Anda di halaman 1dari 53

THANATOLOGI

PENYUSUN :
1. Devi Ayu Wulandari, S.Ked 22360055
2. Diah Ismunarti, S.Ked 22360057
3. Milanisa Nur Azizah, S.Ked 22360082
4. Muhamad Iqbal Akhmalbih, S.Ked 22360085
5. Muhammad Alva Rizqy, S.Ked 22360086
6. Nia Nabila, S.Ked 22360095
7. Ropiko Pinka Pratami, S.Ked 22360108

PEMBIMBING DAN PENGUJI :


dr. Jims Ferdinan Possible Tambunan, Sp.FM., M.Ked.For

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (PSPPD)


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN
FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI RUMAH SAKIT PERTAMINA
BINTANG AMIN BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2022
DAFTAR ISI THANATOLOGI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Berdasarkan Hasil Penelitian
1.1.2. Berdasarkan Ketentuan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012-2019
1.1.3. Berdasarkan Peran Dan Tugas Dokter
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi Mahasiswa Kedokteran Dan Dokter Pada Umumnya
1.3.2. Bagi Lembaga Penegak Hukum
1.3.3. Bagi Lembaga Pendidikan
1.3.4. Bagi Lembaga Kesehatan
1.3.5. Bagi Masyarakat Umum
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.1.1. Definisi Thanatologi
2.1.2. Definisi Kematian
2.1.3. Definisi Perubahan Pasca Kematian
2.1.4. Definisi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Pasca Kematian
2.2. Landasan Hukum
2.2.1. Landasan Hukum Utama
2.2.2. Landasan Hukum Tambahan
2.3. Tanda-Tanda Kematian
2 3.1. Tanda-Tanda Kematian Yang Tidak Pasti
2.3.2. Tanda-Tanda Kematian Yang Pasti
2.4. Jenis-Jenis Pemeriksaan Tambahan (Subsidairy Test)
2.5. Beberapa Istilah Tentang Mati/ Kematian
2.6. Perubahan Pasti Kematian
2.6.1. Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
2.6.1.1. Definisi Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
2.6.1.2. Mekanisme Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
2.6.1.3. Batasan Waktu Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
2.6.1.4. Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor
Mortis/Dingin Mayat)
2.6.1.5. Kurva Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
2.6.1.6. Foto-Foto Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
2.6.2. Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
2.6.2.1. Definisi Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
2.6.2.2. Mekanisme Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
2.6.2.3. Batasan Waktu Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
2.6.2.4. Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor
Mortis/Lebam Mayat)
2.6.2.5. Kurva Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
2.6.2.6. Foto-Foto Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
2.6.3. Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor Mortis/Kaku Mayat)
2.6.3.1. Definisi Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
2.6.3.2. Mekanisme Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
2.6.3.3. Batasan Waktu Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
2.6.3.4. Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot
Tubuh Mayat (Rigor Mortis/Kaku Mayat)
2.6.3.5. Kurva Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
2.6.3.6. Foto-Foto Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
2.6.4. Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan Mayat)
2.6.4.1. Definisi Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan Mayat)
2.6.4.2. Mekanisme Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan
Mayat)
2.6.4.3. Batasan Waktu Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan
Mayat)
2.6.4.4. Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Wujud Tubuh Mayat
(Decomposition/Pembusukan Mayat)
2.6.4.5. Kurva Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan Mayat)
2.6.4.6. Foto-Foto Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan
Mayat)
2.7. Hal-Hal Lainnya
2.7.1. Faktor-Faktor Yang Mempercepat Terjadinya Perubahan Pasca Kematian
2.7.1.1. Algor Mortis/Dingin Mayat
2.7.1.2. Livor Mortis/Lebam Mayat
2.7.1.3. Rigor Mortis/Kaku Mayat
2.7.1.4. Decomposition/Pembusukan Mayat
2.7.2. Faktor-Faktor Yang Memperlambat Terjadinya Perubahan Pasca Kematian
2.7.2.1. Algor Mortis/Dingin Mayat
2.7.2.2. Livor Mortis/Lebam Mayat
2.7.2.3. Rigor Mortis/Kaku Mayat
2.7.2.4. Decomposition/Pembusukan Mayat
2.7.3. Faktor-Faktor Yang Memanipulasi Gambaran Perubahan Pasca Kematian
2.7.3.1. Algor Mortis/Dingin Mayat
2.7.3.2. Livor Mortis/Lebam Mayat
2.7.3.3. Rigor Mortis/Kaku Mayat
2.7.3.4. Decomposition/Pembusukan Mayat
2.7.4. Penilaian Lama Kematian Dan Saat Kematian
2.7.4.1. Definisi Lama Kematian
2.7.4.2. Definisi Saat Kematian
2.7.4.3. Cara Penilaian Lama Kematian Dan Saat Kematian Selain Menggunakan Atau
Dengan Cara Penentuan Perubahan Pasca Kematian
2.7.5. Kurva Gabungan Algor Mortis, Livor Mortis, Rigor Mortis, dan Decomposition
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Berdasarkan Hasil Penelitian
1. Menurut WHO tahun 2010, kematian penduduk dunia mencapai angka
66.088.095 jiwa per tahun (Ariani, 2015- WHO, 2010).
2. Menurut data penelitian Central Intelligence Agency (Badan Intelijen Pusat)
pada tahun 2017, angka kematian kasar (crude death rate) di setiap negara
berbeda-beda, berkisar antara 1,5–15 kematian per 1.000 penduduk per
tahun. Jika jumlah penduduk di dunia diasumsikan 7,5 milyar penduduk dan
rata-rata 7,5 kematian per 1.000 penduduk per tahun, maka bisa diperkirakan
kurang lebih ada 154.000 penduduk yang meninggal setiap harinya (Mega,
2021- CIA, 2017).
3. Di Indonesia pada tahun 2017, angka kematian kasar mencapai 6,5 kematian
per 1.000 penduduk per tahun (Mega, 2021).
4. Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2020,
angka kematian kasar Provinsi Lampung pada tahun 2020 mencapai 5,6
kematian per 1.000 penduduk per tahun (Dinkes, 2021).
1.1.2. Berdasarkan Ketentuan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012-
2019
a. Teoritis: dapat menegakkan diagnosa kematian
b. Keterampilan:
1. Pemeriksaan lebam mayat (4A keterampilan klinis).
2. Pemeriksaan kaku mayat (4A keterampilan klinis).
3. Penerbitan sertifikat kematian (4A keterampilan klinis).
4. Pembuatan visum et repertum jenazah (4A keterampilan klinis).
1.1.3. Berdasarkan Peran Dan Tugas Dokter
Untuk menentukan penyebab kematian dan waktu kematian, serta mampu
membuat surat kematian, visum et repertum jenazah, keterangan medis untuk
menjelaskan tentang kematian seseorang dan mampu mengusulkan rujukan
kepada dokter spesialis forensik dan medikolegal.
1.2. Tujuan
Agar kita sebagai mahasiswa kedokteran dapat mengetahui, memahami, serta
dapat melakukan (baik secara perbuatan maupun perkataan) segala hal yang
terkait dalam materi thanatologi, yang meliputi:
1. Definisi thanatologi, kematian, perubahan pasca kematian, faktor-faktor
yang memengaruhi perubahan pasca kematian.
2. Landasan hukum.
3. Tanda-tanda kematian.
4. Jenis-jenis pemeriksaan tambahan (subsidairy test).
5. Istilah tentang mati.
6. Perubahan suhu tubuh, warna tubuh, kepadatan/konsistensi otot tubuh dan
wujud tubuh mayat.
7. Hal lainnya (faktor-faktor yang mempercepat, memperlambat, memanipulasi
gambar perubahan pasca kematian, dapat menilai lama dan saat kematian,
serta dapat membuat kurva gabungan algor mortis, livor mortis, rigor mortis,
dan decomposition).
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi Mahasiswa Kedokteran Dan Dokter Pada Umumnya
Ilmu ini bermanfaat sebagai sarana pengetahuan untuk dapat membantu
menentukan kematian seseorang melalui ilmu thanatologi, mampu membuat
surat keterangan kematian dan membantu proses penegakan hukum dalam hal
pembuatan visum et repertum jenazah.
1.3.2. Bagi Lembaga Penegak Hukum
Ilmu ini bermanfaat sebagai salah satu sarana atau fasilitas komunikasi antara
lembaga penegak hukum dengan lembaga kesehatan untuk bersama-sama
mengungkap kasus kematian.
1.3.3. Bagi Lembaga Pendidikan
Ilmu ini bermanfaat untuk meningkatkan mutu kemampuan serta pengetahuan
mahasiswa kedokteran dan lulusan kedokteran sehingga dapat meningkatkan
kualitas akademik dari lembaga pendidikan.
1.3.4. Bagi Lembaga Kesehatan
Ilmu ini bermanfaat untuk data jumlah mortalitas berdasarkan penilaian tanda
pasti kematian dapat digunakan untuk menyusun kebijakan dan pengembangan
program kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan.
1.3.5. Bagi Masyarakat Umum
Ilmu ini bermanfaat untuk memberikan edukasi dan kepastian hukum kepada
masyarakat tentang kondisi pasien yang mengalami kematian agar dapat
ditindak lanjuti untuk pengurusan surat-surat yang dibutuhkan oleh pihak
keluarga dari pasien tersebut seperti asuransi kematian, sertifikat kematian,
visum et repertum jenazah dan surat pengantar pengiriman jenazah ke luar kota.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.1.1. Definisi Thanatologi
Thanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta
faktor yang memengaruhi perubahan tersebut (Budiyanto A, dkk., 1997).
Thanatologi adalah ilmu tentang kematian, meliputi pembahasan
mengenai pengertian mati, cara menetapkan telah terjadi kematian dan
perubahan post-mortem (Amir A A, 2009).
2.1.2. Definisi Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh
mayat (Budiyanto A, dkk., 1997).
Kematian adalah berhentinya ketiga sistem yaitu kardiovaskular,
respirasi, dan sistem saraf pusat, yang merupakan satu unit kesatuan dan tidak
terkonsumsinya oksigen (Aflanie, dkk., 2020).
2.1.3. Definisi Perubahan Pasca Kematian
Perubahan adalah peralihan atau pergantian (KBBI, 2016).
Perubahan adalah proses yang membuat sesuatu yang berbeda dengan
keadaan sebelumnya (Atkinson dan Broten, 2019).
Pasca kematian berasal dari kata pasca yang berarti sesudah, dan mati
yang berarti tidak hidup lagi atau sudah tidak ada nyawanya (KBBI, 2016).
Pasca kematian adalah keadaan setelah beberapa waktu timbul

