PENYUSUN :
1. Devi Ayu Wulandari, S.Ked 22360055
2. Diah Ismunarti, S.Ked 22360057
3. Milanisa Nur Azizah, S.Ked 22360082
4. Muhamad Iqbal Akhmalbih, S.Ked 22360085
5. Muhammad Alva Rizqy, S.Ked 22360086
6. Nia Nabila, S.Ked 22360095
7. Ropiko Pinka Pratami, S.Ked 22360108
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Berdasarkan Hasil Penelitian
1. Menurut WHO tahun 2010, kematian penduduk dunia mencapai angka
66.088.095 jiwa per tahun (Ariani, 2015- WHO, 2010).
2. Menurut data penelitian Central Intelligence Agency (Badan Intelijen Pusat)
pada tahun 2017, angka kematian kasar (crude death rate) di setiap negara
berbeda-beda, berkisar antara 1,5–15 kematian per 1.000 penduduk per
tahun. Jika jumlah penduduk di dunia diasumsikan 7,5 milyar penduduk dan
rata-rata 7,5 kematian per 1.000 penduduk per tahun, maka bisa diperkirakan
kurang lebih ada 154.000 penduduk yang meninggal setiap harinya (Mega,
2021- CIA, 2017).
3. Di Indonesia pada tahun 2017, angka kematian kasar mencapai 6,5 kematian
per 1.000 penduduk per tahun (Mega, 2021).
4. Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2020,
angka kematian kasar Provinsi Lampung pada tahun 2020 mencapai 5,6
kematian per 1.000 penduduk per tahun (Dinkes, 2021).
1.1.2. Berdasarkan Ketentuan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012-
2019
a. Teoritis: dapat menegakkan diagnosa kematian
b. Keterampilan:
1. Pemeriksaan lebam mayat (4A keterampilan klinis).
2. Pemeriksaan kaku mayat (4A keterampilan klinis).
3. Penerbitan sertifikat kematian (4A keterampilan klinis).
4. Pembuatan visum et repertum jenazah (4A keterampilan klinis).
1.1.3. Berdasarkan Peran Dan Tugas Dokter
Untuk menentukan penyebab kematian dan waktu kematian, serta mampu
membuat surat kematian, visum et repertum jenazah, keterangan medis untuk
menjelaskan tentang kematian seseorang dan mampu mengusulkan rujukan
kepada dokter spesialis forensik dan medikolegal.
1.2. Tujuan
Agar kita sebagai mahasiswa kedokteran dapat mengetahui, memahami, serta
dapat melakukan (baik secara perbuatan maupun perkataan) segala hal yang
terkait dalam materi thanatologi, yang meliputi:
1. Definisi thanatologi, kematian, perubahan pasca kematian, faktor-faktor
yang memengaruhi perubahan pasca kematian.
2. Landasan hukum.
3. Tanda-tanda kematian.
4. Jenis-jenis pemeriksaan tambahan (subsidairy test).
5. Istilah tentang mati.
6. Perubahan suhu tubuh, warna tubuh, kepadatan/konsistensi otot tubuh dan
wujud tubuh mayat.
7. Hal lainnya (faktor-faktor yang mempercepat, memperlambat, memanipulasi
gambar perubahan pasca kematian, dapat menilai lama dan saat kematian,
serta dapat membuat kurva gabungan algor mortis, livor mortis, rigor mortis,
dan decomposition).
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi Mahasiswa Kedokteran Dan Dokter Pada Umumnya
Ilmu ini bermanfaat sebagai sarana pengetahuan untuk dapat membantu
menentukan kematian seseorang melalui ilmu thanatologi, mampu membuat
surat keterangan kematian dan membantu proses penegakan hukum dalam hal
pembuatan visum et repertum jenazah.
1.3.2. Bagi Lembaga Penegak Hukum
Ilmu ini bermanfaat sebagai salah satu sarana atau fasilitas komunikasi antara
lembaga penegak hukum dengan lembaga kesehatan untuk bersama-sama
mengungkap kasus kematian.
1.3.3. Bagi Lembaga Pendidikan
Ilmu ini bermanfaat untuk meningkatkan mutu kemampuan serta pengetahuan
mahasiswa kedokteran dan lulusan kedokteran sehingga dapat meningkatkan
kualitas akademik dari lembaga pendidikan.
1.3.4. Bagi Lembaga Kesehatan
Ilmu ini bermanfaat untuk data jumlah mortalitas berdasarkan penilaian tanda
pasti kematian dapat digunakan untuk menyusun kebijakan dan pengembangan
program kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan.
