SIAK

PUSAKO – PERTAMINA HULU.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perencanaan dan tahapan well completion pada suatu sumur?

2. Merencanakan formation completion, tubing completion, well head completion

yang sesuai dengan kondisi formasi batuan, fluida reservoir

1.3 Batasan Masalah

Pada penulisan skripsi ini, penulis akan membatasi masalah pada perencanaan well

completion pada sumur PSK-PO1 lapangan PUSAKA di BOB PT. BUMI SIAK

PUSAKO – PERTAMINA HULU.

12
1.4 Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis mempunyai maksud untuk memenuhi tugas dan

kewajiban sebagai mahasiswa Diploma IV pada Program Studi Teknik Produksi

Minyak & Gas Konsentrasi Pemboran di PEM Akamigas. Penulisan skripsi ini antara

lain bertujuan untuk:

 Mengetahui tahapan dan perencanaan well completion pada sumur PSK-01

 Mengetahui metode dan peralatan yang akan digunakan pada saat komplesi

sumur

 Melakukan perencanaan well completion dengan baik, efektif, safety sesuai

dengan formasi sumur dan fluida reservoir.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Menambah ilmu pengetahuan tentang pelaksanaan dan perencanaan dari well

completion.

2. Menjadi salah satu referensi perencanaan well completion untuk para akademisi.

13
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Well Completion

Well Completion adalah kelanjutan dari proses pemboran sumur agar sumur dapat

berproduksi. Tujuan utama well completion adalah untuk menyiapkan sumur agar dapat

memproduksikan minyak / gas seoptimal mungkin, murah, aman, mudah dalam

perawatan dan tidak memberikan efek kerusakan formasi.

Well Completion dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, kekompakan batuan

formasi, jumlah lapisan produktif, PI, sifat fluida formasi, dan pemakaian artificial lift.

Well Completion terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:

 Formation Completion

 Tubing Completion

 Well Head Completion

Reservoir

14
Gambar 2.1 Well Completion

2.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Well Completion

Pemilihan jenis well completion dipengaruhi oleh beberapa faktor, berikut faktor-

faktor yang mempengaruhi pemilihan well completion, yaitu:

 Kekompakan batuan

 Jumlah lapisan produksi

 Productivity Indeks

 Sifat fluida formasi

1. Kekompakan Batuan

Kekompakan batuan merupakan salah satu dasar dari pemilihan well completion

khususnya “formation completion” sehubungan dengan pencegahan keguguran dari

formasi produktifnya. Kekompakan batuan berkaitan dengan kestabilan formasi yang

meliputi sementasi batuan, kandungan lempung dan kekuatan formasi. Untuk

menganalisa kestabilan formasi diperlukan data Loging dan Coring dari lapisan

produktifnya.

15
Kekompakan batuan dapat diperkirakan dari factor sementasi yang diberikan dari

persamaan Archie, yaitu:

F= ∅ −m ……………………………………………. (1)

Sementara Humble memberikan persamaan:

F= 0,62 ∅−0.25 ……………………………………. (2)

Dimana: F = Kekompakan batuan, yaitu perbandingan antara Ro (resistivitas

minyak pada saturasi air 100%) dan Rw (resistivitas air formasi).

∅ = porositas batuan.

m = faktor sementasi.

Tabel 2.1 Lithologi dan Faktor Sementasi

2. Jumlah Lapisan Produktif

16
Reservoir yang mempunyai jumlah lapisan produktif lebih dari satu dan mempunyai

kondisi yang berbeda-beda sehingga menpunyai produktifitas dan tekanan formasi yang

berbeda.

Untuk satu lapisan produktif dipergunakan satu tubing (single completion),

sedangkan untuk lebih dari satu lapisan dengan kondisi yg berbeda-beda maka

dipergunakan lebih dari satu tubing (multiple completion). Agar diperoleh laju produksi

yang optimum dari tiap-tiap lapisan diperlukan data tekanan alir dasar sumur, ukuran

choke yg dipakai dan letak dari kedalaman lapisan dari masing-masing lapisan

produktifnya sehingga akan menyebabkan ukuran tubing yangg berbeda.

Perbedaan tekanan formasi ini akan mempengaruhi kemampuan produksi dari

masing-masing lapisan.

3. Productivity Indeks

Produktivity Indeks berhubungan dengan pemilihan dari well completion. Aliran

fluida formasi dari formasi menuju lubang sumur atau inflow performance dan diikuti

aliran fluida dari dasar sumur ke permukaan melalui tubing atau yg disebut dengan

vertical lift performance.

Dengan mengetahui produktivity indeks dan dinyatakan dalam bentuk IPR dan

memplot tubing performance maka akan diperoleh laju produksi dan apabila dikaitkan

dengan maximum effisien rate (MER) maka dapat ditentukan laju produksi optimum

17
dan ukuran tubing yg dipergunakan. Jadi dalam menentukan laju produksi optimum

tidak boleh melebihi MER.

4. Sifat Fluida Formasi

Fluida formasi mengandung banyak komponen penyusunnya, adanya sifat korosi,

pembentuk scale dan parafin maka perlu dilakukan tindakan pencegahan disebabkan

dapat merusak peralatan produksi.

Setiap lapisan produktif pada umumnya mempunyai sifat yg berbeda sehingga dapat

menyebabkan persoalan yg berbeda juga dan juga treatment untuk penanganannya

berbeda juga. Pemilihan well completion mempertimbangkan hal tersebut.

2.3 Formation Completion

Formation Completion adalah salah satu jenis well completion dimana bertujuan

untuk melakukan komplesi sesuai dengan zona produksi yang ada. Formation

Completion juga dibagi menjadi tiga jenis.

2.3.1 Open Hole Completion

18
Open hole completion Merupakan jenis komplesi yang sangat sederhana dengan

casing dipasang sampai puncak formasi produktif yang tidak tertutup secara mekanis,

sehingga aliran fluida reservoir dapat langsung masuk ke dalam lubang sumur tanpa

halangan.

Metode ini merupakan metode komplesi yang paling murah dan paling sederhana

untuk mekanisme pengerjaannya. Metode open hole ini cocok untuk digunakan pada

formasi yang batuannya kompak, keras, dan tidak mudah runtuh. Bila laju produksi

besar maka akan dilakukan produksi melalui casing, sedangkan bia lajunya kecil maka

produksi akan dilakukan melalui tubing.

Metode open hole completion ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan,

yaitu:

 Kelebihan:

1. Skin faktor akibat perforasi dapat dieleminir.

2. Sumur mudah diperdalam.

3. Didapatkan diameter lubang bor secara maksimum.

4. Mudah dipasang screen liner/ gravel pack.

5. Tidak ada biaya formasi.

 Kekurangan:

19
1. Sulit menempatkan casing produksi pada horizon yang tepat di atas zona

produktif.

2. Sulit mengontrol produksi air/ gas yang berlebihan.

3. Sulit untuk selective acidizing atau fracturing.

2.3.2 Perforated Casing Completion

Merupakan metode completion dimana casing produksi dipasang menembus

formasi produktif, disemen kemudian di perforasi di inverval yang diinginkan. Formasi

yang mudah gugur akan ditahan oleh casing. Casing yang telah disemen dengan

formasi kemudian akan dilubangi dengan gun atau bullet perforator ataupun jet

perforator.

Metode ini umumnya dilakukan pada formasi yang kurang kompak, dan dengan

dipasangnya casing berfungsi untuk mencegah formasi tersebut runtuh.

Metode perforated casing completion ini mempunyai beberapa kelebihan dan

kekurangan, yaitu:

 Keuntungan:

1. Pengontrolan terhadap gas atau air lebih mudah

2. Memungkinkan multiple completion

20
3. Full diameter untuk lapisan produktif

4. Memungkinkan pengontrolan pasir

5. Memungkinkan memproduksi beberapa zona secara bersama melalui tubing

terpisah

 Kekurangan

1. Memerlukan biaya perforasi

2. Memungkinkan terjadinya formation damage

2.3.2.1. Tipe Perforator

Untuk melakukan perforasi, digunakan perforator yang dibedakan atas dua tipe

perforator, yaitu:

a. Bullet/Gun perforator

Komponen utama dari bullet perforator meliputi :

 Fluid seal disk: pengaman agar fluida sumur tidak masuk ke dalam alat.

 Gun barrel

21
 Badan gun dimana barrel disekrupkan dan untuk menempatkan sumbu

(ignitor) dan propellant (peluru) dengan shear disk didasamya, untuk

memegang bullet ditempatnya sampai tekanan maksimum dicapai karena

terbakarnya powder.

 Electric wire: Kawat listrik yang meneruskan arus untuk pengontrolan

pembakaran powder charge.

Gun body terdiri silinder panjang terbuat dari besi yang dilengkapi dengan suatu

alat kontrol untuk penembakan. Sejumlah gun/susunan gun ditempalkan dengan interval

tertentu dan diturunkan kedalam sumur dengan menggunakan kawat (electric wire-line

cable) dimana kerja gun dikontrol dan permukaan melalui wire line untuk melepaskan

peluru (penembakan) baik secara sendiri-sendiri maupun serentak.

Berikut terdapat beberapa keuntungan dan kerugian menggunakan bullet

perforator yaitu:

1) Bullet lebih murah dan mudah dari pada jet perforator

2) Bullet menyebabkan perekahan formasi yang dapat dipakai pada

formasi yang tebal.