perubahan pasca mati yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian


(Budiyanto A, dkk., 1997).
2.1.4. Definisi Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Perubahan Pasca Kematian
Faktor adalah hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan
(memengaruhi) terjadinya sesuatu (KBBI, 2016).
Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau
benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang
(KBBI, 2016).
Pengaruh adalah daya yang menyebabkan sesuatu terjadi yang dapat
membentuk atau mengubah sesuatu (Badudu dan Zain, 2011).
2.2. Landasan Hukum
2.2.1. Landasan Hukum Utama
Menurut Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal
117: “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan
sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila
kematian batang otak telah dapat dibuktikan”.
2.2.2. Landasan Hukum Tambahan
1. KUHP Pasal 242 Ayat 1
Barang siapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya
memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada
keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu diatas
sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjukan untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
2. KUHP Pasal 263 Ayat 1
Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.
3. KUHP 269 Ayat 1
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsu surat keterangan tanda
kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan atau keadaan lain, dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu supaya
diterima dalam pekerjaan atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan
pertolongan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan.
4. PP RI NO.18/1981 TENTANG BEDAH MAYAT ANATOMIS SERTA
TRANSPLANTASI ALAT ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA
BAB 1 PASAL 1 AYAT G
Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran
yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung
seseorang telah berhenti.
5. PP RI NO.53/2021 TENTANG TRANSPLANTASI ORGAN DAN
JARINGAN TUBUH BAB II PASAL 6 AYAT 3
Pendonor mati batang otak/mati otak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan pendonor yang organ tubuhnya diambil pada saat yang
bersangkutan telah dinyatakan mati batang otak/mati otak di rumah sakit,
yang proses penentuannya harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
6. PMK RI NO. 37/2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN
PEMANFAATAN ORGAN DONOR BAB II PASAL 8 AYAT 1
Kriteria diagnosa kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 didasarkan pada telah berhentinya fungsi sistem jantung
sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti secara permanen.
2.3. Tanda-Tanda Kematian
2.3.1. Tanda-Tanda Kematian Yang Tidak Pasti
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama ≥10 menit.
2. Terhentinya sirkulasi jantung yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis
tidak teraba.
3. Tidak ada refleks pupil.
4. Tidak ada refleks kornea.
5. Tidak ada refleks menelan atau refleks batuk.
6. Tidak ada refleks vestibulo-ocularis terhadap rangsangan air es yang
dimasukkan kedalam telinga.
7. Kulit pucat.
8. Tonus otot menghilang dan relaksasi.
9. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah
kematian.
10. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang
masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata.
11. Hilangnya pergerakan dan sensibilitas.
(Budiyanto A, dkk., 1997; Yudianto A, 2020; Dahlan S, 2019).
2.3.2. Tanda-Tanda Kematian Yang Pasti
1. Perubahan suhu tubuh (Algor Mortis/ Dingin Mayat).
2. Perubahan warna tubuh (Livor Mortis/ Lebam Mayat).
3. Perubahan kekerasan otot tubuh (Rigor Mortis/ Kaku Mayat).
4. Perubahan wujud tubuh (Decomposition/ Pembusukan).
(Amir A, 2009; Budiyanto A, dkk., 1997).
2.4. Jenis-Jenis Pemeriksaan Tambahan (Subsidairy Test)
1. Berhentinya kardiovaskular/ sistem jantung dan sirkulasi darah
a. Palpasi denyut nadi berhenti
b. Auskultasi dengan stetoskop di daerah prekordial dan didengarkan secara
terus menerus, denyut jantung berhenti selama 5-10 menit
c. Test Magnus: dengan mengikat salah satu ujung jari tangan/ kaki, yang
akan menunjukkan reaksi bengkak dan sianosis pada orang hidup.
d. Test Diaphanous: dengan cara menyenter telapak tangan, akan terlihat
warna merah muda di pinggir telapak tangan pada orang hidup.
e. Test Icard: menyuntikkan larutan dari campuran 1 gram fluorescein dan 1
gram natrium bicarbonas dalam 8 ml air secara subcutan. Jika pada orang
yang masih hidup warna kulit sekitarnya akan terlihat kehijauan. Pada
orang yang sudah meninggal dimana tidak ada lagi sirkulasi darah, hal
diatas tidak akan terjadi.
f. Test Spointing: dengan memotong arteri, maka darah masih memancar
aktif pada orang hidup, sementara pada orang mati mengalir pasif.
g. Test ujung jari: dengan menekan ujung kuku sehingga timbul warna pucat
dan akan kembali menjadi warna semula bila dilepaskan
(Nirmalasari N N, 2020; Parinduri, 2020; Dahlan S, 2019).