1.3.5. Bagi Masyarakat Umum
Ilmu ini bermanfaat untuk memberikan edukasi dan kepastian hukum kepada
masyarakat tentang kondisi pasien yang mengalami kematian agar dapat
ditindak lanjuti untuk pengurusan surat-surat yang dibutuhkan oleh pihak
keluarga dari pasien tersebut seperti asuransi kematian, sertifikat kematian,
visum et repertum jenazah dan surat pengantar pengiriman jenazah ke luar kota.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.1.1. Definisi Thanatologi
Thanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta
faktor yang memengaruhi perubahan tersebut (Budiyanto A, dkk., 1997).
Thanatologi adalah ilmu tentang kematian, meliputi pembahasan
mengenai pengertian mati, cara menetapkan telah terjadi kematian dan
perubahan post-mortem (Amir A A, 2009).
2.1.2. Definisi Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh
mayat (Budiyanto A, dkk., 1997).
Kematian adalah berhentinya ketiga sistem yaitu kardiovaskular,
respirasi, dan sistem saraf pusat, yang merupakan satu unit kesatuan dan tidak
terkonsumsinya oksigen (Aflanie, dkk., 2020).
2.1.3. Definisi Perubahan Pasca Kematian
Perubahan adalah peralihan atau pergantian (KBBI, 2016).
Perubahan adalah proses yang membuat sesuatu yang berbeda dengan
keadaan sebelumnya (Atkinson dan Broten, 2019).
Pasca kematian berasal dari kata pasca yang berarti sesudah, dan mati
yang berarti tidak hidup lagi atau sudah tidak ada nyawanya (KBBI, 2016).
Pasca kematian adalah keadaan setelah beberapa waktu timbul
Batas basal metabolik adalah kebutuhan minimal energi untuk melakukan proses
tubuh vital (Mappanyukki A, 2020).
Ringkasan: kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel, ketika semua fungsi
serebral berhenti kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem
lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan
bantuan alat (Budiyanto A, dkk., 1997; Nirmalasari N, 2020; Gani, 2001;
Indriati, 2003).
Ringkasan: bila telah terjadi kerusakan batang otak atau kerusakan seluruh isi
neural yang bersifat ireversibel atau tidak bisa kembali lagi maka dapat
dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi
sehingga alat bantu dapat dihentikan (Budiyanto A, dkk., 1997; Nirmalasari N,
2020).
2.6. Perubahan Pasti Kematian
2.6.1. Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
2.6.1.1. Definisi Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
Perubahan suhu tubuh pada mayat merupakan suatu keadaan dimana
tubuh mayat mengalami perubahan/penurunan temperatur, disebabkan
karena penghantaran temperatur tubuh mayat ke temperatur sekitar melalui
proses radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi (Parinduri, 2020; Gani,
1996; Amir A, 2009; Idries, 2008).
Penurunan suhu tubuh mayat akibat kematian sel hipotalamus.
Selanjutnya terjadi perpindahan panas secara terus menerus melalui radiasi,
konduksi, konveksi, dan evaporasi sehingga suhu mayat sama dengan suhu
lingkungan (Nirmalasari N, 2020).
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya
produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-menerus
(Nirmalasari N, 2020).
2.6.1.2. Mekanisme Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
Pada saat seseorang masih hidup sel-sel akan menghasilkan kalor
dan energi. Kalor dan energi ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber
energi seperti glukosa, lemak dan protein (metabolisme pembentukan energi).
Sesudah mati metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti
sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya.
Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor
mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat
yang sudah berada pada fase lanjut post mortem (Nirmalasari N, 2020).
Pendinginan tubuh post mortem, adalah hasil dari penghentian
termoregulasi. Karena suhu tubuh dikendalikan oleh hipotalamus, fitur
homeostasis ini tidak dapat lagi dipertahankan setelah kematian. Dengan
demikian suhu tubuh akan mulai berubah menuju suhu lingkungan
ruangan. Ini terjadi melalui proses radiasi, konveksi, konduksi, dan
penguapan (Nirmalasari N, 2020).
Dimana metabolisme yang menghasilkan panas akan berhenti sehingga
suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau suhu medium disekitarnya,
penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran
panas dimana pada jam-jam pertama laju penurunannya terlihat sangat
lambat disebabkan masih adanya produksi panas dari proses glikogenolisis,
tetapi sesudah itu laju penurunannya menjadi lebih cepat dan pada
akhirnya menjadi lambat kembali, kalau laju penurunan tersebut
digambarkan dalam bentuk grafik maka gambarnya akan seperti sigmoid
atau huruf s terbalik (Dahlan S, 2019).
Ringkasan: Sesudah mati metabolisme yang menghasilkan panas akan
terhenti sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara sekitarnya. Suhu
tubuh dikendalikan oleh hipotalamus, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan. Suhu tubuh akan mulai berubah menuju suhu lingkungan
ruangan dengan melalui proses radiasi, konveksi, konduksi dan penguapan.
