Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) merupakan nomor identitas Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
disematkan saat pengusaha dikukuhkan sebagai PKP lewat surat pengukuhan PKP. Jika pengusaha sudah
mendapat nomor pengukuhan PKP (NPPKP) berarti PKP tersebut dinyatakan sudah resmi menjadi PKP
dan dengan demikian terikat kewajiban-kewajiban perpajakan yang diperuntukan bagi PKP.

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini berbeda dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) meski keduanya
berfungsi sebagai identitas perpajakan. Perbedaannya adalah, NPWP merupakan identitas wajib pajak,
baik pribadi maupun badan yang merupakan identitas atau bukti kepesertaan dalam melakukan hak dan
kewajiban perpajakan.

Sedangkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP) lebih menitikberatkan pada identitas wajib pajak
perorangan atau badan yang terikat pada kewajiban perpajakan untuk PKP.

Fungsi Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) memiliki fungsi sebagai berikut:

Sebagai identitas PKP yang bersangkutan, selain tentunya NPWP.

Sebagai penanda bagi PKP yang memiliki untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Sebagai pengawasan administrasi perpajakan

Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini tertera dalam surat pengukuhan PKP bersama dengan identitas
wajib pajak lainnya, seperti Nama, NPWP, Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU), status usaha hingga
kewajiban pajak.

Kewajiban yang Melekat Pada Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)

Jika pengusaha telah mendapatkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP) yang disertai juga dengan surat
pengukuhan PKP, maka kepada pengusaha tersebut terikat kewajiban-kewajiban sebagai PKP, yakni:

Memungut pajak yang terutang.


Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar dari pada pajak
masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan PPnBM yang terutang.

Melaporkan pemungutan, penyetoran, dan penghitungan pajaknya paling lambat akhir bulan
berikutnya.

Syarat Mendapatkan Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)

Untuk mendapatkan nomor pengukuhan PKP, pengusaha baik pribadi maupun badan, harus memenuhi
kriteria PKP, yang utama adalah memiliki omzet atau perderan bruto usaha satu tahun sebesar Rp4,8
miliar.

Pengusaha yang sudah memiliki omzet per tahun Rp 4,8 miliar atau lebih wajib dikukuhkan sebagai PKP
dan harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sementara, bagi pengusaha yang belum
memiliki omzet sebesar Rp 4,8 miliar namun ingin dikukuhkan sebagai PKP, harus mengajukan
permohonan pengukuhan PKP untuk mendapatkan surat pengukuhan dan nomor pengukuhan PKP
(NPPKP).

Dokumen yang dibutuhkan saat pengajuan untuk mendapatkan surat dan nomor pengukuhan PKP
(NPPKP) antara lain:

1. Untuk wajib pajak pribadi:

Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Warga Negara Indonesia (WNI) atau fotokopi paspor,
fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) bagi Warga Negara
Asing (WNA) yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.

Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat Pemerintah Daerah (Pemda)
sekurang-kurangnya dari Lurah atau Kepala Desa.

2. Untuk wajib pajak badan:

Fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri,
atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap, yang dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang.
Fotokopi NPWP salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dan surat keterangan tempat tinggal dari
Pejabat Pemda sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah WNA.

Dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari pejabat Pemda sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala
Desa.

3. Untuk wajib pajak badan berbentuk Kerja Sama Operasional (KSO):

Fotokopi perjanjian kerjasama/akta pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (joint operation), yang
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.

Fotokopi NPWP masing-masing anggota bentuk KSO yang diwajibkan untuk memiliki NPWP.

Fotokopi NPWP orang pribadi salah satu pengurus perusahaan KSO, atau fotokopi paspor dalam hal
penanggung jawab adalah orang WNA.

Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari pejabat Pemda sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala
Desa bagi wajib pajak badan dalam negeri maupun badan asing.

Kelengkapan dokumen-dokumen ini disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), pengusaha akan menerima bukti penerimaan
surat. Setelah itu, KPP atau KP2KP kemudian akan melakukan survey.

Setelah dokumen diterima dan survey dilakukan, maka KPP atau KP2KP harus memberikan keputusan
dalam jangka waktu 5 hari kerja setelah bukti penerimaan surat diterbitkan. Jika keputusan dari KPP
atau KP2KP adalah menerima permohonan pengusaha untuk menjadi PKP, maka KPP atau KP2KP akan
memberikan surat pengukuhan PKP disertai dengan nomor pengukuhan PKP (NPPKP).

