Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH KELOMPOK

FUNGSI NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA MARITIM BAGI TATANAN


BERKEHIDUPAN BERSAMA

Dosen Pengampu :

Kasmiati, STP., MP., PhD.

Disusun Oleh : Kelompok 4

Alya Kane Azahra S (M011221159) Hilda Binti Hidayat (M011221172 )


Wd. Rischa Widyasari (M011221139) Febrianti Randan (M011221177)
Krida Prasasti (M011221149) Naufal (M011221125)
Shafira Mutmainnah A. (M011221163) Muh. Zulfadly A. (M011221135)
Rahma Fitiani Ramli (M011221163) Ariel Sharon Daling(M011221130)

FAKULTAS KEHUTANAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
inayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah yang berjudul “Fungsi Nilai-
Nilai Sosial Budaya Maritim Bagi Tatanan Berkehidupan Bersama”.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Dosen yang telah membantu kami baik secara
moral maupun materi. Terimakasih juga kami ucapkan kepada teman-teman satu kelas yang
telah mendukung kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu yang
telah ditentukan.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna
baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan
agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para mahasiswa atau pembaca dan
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Makassar, 30 November 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4

A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5

A. Ancaman dan Konflik Sumber Daya Hayati Laut...................................................5


B. Kelangkaan dan Kepunahan....................................................................................9
C. Strategi Kebijakan Pelestarian dan Pengelolaan......................................................12
D. Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir..........................................14

BAB III PENUTUP...........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan
masyarakat maritim, cepat atau lambat pasti mengalami dinamika atau perkembangan.
Dinamika tersebut meliputi wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan
kelembagaan, sistem-sistem budaya kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi
kenyataan pula bahwa biasanya dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada
elemen-elemen dan tatanan inti (struktur elementer) bertahan, yang dalam banyak hal
justru ditopang oleh atau menopang proses dinamika itu sendiri. Proses dinamika dan
bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial ekonomi serta
lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.
Dalam masyarakat maritim, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor
dan subsektor ekonomi kemaritiman baru yang memunculkan segmen-segmen atau
kategori-kategori sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan
wisata, marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya
sektor-sektor ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen masyarakat maritim tersebut
memerlukan dan diikuti dengan perkembangan dan perubahan-perubahan
kelembagaannya menjadi wadah dan regulasinya.
Rumusan Masalah
1. Apa ancaman dan konflik sumber daya hayati laut?
2. Apa saja kelangkaan dan kepunahan?
3. Bagaimana strategi kebijakan pelestarian dan pengelolaan?
4. Apa dialektika desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir?
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui ancaman dan konflik sumber daya hayati laut
2. Untuk mengetahui apa saja kelangkaan dan kepunahan
3. Untuk mengetahui kebijakan pelestarian dan pengelolaan
4. Untuk mengetahui dialektika desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ancaman Dan Konflik Sumber Daya Hayati