Jam pertama laju penurunannya sangat lambat, selanjutnya laju penurunannya
menjadi lebih cepat dan akhirnya menjadi lambat kembali. Laju penurunan
tersebut akan digambarkan dalam bentuk sigmoid atau seperti huruf s terbalik
(Nirmalasari N, 2020; Dahlan S, 2019).
2.6.1.3. Batasan Waktu Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
1. 1 jam setelah kematian: tubuh masih hangat (Aflanie, dkk., 2020).
2. 4 jam setelah kematian: dahi dingin (Nirmalasari N, 2020).
3. 4-6 jam setelah kematian: telah mulai terasa dingin (Aflanie, dkk., 2020).
4. 12 jam setelah kematian: badan dingin dan suhu tubuh akan sama dengan
suhu sekitar (Nirmalasari N, 2020; Parinduri, 2020).
5. 6 jam pertama: penurunan temperatur 1,5 C setiap jam. (Penurunan suhu/
o
kehilangan suhu 0,55 C pada 3 jam pertama). 6 jam kedua: akan sama
0
(Amir A, 2009; Marshall dan Hoare 1962; Gani, 2001; Budiyanto A, dkk.,
1997; Parinduri, 2020).
2.6.1.4. Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor
Mortis/Dingin Mayat)
a. Pengukuran suhu mayat:
Cara 1: Palpasi/ meraba dahi/ kulit (Yudianto A A, 2020; Nirmalasari
N, 2020; Aflanie, dkk., 2020).
Cara 2: (Budiyanto A, dkk., 1997).
1. Pemeriksaan harus berada di tempat kejadian peristiwa (TKP).
2. Melakukan pengukuran suhu lingkungan di TKP.
3. Pemeriksa segera bertanya kepada masyarakat/ keluarga terkait
kondisi jenazah sebelum meninggal.
4. Dengan cara melakukan 4-5 kali penentuan dengan suhu rektal
dengan interval waktu yang sama (minimal 15 menit).
5. Masukkan ke dalam rumus formula:
- Budiyanto: Marshall dan Hoare.
- Parinduri: Sympson keith, Jasing P Modi, Henssege, Marshall
dan Hoare.
b. Interpretasi:
- Apabila suhu mayat masih hangat (36-37 C) waktu kematian 1-2 jam
0
yang lalu
- Apabila suhu mayat terasa dingin (20-27 C) waktu kematian 6 jam
0
yang lalu
- Apabila suhu mayat dingin secara menyeluruh (20 C) waktu kematian
0
yang lalu
2.6.1.5. Kurva Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
Evaporasi
37 C 36 C 0 1 2
0 0
4 Masih6hangat 8 12 24
Satuan Waktu: Jam
Kurva perubahan suhu pada postmortem
Suhu 30 C 25 C
0 0
Dingin
Suhu dingin Suhu
20 hangat
0
C
Keterangan:
- Suhu tubuh 36,5 – 37,2 C (37 C).
o o
G1: Lebam mayat yang tidak terlihat G2: Lebam mayat hilang pd
akibat penekanan pakaian yg ketat penekanan
Sumber: google.com Sumber: chem.fsu.edu
G3: Lebam mayat pada daerah G4: Lebam mayat pada daerah
pungung dan bokong tdk terlihat krn alas pungung dan bokong tdk terlihat krn
keras(< 8 jam) alas keras(>8 jam)
Sumber: google.com Sumber: google.com
G5: kematian sejati, LM menetap G6: Lebam mayat pd punggung
Sumber: google.com Sumber: google.com
G7: Lebam mayat sudah menetap dgn posisi G8: Lebam mayat sudah menetap dgn
telungkup & tubuh menekan tgn Sumber: posisi telungkup & tubuh menekan tgn
aminoapps.com Sumber: google.com
G7: LM menetap, kaki menekuk G8: LM sdh menetap tp cairan darah tdk
Sumber: amuedge.com msk dlm krn menekan alas keras Sumber:
chem.fsu.edu
2.6.3. Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor Mortis/Kaku
Mayat)
2.6.3.1.Definisi Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
Rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang
disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah periode
pelemasan/ relaksasi primer, hal ini disebabkan oleh karena terjadinya
perubahan kimiawi pada protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot
(Nirmalasari N, 2019).
Kaku mayat atau rigor mortis adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat
mengalami perubahan, berupa kekakuan oleh karena proses biokimiawi
(Singh S, 2014).
2.6.3.2.Mekanisme Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
Rigor mortis adalah perubahan fisikokimia yang terjadi di dalam sel-sel
otot sebagai akibat dari kekurangan oksigen. Kurangnya oksigen berarti
bahwa energi tidak dapat diperoleh dari glikogen melalui glukosa
menggunakan fosforilasi oksidatif (Nirmalasari N, 2020).