2. Berhentinya respirasi/ sistem pernapasan


a. Inspeksi dan palpasi tidak ditemukan adanya gerak napas.
b. Auskultasi tidak ada bising napas saat didengarkan.
c. Test Winslow: dengan melihat pergerakan air di permukaan mangkok
yang penuh berisi air akibat gerakan pernapasan yang lemah sekalipun.
d. Test Mirror: cermin yang bersih ditempatkan pada depan rongga hidung
seseorang. Jika orang tersebut masih hidup, maka akan tampak berkas
penguapan berupa kabut pada cermin tersebut.
e. Test Feather: dengan meletakkan bulu ayam atau kapas ditaruh di depan
lobang hidung akan bergerak secara ritmis sesuai ekspirasi dan inspirasi.
(Amir A, 2009; Dahlan S, 2019; Hoediyanto, 2010; Parinduri, 2020;
Nirmalasari N, 2020).

3. Berhentinya inervasi/ sistem saraf


a. Pemeriksaan refleks pupil.
b. Pemeriksaan refleks kornea.
c. Pemeriksaan refleks vestibulocochlearis, menelan atau batuk dengan cara
mendorong atau menekan tuba endotrakeal ke dalam.
d. Pemeriksaan refleks vestibulookularis, mata menyempit, wajah
mengkerut, dan tubuh seperti menggigil dengan cara meneteskan air es
yang di masukkan ke dalam telinga.
(Amir A, 2009; Nirmalasari N, 2020; Parinduri, 2020).
2.5. Beberapa Istilah Tentang Mati/ Kematian
a. Mati somatis (mati klinis)
Terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu sistem saraf pusat,
sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan yang menetap (Budiyanto A, dkk.,
1997; Yudianto A A, 2020; Amir A, 2009; Gani, 2001).
b. Mati seluler (mati molekuler)
Kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah
kematian somatis (Budiyanto A, dkk., 1997; Gani, 2001; Yudianto A A, 2020).
c. Mati suri (suspended animation, apparent death):
Mati suri adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan
saraf pusat sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan yang ditentukan dengan
alat kedokteran sederhana (Budiyanto A, dkk., 1997).
Mati suri adalah suatu keadaan yang mirip dengan kematian somatis, akan tetapi
gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat sementara (Idries A, dkk.,
2013).
Mati suri adalah keadaan orang masih hidup, sirkulasi, respirasi dan inervasi
masih bekerja pada batas basal metabolik (Amir A, 2009).

Ringkasan: terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yang bersifat


sementara pada orang yang masih hidup yang mirip dengan kematian somatis,
dimana ketiga sistem tubuh (jantung-sirkulasi, pernafasan, dan inervasi) masih
bekerja/ beraktivitas pada batas basal metabolik yang tidak dapat dinilai
dengan menggunakan alat medis/ kedokteran sederhana (Budiyanto A, dkk.,
1997; Idries A, dkk., 2013, Amir A, 2009).

Batas basal metabolik adalah kebutuhan minimal energi untuk melakukan proses
tubuh vital (Mappanyukki A, 2020).

d. Mati serebral/ Hemisfer


Kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan
serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan
kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat (Budiyanto A, dkk., 1997;
Nirmalasari N, 2020; Gani, 2001).
Mati serebral adalah kematian terjadi ketika semua fungsi serebral berhenti dan
irreversibel/ tidak dapat kembali lagi (Indriati, 2003).

Ringkasan: kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel, ketika semua fungsi
serebral berhenti kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem
lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan
bantuan alat (Budiyanto A, dkk., 1997; Nirmalasari N, 2020; Gani, 2001;
Indriati, 2003).

e. Mati otak (Mati Batang Otak/ MBO)


Bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel
termasuk batang otak dan serebelum (Budiyanto A, dkk., 1997).
Mati otak yaitu tidak berfungsinya seluruh bagian otak termasuk batang otak
secara permanen (Fauzi, 2019).
Dengan diketahuinya (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi sehingga alat bantu dapat
dihentikan (Nirmalasari N, 2020).

Ringkasan: bila telah terjadi kerusakan batang otak atau kerusakan seluruh isi
neural yang bersifat ireversibel atau tidak bisa kembali lagi maka dapat
dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi
sehingga alat bantu dapat dihentikan (Budiyanto A, dkk., 1997; Nirmalasari N,
2020).
2.6. Perubahan Pasti Kematian
2.6.1. Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
2.6.1.1. Definisi Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
Perubahan suhu tubuh pada mayat merupakan suatu keadaan dimana
tubuh mayat mengalami perubahan/penurunan temperatur, disebabkan
karena penghantaran temperatur tubuh mayat ke temperatur sekitar melalui
proses radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi (Parinduri, 2020; Gani,
1996; Amir A, 2009; Idries, 2008).
Penurunan suhu tubuh mayat akibat kematian sel hipotalamus.
Selanjutnya terjadi perpindahan panas secara terus menerus melalui radiasi,
konduksi, konveksi, dan evaporasi sehingga suhu mayat sama dengan suhu
lingkungan (Nirmalasari N, 2020).
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya
produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-menerus
(Nirmalasari N, 2020).
2.6.1.2. Mekanisme Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
Pada saat seseorang masih hidup sel-sel akan menghasilkan kalor
dan energi. Kalor dan energi ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber
energi seperti glukosa, lemak dan protein (metabolisme pembentukan energi).
Sesudah mati metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti
sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya.
Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor
mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat
yang sudah berada pada fase lanjut post mortem (Nirmalasari N, 2020).
Pendinginan tubuh post mortem, adalah hasil dari penghentian
termoregulasi. Karena suhu tubuh dikendalikan oleh hipotalamus, fitur
homeostasis ini tidak dapat lagi dipertahankan setelah kematian. Dengan
demikian suhu tubuh akan mulai berubah menuju suhu lingkungan
ruangan. Ini terjadi melalui proses radiasi, konveksi, konduksi, dan
penguapan (Nirmalasari N, 2020).
Dimana metabolisme yang menghasilkan panas akan berhenti sehingga
suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau suhu medium disekitarnya,
penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran
panas dimana pada jam-jam pertama laju penurunannya terlihat sangat
lambat disebabkan masih adanya produksi panas dari proses glikogenolisis,
tetapi sesudah itu laju penurunannya menjadi lebih cepat dan pada
akhirnya menjadi lambat kembali, kalau laju penurunan tersebut
digambarkan dalam bentuk grafik maka gambarnya akan seperti sigmoid
atau huruf s terbalik (Dahlan S, 2019).
Ringkasan: Sesudah mati metabolisme yang menghasilkan panas akan
terhenti sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara sekitarnya. Suhu
tubuh dikendalikan oleh hipotalamus, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan. Suhu tubuh akan mulai berubah menuju suhu lingkungan
ruangan dengan melalui proses radiasi, konveksi, konduksi dan penguapan.
Jam pertama laju penurunannya sangat lambat, selanjutnya laju penurunannya
menjadi lebih cepat dan akhirnya menjadi lambat kembali. Laju penurunan
tersebut akan digambarkan dalam bentuk sigmoid atau seperti huruf s terbalik
(Nirmalasari N, 2020; Dahlan S, 2019).