3) Perforasi yang dihasilkan bersifat burrless (rata pada bagian

dalam) serta lubang berbentuk bulat. Dengan kondisi ini maka

sebagian perforasi dapat ditutup dengan klep – klep atau ball

22
sealer sementara waktu.

4) Bullet cocok untuk perforasi lunak, dimana bullet dapat menembus

lebih dalam dibanding jet perforator.

Adapun kekurangan bullet perforator adalah :

1) Efek fracturing dapat merugikan bila lapisan produktif tipis – tipis

dan air atau fluida formasi ikut terproduksi pula

2) Bullet tidak dapat digunakan pada temperature tinggi (>250⁰F)

3) Bullet sukar menembus formasi yang keras, dan untuk casing yang

terlalu tebal/berlapis – lapis

4) Bullet dengan ukuran kecil tidak memberikan hasil yang baik.

Prinsip kerja bullet perforator yaitu aliran listrik dialirkan melalui

wireline menimbulkan pembakaran pada propellant dalam

centrifuge- tube sehingga terjadi ledakan yang melontarkan bullet

perforator dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Tabel 2.2 Various Bullet Types and Applications

23
b. Shape charge/ Jet perforator
Prinsip perforasi menggunakan jet perforator yaitu detonator elektris

memulai reaksi berantai dengan berturut – turut meledakan primacord.

Booster berkecepatan tinggi didalam charge dan akhirnya peledak utama.

Tekanan tinggi yang dihasilkan bahan peledak menyebabkan logam didalam

charge liner mengalir, memisahkan inner dan outer liner. Pembentukan

tekanan lebih lanjut pada liner menyebabkan suatu dorongan jet

berkecepatan tinggi dan partikel – partikel yang dimuntahkan dari cine pada

kecepatan sekitar 20.000 ft/sec dan tekanan pada ujung titiknya kira – kira 5

juta psi.

Selubung terluar liner rusak untuk membentuk suatu gerakan metal

yang rendah dengan kecepatan 1500 dan 3000 psi. sisa outer liner ini

24
mungkin dapat membentuk slug tunggal yang disebut sebagai carrot atau

aliran partikel – partikel logam. Keuntungan menggunakan jet perforator

adalah :

1) Dapat digunakan sampi temperature 400⁰F

2) Rekahan yang terjadi tidak terlalu besar sehingga cocok untuk

formasi yang tipis.

3) Lebih banyak yang dapat dilakukan untuk sekali penurunan gun

ke dalam sumur, sehingga untuk formasi dengan interval yang

panjang akan lebih baik dan murah.

4) Jet perforator menembus formasi keras tapi penembusan baik.

5) Untuk operasi dalam tubing hanya jet yang cocok karena alat

untuk bullet memerlukan diameter yang lebih besar.

Adapun kekurangan dari jet perforator adalah:

1) Rekahan yang terbentuk tidak terlalu lebar sehingga tidak

banyak membantu meningkatkan permeabilitas pada lapisan

yang tebal

2) Penggunaan ball sealer tidak dapat digunakan karena hasil

pelubangan yang runcing dibagian dalam dan tidak bulat

dibagian luar.

3) Jet lebih mahal jikaa dibandingkan dengan bullet bila dipakai

25
pada interval perforasi yang pendek atau sedikit jumlah

penembakannya.

2.3.2.2. Jenis Perforating Gun

Berikut jenis jenis perforating gun yang digunakan pada metode perforated

casing completion:

1. Casing Gun

Casing Gun merupakan gun yang dipasang satu rangkaian dengan casing.

Biasanya ukuran diameter casing gun berkisar antara 3 – 5 inci dengan

jumlah tembakan per foot lebih dari 4 spf (shoot per foot). Memungkinkan

perforasi melalui production casing dengan menggunakan perlatan yang

berukuran lebih besar, atau biasanya digunakan sebagai selubung dari gun.

26
Gambar 2.2 Casing Gun

2. Expandable Gun

Expandable Gun merupakan jenis perforating gun yang hancur saat

ditembakan, sehingga membentuk puing – puing yang lebih halus. Gun ini

digunakan pada saat pembatasan lubang bor yang hanya mengizinkan

pengaplikasian melalui tubing.

Gambar 2.3 Expendable Gun

3. Retrievable Gun

Retrievable Gun akan diambil dari dalam sumur setelah selesai kegiatan

perforasi, sehingga meminimalkan serpihan atau puing – puing yang tersisa.

Pada saat mengangkat badan gun diusahakan untuk mengurangi putaran balik

(distorsi).

27
Gambar 2.4 Retrievable Gun

4. High Shot Density Gun

High Shot Density Gun merupakan jenis gun dengan mempunyai lebih

dari 4 shots per foot dan membuat penetrasi yang dalam. Memungkinkan

penyaluran yang lebih baik disekitar casing atau liner. HSD dapat

dioperasikan dengan menggunakan wireline atau tubing, baik pada sumur

vertical maupun horizontal.

charge

Shot phasing

Gambar 2.5 High Shot Density Gun

2.3.2.3. Penentuan Variabel Perforasi

Penentuan variabel perforasi terdiri atas penentuan densitas perforasi,

phasing angel dan shot density perforasi, kedalaman penetrasi.

28
A. Penentuan Densitas Perforasi

Densitas perforasi adalah jumlah lubang dalam casing per satuan

panjang (feet) atau sering juga disebut dengan Shot per Feet (SPF). Untuk

menentukan densitas perforasi dapat menggunakan penelitian yang dibuat

oleh Muskat, dimana dihasilkan hubungan antara produktivitas rasio

(Qp/Qo) densitas perforasi untuk berbagai jarak penetrasi radial, diameter

lubang perforasi dan diameter casing.

………………………………. (3)

Dimana :

Qp : laju produksi maksimum sumur perforasi (bpd), Qo : laju

produksi sumur open hole (bpd),

Sp : faktor skin perforasi yang tergantung pada diameter perforasi,

diameter sumur dalam penembusan dan sudut penembakan.

29
Setelah nilai Qp/Qo ditentukan dapat dilanjutkan dengan memplot

kurva pada Gambar 2.6 untuk menentukan nilai Shot per Feet (SPF).

Gambar 2.6 Effect of perforation density and depth of penetration on relative well
productivity

B. Penentuan Phasing Angel

Phasing angel merupakan penahapan, pola sudut pengambilan

gambar di sekitar sumur bor yang berpengaruh terhadap produktivitas

minyak sumur tersebut. Biasanya phasing angel dihitung menggunakan

rumus lapangan yaitu:

360°
Phasing angle =
spf
……………… (4)

C. Penentuan Depth of Penetration

30
Penetration depth sangat berpengaruh terhadap produktivitas suatu

sumur, semakin dalam penetrasi semakin baik produktivitas suatu sumur.

Namun hal ini masih berkaitan dengan skin factor yang dihasilkan untuk

itu, pemilihan gun harus sangat hati – hati. Adapun perhitungan

penetration depth dapat menggunakan persamaan berikut (reference:

Temicel Xenk, Tuna Tayfun, Oskay Mehmet Melih, Saputelli Luigi A,

“Formula and Calculation for Petroleum Engineer, page :229):

Lp = (Lpc) – 0,5 (dwb – dci) …………………… (5)

Dimana:

Lp : depth of penetration from the formation face (in.) (total core

penetration = PTC)

Lpc : total target penetration = TTP, dwb : diameter wellbore (in)

dci : ID casing (in)

2.3.2.4. Penentuan Production Casing Design

Konfigurasi casing merupakan hal yang sangat vital dalam penentuan casing

design, karena pada konfigurasi inilah dapat diketahui kekuatan dari burst, collapse,

31
tension dan biaxial yang diperlukan, yang pada akhirnya berfungsi untuk menentukan

grade dari casing tersebut yang ditentukan berdasarkan beberapa hal tersebut.

A. Burst

Pada production casing perhitungan beban burst tidak lagi

didasarkan kepada kondisi saat sumur mengalami kick. Dengan

demikian Batasan tekanan maksimum di permukaan dan di kaki casing

tidak dipergunakan, seperti Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Beban Burst Pada Production Casing

Keterangan Gambar 2.7

THP = Tubing Head Pressure (psi)

ρpf = Densitas packer fluid (ppg)

32
ρf = Densitas fluida (ppg)

PS = Tekanan di permukaan (psi)

Pe = Tekanan di luar casing (psi)

a = Beban burst

b = Tekanan di luar casing

c = Resultan = a-b

d = Garis desain = c x design factor

Karena pada tahap ini sumur telah berproduksi, maka pembebanan

pada casing diakibatkan juga oleh masalah yang timbul ketika sumur

tersebut berproduksi. Pada sumur produksi umumnya ruang antara tubing

dan production casing diisi oleh suatu cairan yang biasa dikenal sebagai

packer fluid. Densitas packer fluid ini sama dengan densitas fluida yang

terdapat di luar production casing (air asin) yaitu sekitar 9 ppg. Dengan

demikian pada kondisi normal tekanan hidrostatik kedua fluida pada casing

akan saling meniadakan. Hal ini menyebabkan casing tidak menerima beban

burst maupun collapse.