Rigor mortis terjadi karena habisnya adenosin trifosfat (ATP) yang
dibutuhkan dalam metabolisme sel otot. ATP sebagai sumber energi bagi otot
untuk dapat berkontraksi dan untuk mempertahankan kontraksi, otot
memerlukan pasokan ATP yang terus menerus. Tanpa pasokan yang
berkelanjutan, ATP yang ada pada otot hanya cukup untuk
mempertahankan kontraksi otot selama beberapa detik. Pasokan ATP untuk
otot dikelola oleh 3 sistem metabolik, yaitu (1) sistem fosfagen, (2) sistem
glikogen-asam laktat atau glikolisis, (3) sistem aerobic (Nirmalasari N, 2020).
Sistem glikogen-asam laktat atau glikolisis ada 4 tahapan:
1. Glikolisis
2. Dekarboksilasi oksidatif asam piruvat
3. Siklus krebs
4. Transpor elektron (Suberata, 2016).
Metabolisme sel menghasilkan 36 ATP (Nirmalasari N, 2020). Jumlah
energi yang dihasilkan aspirasi anaerob adalah 2 ATP dan aerob
menghasilkan 34 ATP, hasil dari respirasi anaerob ini adalah asam laktat
(Suberata, 2016). Sistem glikogen-asam laktat dapat memberikan pasokan
selama 30-40 detik (Nirmalasari N, 2020).
Di dalam pembentukan kaku mayat peranan ATP sangat penting. Seperti
diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin dan
miosin yang bersama-sama dengan ATP membentuk suatu masa yang lentur
dan dan dapat berkontraksi. Bila kadar ATP menurun, maka akan terjadi
perubahan pada aktin miosin, dimana sifat lentur dan kemampuan untuk
berkontraksi menghilang, sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi
kaku dan tidak dapat berkontraksi. Oleh karena kadar glikogen yang
terdapat pada setiap otot itu berbeda-beda, sehingga sewaktu terjadinya
pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada saat terjadinya
kematian somatis, dimana energi digunakan untuk resistensi ATP, akan
menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Keadaan tersebut
menjelaskan bahwa kaku mayat akan mulai tampak pada jaringan otot yang
jumlah serabut ototnya sedikit (Idries A, 1997).
Ringkasan: Perubahan fisikokimia yang terjadi di dalam sel-sel otot
akibat dari kekurangan oksigen (henti pernapasan) bisa mengakibatkan
rigor mortis, saat oksigen berkurang mengakibatkan energi tidak dapat
diperoleh dari glikogen melalui glukosa menggunakan fosforilasi oksidatif,
ATP merupakan sumber energi bagi otot untuk berkontraksi dan
mempertahankan kontraksi, otot sangat memerlukan pasokan ATP terus
menerus, tanpa pasokan yang berkelanjutan ATP yang ada pada otot hanya
cukup untuk mempertahankan kontraksi otot selama beberapa detik, jika
kadar ATP menurun terjadilah perubahan pada aktin dan miosin, dimana sifat
lentur dan kemampuan untuk berkontraksi menghilang. Pasokan ATP dikelola 3
sistem metabolik, yaitu (1) sistem fosfagen, (2) sistem glikogen-asam laktat
atau glikolisis, (3) sistem aerobic. Metabolisme sel menghasilkan 36 ATP
dengan jumlah energi yang dihasilkan aspirasi anaerob adalah 2 ATP dan
aerob menghasilkan 34 ATP, sebagai hasil dari respirasi anaerob ini adalah
asam laktat sistem glikogen-asam laktat dapat memberikan pasokan selama
30-40 detik.
Met. Aerob:
Mati klinis, sist. Aerobik (34 ATP),
Respirasi ada 4 thp:
berhenti 1. glikolisis
2. dekarboksilasi
oksidatif as. piruvat
3. siklus krebs
O2
4. transport elektron
menurun
Metabolisme anaerob:
Sist. Fosfagen, Sist. Glikogen
as. laktat/ glikolisis (2 ATP)
selama 30-40 detik
RM pd otot- Penumpukan
otot kecil (2 Trjd pemendekan as. laktat sel
jam stlh & kepadatan otot/ otot serabut
kematian) krs otot/ kaku otot aktin & miosin
2.6.3.3.Batasan Waktu Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
1. Fase Relaksasi Primer/ Pra Rigor Mortis
a. Munculnya relaksasi primer pada saat kematian klinis
b. Hilangnya relaksasi primer pada saat rigor mortis muncul
c. Durasi waktu atau lamanya relaksasi primer selama 2 atau 3 jam
d. Jam pertama kematian (Aflanie, dkk., 2019).
e. Berlangsung selama 2-3 jam (Parinduri, 2020; Amir A, 2005; Budiyanto
A, dkk., 1997).