Keadaan mati, Pertahanan suhu Homeostatis tidak


Hipotalamus mati terhenti dapat dipertahankan

Penurunan sgt lmbt 1. Radiasi:gel.elektromagnetik


Penurunan cpt (tubuh msh hgt) pd 1- 2 2. Konduksi: kontak lgsng
(tubuh dingin) pd jam pertama stlh 3. Konveksi: udara&air
jam 4-6 stlh kematian klinis 4. Evaporasi: penguapan
kematian klinis akibat evaporasi/
penguapan

Penurunan sgt lmbt


(tubuh sm dgn suhu lingkgn) Algor mortis / dingin mayat teraba Gmbrn
alm terbuka pd 12 jam stlh dingin sekitar 6 jam kurva
kematian klinis. stlh kematian klinis sigmoid

2.6.1.3. Batasan Waktu Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
1. 1 jam setelah kematian: tubuh masih hangat (Aflanie, dkk., 2020).
2. 4 jam setelah kematian: dahi dingin (Nirmalasari N, 2020).
3. 4-6 jam setelah kematian: telah mulai terasa dingin (Aflanie, dkk., 2020).
4. 12 jam setelah kematian: badan dingin dan suhu tubuh akan sama dengan
suhu sekitar (Nirmalasari N, 2020; Parinduri, 2020).
5. 6 jam pertama: penurunan temperatur 1,5 C setiap jam. (Penurunan suhu/
o

kehilangan suhu 0,55 C pada 3 jam pertama). 6 jam kedua: akan sama
0

dengan suhu sekitarnya. Pada periode selanjutnya kehilangan suhu 0,8 C 0

(Amir A, 2009; Marshall dan Hoare 1962; Gani, 2001; Budiyanto A, dkk.,
1997; Parinduri, 2020).
2.6.1.4. Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor
Mortis/Dingin Mayat)
a. Pengukuran suhu mayat:
 Cara 1: Palpasi/ meraba dahi/ kulit (Yudianto A A, 2020; Nirmalasari
N, 2020; Aflanie, dkk., 2020).
 Cara 2: (Budiyanto A, dkk., 1997).
1. Pemeriksaan harus berada di tempat kejadian peristiwa (TKP).
2. Melakukan pengukuran suhu lingkungan di TKP.
3. Pemeriksa segera bertanya kepada masyarakat/ keluarga terkait
kondisi jenazah sebelum meninggal.
4. Dengan cara melakukan 4-5 kali penentuan dengan suhu rektal
dengan interval waktu yang sama (minimal 15 menit).
5. Masukkan ke dalam rumus formula:
- Budiyanto: Marshall dan Hoare.
- Parinduri: Sympson keith, Jasing P Modi, Henssege, Marshall
dan Hoare.
b. Interpretasi:
- Apabila suhu mayat masih hangat (36-37 C) waktu kematian 1-2 jam
0

yang lalu
- Apabila suhu mayat terasa dingin (20-27 C) waktu kematian 6 jam
0

yang lalu
- Apabila suhu mayat dingin secara menyeluruh (20 C) waktu kematian
0

12 jam yang lalu


- Apabila suhu mayat sangat dingin (<20 C) waktu kematian >12 jam
0

yang lalu
2.6.1.5. Kurva Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)
Evaporasi
37 C 36 C 0 1 2
0 0
4 Masih6hangat 8 12 24
Satuan Waktu: Jam
Kurva perubahan suhu pada postmortem
Suhu 30 C 25 C
0 0

Dingin
Suhu dingin Suhu
20 hangat
0
C
Keterangan:
- Suhu tubuh 36,5 – 37,2 C (37 C).
o o

- 36-37 C adalah penguapan/evaporasi suhu tubuh yang lambat.


o

- Suhu ruangan tertutup 20-25 C (25 C).


o o

- Suhu lingkungan/ruang terbuka <20 C-25 C (20 C).


o o o

2.6.1.6. Foto-Foto Perubahan Suhu Tubuh Mayat (Algor Mortis/Dingin Mayat)

G1: Termometer Rektal


Sumber: google.com

G2: Termometer Rektal


Sumber: google.com

G3: Termometer digital


Sumber: Poposka et al, 2013
G4: Mengukur suhu mayat
Sumber: Poposka et al, 2013

2.6.2. Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)


2.6.2.1. Definisi Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
Livor mortis/ Lebam mayat/ Post Mortem Hypostatis adalah suatu bercak
atau noda besar merah kebiruan atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah
tubuh mayat akibat penumpukan eritrosit atau stagnasi darah karena
terhentinya kerja pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan bagian tubuh
mayat yang tertekan oleh alas keras (Nirmalasari N, 2020).
Setelah sirkulasi berhenti, maka cairan tubuh terutama cairan darah
akan dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi menyebabkan darah akan
bergerak ke bagian tubuh yang terendah sehingga menimbulkan
perubahan warna (Amir A, 2009).
2.6.2.2. Mekanisme Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
Setelah seseorang meninggal, darah akan berkumpul sesuai dengan
hukum gravitasi di daerah yang letaknya paling rendah dari tubuh. Aliran
darah akan terus mengalir pada daerah tersebut, sehingga pembuluh-pembuluh
kapiler akan mengalami penekanan oleh aliran darah tersebut, dan
menyebabkan sel-sel darah ke luar dari kapiler menuju sel-sel serta jaringan
sekitar dan memberi kesan warna. Pada daerah lebam mayat terkadang
dijumpai bintik-bintik perdarahan (tardieu spots) akibat pecahnya cabang-
cabang kecil dari vena. Kemudian dalam waktu sekitar 6 jam lebam mayat
akan meluas dan menetap, yang pada akhirnya warna kulit akan menjadi gelap
(Parinduri, 2020; Amir A, 2009; Gani, 1996; Idris, 2008).
Terjadinya karena adanya gaya gravitasi yang menyebabkan darah
mengumpul pada bagian-bagian tubuh terendah. Mula-mula darah mengumpul
pada vena-vena besar dan kemudian pada cabang-cabangnya sehingga
mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi merah kebiruan. Pada awalnya
warna tersebut berupa bercak setempat-setempat yang kemudian berubah
menjadi lebih lebar dan merata pada bagian tubuh terendah. Kadang-kadang
cabang dari vena pecah sehingga terlihat bintik-bintik perdarahan yang disebut
Tardieu spot (Dahlan S, 2019).
Ringkasan: saat seseorang meninggal, darah akan menggumpal pada
bagian tubuh yang terendah sesuai dengan hukum gravitasi. Mula-mula darah
berkumpul pada vena-vena besar dan kemudian pada cabang-cabangnya
sehingga menyebabkan kesan warna yang mulai tampak 20-30 menit pasca
kematian. Pada saat penekanan dilakukan di daerah lebam mayat akan
membuat warnanya kembali seperti semula dan terkadang dijumpai bintik-
bintik perdarahan akibat pecahnya cabang-cabang kecil dari vena (kapiler),
tetapi saat zat warna (plasma) darah telah masuk ke jaringan, maka pada
penekanan tidak terjadi perubahan warna lagi atau lebam mayat. Kemudian
dalam waktu sekitar 8-12 jam lebam mayat akan meluas dan menetap
(Parinduri, 2020; Amir A, 2009; Gani, 1996; Idris, 2008; Dahlan S, 2019;
Nirmalasari N, 2020; Budiyanto A, 1997).
Aliran darah mengalir pasif,
Mengisi
dipengaruhi gravitasi & sifatkapiler
Kematian, cairan
CVS
berhenti