Kondisi terburuk untuk burst terjadi apabila terdapat kebocoran pada

pipa tubing dekat permukaan dan mengakibatkan fluida produksi dalam

33
kasus ini diambil gas, masuk ke dalam packer fluid. Dengan mengabaikan

kehilangan tekanan di sepanjang tubing maka tekanan gas tersebut pada

packer fluid di permukaan sama dengan tekanan dasar sumur. Beban Burst

production casing ditunjukkan oleh garis (a) pada Gambar 2.7.

Tekanan di permukaan

Ps = BHP

Tekanan di kaki casing:

Pcs = Ps + 0.052 ρpf Lpd ………………………… (6)

Dimana:

BHP = Tekanan dasar sumur (psi)

ρpf = Densitas packer fluid (ppg)

Lpd = Panjang production casing (ft)

Umumnya densitas packer fluid dipakai yang ringan agar tidak

menimbulkan beban burst yang besar pada kaki casing.

Tekanan di luar casing sebagaimana diketahui adalah minimal sebesar

tekanan hidrostatik air asin.

34
Pe = 0.052 ρf Lpd …………………(7)

Pe = 0,465 Lpd …………………… (8)

B. Collapse

Beban collapse pada production casing terdiri atas tekanan

hidrostatik lumpur saat casing dipasang dan tekanan hidrostatik semen di

annulus. Pada Gambar 2.8 ditunjukkan oleh garis OP1P2 dimana:

Gambar 2.8 Beban Collapse Production Casing

Keterangan Gambar 2.8:

P1 = 0.052 ρm Lm

P2 = P1 + 0.052 ρs Hs

35
ρm = densitas lumpur saat casing dipasang, ppg

ρs = densitas semen (ppg)

Lm = Tinggi kolom lumpur (ft)

Hs = Tinggi kolom semen (ft)

D = Kedalaman (ft)

P = Tekanan (psi)

Sebagaimana disebutkan pada sub bab sebelumnya ruang antara tubing

dan production casing diisi oleh packer fluid. Kondisi terburuk apabila

penyekat di dasar sumur bocor sehingga seluruh kolom packer fluid

menhilang/ lost. Dengan demikian casing menahan beban collapse tanpa

mendapat bantuan tekanan dari dalam. Pada Gambar 2.8 karena di dalam

casing kosong maka:

OP1P2 = resultan (a)

Garis desain (b) = a x design factor

C. Tension

Beban Tension sebagaimana diketahui adalah beban dari berat

rangkaian casing yang di gantung di dalam sumur tersebut, lumpur akan

36
memberikan gaya apung terhadap casing. Hal ini menyebabkan berat casing

di dalam lumpur lebih ringan bila dibandingkan dengan berat casing di

udara. Akibat lain dari adanya gaya apung ini adalah bahwa pada sebagaian

rangkaian casing tepatnya bagian bawah, casing berada dalam kondisi

kompresi dan selebihnya dalam kondisi tension. Titik netral merupakan

titik pada rangkaian casing yang tidak berada dalam kondisi kompresi

maupun tension. Distribusi beban tension pada rangkaian casing dapat

dilihat pada Gambar 2.9.

Misalkan suatu rangkaian casing terdiri dari tiga seksi berada di dalam

sumur yang berisi lumpur dengan densitas ρm (ppg), seperti terlihat pada

Gambar 2.9.

Keterangan Gambar 2.9:

1, 2, 3 = Menyatakan seksi casing

D = Kedalaman (ft)

L = Panjang Casing (ft)

37
Gambar 2.9 Beban Tension

Bouyancy Factor (BF)

ρm
BF = 1 -
65.5

Seksi 1:

WM1 = L1. Wa1. BF

Dengan,

BF = Gaya apung

ρm = Densitas lumpur saat casing dipasang (ppg)

WM = Berat casing (lbs)

Wa = Unit berat casing di udara (lbs/ft)

L = Panjang seksi casing (ft)

Seksi 2:

WM2 = WM1 + L2. Wa2. BF

38
Seksi 3

WM3 = WM2 + L3. Wa3. BF

Beban Tension di permukaan:

Ts = WM1 + WM2 + WM3

Titik netral sebagaiamana diterangkan di atas adalah titik pada

rangkaian casing dimana beban aksial sama dengan 0. Letak kedalaman titik

netral dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

BF
TN = D1 - D
W1 1

Dengan TN adalah letak kedalaman titik netral, ft.

Untuk mendapatkan garis desain tension maka dilakukan Langkah


sebagai berikut:

1. Tambahkan pada garis tension beban overpull sebesar 100.000 lbs.


Overpull merupakan faktor keamanan apabila rangkaian casing terjepit
sehingga diperlukan gaya tambahan untuk melepaskannya.

2. Kalikan garis beban tension dengan desain faktor 1.6

Maka garis desain tension dipilih mana yang memberikan harga lebih
besar diantara keduanya. Pada Gambar 2.9:

a = garis beban tension

b = garis beban tension + 100.000 lbs

39
c = garis beban tension x 1.6

Pada Gambar tersebut b dan c berpotongan sehingga garis desain

tension adalah yang tercetak tebal. Garis desain tension dipergunakan untuk

menguji body yield strength dan joint strength casing yang dipakai. Selain

itu juga akan dipakai dalam perhitungan beban biaksial.

D. Biaxial Effect

Pengaruh beban biaksial terhadap casing seperti yang ditunjukkan oleh

kurva elips Gambar 2.10 dapat di terangkan lebih jelas dengan gambar

berikut:

Gambar 2.10 Kurva Elips Beban Biaxial

Misalnya terdapat suatu rangkaian casing dengan burst dan collapse

rating tertentu dan berada di dalam lumpur, maka pada casing bagian atas

40
tension akan menyebabkan kenaikkan burst rating dan penurunan collapse

rating. Sedangkan pada bagian bawah compresion akan menyebabkan

penurunan burst rating dan menaikkan collapse rating.

Untuk menghitung besarnya penurunan collapse rating suatu casing

pada beban tension tertentu dapat ditempuh cara sebagai berikut:

1. Tentukan faktor beban aksial

Beban Tension
X=
Body Yield Strength

2. Masukkan harga X ini kedalam grafik pada gambar 2.10 dan tentukan

faktor collapse strength Y.

3. Maka collapse rating hasil koreksi terhadap beban tension adalah Y x

Collapse Rating

Pasangan harga X dan Y dapat juga diperoleh dari Tabel 2.2

41
Tabel 2.2 Pasangan Harga X dan Y

42
E. Dimensi Casing

Casing mempunyai karakteristiknya masing-masing. Dari

karakteristiknya tersebut, casing dapat digunakan sesuai karakteristik

43
nya, berikut ini adalah macam- macam dimensi casing yang dapat

digunakan sebagai acuan untuk mendesain casing.

a) Diameter luar (Outside Diameter)

Ukuran casing ditentukan dengan nominal diameter, yang berarti

ukuran tersebut adalah yang didesain atau diameter luar pipa secara

teoritis. Seluruh acuan spesi/fikasi dari diameter luar casing ini mengacu

pada API dan ISO.

b) Diameter dalam (Inside Diameter) dan ketebalan

Diameter dalam casing menentukan ketebalan dari casing. Tidak ada

angka pasti dalam penentuan diameter dalam casing, akan tetapi API dan

ISO telah menentukan angka pasti mengenai toleransi dari ketebalan

minimum dari casing. Ketebalan minimum adalah 87.5% dari ketebalan

nominal casing, dan ketebalan maksimum adalah sesuai dengan

ketebalan nominal dari casing tersebut.

Diameter dalam casing adalah salah satu hal terpenting, dikarenakan

penentuan alat yang dapat diturunkan ke dalam casing sangat bergantung

pada ukuran diameter dalam ini.

c) Panjang Casing

Panjang dari casing dibagi menjadi 3 ukuran (range). Pembagian

44
range tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Pembagian Ukuran Casing


Range 1 Range 2 Range 3
(ft) (m) (ft) (m) (ft) (m)
16-25 4.88-7.62 25-34 7.62-10.36 34-48 10.36-14.63

d) Berat Casing

Berat dari casing mengacu pada berat spesifik dari casing yang

biasanya disebut sebagai berat per panjang casing (seperti kg/m atau

lb/ft).

e) Grade Casing

Casing dibuat dengan beberapa macam grade. Grade adalah istilah

untuk mengklasifikasikan casing sesuai dengan kekuatan dan sifat

metalurgi nya. Kebanyakan casing dibuat berdasarkan standard API.

Tabel 2.4 Spesifikasi Casing sesuai dengan grade


Yield
Minimum
strengt Hardness
Grade Tensile Strength H2S
h
(ksi)
(ksi)
Min Max HRC HBW/HBS
H-40 40 80 60 Yes
J-55 55 80 75 Yes
K-55 55 80 95 Yes
N-80 80 110 100 No
M-65 65 85 85 22 235 Yes
L-80 80 95 95 23 241 Yes
C-90 90 105 100 25.4 255 Yes
C-95 95 110 105 No
T-95 95 110 105 25.4 255 Yes
P-110 110 140 125 Yes
Q-125 125 150 135 Yes45
f) Koneksi

Ada beberapa tipe koneksi pada casing, dan 3 jenis dasar adalah:

coupling, integral, dan weld-on.