2. Fase Rigor Mortis
a. Rigor mortis muncul di otot kecil: saat relaksasi primer hilang
- 2 jam setelah kematian klinis (Budiyanto A, dkk., 1997; Idries A,
1997; Gani, 2001).
- 2-3 jam setelah kematian (Amir A, 2009; Hoediyanto, 2010; Yudianto
A, 2019).
- 2-4 jam setelah kematian (Nirmalasari N, 2020).
- 6 jam setelah kematian (Dahlan S, 2019).
b. Rigor mortis belum lengkap/ bila digerakkan sendi otot masih dapat
digerakkan walaupun terasa ada hambatan
- < 12 jam setelah kematian klinis (Dahlan S, 2019).
- 8-12 jam setelah kematian klinis (Amir A, 2009).
c. Rigor mortis lengkap:
- 6-12 jam setelah kematian (Nirmalasari N, 2020).
- 8-12 jam setelah kematian (Amir A, 2009).
- 10-12 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019; Idries, 1997; ).
- 12 jam setelah kematian klinis (Hoediyanto, 2010; Yudianto A, 2019;
Budiyanto A, dkk., 1997; Gani, 2001).
d. Rigor mortis mulai menghilang:
- 16-18 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019).
- > 24 jam setelah kematian klinis (Budiyanto A, dkk., 1997; Gani,
2001; Hoediyanto, 2010; Yudianto A, 2019; Kristanto, dkk., 2014)
- 24-36 jam setelah kematian klinis (Amir A, 2009; Nirmalasari N,
2020).
- Cuaca panas 24 jam, cuaca dingin 36 jam, amat dingin 3 hari setelah
kematian (Nirmalasari N, 2020; Kristanto, dkk., 2014).
- 36-48 jam setelah kematian (Dahlan S, 2019).
3. Fase Relaksasi Sekunder (Proses pembusukan mulai terjadi)
a. 20-24 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019).
b. > 24 jam setelah kematian (Idries, 1997).
c. 36-48 jam setelah kematian (Dahlan S, 2019).
2.6.3.4.Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot
Tubuh Mayat (Rigor Mortis/Kaku Mayat)
1. Pemeriksaan:
1. Inspeksi/ melihat:
a. Kekakuan terlihat lebih awal pada otot-otot kecil (Dahlan S, 2019;
Nirmalasari N, 2020). Kaku mayat biasanya tampak pertama kali
pada rahang dilanjutkan siku dan kemudian pada lutut (Yudianto A,
2020).
b. Melihat kekakuan pada otot involunter, fleksi pada otot volunter
(Amir A, 2009).
c. Pada kaku mayat terjadi sedikit pemendekan otot, tetapi secara
umum tidak begitu tampak karena kelompok otot fleksor dan
ekstensor mengalami hal yang sama dan menimbulkan suatu
keseimbangan pada tubuh (Nirmalasari N, 2020).
2. Palpasi:
a. Pemeriksaan secara manual (Aflanie, dkk., 2019).
b. Raba kekakuan otot mulai dari otot-otot kecil hingga otot-otot besar
(Henky, dkk., 2017).
c. Gerakkan persendian rahang, leher, anggota gerak atas dan bawah
sambil merasakan tahanan pada otot-otot di sekitarnya (Henky,
dkk., 2017)
d. Apabila ditemukan adanya cadaveric spasm dicatat melibatkan otot-
otot mana, dan bila didapati di tangan perhatikan apakah ada
menggenggam sesuatu (Amir A, 2004).
3. Nilai derajat kekakuan: catat distribusi kaku mayat, serta derajat
kekakuannya pada rahang, leher, sendi lengan atas, siku, pinggang,
pangkal paha dan lutut, apakah mudah atau sukar dilawan (Amir A,
2004).
2. Interpretasi:
1. Apabila saat inspeksi sudah mulai muncul pd otot involunter seperti otot
wajah menegang dan sendi-sendi jari sudah fleksi, kematian terjadi 2
jam yang lalu
2. Apabila saat inspeksi ditemukan fleksi sendi-sendi dan saat palpasi
masih bisa digerakkan, kematian terjadi <12 jam yang lalu
3. Apabila saat inspeksi sudah tampak fleksi sendi-sendi dan saat palpasi
sulit digerakkan, kematian terjadi >12 jam yang lalu
4. Apabila saat inspeksi ditemukan fleksi sendi-sendi dan saat palpasi sendi
jari bisa digerakkan tetapi sendi-sendi besar sulit digerakkan, kematian
terjadi >24 jam yang lalu
(Budiyanto A, dkk., 1997; Gani, 2001; Aflanie, dkk., 2019; Dahlan S, 2019;
Parinduri, 2020; Amir A, 2005; Idries A, 1997).