Peningkatan Plasma akan trs Viskositas Zat warna/ plasma


tekanan intra mengalir & meluas darah dlm & sebagian eritrosit
kapiler (8 jam stlh kapiler keluar (30 mnt stlh
kematian klinis) berthp kematian klinis)
mengental

Lebam mayat menetap


bila ditekan (endapan
darah didlm drh tdk
ada pergeseran lg)
Ruptur dinding 2.6.2.3.Batasan Waktu Perubahan Warna
kapiler; robek; Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)
retak; bolong; 1. Lebam mayat sudah timbul/ tampak/ muncul/ ditemukan:
pecah; rusak a. 15-20 menit setelah kematian (Yudianto A, 2020).
b. 20-30 menit setelah kematian (Nirmalasari N, 2020;
Budiyanto A, 1997,
Gani, 2001; Idries, 2013).
c. 1-2 jam setelah kematian (Dahlan S, 2019).
2. Lebam mayat belum menetap/ masih pucat saat ditekan serta lebam mayat
sudah menetap/ tidak pucat saat ditekan, terbagi atas:
a. Belum menetap:
- 4-6 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019).
- 6 jam pertama setelah mati klinis (Budiyanto A, dkk., 1997).
- Sebelum 6 jam (Amir A, 2009)
- 4-8 jam setelah kematian (Yudianto A, 2020).
b. Sudah menetap:
- 8-12 jam setelah kematian (Umboh, dkk., 2016; Nirmalasari N,
2020; Budiyanto A, dkk., 1997; Parinduri, 2020; Idris, 2008; Amir
A, 2005).
- 10-12 jam setelah kematian: lebam mayat sangat jelas dan tidak
hilang setelah penekanan (Aflanie, dkk., 2019).
c. Hilang lebam mayat:
- Setelah 24 jam (Budiyanto A, dkk., 1997; Dahlan S, 2019).
- 20-24 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019).
- 24-36 jam setelah kematian (Nirmalasari N, 2020).
2.6.2.4.Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor
Mortis/Lebam Mayat)
a. Pemeriksaan Livor Mortis
1. Cara 1:
Inspeksi:
- Periksa bagian terbawah dari jenazah. Tampak sebagai bercak besar
pada kulit berwarna merah keunguan yang kemudian melebar dan
merata pada bagian tubuh yang rendah (Henky, dkk., 2017).
- Periksa lebam mayat dengan cara melihat lokasinya pada bagian
terendah dari tubuh mayat (Dahlan S, 2019).
- Pada mayat dengan posisi terlentang dilihat (inspeksi) lebam mayat
ditemukan pada bagian kuduk, punggung, pantat, dan bagian fleksor
tungkai (Yudianto A, 2020).
- Pada posisi mayat tengkurap: lebam terlihat pada dahi, pipi, dagu,
bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai (Hoediyanto, 2010).
- Pada posisi tergantung: lebam terlihat ujung ekstremitas dan
genitalia eksterna (Hoediyanto, 2010).
- Letak epidermal, kutikula tidak rusak, lokasi terdapat pada daerah
yang luas, gambaran tidak ada elevasi dari kulit, pinggirannya jelas
dan tegas, warna merah tidak beraturan dan terdapat pada bagian
tubuh yang letaknya rendah (Aflanie, dkk., 2019).
- Periksa lebam mayat dengan cara inspeksi seluruh tubuh jenazah dari
semua sisi dan amati bagian-bagian yang berwarna lebih gelap dan
umumnya berbatas tegas.
- Catat letak, distribusi dan warna lebam mayat (Amir A, 2004;
Henky, dkk., 2017).
2. Cara 2:
Palpasi:
- Lakukan penekanan pada bagian yang terdapat bercak merah
keunguan, saat dilepas tekanan memucat atau tidak (Henky, dkk.,
2017).
- Jika ditekan dengan ujung jari warna lebam mayat menetap serta
tidak hilang/ memucat jika posisi mayat terbalik (Dahlan S, 2019).
- Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum
menetap dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka
setelah beberapa saat akan terbentuk lebam mayat baru di daerah
dada dan perut (Budiyanto A, dkk., 1997).
b. Interpretasi:
1. Lamanya kematian:
- Lebam mayat sudah timbul: 20-30 menit setelah kematian
(Nirmalasari N, 2020; Budiyanto A, 1997, Gani, 2001; Idries,
2013).
- Lebam mayat belum menetap: < 8 jam setelah kematian
(Yudianto A, 2020).
- Lebam mayat sudah menetap: > 8 jam setelah kematian
(Budiyanto A, dkk., 1997).
- Lebam mayat hilang: setelah 24 jam (Dahlan S, 2019).
2. Kesan atau penilaian posisi tubuh korban saat kematian terjadi:
- Bila terlihat pucat di kedua kaki dan pucat pada jari kaki dan
ujung telapak kaki: meninggal dalam posisi jinjit (Nirmalasari
N, 2020).
- Bila terlihat pucat di bokong dan skrotum di dalam lingkaran
pucat kontak yang disebabkan oleh tempat duduk toilet, dan
bintik-bintik Tardieu di pantat: meninggal saat duduk di toilet
(Nirmalasari N, 2020).
- Bila lebam mayat pada bagian kuduk, punggung, pantat, dan
bagian fleksor tungkai: terlentang (Yudianto A, 2020).
- Bila lebam terlihat ujung ekstremitas dan genitalia eksterna:
tergantung (Hoediyanto, 2010).
- Bila lebam terlihat pada dahi, pipi, dagu, dada, perut dan
ekstensor tungkai: telungkup (Yudianto A, 2020).
3. Penyebab atau mekanisme kematian:
- Normal: Merah kebiruan
- Keracunan CO: Cherry pink
- Keracunan CN: Cherry red
- Keracuanan nitrobenzena: Chocolate brown
- Asfiksia: Dark re (Aflanie, dkk., 2019).