SSP Adalah Bukti Pembayaran Pajak

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah format awal metode pembayaran pajak. Melalui SSP, penyetoran pajak
dilakukan dengan melengkapi formulir dan menyerahkannya ke kas negara melalui tempat pembayaran
yang telah ditunjuk Menteri Keuangan.
Bentuk formulir SSP dan penjelasannya tercantum dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomo
PER-24/PJ/2013 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak.

Namun, sejak pemerintah merilis Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN G2), SSP tidak lagi
digunakan. Sekadar informasi saja, MPN G2 merupakan sistem penerimaan negara yang memungkinkan
pembayaran pajak melalui online atau menggunakan Surat Setoran Elektronik (SSE) pajak.

Sebelum adanya MPN G2, dalam menuntaskan pembayaran pajak, wajib pajak harus melakukan setor
manual ke bank atau kantor pos persepsi. Saat melakukan setor manual, wajib pajak harus membawa
dan menyerahkan lembaran formulir SSP pajak yang sudah diisi kepada petugas bank persepsi atau
kantor pos.

Formulir SSP

Lazimnya, formulir SSP pajak dibuat sebanyak 4 lembar. Setiap lembarnya memiliki fungsi berbeda
seperti yang telah ditentukan. Nah, berikut ini fungsi dari keempat lembar formulir SSP pajak:

Lembar pertama: digunakan untuk arsip wajib pajak.

Lembar kedua: digunakan untuk Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN).

Lembar ketiga: digunakan untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke KPP.

Lembar keempat: digunakan untuk arsip Kantor Penerimaan Pembayaran.

Pada umumnya, formulir SSP memang hanya dibuat rangkap empat saja. Akan tetapi, ada beberapa
kasus wajib pajak membutuhkan lebih dari 4 lembar formulir untuk arsip wajib pungut (Bendahara
Pemerintah/BUMN) atau pihak lain yang sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku.

Formulir SSP ini tidak bisa dibuat sendiri oleh wajib pajak, karena formulir SSP memiliki bentuk dan isi
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkannya, wajib pajak bisa meminta
formulir SSP secara gratis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Satu formulir SSP hanya bisa digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak dan untuk satu masa pajak
atau satu tahun pajak/surat ketetapan pajak/surat tagihan pajak dengan menggunakan satu kode akun
pajak dan satu kode jenis setoran.
Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran Pajak

Saat mengisi formulir SSP, wajib pajak harus mengetahui kode akun pajak dan kode jenis setoran pajak.
Mengapa demikian? Alasannya karena kedua kode tersebut akan dicatat dalam data administrasi
(database).

Jika ada kesalahan dalam pengisian, Anda dianggap belum melakukan pelaporan atau bahkan belum
melakukan pembayaran pajak terutang yang seharusnya Anda bayar. Meskipun kesalahan tersebut bisa
saja Anda perbaiki di kemudian hari, akan lebih baik jika pengisian kode akun pajak dan kode jenis
setoran pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

SSP Telah Digantikan oleh SSE Pajak

Seiring perkembangan teknologi dan informasi, penggunaan SSP untuk menyetorkan pajak akhirnya
digantikan oleh SSE pajak.

SSE pajak secara efektif diberlakukan sejak 1 Juli 2016, dimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah
meresmikan eBiling atau Surat Setoran Elektronik (SSE) pajak. SSE pajak ini berbasis internet, jadi wajib
pajak akan semakin mudah dalam membayarkan pajak mereka di mana saja dan kapan saja tanpa perlu
mengantre.

Lantas, bagaimana cara mengisi SSE pajak? Sebenarnya, metode pengisian, fungsi dan substansi konten
pada SSE sama seperti SSP. Bedanya, media pengisian dilakukan secara elektronik.

Penggunaan SSE dianggap lebih efisien karena dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, sehingga
memudahkan wajib pajak mengurus administrasi perpajakannya.