Sumber daya hayati (habitat dan spesies) di laut mengalami ancaman serius oleh
berbagai aktifitas manusia di darat. Kegiatan tersebut bisa berdampak langsung atau
secara tidak langsung pada keanekaragaman hayati – ancaman langsung ialah jenis
ancaman yang dampaknya langsung kepada sumber daya laut, misalnya penangkapan
ikan. Sedangkan ancaman tidak langsung ialah kegiatan-kegiatan yang tidak terkait
dengan pengambilan sumber daya hayati di laut, namun akhirnya berpengaruh pada
penurunan sumber daya hayati. Sebagai contoh misalnya, penambangan minyak di laut
lepas, ketika kilang minyak mengalami kebocoran dan terjadi pencemaran minyak.
Berdasarkan cakupannya, ancaman pada sumber daya hayati laut bisa dibedakan menjadi:
ancaman yang bersifat lokal, dan ancaman global. Ancaman lokal ialah jenis ancaman
dengan sumber ancaman bersifat lokal, terjadi pada titik tertentu di laut. Pencemaran,
konversi lahan atau penangkapan ikan ialah termasuk jenis ancaman lokal. Ancaman
global ialah tekanan pada sumber daya hayati laut yang terjadi pada hampir semua
wilayah di laut. Meningkatnya suhu permukaan air laut ialah contoh dalam kategori
ancaman global.
1. Perubahan Iklim
Pertambahan penduduk dan pemenuhan kebutuhan manusia yang hampir tidak
terbatas ialah dua faktor yang menyebabkan perubahan ekologi di darat, dan
akhirnya juga berdampak pada laut. Karena laut juga mempengaruhi daratan
secara timbal balik, maka daratan menerima “double-blow effect”, atau dampak
ganda dari kegiatan yang dimulai dari darat. Pada akhirnya, manusia yang tinggal
di darat yang harus menerima atau menanggung kerugian ini secara bersama.
Diantara kita mungkin masih ingat dengan kata “freon”, yang banyak digunakan
untuk kebutuhan rumah tangga, terutama sebagai pendingin (refrigerant),
penyemprot (propellant) dan pelarut. Freon ialah merek dagang untuk senyawa
organik chlorofluorocarbon (CFC) yang mengandung carbon, chlorine dan
fluorine. Belakangan, bahan ini diketahui menyebabkan penipisan lapisan ozon
pada atmosphere. Dampaknya ialah radiasi spektrum ultraviolet dari matahari
5
yang diterima langsung oleh bumi, yang sebelumnya ditahan (sebagian) pada
lapisan ozon. Negara Eropa melarang total penggunaan CFC sejak tahun 2000 –
semua negara di dunia sudah harus menghentikan penggunaan bahan CFC paling
lambat tahun 2010. Cerita tentang CFC atau freon mungkin akan segera berakhir.
Namun dampak dari CFC masih akan kita terima sampai waktu yang relatif lama.
CFC ialah senyawa yang stabil dan bisa bertahan sampai 100 tahun lamanya.
Andaikata benar bahwa produksi CFC sudah diakhiri, maka dalam 100 tahun ke
depan, CFC yang tersisa tetap bisa menyebabkan penipisan lapisan pada ozon.

Dampak perubahan iklim pada ekosistem laut sedang menjadi pembahasan hangat
diatara peneliti bidang kelautan. Sebagian ahli menyatakan bahwa lautlah yang
menerima dampak pertama dari perubahan iklim global. Ancaman yang ditimbulkan
bisa terjadi dalam bentuk:

a. Perubahan susunan kimia air laut dalam bentuk asidifikasi air laut, sebagai akibat
dari hujan asam;

b. Meningkatnya suhu permukaan air laut sebagai akibat dari peningkatan suhu
atmosphere;

c. Peningkatan permukaan air laut (sea level) karena pemuaian air pada suhu yang
lebih tinggi dan mencairnya lapisan es di kutub

2. Suhu Permukaan Air Laut

Meningkatnya suhu permukaan air laut terjadi secara global pada semua wilayah
permukaan laut di dunia, sampai ke wilayah kutub. Peningkatan suhu permukaan air
laut telah berdampak nyata pada pencairan sebagian islet atau bongkahan es di kutub.
Beberapa wilayah di dunia, mempunyai mekanisme lokal yang secara tidak langsung
berpengaruh dalam proses penetralan suhu permukaan air laut. Contoh yang paling
kuat ialah upwelling dan/atau percampuran antara air laut yang dingin dan hangat,
oleh pengaruh photo-thermal. Suhu permukaan air laut mengalami peningkatan secara
perlahan, namun tidak semua terumbu karang akan mengalami bleaching secara
bersamaan. Resiliensi, proses-proses lokal dan jenis spesies karang dominan akan
mempengaruhi terjadinya bleaching karena stress photo-thermal.

6
Selain terumbu karang, SST juga berpengaruh pada habitat lain di laut, terutama
jenis habitat yang menempati wilayah dekat pantai. Peningkatan suhu udara, diduga
akan menurunkan kemampuan pembentukan daun pada jenis tumbuhan bakau.
Habitat padang lamun akan mengalami peristiwa seagrass burning. Dampaknya, laju
metabolisme dan pertumbuhan lamun akan terhambat, dan mekanisme reproduksi
menurun. Sebaliknya, pertumbuhan alga kompetitor (pesaing) lamun akan meningkat
dan merubah komposisi habitat, dari lamun menjadi habitat yang didominasi oleh
alga.