2.6.3.5.Kurva Perubahan Kepadatan/ Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
0 2 12 18 24 36 72
I. Relaksasi
primer
Satuan Waktu: Menit Dan Jam Serta Hari
Kurva perubahan kepadatan pada postmortem
G7: Kaku mayat pada tangan Sumber: G8: Kaku mayat pada kaki
Poposka, dkk., 2013 Sumber: Poposka, dkk., 2013
G9: Kaku mayat pada tangan G10: Kaku mayat pada tangan
Sumber: mlt.gov.np Sumber: mlt.gov.np
welchii mulai tumbuh pada satu organ parenkim, maka sitoplasma dari organ
sel tersebut akan mengalami disintegrasi dan nukleusnya akan dirusak sehingga
sel menjadi lisis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan
strukturnya. Pada orang yang sudah mati semua sistem pertahanan tubuh hilang
sehingga mikroorganisme pembusuk tersebut dapat leluasa memasuki
pembuluh darah dan menggunakan darah sebagai media untuk berkembang
biak (Nirmalasari N,2020).
Tanda awal pembusukan akan tampak warna kehijauan didaerah
dinding abdomen bawah, lebih banyak terlihat pada fossa illiaca kanan
tepatnya di daerah caecum, karena daerah tersebut banyak mengandung cairan
dan bakteri serta letaknya dekat dengan dinding perut (Nirmalasari N,2020).
Kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan
penyebaran ke jaringan. Oleh karena itu dalam 2 hari terlihat garis-garis
pembusukan di seluruh aliran darah. Warna hitam kehijauan di sepanjang
aliran darah disebabkan cairan dan butir darah yang mengalami proses
pembusukan dan darah keluar dari pembuluh darah memasuki jaringan disekitar
pembuluh darah. Dalam 2-3 hari pembusukan yang menghasilkan gas
pembusukan menyebabkan perut gembung demikian juga scrotum pada
laki-laki, prolaps uterus dan anus yang akhirnya seluruh tubuh akan
menggembung (Amir A, 2009).
Autolisis merupakan mekanisme pencernaan oleh enzim intraseluler atau
fermentasi yang memecah kompleks protein dan molekul karbohidrat dalam
tubuh menjadi senyawa kimia yang lebih sederhana dalam kondisi steril atau
aseptik. Autolisis dipercepat oleh panas dan diperlambat oleh dingin dan
berhenti oleh pembekuan serta bila terlalu panas maka secara otomatis akan
terjadi inaktivasi enzim ini sendiri. Organ-organ yang kaya akan enzim akan
mengalami autolisis lebih cepat dari organ yang memiliki enzim lebih sedikit
(Yudianto A, 2020).
Ringkasan: Setelah manusia mati, bakteri masuk ke dalam pembuluh
darah dan berkembang biak. Bakteri yang berperan dalam pembusukan adalah
bakteri genus clostridium (terutama Clostridium welchii). Bakteri ini
menghasilkan gas-gas alkana, H S, HCN, serta asam amino dan asam
2
Pembusukan
37 C
0
30 C
0
dini Pembusukan lanjutan
(p (penghancuran sel & jaringan
penge (otot, organ otak, organ2 rongga
l perut & rongga panggul, rongga
kuku dada & tulang))
tubuh
).
Pembusukan dini Pembusukan lanjutan
24
48 72 Dalam jangka yang lama Waktu kematian
waktu Kurva Decomposition (Jam)
2.6.4.6.Foto-Foto Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan
Mayat)
G11: Terjadi penghancuran otot & dag ing G12: otot & daging hancur
Sumber: google.com Sumber: google.com
G13: Pembusukan lanjutan G14: Tulang sudah terlihat
Sumber: allthatsinteresting.com Sumber: google.com
2.7. Hal-Hal Lainnya
2.7.1. Faktor-Faktor Yang Mempercepat Terjadinya Perubahan Pasca Kematian
G1: adiposera atau lilin mayat G2: adiposera atau lilin mayat
Sumber: Parinduri, 2020 Sumber: Parinduri, 2020
2. Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang
cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat
menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering,
berwarna gelap, berkeriput, dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat
berkembang pada lingkungan yang kering (Yudianto A, 2020; Budiyanto A,
dkk., 1997).
G1: mummifikasi Sumber: G2: mummifikasi pd daerah tangan
google.com Sumber: Parinduri, 2020
Algor Mortis
0 30’ 2 6 8 12 18 24 36 72
Livor Mortis
Satuan waktu : Menit dan Jam Pembusukan DiniPembusukan Lanjut
37 ºC
36 ºC Rigor Mortis
30 ºC
25 ºC Decomposition
20 ºC
Suhu
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Thanatologi adalah ilmu yang bermanfaat untuk seorang dokter menentukan
seseorang sudah meninggal atau belum, berapa lama orang telah meninggal
dan membedakan perubahan PM dengan tanda yang lainnya.