Tipe koneksi yang paling umum adalah API 8-rd Connection,

dimana 8- rd berarti 8-round atau 8 ulir per inci dan memiliki profil yang

sedikit bundar. Terdapat dua macam API 8-rd connections, yaitu ST&C

(Short Thread & Coupling) dan LT&C (Long Thread & Coupling).

Perbedaan dari kedua jenis tersebut terletak pada ukuran panjang dan

banyaknya ulir, serta kekuatan dari ulir tersebut.

Ada beberapa jenis koneksi yang memiliki profil yang berbeda dari

API 8-rd. Daripada memiliki ulir yang seperti segitiga, banyak yang

memiliki ulir seperti persegi atau yang sejenisnya untuk memberikan

kekuatan tensile dan bending yang lebih besar. Salah satu contoh dari

ulir dengan jenis ini adalah Buttress. Ulir jenis ini digunakan jika

memerlukan kekuatan tensile yang besar. Ulir ini tahan terhadap

kebocoran pada pengaplikasian gas tekanan tinggi.

46
Gambar 2.11 Reguler Thread & Coupling (ST&C, LT&C)

Gambar 2.12 Buttress Thread & Coupling

2.3.3 Sand Exclution Completion

Metode ini dipakai untuk mencegah terproduksinya pasir dari formasi

produktif yang kurang kompak. Metode dari sand exclution untuk

menanggulangi masalah kepasiran adalah liner completion dan gravel-pack

completion.

1. Liner Completion

Metode ini cara komplesinya menggunakan liner, Liner completion dapat

dibedakan berdasarkan cara pemasangan linernya, yaitu:

 Perforated Liner Completion

47
Dalam metode ini casing dipasang diatas zona produktif, kemudian zona

produktifnya dibor dan dipasang casing-liner dan disemen. Selanjutnya liner

diperforasi untuk diproduksi.

Gambar 2.13 Perforated Liner

 Screen and Liner Completion

Dalam metode ini casing dipasang sampai puncak dari lapisan/zona

produktif, kemudian liner dipasang pada formasi produktif yang

dikombinasikan dengan screen, sehingga pasir yang ikut aliran produksi

tertahan screen.

48
Gambar 2.14 Screen and Liner

2. Gravel Pack Completion

Metode ini dilakukan bila screen liner masih tidak mampu menahan

terproduksinya pasir. Cara kerja dari gravel pack completion adalah dengan

menginjeksikan sejumlah gravel pada formasi produktif di sekeliling casing hingga

fluida akan tertahan oleh pasir yang membentuk barrier dibelakang gravel dan

gravel akan ditahan oleh screen.

49
Gambar 2.15 Gravel Pack Completion

2.4 Tubing Completion

Pada tubing completion penentuan jenisnya dibedakan berdasarkan jumlah tubing,

jenis tubing, packer, yang akan digunakan berdasarkan jumlah zona produktif,

produktivitas formasi.

Tubing completion dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:

1. Single Completion

Pada single zone completion relative mudah untuk diproduksi dan

mengontrol dari zona yang akan diproduksikan dengan peralatan permukaan

yang minimum dan tidak memerlukan sumur bor khusus. Karena biasanya

dengan single tubing string, persyaratan keamanan, instalasi dan produksi dapat

dengan mudah dipenuhi.

Di sebagian besar single zone completions, mengunakan packer/ alat untuk

mengisolasi dan tubing string. Ini memberikan perlindungan untuk casing atau

liner strings dan memungkinkan untuk penggunaan alat pengontrol aliran untuk

50
mengontrol produksi Kompleksitas completion ditentukan oleh persyaratan

fungsional dan faktor ekonomis.

Gambar 2.16 Single Zone Completions

2. Commingle Completion

Metode ini digunakan untuk sumur mempunyai lebih dari satu

lapisan produktif dan diproduksikan dengan menggunakan satu tubing.

metode ini dapat diterapkan dengan syarat jika tidak menimbulkan

interflow antara lapisan produktif.

Commingle completion dibedakan menjadi beberapa jenis :

51
a. Single tubing with single packer

Jenis ini digunakan pada sumur yang mempunyai dua lapisan

produktif, dimana diantaranya dibatasi oleh packer. Jenis ini juga

digunakan untuk sumur dengan produktivitas rendah. Pada bagian

bawah fluida akan diproduksi melalui tubing, sedangkan untuk

lapisan atasnya melalui annulus antara tubing dan casing.

Untuk keuntungan pada metode ini adalah biaya yang cenderung

murah karena menggunakan satu tubing. Sedangkan untuk

kelemahannya adalah hanya bagian bawah saja yang bisa

menggunakan artificial lift bila diperlukan, production casing tidak

terlindungi dari fluida yang korosif, dan juga endapan- endapan solid

dari lapisan bagian bawah dapat merusak tubing string, dan juga

perlu untuk kill lapisan bawah bila melakukan workover.

52
Gambar 2.17 Single Tubing with Single Packer

b. Single tubing with double packer

Dengan menggunakan double packer, jenis ini digunakan untuk

sumur yang mempunyai dua zona produktif, dimana kedua aliran

akan dialirkan melalui satu tubing. Pada komplesi ini diinginkan

untuk memproduksikan fluida formasi bagian atas melalui dalam

tubing dengan bantuan cross over atau dengan regulator flow choke.

Sedangkan untuk fluida formasi dari bawah diproduksikan malalui

53
tubing itu juga, dan kemudian melalui annulus tubing dan

casing. Keuntungan pada jenis ini juga biaya tidak mahal, tetapi

mempunyai kelemahan jika terjadi suatu gangguan pada salah satu

lapisan, maka harus kill lapisan yang lain juga saat ingin melakukan

workover.

Gambar 2.18 Single Tubing with Double Packer

c. Commingle without packers

Merupakan metode commingle yang tidak menggunakan packer,

54
metode ini pada umumnya digunakan pada terutama dipakai untuk

sumur dengan fluida produksi yang bersifat korosif atau

mengandung bahan penyebab terbentuknya scale.

Disini tubing dipakai untuk menginjeksikan corrosion inhibitor

atau parafin solvent. Pada metode ini tubing akan diset pada

kedalaman yang berbeda , dan langsung dilakukan penyemenan.

Gambar 2.19 Commingle without Packers

3. Multiple Completions

Komplesi ini digunakan bila beberapa zona produktif yang ingin

diproduksi secara bersamaan melalui tubing yang berbeda, lapisan

produktif tersebut diproduksikan secara sendiri-sendiri secara masing-

masing. Komplesi ini memerlukan beberapa packer.

55
Gambar 2.20 Multiple Completions

2.5 Wellhead Completions

Wellhead atau kepala sumur adalah peralatan yang berada pada bagian atas

dari rangkaian pipa di dalam suatu sumur. Wellhead digunakan untuk menahan

dan menopang rangkaian pipa, menyekat dari masing-masing casing dan tubing

serta untuk mengontrol produksi sumur. Untuk menggantungkan dan menahan

rangkaian casing atau tubing serta mengontrol sumur di permukaan tanah.

Wellhead terbuat dari besi baja, membentuk suatu seal untuk menahan semburan

atau kebocoran cairan dari dasar sumur ke permukaan. Untuk pemilihan peralatan

56
akan diatur oleh American Petroleum Institute (API). Working pressure daripada

peralatan wellhead diklarifikasikan oleh API dari rentang 960 psi sampai 15.000

psi. Komponen wellhead sendiri terdiri dari casing head, tubing head, dan

christmas tree. Ada beberapa tipe dasar dari wellhead:

 Wellhead system konvensional spool

 Wellhead system compact spool

 Subsea wellhead

Gambar 2.21 Wellhead

2.6 Metode Lifting

Sumur produksi merupakan sumur yang berfungsi untuk memproduksi fluida

formasi (minyak, air, dan gas). Berdasarkan hasil observasi selama melaksanakan

Tugas Akhir di BOB BSP-Pertamina Hulu Energi Production/Exploitation terdapat dua

57
metode yang digunakan yaitu metode sembur alam (natural flow) dan metode

pengangkat buatan (artificial lift).

2.6.1. Natural Flow

Metode sembur alam digunakan apabila tekanan formasi sumur masih tinggi

sehingga mampu mengangkat fluida formasi ke permukaan secara aman. Apabila

tekanan formasi sumur telah mengalami penurunan maka akan dibutuhkan peralatan

antificial lift untuk mengangkat fluida formasi ke permukaan. Metode natural flow

memiliki beberapa jenis tenaga pendorong, yaitu:

1. Water Drive Mechanism

2. Gas Cap Drive Mechanism

3. Solution Gas Drive Mechanism

4. Gravity Drive Mechanism

5. Combination Drive Mechanism

2.6.2. Artificial Lift

58
Apabila sumur tersebut tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengalirkan

fluida reservoir sampai ke permukaan, atau yang disebut dengan natural flow maka

hal ini akan menyebabkan adanya penurunan produksi dari sumur tersebut dan sumur

tersebut harus menggunakan pengangkat buatan (artificial lift) agar bisa tetap

berproduksi dengan jumlah memadai. Banyak terdapat jenis pengangkat buatan yang

digunakan oleh BOB BSP Pertamina Hulu Energy, diantaranya adalah, Electric

Submersible Pump (ESP), Sucker rod pump (SRP), Gas lift, Hydraulic Pumping Unit.

a. Gas Lift

Merupakan proses penginjeksian gas bertekanan tinggi kedalam annulus

(antara tubing dan casing) melalui valve bawah permukaan di kedalaman

tertentu. Konsep utama dari gas lift adalah dengan memampatkan gas yang ada

di permukaan lalu menginjeksikannya sedalam mungkin ke dalam sumur,

maka berat jenis fluida akan turun dikarenakan gas injeksi akan bercampur

dengan fluida yang akan meringankan fluida hidrokarbon.