LM 30 mnt LM < 8 jam LM > 8 jam


2.6.2.5.Kurva Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)

LM Durasi LM menetap selama 16 m


ja LM mulai
menetap
hilang
Durasi LM
wkt mengalami
stabil pros.
(4 jam) menuju Pmbskn
hlng dini

30’ 8 jam 12 jam 24 jam 72 jam


Kurva Livor Mortis

2.6.2.6.Foto-Foto Perubahan Warna Tubuh Mayat (Livor Mortis/Lebam Mayat)

G1: Lebam mayat yang tidak terlihat G2: Lebam mayat hilang pd
akibat penekanan pakaian yg ketat penekanan
Sumber: google.com Sumber: chem.fsu.edu

G3: Lebam mayat pada daerah G4: Lebam mayat pada daerah
pungung dan bokong tdk terlihat krn alas pungung dan bokong tdk terlihat krn
keras(< 8 jam) alas keras(>8 jam)
Sumber: google.com Sumber: google.com
G5: kematian sejati, LM menetap G6: Lebam mayat pd punggung
Sumber: google.com Sumber: google.com

G7: Lebam mayat sudah menetap dgn posisi G8: Lebam mayat sudah menetap dgn
telungkup & tubuh menekan tgn Sumber: posisi telungkup & tubuh menekan tgn
aminoapps.com Sumber: google.com

G7: LM menetap, kaki menekuk G8: LM sdh menetap tp cairan darah tdk
Sumber: amuedge.com msk dlm krn menekan alas keras Sumber:
chem.fsu.edu
2.6.3. Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor Mortis/Kaku
Mayat)
2.6.3.1.Definisi Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
Rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang
disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah periode
pelemasan/ relaksasi primer, hal ini disebabkan oleh karena terjadinya
perubahan kimiawi pada protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot
(Nirmalasari N, 2019).
Kaku mayat atau rigor mortis adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat
mengalami perubahan, berupa kekakuan oleh karena proses biokimiawi
(Singh S, 2014).
2.6.3.2.Mekanisme Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
Rigor mortis adalah perubahan fisikokimia yang terjadi di dalam sel-sel
otot sebagai akibat dari kekurangan oksigen. Kurangnya oksigen berarti
bahwa energi tidak dapat diperoleh dari glikogen melalui glukosa
menggunakan fosforilasi oksidatif (Nirmalasari N, 2020).
Rigor mortis terjadi karena habisnya adenosin trifosfat (ATP) yang
dibutuhkan dalam metabolisme sel otot. ATP sebagai sumber energi bagi otot
untuk dapat berkontraksi dan untuk mempertahankan kontraksi, otot
memerlukan pasokan ATP yang terus menerus. Tanpa pasokan yang
berkelanjutan, ATP yang ada pada otot hanya cukup untuk
mempertahankan kontraksi otot selama beberapa detik. Pasokan ATP untuk
otot dikelola oleh 3 sistem metabolik, yaitu (1) sistem fosfagen, (2) sistem
glikogen-asam laktat atau glikolisis, (3) sistem aerobic (Nirmalasari N, 2020).
Sistem glikogen-asam laktat atau glikolisis ada 4 tahapan:
1. Glikolisis
2. Dekarboksilasi oksidatif asam piruvat
3. Siklus krebs
4. Transpor elektron (Suberata, 2016).
Metabolisme sel menghasilkan 36 ATP (Nirmalasari N, 2020). Jumlah
energi yang dihasilkan aspirasi anaerob adalah 2 ATP dan aerob
menghasilkan 34 ATP, hasil dari respirasi anaerob ini adalah asam laktat
(Suberata, 2016). Sistem glikogen-asam laktat dapat memberikan pasokan
selama 30-40 detik (Nirmalasari N, 2020).
Di dalam pembentukan kaku mayat peranan ATP sangat penting. Seperti
diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin dan
miosin yang bersama-sama dengan ATP membentuk suatu masa yang lentur
dan dan dapat berkontraksi. Bila kadar ATP menurun, maka akan terjadi
perubahan pada aktin miosin, dimana sifat lentur dan kemampuan untuk
berkontraksi menghilang, sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi
kaku dan tidak dapat berkontraksi. Oleh karena kadar glikogen yang
terdapat pada setiap otot itu berbeda-beda, sehingga sewaktu terjadinya
pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada saat terjadinya
kematian somatis, dimana energi digunakan untuk resistensi ATP, akan
menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Keadaan tersebut
menjelaskan bahwa kaku mayat akan mulai tampak pada jaringan otot yang
jumlah serabut ototnya sedikit (Idries A, 1997).
Ringkasan: Perubahan fisikokimia yang terjadi di dalam sel-sel otot
akibat dari kekurangan oksigen (henti pernapasan) bisa mengakibatkan
rigor mortis, saat oksigen berkurang mengakibatkan energi tidak dapat
diperoleh dari glikogen melalui glukosa menggunakan fosforilasi oksidatif,
ATP merupakan sumber energi bagi otot untuk berkontraksi dan
mempertahankan kontraksi, otot sangat memerlukan pasokan ATP terus
menerus, tanpa pasokan yang berkelanjutan ATP yang ada pada otot hanya
cukup untuk mempertahankan kontraksi otot selama beberapa detik, jika
kadar ATP menurun terjadilah perubahan pada aktin dan miosin, dimana sifat
lentur dan kemampuan untuk berkontraksi menghilang. Pasokan ATP dikelola 3
sistem metabolik, yaitu (1) sistem fosfagen, (2) sistem glikogen-asam laktat
atau glikolisis, (3) sistem aerobic. Metabolisme sel menghasilkan 36 ATP
dengan jumlah energi yang dihasilkan aspirasi anaerob adalah 2 ATP dan
aerob menghasilkan 34 ATP, sebagai hasil dari respirasi anaerob ini adalah
asam laktat sistem glikogen-asam laktat dapat memberikan pasokan selama
30-40 detik.
Met. Aerob:
Mati klinis, sist. Aerobik (34 ATP),
Respirasi ada 4 thp:
berhenti 1. glikolisis
2. dekarboksilasi
oksidatif as. piruvat
3. siklus krebs
O2
4. transport elektron
menurun

Energi/ 3 sist. pmbntkn


kalor / ATP Fx energi/ kalor/ ATP (aerob & Met.Sel
(-) terutama ATP: relaksasi & otot
anaerob)
di otot kontraksi otot

Metabolisme anaerob:
Sist. Fosfagen, Sist. Glikogen
as. laktat/ glikolisis (2 ATP)
selama 30-40 detik