2. Keilmuan thanatologi sangat diperlukan bagi dokter untuk membantu
mendiagnosis kematian serta membantu proses penegakkan hukum, sehingga
perlu dipelajari dan dipahami oleh kalangan dokter.
3. Sebagai seorang dokter harus mampu mengetahui tanda-tanda pasti kematian
untuk menegakkan diagnosis pada kematian.
4. Seorang dokter harus mengetahui pemeriksaan tanda pasti yang mudah di
nilai dengan pemeriksaan klinis.
5. Seorang dokter harus mengetahui istilah-istilah tentang mati, antara lain: mati
somatik/ mati klinis, mati seluler/ mati molekuler, mati suri, mati serebral,
mati batang otak untuk membedakan kematian sejati dan kematian palsu.
6. Dalam ilmu thanatologi dipelajari perubahan-perubahan pasti kematian yang
terjadi pada tubuh mayat (algor mortis, livor mortis, rigor mortis, dan
dekomposition) yang harus dikuasai oleh dokter umum.
7. Thanatologi bermanfaat untuk mendiagnosa kematian, memperkirakan lama
dan saat kematian serta posisi jenazah sebelum atau saat kematian terjadi.
3.2. Saran
1. Bagi Mahasiswa Kedokteran
Perlu lebih meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu
Thanatologi, di mana berdasarkan SKDI 2012 untuk pemeriksaan lebam
mayat, kaku mayat, penerbitan sertifikat, dan pembuatan visum et repertum
kematian termasuk kompetensi 4A.
2. Bagi Masyarakat
Perlu sosialisasi mengenai fungsi dan kedudukan Visum Et Repertum dalam
perkara pidana kepada masyarakat karena masyarakat banyak yang menolak
untuk dilakukan otopsi terhadap suatu korban yang mengalami tindak pidana
dengan berbagai macam alasan.
3. Bagi Penegak Hukum
Dalam suatu kematian yang terjadi karena adanya unsur pidana, pihak
penyidik harus lebih selektif dengan melihat tanda-tanda yang ada pada tubuh
korban, perlu adanya kerja sama antara pihak penyidik dan saksi ahli dalam
hal ini dokter forensik untuk mengungkapkan suatu kematian yang terjadi
karena adanya unsur pidana secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Kedokteran Forensik:
1. Aflanie, I., Nirmalasari N, N., Arizal, MH., 2017. Ilmu Kedokteran Forensik &
Medikolegal Edisi 1 Cetakan 3 Tentang Thanatologi. Jakarta: Rajawali Pers.
2. Amir A., 2009. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 2 Cetakan 7 Tentang Tanatologi.
Medan : Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Tentang Thanatologi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Amir A., 2004. Autopsi Medikolegal Cetakan 2. Medan : Percetakan Ramadhan.
4. Budiyanto A, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 1 Cetakan 2 Tentang
Thanatologi. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
5. Dahlan S., 2019. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum Edisi Revisi Tentang Thanatologi. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
6. Fauzi. 2019. Mati Otak Diagnosis dan Aplikasi Klinis Cetakan 1 Tentang
Diagnosis Klinis. Jakarta: Penerbit Indeks.
7. Gani, H., 2001. Ilmu Kedokteran Forensik Tentang Tanatologi. Padang : Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
8. Hengky et al. (2017) Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Cetakan 1
Tentang Tatalaksana Kematian Di Instalasi Kedokteran Forensik. Rajawali
Pers.Denpasar: Udayana University Press.
9. Hoediyanto., Hariadi. 2010. Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal edisi 7
Tentang Thanatologi. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
10. Idries A, Abdul M. 2013. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan Edisi Revisi. Jakarta : CV. Sagung Seto.
11. Nirmalasari N., 2020. Tanatologi Forensik Perubahan Pasca Kematian Cetakan 1.
Sleman: Fajar Copy Paste.
12. Parinduri, AG., 2020. Buku Ajar Kedokteran Forensik & Medikolegal Cetakan 2
Tentang Thanatologi. Medan : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
13. Singh S. Kematian Mendadak. Kedokteran forensik FK USU; Medan: 2014.
14. Yudianto A., 2020. Ilmu Kedokteran Forensik Tentang Thanatologi-Post Mortem
Interval. Surabaya : Scopindo Media Pustaka.
Karya Ilmiah:
1. Ariani, M. D. 2015. Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan
Kompleks Pelayanan Kematian di Bantul, DIY (Doctoral dissertation, UAJY).
2. Mega, M. R. 2021. Gambaran Penyebab Kematian Jenazah Yang Masuk Ke
Bagian Forensik Rsup Dr M. Djamil Padang Tahun 2019 (Doctoral dissertation,
Universitas Andalas).