Metode ini bagus untuk digunakan untuk lapangan offshore karena lebih

fleksibel, cocok untuk fluida yng korosif, dan juga cocok untuk fluida

bertemperatur tinggi. Gas yang digunakan pada umumnya adalah gas alam,

nitrogen, karbon dioksida, ataupun gas lainnya yang dapat terlarut dalam

minyak.

59
b. Sucker Rod Pump (SRP)

Pompa angguk atau SRP merupakan teknik pengangkatan yang

menggunakan pompa angguk untuk mengubah gerak rotasi dari prime mover

menjadi gerak naik turun. Lalu gerakan akan melewati walking beam dan

diteruskan ke horse head, sehingga akan menggerakkan plunger pompa

melalui rod string.

c. Electric Submersible Pump (ESP)

ESP adalah sebuah metode yang menggunakan pompa sentrifugal

bertingkat yang digerakkan oleh motor listrik dan dipasang jauh di dalam

sumur. ESP juga bisa untuk mengangkat fluida berwujud sludge, dan minyak

mentah pada saat pengeboran. Keuntungan menggunakan ESP adalah cocok

digunakan pada sumur dengan productivity indeks yang tinggi, panas yang

ditimbulkan oleh motor akan dapat mengatasi masalah paraffin, perawatannya

murah dibandingkan dengan laju produksi yang diperoleh.

d. Jet/Hydraulic Pump

Pada sistem ini fluida dipompakan ke dalam sumur bertekanan tinggi lalu

disemprotkan lewat nozzle ke dalam kolom minyak. Melewati lubang nozzle,

fluida ini akan bertambah kecepatan dan energi kinetiknya sehingga mampu

mendorong minyak sampai ke permukaan. atau menginjeksikan fluida pada

60
kedalaman tertentu dimana ada venturi yang merubah tekanan menjadi

kecepatan sehingga terbentuk tekanan lebih rendah dan membuat minyak

masuk ke sumur dari reservoir. peralatan yang harus disediakan adalah

separator, surface pump dan peralatan dalam sumur (Nozzle, difuser dan check

valve)

2.7 Peralatan Produksi Bawah Permukaan

Peralatan produksi bawah permukaan adalah peralatan-peralatan yang berfungsi

untuk membantu proses produksi fluida dan berada di bawah permukaan. Berikut

adalah alat-alat produksi bawah permukaan yaitu:

 Tubing

 Packer

 Circulating devices

 Landing nipple

 Sub surface safety valve

2.7.1. Tubing

Tubing disebut juga dengan production string, pipa produksi yang membawa

fluida produksi dari reservoir ke permukaan (sumur produksi) atau dari permukaan ke

reservoir (sumur injeksi). Parameter tubing yang penting berdasarkan pada pedoman

61
API: nominal diameter, nominal weight, grade of steel, type of connection, length

range.

1. Nominal Diameter

Merupakan outside diameter badan pipa, atau OD. Berikut standar

ukuran OD:

Tabel 2.5 Nominal Diameter

62
Gambar 2.22 Data Tubing

2. Drift diameter

Menyatakan kisaran peralatan yang dapat dilewatkan melalui tubing,

seperti peralatan wireline, perforator, logging, atau macaroni tubing

3. Pipe length

Panjang tubing terbagi atas dua jenis, yaitu R1 dan R2, dimana:

Range 1: 20 s/d 24 ft

Range 2: 28 s/d 32 ft

Untuk penyambungan dibutuhkan pup joint atau tubing pendek.

4. Type of connection

Ada 2 jenis standar sambungan API, yaitu external upset end (EUE)

dan NU (non upset). External upset merupakan jenis sambungan

yang sering digunakan di oil field, EUE mempunyai ketebalan lebih

diujungnya dibandingkan body.

63
Gambar 2.23 Type of Connection Tubing

5. Grade Tubing

Tipe grade disesuaikan dengan standar API, grade tubing API: H-40,

F-25, J-55, N-80, P-105. Secara urutan alfabet, semakin disarankan

untuk sumur dalam. Angka dibelakang huruf menyatakan kekuatan

minimum body yield stress tubing, misal tubing J-55 mempunyai

minimum body yield stress 55.000 psi.

2.7.2. Packer

Packer adalah suatu alat mekanis yang dipergunakan dalam suatu sumur

untuk memisahkan suatu ruang, kolom atau interval dari ruangan atau interval-

64
interval lain dalam sumur tersebut. Packer dipasang ke dalam sumur dari permukaan

dan diset pada kedalaman yang telah ditentukan.

Klasifikasi Packer:

1. Menurut Kegunanaan

 Bridge plug

Packer yang tidak mempunyai fluid passage, berguna untuk

mentup kolom bagian bawah terhadap bagian atas sumur.

 Full bore (production)

Mempunyai 1 atau beberapa fluid passage, mengisolasi

annulus dari kolom casing dibawah packer dan kolom tubing.

2. Sifat pemakaian

 Retrievable

Packer yang dipasang sementara dalam sumur untuk

melakukan testing squeezing, acidizing. Packer ini dapat

dilepas dan dicabut Kembali.

 Permanent

65
Packer ini dipasang jangka waktu yang lama dan permanen,

packer ini drillable.

3. Sealing element

 Cup type

Sealing element berbentuk mangkuk, tiap cup hanya menahan

tekanan 1 arah dari hadapannya.

 Compressible rubber

Berupa karet yang dapat mengembang dan memadat begitu di

tekan

 Inflatable

Karet yang dapat dipompa, dipergunakan untuk open hole

completion.

4. Cara seatting

 Hook Wall

Didudukan pada casing menggunakan slip bergerigi dan

menggigit dinding casing.

 Anchor Type

Disebut juga bottom landed, menggunakan ekstension shoe.

 String Hanging

66
Digantung pada string, jenis inflatable.

5. Cara memberikan tekanan

 Compression

Mendudukan/ memberikan Sebagian berat string kepada

packer, memadatkan sealing element.

 Tension

Mengangkat string melebihi berat string sebesar yang

diperlukan oleh packer tersebut untuk mengembang dan

memadatkan sealing element.

6. Cara mengeset slip

 Mechanical

Menggunakan mekanisme J slot ataupun system mekanisme

lainnya

 Hydraulic

Tekanan hydraulic pada tubing akan membuka slip.

2.7.3. Circulating Device

 Sliding sleeve circulating valve

67
Komunikasi antara tubing casing dilakukan dengan buka tutup sliding

sleeve menggunakan slicksline unit

 Side pocket mandrel

Dapat digunakan untuk gas lift, injeksi demulsifier, dll.

 Ported landing nipple

Menggunakan nipple yang mempunyai port

Gambar 2.24 Sliding Sleeve, Side Pocket Mandrel, Ported Landing Nipple

2.7.4. Sub Surface Safety Valve

Sub surface safety valve merupakan perangkat pengaman yang dipasang di

sumur untuk melakukan penutupan darurat dari saluran produksi jika terjadi

68
keadaan darurat. Terdapat 2 jenis sub surface safety valve, yaitu: surface controlled

dan subsurface controlled. Pada setiap kasus, system katup pengaman dirancang

agar tidak rusak, sehingga lubang sumur dapat diisolasi Ketika terjadi kegagalan

system atau kerusakan pada fasilitas control produksi permukaan.

Gambar 2.25 Sub Surface Safety Valve

2.8 Completion Fluid

Completion fluid adalah salah satu drilling fluid yang digunakan dalam melakukan

suatu komplesi yang sangat sedikit mengandung padatan. Fluida tersebut digunakan untuk

menstabilkan atau menyeimbangkan antara tekanan formasi dan tekanan hidrostatis supaya

tidak terjadi adanya formation damage. Pada umumnya komposisi daripada fluida

komplesi adalah air asin (klorida, bromide, dan format) format sendiri berasal dari format

garam, tetapi secara teori dapat berupa cairan dengan kepadatan dan karakteristik aliran

yang tepat. Fluida harus secara kimiawi kompatibel dengan formasi reservoir dan fluida,

dan biasanya disaring sampai tingkat yang tinggi untuk menghindari masuknya padatan ke

69
area dekat lubang sumur.

Terdapat 2 jenis dasar dari completion fluid, yaitu:

1. Clear-fluid Systems

2. Solids-enhanced Systems

2.8.1 Jenis Completion Fluid

A. Clear-fluid Systems

Clear-fluid systems adalah sistem completion fluid yang lebih disukai karena

properties dari clear-fluid systems melindungi formasi. Selain itu, clear-fluid

systems membuat packer fluid yang sangat baik yang dapat mempercepat workover/

completion operations.

Pada saat menentukan apakah completion fluid dapat bekerja secara efektif

di completion atau workover operation, ada faktor faktor yang perlu

dipertimbangkan yaitu:

1. Density

Clear brines dapat digunakan di kondisi underbalanced maupun

overbalanced. Pada umumnya, sumur diselesaikan dalam kondisi

70
overbalanced dan kemudian diganti dengan packer fluid yang lebih ringan

agar dapat melindungi formasi.