Jika sebelumnya wajib pajak harus mengisi formulir serta membawanya ke bank persepsi serta kantor
pos, melalui SSE pajak semua jadi lebih mudah. Sebab, wajib pajak hanya membawa ID billing yang telah
dibuat di SSE pajak dan kemudian menunjukkan ke petugas bank persepsi dan kantor pos sebelum
menyetorkan pajak.
Selain lebih mudah dan cepat, keberadaan SSE pajak dianggap lebih aman karena dapat mengurangi
risiko pembatalan transaksi akibat buruknya kualitas data yang biasanya terjadi ketika wajib pajak
membayar pajak menggunakan SSP.

Pengertian Bukti Potong

Bukti pemotongan/pemungutan PPh adalah dokumen berupa formulir atau dokumen lain yang
dipersamakan dan dibuat oleh pemotong/pemungut PPh. Formulir atau dokumen tersebut dibuat
sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan PPh yang telah dilakukan pemotong/pemungut. Selain itu,
bukti pemotongan/pemungutan juga menunjukkan besaran PPh yang telah dipotong/dipungut.

Dalam konteks pajak, pemotongan dan pemungutan memiliki penggunaan dan arti yang berbeda. Istilah
pemotongan dipakai untuk pengenaan PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26.
Sedangkan, pemungutan digunakan untuk pengenaan PPh Pasal 22.

Jadi secara garis besar, pemotongan pajak adalah kegiatan memotong sejumlah pajak yang terutang dari
keseluruhan pembayaran yang dilakukan. Pemotongan ini membuat penghasilan yang dibayarkan
kepada penerima penghasilan menjadi berkurang. Sementara itu, pemungutan pajak merupakan
kegiatan memungut pajak yang terutang atas suatu transaksi. Pemungutan pajak akan menambah
besarnya jumlah tagihan pada suatu transaksi. Penjelasan lebih lanjut dapat disimak dalam kamus
“Perbedaan Pemotongan atau Pemungutan Pajak”

Karena itu, penggunaan istilah pemotongan/pemungutan dalam formulir atau dokumen bukti
tergantung pada jenis pajak yang dipotong/dipungut. Selain itu, bukti pemotongan/pemungutan juga
memiliki jenis yang bermacam-macam.

Jenis Bukti Potong

Terdapat 4 jenis bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yaitu:

Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (tidak final)/Pasal 26 (Formulir 1721-VI). Bukti pemotongan ini
digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tidak tetap, diantaranya seperti tenaga ahli,
bukan pegawai, dan peserta kegiatan.
Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (final) (formulir 1721-VII). Formulir ini digunakan untuk pemotongan
PPh Pasal 21 yang bersifat final seperti PPh Pasal 21 atas pesangon atau honorarium yang diterima PNS
yang dananya berasal dari APBN atau APBD.

Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1). Formulir ini digunakan untuk pegawai tetap atau
penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala.

Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A2). Formulir ini digunakan bagi pegawai negeri sipil atau anggota
tentara nasional indonesia (TNI) atau anggota Polisi Republik Indonesia (Polri) atau pejabat negara atau
pensiunannya.

Fungsi Bukti Pemotongan/Pemungutan

Bukti pemotongan/pemungutan PPh merupakan formulir/dokumen yang membuktikan jika wajib pajak
secara sah sudah melunasi pajak yang terutang. Wajib pajak sangat dianjurkan untuk menyimpan bukti
pemotongan/pemungutan yang telah diterima dengan baik. Selain berfungsi sebagai bukti pembayaran,
PPh dalam bukti itu dapat menjadi kredit pajak bagi pihak yang dipotong/dipungut apabila penghasilan
dikenakan pajak tidak final. Namun, jika dikenakan pajak final, dokumen tersebut dapat menjadi bukti
pelunasan PPh.

Selain itu, bukti pemotongan/pemungutan juga menjadi dokumen pelengkap yang harus dilampirkan
pada saat melaporkan pajak tahunan. Sebagai dokumen pelengkap, bukti tersebut akan digunakan
untuk mengecek kebenaran atas jumlah pajak yang telah dibayar dan dilaporkan. Bukti
pemotongan/pemungutan dapat pula digunakan untuk mengawasi atau mengecek kebenaran pajak
yang sudah dipotong/dipungut dan telah dibayarkan ke kas negara oleh pemberi kerja atau pihak
pemotong/pemungut lain.

Anda mungkin juga menyukai