3. Suberata, I. W. (2021). Metabolisme Mikroba. simdos. unud. ac. id.
Artikel:
1. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2021. Profil Kesehatan Provinsi Lampung
Tahun 2020. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Diakses pada
17 Agustus 2022.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia.[Online]. Tersedia di
kkbi.kemdikbud.go.id/entri/religus (Diakses pada tanggal 17 Agustus 2022).
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 117 (Diakses pada tanggal 17 Agustus 2022).
4. https://google.com/
5. https://www.pathologyoutlines.com/topic/forensicspostmortem.html (Diakses
pada tanggal 17 Agustus 2022).
6. https://www.perspectivas.med.br/en/2021/06/rigor-mortis-physiology/ (Diakses
pada tanggal 17 Agustus 2022).
7. https://aminoapps.com/c/sfx/page/blog/livor-mortis-sfx-makeup/ (Diakses pada
tanggal 17 Agustus 2022).
8. https://amuedge.com/livor-mortis-provides-crucial-evidence-for-investigators/
(Diakses pada tanggal 17 Agustus 2022).
9. https://www.jmsjournal.net/viewimage.asp?img=JResMedSci_2017_22_1_126_2
19387_f1.jpg (Diakses pada tanggal 01 September 2022).
10. https://allthatsinteresting.com/body-farms (Diakses pada tanggal 01 September
2022).
11. https://www.slideshare.net/mynameisfarah/tanatologi (Diakses pada tanggal 01
September 2022).
12. https://www.jaypeedigital.com/eReader/chapter/9789350904688/chl (Diakses
pada tanggal 01 September 2022).
13. https://www.vice.com/en/article/avjgzg/body-farm-643-v16n2 (Diakses pada
tanggal 01 September 2022).
14. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/ca.21154 (Diakses pada tanggal
01 September 2022).
15. https://blog.docsity.com/es/consejos-de-estudio/news-medicina/todo-lo-que-un-
estudiante-de-medicina-debe-saber-sobre-la-livor-mortis/ (Diakses pada tanggal
01 September 2022).
16. https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/livor-mortis
(Diakses pada tanggal 01 September 2022).
17. https://www.researchgate.net/figure/Clenched-both-hands-with-cadaveric-
spasm_fig1_342568293 (Diakses pada tanggal 01 September 2022).
18. https://www.sallymann.com/body-farm (Diakses pada tanggal 10 September
2022).
19. https://www.minews.id/kisah/inilah-firaun-yang-ditenggelamkan-di-laut-merah
(Diakses pada tanggal 10 September 2022).
20. https://www.google.com/search?q=mumi+termuda&tbm=isch&ved=2ahUKEwjnt
dilkpH6AhW1ktgFHT5IAtoQ2-
cCegQIABAA&oq=mumi+termuda&gs_lcp=CgNpbWcQA1D3C1ixHWCaJGgA
cAB4AIABAIgBAJIBAJgBAKABAaoBC2d3cy13aXotaW1nwAEB&sclient=im
g&ei=byMgY6fCJrWl4t4PvpCJ0A0&bih=643&biw=1349&client=firefox-b-
d&hl=id (Diakses pada tanggal 10 September 2022).
21. https://telltalebones.wordpress.com/2016/04/21/beyond-decomposition-the-use-
of-body-farms-in-research/ (Diakses pada tanggal 10 September 2022).
22. https://www.scoopwhoop.com/news/farms-where-dead-bodies-are-left-outside/
(Diakses pada tanggal 10 September 2022).
23. https://allthatsinteresting.com/body-farms (Diakses pada tanggal 10 September
2022).
24. https://www.texastribune.org/2015/07/25/slideshow-body-farm/ (Diakses pada
tanggal 10 September 2022).
Jurnal:
1. V., Gutevska A., Stankov A., Pavlovski G., Jakovski Z., Janeska B., P. (2013).
Estimation of Time Since Death by Using Algorithm in Early Postmortem Period.
Global Journal Of Medical Research, 13(3), 16-26.
2. Kristanto, E., & Wangko, S. (2015). Patofisiologi Rigor Mortis. Jurnal Biomedik:
JBM, 6(3).
3. Umboh, R. B., Mallo, N. T., & Kristanto, E. G. (2016). Pengaruh Kadar
Hemoglobin Terhadap Lebam Mayat (Livor Mortis). E-CliniC 4(1).
4. Senduk, E. A., Mallo, J. F., & Tomuka, D. C. (2013). Tinjauan Medikolegal
Perkiraan Saat Kematian. Jurnal Biomedik: JBM, 5(1).
5. Nurwidayati, A. (2009). Penerapan Entomologi Dalam Bidang Kedokteran
Forensik. Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 3 No. 2, 55-65.