Gambar 2.26 Comparative Densities of Clear-fluid Completion Systems

2. Crystallitzation Point

Crystallization point adalah suhu pada saat salt crystals akan mulai keluar

dari larutan. Pengendapan garam yang tidak larut dapat menyebabkan sejumlah

masalah. Misalnya pada saat garam larut masuk ke fluida dan mengkristal dan

mengendap, fluid density nya akan turun. Kristalisasi dalam brine juga bisa

menyebabkan saluran tersumbat dan pompa macet.

Untuk memastikan kristalisasi tidak terjadi dalam brine:

 Tentukan crystallization point yang dibutuhkan dari fluida

71
 Periksa crystallization point dari fluida yang sebenarnya

 Sesuaikan crystallization point dari fluida.

 Crystallization point fluida harus minimal 10°F (6°C) lebih kecil dari suhu

terendah yang diproyeksikan dari eksposur.

3. Brine/ Formation Water Compatibility

Untuk memilih jenis brine yang tepat, pertimbangkan potensinya interkasi

dari completion fluid dengan padatan formasi, air, dan gas. Masalah yang

paling umum terjadi adalah:

 Scale produksi dari reaksi divalent brine dengan karbon dioksida terlarut

 Presipitasi natrium klorida dari formasi air saat terkena brine

 Presipitasi senyawa besi dalam formasi dihasilkan dari interaksi dengan

besi terlarut di completion fluid.

 Reaksi dari formation clays dengan clear brine.

4. Corrosion

Korosivitas completion fluid tergantung pada tipenya. Cairan monovalent

biasanya memiliki korosivitas rendah, bahkan pada suhu melebihi 400 °F.

Korosivitas cairan divalent bergantung pada kepadatan dan komposisi kimia

72
dari fluida. Data laboratorium menunjukan bahwa, untuk cairan divalent tidak

diperlakukan dengan pengambat korosi, penambahan kalsium klorida yang

memberikan laju krosoi yang lebih lambat dibandingkan dengan seng bromide

yang memberi lebih cepat tingkat korosi

Gambar 2.27 NaCl properties

73
B. Solids-enhanced Fluids

Solids-enhanced fluids direkomendasikan untuk completion operations

pada saat menggunakan clear brine akan mengakibatkan loss volume cairan

yang besar ke formasi.

Tabel 2.6 Solids-enhance Fluids Formulation

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat pelaksanaan penelitian dilakukan di BOB PT. Bumi Siak Pusako-

Pertamina Hulu yang terletak di Gedung Surya Dumail, Jl. Sudirman, Pekan Baru,

Riau. Dan untuk waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, mulai dari

1 Februari 2021 sampai dengan bulan 30 April 2021. Namum akibat dampak pandemic

COVID-19 pelaksanaan penelitian dilaksanakan secara online/ work from home

(WFH).

3.2 Metodologi Penelitian

74
Penelitian pada penulisan ini dilakukan dengan mengambil satu sampel sumur pada

Lapangan minyak dan gas Pusaka, yaitu PSK P-01. Menggunakan metode analisis data

data formasi (litologi batuan, dan deskripsi per- litologi), data reservoir (tekanan fluida,

temperature fluida, laju alir fluida, dll), data drilling (casing, data logging, drilling

program, densitas semen dan lumpur, gradien tekanan, pore dan fracture pressure).

Konsep dari perencanaan well completion ini adalah merencanakan well completion yang

safe, economist, reliable yang sesuai dengan data sumur PSK P-01.

Proses kajian dalam menyusun skripsi berjudul “Perencanaan Well Completion Pada

Sumur PSK P-01 Lapangan Pusaka di BOB PT. Bumi Siak Pusako – Pertamina Hulu”

disajikan dalam bentuk flow chart yang dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Rumusan Masalah

Pengumpulan Data (Data


formasi, data reservoir, data
drilling)

Menganalisa dan mengolah data

Tahapan perencanaan formation


completion (Perforation casing),
perencanaan completion fluid.

75
Melakukan tahapan pemasangan
casing produksi, penyemenan
casing produksi, pemompaan
completion fluid, perforasi

Tahapan perencanaan dan


pemasangan tubing completion

Tahapan Tahapan
perencanaan wellhead
Swabbing
completion dan metode lifting

Perencanaan well
completion berhasil, dan sumur
dapat diproduksikan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Skripsi

76
3.3 Pengumpulan Data

Persiapan data dilakukan dengan mengumpulkan data yang dilakukan saat

penelitian dan diperolah dari pembimbing lapangan. Data-data yang diperlukan untuk

melakukan penelitian meliputi:

a. Pengambilan data formasi (litologi batuan, dan deskripsi per- litologi)

b. Pengambilan data reservoir (tekanan fluida, temperature fluida, laju alir fluida.)

c. Pengambilan data drilling (casing, data logging, drilling program, densitas

semen dan lumpur, gradien tekanan, pore dan fracture pressure.)

3.4 Pengolahan Data dan Analisa Data

Untuk mendapatkan hasil penelitian mengenai perencanaan well completion yang


baik dan tepat untuk sumur dibutuhkan kegiatan analisis data secara sistematis, teliti,
dan akurat. Data akan dianalisis dan diolah dalam bentuk tabel maupun grafik dengan
menggunakan Microsoft excel. Hal ini bertujuan untuk mengetahui antara parameter
dalam perencanaan well completion dengan karakteristik formasi batuan serta untuk
memudahkan dalam proses analisis data. Data yang telah didapatkan kemudian diolah
untuk dilakukannya perencaan well completion pada sumur terkait. Perencaan well
completion yang penulis rancang berdasarkan arahan dan bimbingan dari pembimbing
lapangan dan pembimbing kampus.

77
3.4.1 Perencanaan Completion Fluid

Penentuan completion fluid dilakukan dengan dasar data formasi litologi batuan,

tekanan formasi, data reservoir. Completion fluid adalah fluid yang digunakan dalam

melakukan suatu komplesi yang sangat sedikit mengandung padatan. Fluida tersebut

digunakan untuk menstabilkan atau menyeimbangkan antara tekanan formasi dan

tekanan hidrostatis supaya tidak terjadi adanya formation damage. Pada sumur PSK P-

01 menggunakan NaCl dengan density 8.9 ppg, sg 1.07.

3.4.2 Perencanaan Formation Completion

Penentuan formation completion bertujuan untuk menentukan bertujuan untuk

melakukan komplesi sesuai dengan zona produksi yang ada. Untuk menentukan

formation completion dibutuhkan data formasi sumur, lithologi sumur, data reservoir

(permeabilitas, porositas, tekanan reservoir), data data tersebut berfungsi untuk

menentukan kekompakan batuan, kekompakan batuan merupakan salah satu dasar dari

pemilihan well completion khususnya “formation completion” sehubungan dengan

pencegahan keguguran dari formasi produktifnya. Berdasarkan data sumur PSK P-01

ditentukan menggunakan perforation casing.

78
Pada saat merencanakan perforation casing, hal yang perlu ditentukan adalah

production casing design, cementing, perforation gun, tipe perforator, variable

perforation.

3.4.3 Penentuan Tubing Completion

Pada tubing completion penentuan jenisnya dibedakan berdasarkan jumlah

tubing, jenis tubing, packer, yang akan digunakan berdasarkan jumlah zona produktif,

produktivitas formasi. Untuk menentukan tubing completion dibutuhkan data logging

dan data coring dari reservoir agar dapat menentukan tubing completion yang tepat

untuk sumur produksi. Pada sumur PSK P-01 karena memiliki 2 zona produktif maka

ditentukan menggunakan commingle completion dengan single tubing double packer.

3.4.4 Tahapan Swabbing

Pada tahapan swabbing ini bertujuan untuk melakukan uji produksi (Production

Test). Di dalam pekerjaan swabbing ini akan diperoleh data-data yang

menyangkut dengan produksi sumur tersebut seperti Productivity Index (PI), Water Cut

(WC), dll. Semua data yang diperoleh akan digunakan untuk menentukan wellhead

completion dan metode lifting pada sumur produksi.

3.4.5 Perencanaan Well Head Completion dan metode lifting

79
Pada tahapan penentuan well head completion dan metode lifting diperlukan data

productivity index, water cut dari tahapan swabbing dan data reservoir (permeabilitas,

porositas, tekanan reservoir) untuk menentukan working pressure wellhead dan metode

lifting yang tepat.

3.5 Penyajian Data

Data hasil dari pengolahan dan analisis akan disajikan dalam bentuk grafik, tabel,

dan paragraph untuk mempermudah pembaca dalam memahami hasil dari perencanaan

well completion pada sumur PSK P-01.

3.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Skripsi ini terdiri dari:

1. Pendahuluan

Mencakup latar belakang, rumusan masalah, Batasan masalah, tujuan,

dan manfaat penulisan dari skripsi ini.

2. Tinjauan Pustaka

Mencakup tentang dasar teori mengenai definisi, jenis dan

prosedur perencanaan Well Completion, pelaksanaan berdasarkan

ketentuan yang berlaku dan ke-ekonomiaan biaya serta kesesuaian

terhadap keselataman lingkungan.