3.Pembangunan wilayah pesisir

Hasil kajian ahli pesisir di Asia Tenggara menyatakan, 80% penduduk


terkonsentrasi pada wilayah antara 0 – 60 km dari laut. Pembangunan perumahan,
fasilitas transportasi, pemanfaatan sumber daya, pariwisata dan pembuangan
sampah maupun limbah akan terkonsentrasi di wilayah pesisir. Semua aktifitas
tersebut di atas akan menekan dan mengancam sumber daya habitat dan hayati
laut. Kebanyakan dari kita pernah berkunjung ke pantai Sanur – lokasi pariwisata
kedua di Bali, setelah Kuta atau Legian. Sebelum tahun 1970an, masyarakat
melakukan penambangan karang untuk bahan bangunan. Bongkahan karang yang
diambil dari laut dibakar di pinggir pantai. Belakangan, Sanur menjadi lokasi
wisata, termasuk penyelaman (terumbu karang). Secara perlahan, masyarakat
menurunkan dan akhirnya menghentikan kegiatan penambangan karang. Namun
dampaknya segera terlihat – pantai mengalami abrasi, daratan terkikis secara
perlahan dan tamu hotel merasa terganggu karena bangunan terus diserang ombak.
Contoh kedua bisa dilihat di wilayah Candi Dasa, berjarak sekitar 40 km dari
Sanur, ke arah timur. Untuk mengurangi serangan ombak, pemerintah
membangun break-water atau pemecah gelombang. Tindakan ini sebenarnya tidak
diperlukan jika terumbu karang terpelihara dengan baik.
3. Konversi lahan
Saat ini, beberapa tempat di dunia, bisa dipelajari secara detail dengan
tersedianya informasi melalui citra satelite – Google Earth misalnya, menyajikan
fasilitas sampai citra geo-eye, hanya beberapa ratus meter dari permukaan daratan.
Kalau kita perhatikan pesisir pantai wilayah utara Pulau Jawa melalui Google
Earth, bisa dibayangkan wilayah tersebut ditutupi oleh hutan bakau (mangroves)
7
yang sangat lebat. Alasan klasik, tuntutan pembangunan dan teknologi, memaksa
konversi hutan bakau menjadi tambak dan peruntukan lainnya. Konversi lahan
bakau tidak saja terjadi pada wilayah dengan populasi penduduk yang padat.
Pemandangan dari pelabuhan udara Bima, Sumbawa, menunjukkan sebagian
besar dari hutan bakau sudah dirubah menjadi lahan tambak dan kolam garam.
Hutan bakau berfungsi untuk menjebak bahan organik, mejadi perangkap bahan
pencemar dan menahan bahan-bahan partikulat sebelum sampai di pantai. Hutan
bakau juga berfungsi sebagai penyangga untuk mencegah intrusi air laut ke arah
daratan. Secara fisik, hutan bakau bisa menahan pantai dari serangan gelombang,
tsunami, dan angin topan. Secara ekologis, hutan bakau merupakan asuhan
(nursery ground) bagi ikan kecil, tempat mencari makan ikan-ikan dari laut dan
sebagai lokasi pemijahan. Hampir semua hutan bakau pada wilayah pasang surut
menghasilkan kepiting soka atau kepiting bakau, Scylla serrata (Forskål, 1775).
Konversi lahan sering mengorbankan hutan bakau yang ada di pinggir pantai. Jika
alih fungsi hutan bakau dilakukan secara berlebihan, bakau akan kehilangan
berbagai fungsi seperti tersebut di atas. Ancaman terhadap bakau, dengan kata
lain, bisa berdampak negatif pada perikanan tangkap, misalnya.
4. Pencemaran Minyak