RM pd otot- Penumpukan
otot kecil (2 Trjd pemendekan as. laktat sel
jam stlh & kepadatan otot/ otot serabut
kematian) krs otot/ kaku otot aktin & miosin
2.6.3.3.Batasan Waktu Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)
1. Fase Relaksasi Primer/ Pra Rigor Mortis
a. Munculnya relaksasi primer pada saat kematian klinis
b. Hilangnya relaksasi primer pada saat rigor mortis muncul
c. Durasi waktu atau lamanya relaksasi primer selama 2 atau 3 jam
d. Jam pertama kematian (Aflanie, dkk., 2019).
e. Berlangsung selama 2-3 jam (Parinduri, 2020; Amir A, 2005; Budiyanto
A, dkk., 1997).
2. Fase Rigor Mortis
a. Rigor mortis muncul di otot kecil: saat relaksasi primer hilang
- 2 jam setelah kematian klinis (Budiyanto A, dkk., 1997; Idries A,
1997; Gani, 2001).
- 2-3 jam setelah kematian (Amir A, 2009; Hoediyanto, 2010; Yudianto
A, 2019).
- 2-4 jam setelah kematian (Nirmalasari N, 2020).
- 6 jam setelah kematian (Dahlan S, 2019).
b. Rigor mortis belum lengkap/ bila digerakkan sendi otot masih dapat
digerakkan walaupun terasa ada hambatan
- < 12 jam setelah kematian klinis (Dahlan S, 2019).
- 8-12 jam setelah kematian klinis (Amir A, 2009).
c. Rigor mortis lengkap:
- 6-12 jam setelah kematian (Nirmalasari N, 2020).
- 8-12 jam setelah kematian (Amir A, 2009).
- 10-12 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019; Idries, 1997; ).
- 12 jam setelah kematian klinis (Hoediyanto, 2010; Yudianto A, 2019;
Budiyanto A, dkk., 1997; Gani, 2001).
d. Rigor mortis mulai menghilang:
- 16-18 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019).
- > 24 jam setelah kematian klinis (Budiyanto A, dkk., 1997; Gani,
2001; Hoediyanto, 2010; Yudianto A, 2019; Kristanto, dkk., 2014)
- 24-36 jam setelah kematian klinis (Amir A, 2009; Nirmalasari N,
2020).
- Cuaca panas 24 jam, cuaca dingin 36 jam, amat dingin 3 hari setelah
kematian (Nirmalasari N, 2020; Kristanto, dkk., 2014).
- 36-48 jam setelah kematian (Dahlan S, 2019).
3. Fase Relaksasi Sekunder (Proses pembusukan mulai terjadi)
a. 20-24 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019).
b. > 24 jam setelah kematian (Idries, 1997).
c. 36-48 jam setelah kematian (Dahlan S, 2019).
2.6.3.4.Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot
Tubuh Mayat (Rigor Mortis/Kaku Mayat)
1. Pemeriksaan:
1. Inspeksi/ melihat:
a. Kekakuan terlihat lebih awal pada otot-otot kecil (Dahlan S, 2019;
Nirmalasari N, 2020). Kaku mayat biasanya tampak pertama kali
pada rahang dilanjutkan siku dan kemudian pada lutut (Yudianto A,
2020).
b. Melihat kekakuan pada otot involunter, fleksi pada otot volunter
(Amir A, 2009).
c. Pada kaku mayat terjadi sedikit pemendekan otot, tetapi secara
umum tidak begitu tampak karena kelompok otot fleksor dan
ekstensor mengalami hal yang sama dan menimbulkan suatu
keseimbangan pada tubuh (Nirmalasari N, 2020).
2. Palpasi:
a. Pemeriksaan secara manual (Aflanie, dkk., 2019).
b. Raba kekakuan otot mulai dari otot-otot kecil hingga otot-otot besar
(Henky, dkk., 2017).
c. Gerakkan persendian rahang, leher, anggota gerak atas dan bawah
sambil merasakan tahanan pada otot-otot di sekitarnya (Henky,
dkk., 2017)
d. Apabila ditemukan adanya cadaveric spasm dicatat melibatkan otot-
otot mana, dan bila didapati di tangan perhatikan apakah ada
menggenggam sesuatu (Amir A, 2004).
3. Nilai derajat kekakuan: catat distribusi kaku mayat, serta derajat
kekakuannya pada rahang, leher, sendi lengan atas, siku, pinggang,
pangkal paha dan lutut, apakah mudah atau sukar dilawan (Amir A,
2004).
2. Interpretasi:
1. Apabila saat inspeksi sudah mulai muncul pd otot involunter seperti otot
wajah menegang dan sendi-sendi jari sudah fleksi, kematian terjadi 2
jam yang lalu
2. Apabila saat inspeksi ditemukan fleksi sendi-sendi dan saat palpasi
masih bisa digerakkan, kematian terjadi <12 jam yang lalu
3. Apabila saat inspeksi sudah tampak fleksi sendi-sendi dan saat palpasi
sulit digerakkan, kematian terjadi >12 jam yang lalu
4. Apabila saat inspeksi ditemukan fleksi sendi-sendi dan saat palpasi sendi
jari bisa digerakkan tetapi sendi-sendi besar sulit digerakkan, kematian
terjadi >24 jam yang lalu
(Budiyanto A, dkk., 1997; Gani, 2001; Aflanie, dkk., 2019; Dahlan S, 2019;
Parinduri, 2020; Amir A, 2005; Idries A, 1997).
2.6.3.5.Kurva Perubahan Kepadatan/ Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor
Mortis/Kaku Mayat)

II. Rigor mortis

Blm menetap Pembusukan lanju


Menetap
(KM msh
mdh digrkkn)
/mnj pros. Tdk Pembusukan dini
Blm mntp Stbl/ sempurna/
ada berthp
KM hilang
KM sempurna (Pemb.Dini)
hlng/ pros.
mnj hlng
III. Relaksasi sekunder

0 2 12 18 24 36 72
I. Relaksasi
primer
Satuan Waktu: Menit Dan Jam Serta Hari
Kurva perubahan kepadatan pada postmortem

2.6.3.6.Foto-Foto Perubahan Kepadatan/Konsistensi Otot Tubuh Mayat (Rigor


Mortis/Kaku Mayat)

G1: Kaku mayat yang terjadi G2: Kaku mayat pada


setelah 10-12 jam. ekstremitas bawah
Sumber: Parinduri, 2020 Sumber: jmsjournal.net
G3: Kaku mayat pd bagian siku G4: Kaku mayat pd regio tangan
Sumber: pathologyoutlines.com Sumber: perspectivas.med.br

G5: Kaku mayat pada G6: Kaku mayat pada tangan


persendian Sumber: google.com
Sumber: google.com

G7: Kaku mayat pada tangan Sumber: G8: Kaku mayat pada kaki
Poposka, dkk., 2013 Sumber: Poposka, dkk., 2013
G9: Kaku mayat pada tangan G10: Kaku mayat pada tangan
Sumber: mlt.gov.np Sumber: mlt.gov.np

2.6.4. Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan Mayat)

2.6.4.1.Definisi Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan Mayat)


Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan yang terjadi
akibat autolisis dan kerja bakteri (Budiyanto A, dkk., 1997).
Pembusukan adalah perubahan terakhir yang terjadi (late post mortem
periode) pada tubuh mayat setelah kematian, dimana terjadi pemecahan protein
komplek menjadi protein yang lebih sederhana disertai timbulnya gas-gas
pembusukan yang bau dan terjadinya perubahan warna (Amir A, 2009).
2.6.4.2.Mekanisme Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan
Mayat)
Autolisis terjadi akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel
paska kematian. Bakteri yang berperan dalam pembusukan adalah bakteri genus
clostridium (terutama Clostridium welchii). Saat masih hidup, manusia
memiliki sistem pertahanan tubuh yang mencegah bakteri-bakteri komensal
colon untuk berkembang. Setelah manusia mati, bakteri ini masuk ke dalam
pembuluh darah dan berkembang biak. Bakteri ini menghasilkan gas-gas
alkana, H S, HCN, serta asam amino dan asam lemak. Apabila Clostridium
2