80
3. Metode Penelitian

Berisi tentang tempat dan waktu penelitian, cara pengumpulan

data, pengolahan dan analisis data, penyajian data dan sistematika

penulisan.

4. Pembahasan

Membahas tentang perencaan well completion pada sebuah

sumur meliputi pemilihan metode yang akan digunakan

berdasarkan formasi hingga ke-ekonomian dan safety kegiatan

komplesi terhadap pekerja dan lingkungan, sehingga didapatkan

rancangan dari well completion yang sesuai dengan SOP dan

optimal.

5. Penutup

Berisi kesimpulan dan saran yang diambil dari pembahasan

perencanaan well completion pada sumur PSK P-01.

81
IV. PEMBAHASAN

4.1 Data Sumur


Sebelum melakukan well completion pada suatu sumur, hal yang perlu dilakukan

adalah mengumpulkan data-data sumur tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk

merencanakan well completion yang safe, economist, reliable. Berikut adalah data-data

Sumur PSK P-01 Lapangan Pusaka.

4.1.1 Data Sumur PSK P-01

Data Sumur PSK P-01 yang akan dilakukan well completion adalah sebagai
berikut:

82
 Data Umum

Data umum berisi data yang menggambarkan tentang sumur tersebut:

1) Well Type : Development

2) Hole Type : Vertical

3) Field : Pusaka

4) True Vertical Depth : 1.940 ft

5) Measured Depth : 1.940 ft

6) Target Zone : 1.700A’ sd (Bekasap Formation)

7) Vertical Angle : 0 deg

8) Rig Type : Land Rig 550 HP

4.1.2 Data Geologi

Data geologi adalah data yang menjelaskan tentang formasi dan tipe batuan yang

berada di bawah permukaan, berikut adalah data geologi dari Sumur PSK P-01:

Tabel 4.1 Data Geologi

Depth
Formation Lithology
ft TVD ft MD
Petani 422 422 Shale
Telisa 495 495 Shale
Bekasap 1940 1940 Sandstone

4.1.3 Data Reservoir

Data reservoir adalah data yang berisi tentang sifat fisik dari batuan reservoir,

83
berikut adalah data reservoir dari Lapisan Bekasap:

1) Jenis Batuan : Sandstone

2) Porositas : 25%

3) Permeabilitas : 260 mD

4) Density : 1.837 g/cm3

5) Temperature : 167 0 F

4.1.4 Data Drilling

Data drilling terdiri atas data hole, data lumpur, pore and fracture pressure, data

bit. Berikut adalah data drilling dari Sumur PSK P-01:

1) Data Hole:

 12-1/4” hole dari 0 – 1070 ft TVD untuk 9-5/8” Surface Casing

 8-1/2” hole dari 1070-1940 ft TVD untuk 7” Production Casing

2) Data Lumpur:

Tabel 4.2 Data Lumpur

Properties Unit 12-1/4" Hole 8-1/2" Hole


Depth ft MD 0-1070 1070-1940
Mud Type   KCL-Polymer KCL-Polymer
Mud Weight Ppg 9.0-9.3 8.9-9.4

84
3) Data Bit:

Tabel 4.3 Data Bit

Total
Size
IADC Code Used Remark
(inch)
(ea)
12-1/4" 126 1 To drill surface hole
8-1/2" 347 1 To drill out cement, FC, FS & formation

4) Data Pore and Fracture Pressure

85
Gambar 4.1 Pore and Fracture Pressure

4.2 Formation Completion

86
Dalam perencanaan formation completion hal yang perlu diperhatikan adalah

kekompakan batuan dan jumlah lapisan produksi. Kekompakan batuan merupakan salah

satu dasar dari pemilihan formation completion sehubungan dengan pencegahan

keguguran dari formasi produktifnya. Kekompakan batuan berkaitan dengan kestabilan

formasi yang meliputi sementasi batuan, dan kekuatan formasi.

Kekompakan batuan dapat diperkirakan dari faktor sementasi yang diberikan dari

persamaan Archie, yaitu:

F= ∅ −m

F= 0,25−1,64

F= 9,73

Dimana:

F = Kekompakan batuan, yaitu perbandingan antara Ro (resistivitas minyak pada

saturasi air 100%) dan Rw (resistivitas air formasi).

∅ = porositas batuan.

m = faktor sementasi.

Dengan melihat faktor sementasi dan porositas dari batuan dapat disimpulkan bahwa

formasi Bekasap merupakan slightly cemented formation berdasarkan tabel 2.1. Maka dari

itu jenis formation completion yang direncanakan untuk sumur PSK P-01 adalah perforated

87
casing completion. Perforated casing completion berfungsi untuk mencegah terjadinya

formasi yang gugur karena formasi bekasap merupakan slightly cemented formation, dan

perforated casing completion juga memudahkan untuk pengontrolan terhadap gas atau air

dan juga dapat melakukan multiple completion, perforated casing completion juga

mendapatkan full diameter untuk lapisan produktif karena melakukan perforasi pada

lapisan produktif yang telah ditentukan.

4.2.1. Penentuan Production Casing

Production Casing berfungsi untuk mengisolasi zona produksi dari formasi

lainnya, dan juga untuk melindungi alat-alat produksi dibawah permukaan. Untuk

menentukan grade production casing yang tepat sesuai dengan sumur PSK P-01 maka

diperlukan konfigurasi casing design, karena pada konfigurasi inilah dapat diketahui

kekuatan dari burst, collapse, tension dan biaxial yang diperlukan, yang pada akhirnya

berfungsi untuk menentukan grade dari casing tersebut yang ditentukan berdasarkan

beberapa hal tersebut.

a) Burst

Pada production casing perhitungan beban burst tidak lagi didasarkan kepada

kondisi saat sumur mengalami kick. Dengan demikian pada trayek production

casing hanya dilakukan satu perhitungan, yakni perhitungan normal. Berikut

adalah perhitungan burst pada production casing:

88
Burst pada surface

Ps = BHP

Ps = 900 Psi

Tekanan di kaki production casing:

Pcs = Ps + 0.052 ρpf Lpd

Pcs = 900 + 0.052 x 9 x 870

= 1.307,16 Psi

Design Factor = 1.307,16 x 1,1

= 1.437,876 Psi

b) Collapse

Pada trayek production casing hanya dilakukan satu perhitungan, yakni

perhitungan normal. Dari perhitungan normal didapatkan sebagai berikut:

P1 = 0.052 ρm Lm

P1 = 0.052 x 9,3 x 1070

= 517,452 Psi

P2 = P1 + (0.052 ρs Hs)

= 517,452 + (0.052 x 13 x 870 )

89
= 1.105,572 Psi

Design Factor = 1.105,572 x 1,1

= 1.216,1292 Psi

Collapse pada P2 atau casing shoe merupakan yang terbesar, dengan itu maka

collapse pada shoe yang dijadikan collapse pressure.

c) Tension

Pada trayek production casing direncanakan menggunakan casing grade K-55

yang didasarkan pada perhitungan burst dan collapse pressure. Berikut

perhitungan tension pada production casing:

Tension = Buoyancy fact x casing length x Wn

= 0,857 x 1940 x 23

= 38.239,34 lbm

Tension Design Factor = 38.239,34 x 1,6

= 61.182,944 lbm

d) Biaxial Effect

Pada production casing faktor beban aksial (X) adalah

61182,944
X =
366000

90
= 0,167

Faktor beban aksial (Y) yang didapatkan dari tabel 2.2 dengan memasukkan

harga (X) ke tabel adalah 0,944.

e) Production Casing Configuration

Dari perhitungan burst, collapse, tension dan biaxial effect maka dapat diambil

kesimpulan, production casing sumur PSK P-01 direncanakan menggunakan

spesifikasi:

Tabel 4.4 Production Casing

Production Casing Specification


Grade K-55  
Outside Diameter 7 In
Inside Diameter 6.366 In
Weight 23 lbm/ft
Collapse Resistance 3270 Psi
Burst Resistance 4360 Psi
Tension Resistance 366000 Lbm
Range R3  
Thread of Coupling BTC  

4.2.2. Perencanaan Perforasi

Pada perforated casing completion casing yang telah disemen dengan formasi

kemudian akan dilubangi dengan bullet perforator ataupun jet perforator. Pada sumur

PSK P-01 direncanakan menggunakan bullet perforator karena bullet perforator lebih

91
murah dari segi biaya, formasi bekasap dari sumur PSK P-01 merupakan formasi yang

tergolong formasi lunak, Bullet perforator cocok untuk perforasi lunak, dimana bullet

perforator dapat menembus lebih dalam dibanding jet perforator, dan temperature dari

formasi sumur PSK P-01 adalah 167 0F dimana bullet perforator dapat dipakai hingga

temperature 2500F.

Untuk perforation gun yang direncanakan pada sumur PSK P-01 menggunakan

casing gun dengan ukuran 4 5/8” karena ukuran production casingnya 7”, casing gun

mampu menembakkan jumlah tembakan per foot lebih dari 4 spf (shoot per foot)., dan

casing gun dapat melakukan perforasi pada production casing.