Beberapa kegiatan manusia yang berbasis di laut dan menyebabkan degradasi


sumber daya laut, antara lain ialah termasuk: pelabuhan, tumpahan minyak di laut,
bangkai kapal yang ditinggalkan pemilik, pembuangan sampah dari atas kapal,
pelemparan jangkar tambak (anchor), pembuangan air ballast dan aktifitas pengeboran
minyak (di pantai atau lepas pantai). Wilayah sekitar pelabuhan umumnya didominasi
oleh tiga kategori pencemaran: pembuangan minyak dari limbah pembakaran,
pembuangan air ballast dan sampah. Intensitas pencemaran minyak bisa terlihat pada
permukaan air laut karena berat jenis minyak yang lebih rendah. Komposisi kimia
hidro-karbon minyak lebih banyak berdampak negatif pada organisme permukaan
(pelagis). Lapisan permukaan minyak bisa membentuk micro-film yang berdampak
pada serapan energi matahari yang seharusnya bisa diterima oleh zooxanthella pada
coral-polyp. Pembuangan air ballast umumnya mengandung bahan organik dan
organisme infasive yang akhirnya menjadi kompetitor keragaman hayati lokal.

8
Beberapa jenis kapal harus berlabuh dan melemparkan jangkar di luar pelabuhan.
Secara fisik, dia bisa merubah struktur dasar perairan di sekitar pelabuhan.

5. Penangkapan berlebih

Penangkapan berlebih (over-exploitation), didefinisikan sebagai pengambilan


sumber daya hayati laut (ikan) pada laju yang melebihi kemampuan sumber daya
untuk melakukan pemulihan secara alami. Indikasi awal penangkapan berlebih ialah
berkurangnya stok populasi, dan akhirnya, hasil tangkapan nelayan. Indikasi lainnya
ialah pada semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap oleh nelayan. Penangkapan
berlebih, jelas akan merugikan nelayan dan masyarakat karena potensi sumber daya
yang bisa dimanfaatkan akan semakin menurun. Hal ini akan berdampak pada
kerugian ekonomi masyarakat lokal, bahkan bisa terjadi dalam bentuk hilangnya salah
satu sumber penghidupan masyarakat pesisir dari penangkapan ikan. Ketika sumber
daya mulai berkurang, kita bisa melihat frekuensi konflik diantara nelayan pengguna
sumber daya yang semakin intens. Konflik nelayan di Selat Madura (Jawa Timur)
atau di Selat Malaka (Sumatera) ialah dua contoh yang masih kita bisa lihat sampai
saat ini.

Penangkapan berlebih bisa terjadi dalam beberapa bentuk – growth over fishing,
recruitment over-fishing dan ecological over-fishing. Growth over-fishing terlihat dari
gejala ukuran ikan hasil tangkap yang semakin kecil. Ecological over-fishing
menyebabkan perubahan susunan rakitan spesies yang selanjutnya berdampak pada
tidak seimbangnya struktur ekosistem. Recruitment overfishing dicirikan dari
menghilangnya individu baru secara mendadak sebagai dampak dari pengurasan
induk potensial. Ketiga jenis penangkapan berlebih ini tentu saja merupakan ancaman
bagi sumber daya dan keragaman hayati laut.

B. Kelangkaan dan Kepunahan


Indonesia menduduki posisi ke 4 dari 20 negara yang potensial mengalami
ancaman atas keanekaragaman hayati yang dimiliki, dimana terdapat 1126
spesies yang terancam punah (Darlington, 2010). Keberadaan flora dan fauna
terancam akibat fragmentasi habitat, pemanfaatan berlebihan, perburuan dan
perdagangan ilegal.
9
Konversi hutan untuk perkebunan, tuntutan pembangunan,
illegal logging dan kebakaran hutan menyebabkan hilang dan rusaknya habitat
satwa. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perburuan dan perdagangan
ilegal untuk memenuhi permintaan pasar akan tumbuhan dan satwa sebagai
peliharaan, konsumsi, obat-obatan dan lain sebagainya (Santosa A. (Ed) 2008).
Ancaman terhadap kepunahan keanekaragaman hayati Indonesia
menggugah pemerintah untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari, selaras, serasi dan
seimbang untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya. Diperlukan pemeliharaan dan perlindungan secara
teratur untuk mencegah kerusakan atau yang lebih dikenal dengan konservasi.
Fauzi A (2009) menyatakan kerusakan terhadap sumber daya alam dan ingkungan
dipicu oleh dua faktor yaitu pola konsumsi (consumption pattern)
dan kegagalan kebijakan (policy failure).
Kebijakan konservasi di Indonesia diatur dalam Undang - Undang No 5
Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Kebijakan ini telah memperoleh dukungan kebijakan lain dalam
pelaksanaannya, misalnya Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Keluarnya undang-undang
ini dirasa penting karena kerusakan lingkungan makin menjadi, sehingga perlu
dikeluarkan sebuah kebijakan yang tidak hanya mengharuskan pengelolaan
lingkungan akan tetapi juga perlindungan terhadap lingkungan (Purnaweni,
2014).