Berdasarkan data logging dan coring sumur PSK P-01 reservoir yang berpotensi

terdapat cadangan terletak pada interval 1.695 ft – 1.700 ft. Pada saat akan

melaksanakan perforasi perlu ditentukan variable perforasi. Penentuan variabel

perforasi terdiri atas penentuan densitas perforasi, phasing angel dan shot density

perforasi, kedalaman penetrasi.

a) Penentuan Densitas Perforasi

Densitas perforasi adalah jumlah lubang dalam casing per satuan panjang (feet) atau

sering juga disebut dengan Shot per Feet (SPF).


ln ⁡( )
Qp rw
=
Qo Sf + ln ¿ ¿

92
750
ln ⁡( )
Qp 4.25
=
Qo 0+ ln ¿ ¿

Qp
=1
Qo

Setelah diketahui nilai Qp/Qo, lakukan plot densitas perforasi pada kurva

“Effect of penetration density and depth of penetration on relative well

productivity” dibawah:

Gambar 4.2 Hasil Plot Densitas Perforasi pada Kurva “Effect of penetration

density and depth of penetration on relative well productivity”

Hasil plot menunjukan angka 5 holes/ft sehingga dapat dihitung densitas

perforasi sebagai berikut:

Shot Density = 5 x 5
= 25 shots

93
b) Phasing Angle

360°
Phasing Angle = =72°
5 spf

c) Penentuan Depth of Penetration

Lp = (Lpc) – 0,5 (dwb – dci)

Lp = 12 – 0,5 (8,5 – 6,336)


Lp = 10,918 inch

4.3 Completion Fluid

Completion fluid digunakan untuk menstabilkan atau menyeimbangkan antara

tekanan formasi dan tekanan hidrostatis supaya tidak terjadi adanya formation damage.

Pada umumnya komposisi daripada fluida komplesi adalah air asin (klorida, bromide,

dan format) format sendiri berasal dari format garam. Fluida harus secara kimiawi

kompatibel dengan formasi reservoir dan fluida, dan biasanya disaring sampai tingkat

yang tinggi untuk menghindari masuknya padatan ke area dekat lubang sumur.

Pada sumur PSK P-01 memiliki tekanan formasi sebesar 915 Psi pada kedalaman

1.940 ft, maka density completion fluid yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

PH = Pf

94
PH = 915 Psi

PH = 0,052 x Mw x TVD

915 = 0,052 x Mw x 1940

Mw = 0,052 x 1940 : 915

Mw = 8,921 ppg

Jadi density completion fluid sebesar 8,921 ppg, pada sumur PSK P-01 memerlukan

75barrel untuk reverse out lumpur pemboran digantikan dengan completion fluid,

Completion fluid pada sumur PSK P-01 menggunakan NaCl/ Sodium Chloride. Berikut

adalah jumlah bahan yang dibutuhkan untuk membuat 75barrel completion fluid dapat

dilihat pada tabel 4.5:

Tabel 4.5 NaCl Requirements to Make 75 Barrel

NaCl Requirements to Make 75 Barrel


NaCl Sacked (100% Nacl, Fresh Water, Brine density at 70°F, Specific
lb) bbl lb/gal Gravity, sg
2.625 72,675 8.9 1.07

95
4.4 Tubing Completion

Setelah selesai dilakukannya perforated casing completion, maka selanjutnya

dilakukan tubing completion. Pada tubing completion penentuan jenisnya dibedakan

berdasarkan jumlah tubing, jenis tubing, packer, yang akan digunakan berdasarkan

jumlah zona produktif, produktivitas formasi. Pada sumur PSK P-01 menggunakan

single zone completion karena hanya terdapat satu lapisan produktif yaitu pada interval

kedalaman 1.695 ft – 1.700 ft. Pada single zone completion relative mudah untuk di

produksi dan mengontrol dari zona yang akan diproduksikan dengan peralatan

permukaan yang minimum dan tidak memerlukan sumur bor khusus. Karena biasanya

dengan single tubing string, persyaratan keamanan, instalasi dan produksi sangat

reliable dan economist.

Pada sumur PSK P-01 menggunakan packer dan tubing string. Ini memberikan

perlindungan untuk casing dan berfungsi untuk penggunaan alat pengontrol aliran untuk

mengontrol produksi Spesifikasi tubing yang digunakan pada sumur PSK P-01 adalah:

Tabel 4.6 Spesifikasi Tubing

Tubing Specification
Grade H-40  
Outside Diameter 3½ In
Inside Diameter 2,992 In
Weight 9,30 lb/ft
Collapse Resistance 5.380 Psi
Burst Resistance 5.080 Psi
Tension Resistance 103.810 Lbm

96
Pada sumur PSK P-01 menggunakan tandem packer, packer adalah suatu alat

mekanis yang dipergunakan dalam suatu sumur untuk memisahkan suatu ruang, kolom

atau interval dari ruangan atau interval- interval lain dalam sumur tersebut. Packer ini di

set pada kedalaman 1.664 ft.

4.4.1. Swab Test

Setelah tubing completion telah selesai dilakukan, maka Langkah selanjutnya

adalah pekerjaan swabbing. Pekerjaan swabbing adalah suatu pekerjaan untuk

menimba/ mengeluarkan fluida dari dalam sumur melalui rangkaian tubing, tujuan

dilakukan pekerjaan swabbing pada well completion adalah untuk melakukan uji

produksi, dalam pekerjaan uji produksi ini bertujuan untuk memperoleh data data

yang berhubungan dengan produksi sumur tersebut seperti Water Cut, WFL,

Productivity Indeks. Berikut adalah data hasil Swab test yang dilakukan pada sumur

PSK P-01 zona produktif interval 1.695 ft – 1.700 ft

Tabel 4.7 Swab Test Result

97
Swab Test Single Interval: 1.695 - 1.700 FT,
Swab Test Result
TL 15,80 BBLS
IFL 293 Ft
Last SD 600 Ft
RPH 36 BBLS/15 Runs
WFL 324 Ft
Water Cut 99 %

4.5 Wellhead Completion

Setelah dilakukan swab test maka didapatkan data produksi sumur, ini berfungsi

untuk menentukan wellhead completion. Wellhead adalah peralatan yang berada pada

bagian atas dari rangkaian pipa di dalam suatu sumur. Wellhead digunakan untuk

menahan dan menopang rangkaian pipa, serta untuk mengontrol produksi sumur.

Wellhead terbuat dari besi baja, membentuk suatu seal untuk menahan semburan atau

kebocoran cairan dari dasar sumur ke permukaan. Untuk pemilihan peralatan akan diatur

oleh American Petroleum Institute (API). Working pressure daripada peralatan wellhead

diklarifikasikan oleh API dari rentang 960 psi sampai 15.000 psi. Komponen wellhead

sendiri terdiri dari casing head, tubing head, dan christmas tree. Spesifikasi wellhead

yang direncanakan pada sumur PSK P-01 adalah 3 1/8” 3M Master Valve, untuk dapat

menahan semburan atau kebocoran cairan dari dasar sumur ke permukaan hingga 3.000

Psi.

98
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan pada sumur PSK P-01 yang berupa

perencanaan well completion, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Formation Completion yang tepat digunakan untuk sumur PSK P-01 adalah perforated

casing completion berdasarkan data formasi dari sumur PSK P-01.

2. Tubing Completion pada sumur PSK P-01 menggunakan single zone completion, yaitu

dengan menggunakan satu tubing string dan satu packer yang di set pada kedalaman

1.664 ft

3. Wellhead Completion yang direncanakan pada sumur PSK P-01 adalah

menggunakan wellhead 3 1/8” 3M Master Valve, untuk dapat menahan semburan

atau kebocoran cairan dari dasar sumur ke permukaan hingga 3.000 Psi.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dari penulis, berdasarkan pengamatan melalui

penelitian skripsi ini yaitu:

1. Agar setiap kegiatan di industri perminyakan selalu melakukan pemilahan dan

pemilihan guna tercapai tujuan yang efektif dan efisien serta

mempertimbangkan faktor safety.

99
2. Tidak mengabaikan faktor safety dalam setiap pemilihan dan selalu

mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada.

100
DAFTAR PUSTAKA

1. Bellarby, Jonathan. 2009. “Well Completion Design”. Abeerden : Elsevier B.V.

2. Gatlin, Carl. 1960. “Drilling and Well Completion”. The University of Texas.

3. “Completion Fluids”. Baroid, The Complete Fluids Company.

4. Tim Drilling. “Pelatihan Advanced Drilling, Program PDSI, Well Completion”.

5. Rubiandini, Rudi. 2009. “Bab 15 : Komplesi, Workover, dan Stimulasi. Bandung :

ITB.

6. Neil J, Adams. (1985). Drilling Engineering, A Complete Well Planning Approach.

Tulsa, Oklahoma: PennWell Publishing Company.

7. Rabia, Hussain. (2001). Well Engineering and Construction.

8. American Petroleum Institute. 1999. "Bulletin on Performance Properties of Casing,

Tubing, and Drill Pipe." API Bulletin 5C2. Washington D.C., Washington: API

Publishing Services, October.

9. —. 2001. "Specification for Casing and Tubing." API 5 CT. Washington: API

Publishing Services, April.

101
LAMPIRAN

Lampiran 1: Data Logging Sumur PSK P-01

102
Lampiran 2: Data Sumur PSK P-01

103
Lampiran 3: Production Casing Design

104
Lampiran 4: Data Formasi Sumur PSK P-01

105
106

Anda mungkin juga menyukai