Menurut publikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015),


Indonesia telah mengalokasikan sekitar 27 juta hektar lahan sebagai kawasan
konservasi. Pengelolaan kawasan ini dilakukan menurut Peraturan Pemerintah
No 28 tahun 2011 jo PP No 108 tahun 2015 Tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Cagar alam dan suaka
margasatwa merupakan bagian dari kawasan suaka alam sedangkan taman
nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam merupakan bagian dari
kawasan pelestarian alam. Meski demikian, dalam pelaksanaannya pengelolaan
kawasan konservasi mengalami berbagai permasalahan.
10
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi
dipicu oleh beberapa hal, yang pertama adalah masalah internal seperti status
dan kondisi kawasan, belum selesainya proses penataan batas, dan pengelolaan
kawasan itu sendiri seperti kesulitan mengidentifikasi prioritas permasalahan,
kurangnya sumberdaya, ketidaktepatan dalam mengalokasikan sumber daya,
serta belum diketahui sejauh mana pengelolaan yang dilakukan berada dalam
arah yang benar dalam mencapai tujuan pengelolaan. Permasalahan kedua
lebih disebabkan dari kondisi eksternal antara lain kebutuhan lahan karena
dinamika demografi, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA), Kementerian Kehutanan mencatat bahwa tahun 2010 terdapat 3.800
desa di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Kondisi eksternal berikutnya
adalah pemekaran wilayah yang diikuti kebutuhan infrastruktur, mobilitas,
pertambangan, perkebunan skala besar dan permintaan pasar terhadap komoditi
tertentu. Konflik antara pemerintah dan masyarakat sekitar seringkali terjadi
seperti konflik yang terkait dengan tata batas dan konflik yang terkait dengan
pemanfaatan sumber daya alam hayati (Purwanti et al, 2013)
Kawasan konservasi yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan atau
lebih dikenal sebagai kawasan konservasi laut pun tak luput dari permasalahan.
Menurut Prabowo A (2004), permasalahan yang terdapat pada kawasan
konservasi laut adalah sebagai berikut:
1) Degradasi ekosistem akibat pola pemanfaatan sumberdaya
2) Sistem pengawasan dan pengamanan yang kurang efektif
3) Kurangnya koordinasi dan kerjasama pihak terkait
4) Kurangnya pemahaman dan penerimaan masyarakat tentang sistem
pengelolaan kawasan
5) Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya yang ada
6) Penurunan hasil tangkapan ikan akibat pola perikanan tak terkendali
7) Penggunaan alat tangkap ikan tak ramah lingkungan
8) Kurangnya data yang akurat tentang potensi dan pemanfaatan sumberdaya
9) Penurunan kualitas perairan akibat rusaknya ekosisten mangrove

11
C.Strategi Kebijakan dan Pengelolaan

Wilayah laut yang luas dengan potensi sumberdaya yang menjanjikan,dan banyaknya
masyarakat nelayan yang terlibat, menempatkan perikanan menjadi bidang dengan prospek
yang menantang untuk dikembangkan secara lebih proposional.Pembangunan perikanan
termasuk budidaya laut perlu ditingkatkan,baik sarana, prasarana, maupun sumberdaya
manusianya sehingga potensi biota laut dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tetap
memperhatikan Kelestarian daya dukungnya.Pembangunan perikanan juga ditujukan untuk
terwujudnya industri perikanan yang mandiri didukung oleh usaha yang mantap dalam
pengelolaan, penangkapan,budidaya laut, pengolahan dan pemasaran hasilnya sesuai dengan
potensi lestari sekaligus meningkatkan taraf hidup nelayan. Pembangunan perikanan laut
bertujuan untuk dapat memanfaatkan sumber daya secara optimal tanpa mengganggu
kelestariannya serta diharapkan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat nelayan
melalui tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak pendapatan
dan devisa dari ekspor produknya. Dengan demikian diharapkan pemanfaatan sumber daya
hayati laut akan membuka kesempatan kerja dan bidang usaha baru.Pemanfaatan sumber
daya laut senantiasa didasarkan pada strategi berkelanjutan (sustainable), dimana
pemanfaatan harus memperhatikan aspek pelestarian. Upaya pelestarian dimaksudkan untuk
mengatur pemanfaatan sumber daya laut dengan tetap memperhatikan daya dukungnya secara
optimal. Untuk itu perlu dilakukan pengusahaan yang tepat yang berorientasi pada potensi
lestari sumber kekayaan laut guna mencegah eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan.
Untuk maksud tersebut, informasi yang berkaitan dengan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) dan potensi (MSY) mempunyai peran penting dalam perencanaan
pembangunan perikanan. Jumlah kapal ikan yang boleh beroperai di suatu perairan harus
dihubungkan dengan keberadaan nilai JTB dan potensinya (DAHURI et al., 1996). Jumlah
JTB adalah sekitar 70-90% dari total potensinya sesuai dengan kemampuan reproduksi jenis
yang ditangkap. Untuk beberapa jenis yang kemampuan reproduksinya rendah, seperti ikan
kerapu dll., maka nilai JTB nya akan lebih rendah daripada angka tersebut. Pembangunan
disektor kelautan terutama dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya
hayati laut sampai saat ini masih berorientasi pada peningkatan produksi hasil dari eksploitasi
potensi sumber daya perikanan laut maupun budidaya untuk mengejar target pertumbuhan
sektoral. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut selama ini kurang memperhatikan
peningkatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

12
Eksploitasi itu tidak memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat pesisir (nelayan dan
petani ikan kecil) serta kurang menyediakan lapangan kerja baru yang sangat penting dalam
mengurangi problem pengangguran, apalagi bagi penerimaan negara. Masyarakat nelayan
masih tergolong masyarakat miskin yang bermukim di desa- desa pesisir.Masalah yang
dihadapi adalah pengetahuan nelayan yang masih rendah, kurangnya prasarana sosial, serta
belum adanya alternatif mata pencaharian nelayan pada saat paceklik.Hal demikian
merupakan tantangan untuk meningkatkan harkat dan taraf hidup masyarakat nelayan sebagai
bagian dari upaya pengentasan kemiskinan. Dalam upaya meningkatkan harkat dan taraf
hidup masyarakat nelayan dan desa-desa pesisir, beberapa hal perlu dilakukan, antara lain :

a) mendorong usah peningkatan hasil tangkap nelayan kecil melalui penyediaan wilayah
penangkapan yang bebas dari persaingan dengan kapal penangkap ikan berteknologi canggih,
b) meningkatkan produksi usaha nelayan kecil dan membina industri kecil pengolahan hasil
laut,

c) meningkatkan keandalan system distribusi/ pemasaran,

d) mengembangkan sentra produksi perikanan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan


peran serta masyarakat desa pantai.

Budidaya laut yang masih terbuka peluang pengembangannya, merupakan kegiatan yang
akan melestarikan sumber daya berbagai komoditas perikanan ekonomis penting dan
menjamin keberlangsungan. produksinya, juga membuka peluang angkatan kerja bagi
masyarakat (khususnya nelayan) maupun bidang usaha. Komoditas penting perikanan bisa
sebagai bahan pangan maupun bahan dasar (raw material) suatu industri. Kita tidak bisa
mengandalkan sumber daya alam secara terus menerus, karena stok alam adalah terbatas.
Rekayasa budidaya laut adalah tumpuan kedepan, untuk bisa diwujudkan secepat mungkin.
Produksinya, juga membuka peluang angkatan kerja bagi masyarakat (khususnya nelayan)
maupun bidang usaha. Komoditas penting perikanan bisa sebagai bahan pangan maupun
bahan dasar (raw material) suatu industri. Kita tidak bisa mengandalkan sumber daya alam
secara terus menerus, karena stok alam adalah terbatas. Rekayasa budidaya laut adalah
tumpuan kedepan, untuk bisa diwujudkan secepat mungkin.

13
C. Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir

Perkembangan pengelolaan wilayah laut dimulai pada saat diadakannya United


Nations Conference on Environment and Development (UNCED) pada tahun 1992.
UNCED menghasilkan Deklarasi Rio (Rio Declaration) berisi tentang prinsip-prinsip
pengaturan serta pengelolaan wilayah laut modern, dimana diakui adanya pendekatan
baru yang mengedepankan prinsip keterpaduan (integrated) dan keberlangsungan
(sustainability) dalam pengelolaan wilayah laut.Sehubungan dengan hal tersebut,
Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), yang memberikan kewenangan pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan sebesar maksimal 12 mil laut kepada pemerintah propinsi,
sedangkan pemerintah kabupaten/kota diberi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir
dan lautan sebesar 1/3 wilayah pesisir yang diberikan kepada pemerintah propinsi.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur tentang zonasi wilayah pesisir yang harus
dilakukan oleh pemerintah daerah.

Sementara itu pelaksanaan UU 32/2004 dan UU 27/2007 memunculkan banyak konflik,


terutama konflik antar nelayan yang mengarah kepada berubahnya fungsi laut di Indonesia,
bukan lagi sebagai sarana pemersatu melainkan sebagai sarana pemisah. Dengan demikian,
dalam pelaksanaan desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan lautan diperlukan suatu
penekanan pada nilai-nilai dan norma yang melandasi prinsip negara kepulauan; serta
diperlukan suatu mekanisme tersendiri yang dapat meminimalisir munculnya konflik.

14
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan
Sumber daya hayati (habitat dan spesies) di laut mengalami ancaman serius
oleh berbagai aktifitas manusia di darat.Ada ancaman secara langsung dan ada juga
ancaman secara tidak langsung,yang akhirnya berpengaruh pada penurunan sumber
daya hayati. Keberadaan flora dan fauna terancam akibat fragmentasi habitat,
pemanfaatan berlebihan, perburuan dan perdagangan ilegal. Ancaman terhadap
kepunahan keanekaragaman hayati Indonesia menggugah pemerintah untuk
melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
secara lestari, selaras, serasi dan seimbang untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia
pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Wilayah laut yang luas dengan
potensi sumberdaya yang menjanjikan,dan banyaknya masyarakat nelayan yang
terlibat, menempatkan perikanan menjadi bidang dengan prospek yang menantang
untuk dikembangkan secara lebih proposional.Pembangunan perikanan termasuk
budidaya laut perlu ditingkatkan,baik sarana, prasarana, maupun sumberdaya
manusianya sehingga potensi biota laut dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan
tetap memperhatikan Kelestarian daya dukungnya. Perkembangan pengelolaan
wilayah laut dimulai pada saat diadakannya United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) pada tahun 1992. UNCED menghasilkan
Deklarasi Rio (Rio Declaration) berisi tentang prinsip-prinsip pengaturan serta
pengelolaan wilayah laut modern, dimana diakui adanya pendekatan baru yang
mengedepankan prinsip keterpaduan (integrated) dan keberlangsungan (sustainability)
dalam pengelolaan wilayah laut.
B.SARAN
Dalam pembuatan makalah ini,tentunya masih ada kekurangan yang terdapat
didalamnya.
Kami berharap kritik dan saran membangun yang diberikan dapat kami jadikan acuan
untuk perubahan yang lebih baik kedepannya.Adapun saran dari factor luar,mungkin
ada baiknya semakin banyak referensi atau bahan bacaan maupun kajian yang dapa
diterbitkan dan dipublikasikan agar dapat mempermudah dalam mencari sumber-
sumber bacaan yang terpercaya.
15
DAFTAR PUSTAKA

Dahuri,R.(2001).Pengelolaan ruang wilayah pesisir dan lautan seiring dengan pelaksanaan


otonomi daerah.Mimbar:Jurnal Sosial dan Pembangunan,17(2),139-171.

Hayati,S.(2020).Kajian Desentralisasi Pengelolaan Kelautan dan Perikanan Daerah.

16

Anda mungkin juga menyukai