welchii mulai tumbuh pada satu organ parenkim, maka sitoplasma dari organ
sel tersebut akan mengalami disintegrasi dan nukleusnya akan dirusak sehingga
sel menjadi lisis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan
strukturnya. Pada orang yang sudah mati semua sistem pertahanan tubuh hilang
sehingga mikroorganisme pembusuk tersebut dapat leluasa memasuki
pembuluh darah dan menggunakan darah sebagai media untuk berkembang
biak (Nirmalasari N,2020).
Tanda awal pembusukan akan tampak warna kehijauan didaerah
dinding abdomen bawah, lebih banyak terlihat pada fossa illiaca kanan
tepatnya di daerah caecum, karena daerah tersebut banyak mengandung cairan
dan bakteri serta letaknya dekat dengan dinding perut (Nirmalasari N,2020).
Kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan
penyebaran ke jaringan. Oleh karena itu dalam 2 hari terlihat garis-garis
pembusukan di seluruh aliran darah. Warna hitam kehijauan di sepanjang
aliran darah disebabkan cairan dan butir darah yang mengalami proses
pembusukan dan darah keluar dari pembuluh darah memasuki jaringan disekitar
pembuluh darah. Dalam 2-3 hari pembusukan yang menghasilkan gas
pembusukan menyebabkan perut gembung demikian juga scrotum pada
laki-laki, prolaps uterus dan anus yang akhirnya seluruh tubuh akan
menggembung (Amir A, 2009).
Autolisis merupakan mekanisme pencernaan oleh enzim intraseluler atau
fermentasi yang memecah kompleks protein dan molekul karbohidrat dalam
tubuh menjadi senyawa kimia yang lebih sederhana dalam kondisi steril atau
aseptik. Autolisis dipercepat oleh panas dan diperlambat oleh dingin dan
berhenti oleh pembekuan serta bila terlalu panas maka secara otomatis akan
terjadi inaktivasi enzim ini sendiri. Organ-organ yang kaya akan enzim akan
mengalami autolisis lebih cepat dari organ yang memiliki enzim lebih sedikit
(Yudianto A, 2020).
Ringkasan: Setelah manusia mati, bakteri masuk ke dalam pembuluh
darah dan berkembang biak. Bakteri yang berperan dalam pembusukan adalah
bakteri genus clostridium (terutama Clostridium welchii). Bakteri ini
menghasilkan gas-gas alkana, H S, HCN, serta asam amino dan asam
2

lemak. Autolisis merupakan mekanisme pencernaan oleh enzim intraseluler


atau fermentasi yang memecah kompleks protein dan molekul karbohidrat
dalam tubuh menjadi senyawa kimia yang lebih sederhana. Autolisis dapat
dipercepat oleh panas dan diperlambat oleh dingin dan berhenti oleh
pembekuan, organ-organ yang kaya akan enzim akan mengalami autolisis lebih
cepat dari organ yang memiliki enzim lebih sedikit, Tanda awal pembusukan
akan tampak warna kehijauan didaerah dinding abdomen bawah,
Kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan
penyebaran ke jaringan. Maka setelah 2 hari terlihat garis-garis pembusukan
di seluruh aliran darah dan menghasilkan gas pembusukan yang
menyebabkan perut gembung demikian juga scrotum pada laki-laki, prolaps
uterus dan anus yang akhirnya seluruh tubuh akan menggembung.
Pembusukan

Kerja Bakteri Autolisis

Bakteri masuk jar. merusak ke pmblh Pembusukan


Enzim proteolitik
Perlunakan & pencairan
darah & berkmbng (C. welchii) dilepaskan
jar. tubuh
Trbntk gas-gas pembusukan, alkana,
H S, HCN, as. amino & as. lemak
2

Penumpukan gas menyebabkan distensi


perut, keluar cairan serta perubahan wrn
akbt reaksi biokimia (kehijauan,
keabuan, kecoklatan hingga hitam)

Pembusukan

2.6.4.3.Batasan Waktu Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan


Mayat)
1. Pembusukan baru tampak:
- 16-18 jam setelah kematian: mulai tampak tanda pembusukan terutama
di perut bagian kanan bawah tampak biru kehijauan (Aflanie, dkk., 2019)
- 18-24 jam setelah kematian (Hoediyanto, 2010; Yudiato A, 2020)
- 24 jam setelah kematian (Budiyanto A, dkk., 1997; Idries, 1997; Gani,
2001)
- 24-36 jam setelah kematian (Henky, dkk, 2017).
2. Pembusukan dini (kerja bakteri):
a. Bau busuk:
- 20-24 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019)
- Tercium bau busuk 24 jam setelah kematian (Budiyanto, 1997; Gani,
2001).
b. Marbling/ tampak pelebaran pembuluh darah di bawah kulit berwarna
hitam kehijauan:
- 30-36 jam setelah kematiann (Parinduri, 2020; Aflanie, dkk., 2019).
- 48 jam setelah kematian (Amir A, 2009).
- 36-48 jam setelah kematian (Henky, dkk, 2017).
c. Bloating/ pembengkakan pada tubuh:
- 40-48 jam setelah kematian (Aflanie, dkk., 2019).
- 48-72 jam setelah kematian (Amir A, 2009; Henky, dkk., 2017).
d. Purging/ keluarnya cairan merah kehitaman dari hidung dan mulut:
- 48-72 jam setelah kematian (Henky, dkk., 2017).
3. Pembusukan lanjutan (autolisis):
- > 3 hari setelah kematian (Parinduri, 2020; Aflanie, dkk., 2019).
2.6.4.4.Teknik Pemeriksaan Dan Interpretasi Perubahan Wujud Tubuh Mayat
(Decomposition/Pembusukan Mayat)
a. Pemeriksaan:
1. Inhalasi: Tercium bau busuk 20-24 jam setelah kematian (Aflanie, dkk.,
2019; Budiyanto, 1997; Gani, 2001)
2. Inspeksi: melihat apakah terdapat tanda pembusukan awal seperti kulit
perut sebelah kanan bawah berwarna kehijau-hijauan/ tidak, melihat
kondisi kulit ari apakah terkelupas/ tidak, terdapat gambaran pembuluh
darah superfisial dan melebar serta berwarna biru hitam/ tidak.
Selanjutnya melihat apakah terdapat kondisi tubuh yang telah
mengalami pembengkakan akibat pembusukan lanjut (Amir A, 2004).
Tampak warna kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah caecum
3. Palpasi: penumpukan gas (pembengkakan) pada jaringan tubuh (Amir
A, 2009).
b. Interpretasi:
1. Apabila pada saat inhalasi tercium bau busuk: 24 jam setelah kematian.
2. Inspeksi:
a. Pembusukan baru tampak: 24 jam setelah kematian.
b. Marbling: 36 jam setelah kematian.
c. Bloating: 48 jam setelah kematian.
d. Purging: 48 jam setelah kematian.
3. Apabila saat palpasi merasakan adanya pembengkakan: 48 jam setelah
kematian.
2.6.4.5.Kurva Pembusukan Perubahan Wujud Tubuh Mayat
(Decomposition/Pembusukan
Mayat)

37 C
0

30 C
0
dini Pembusukan lanjutan
(p (penghancuran sel & jaringan
penge (otot, organ otak, organ2 rongga
l perut & rongga panggul, rongga
kuku dada & tulang))
tubuh
).
Pembusukan dini Pembusukan lanjutan

24
48 72 Dalam jangka yang lama Waktu kematian
waktu Kurva Decomposition (Jam)
2.6.4.6.Foto-Foto Perubahan Wujud Tubuh Mayat (Decomposition/Pembusukan
Mayat)

G1: Pembusukan awal G2: Trdpt wrn kehijauan pd perut


Sumber: google.com Sumber: google.com

G3: Marbling G4: Pemekaran pd pembuluh drh


Sumber: google.com Sumber: google.com

G5: Pembengkakan pada perut G6: Bloating


Sumber: google.com Sumber: google.com
G7: keluarnya cairan dari hidung & mulut G8: Purging
Sumber: google.com Sumber: google.com

G9: blister terlihat di tangan kiri dan G10: skin slippage


dinding dada kiri Sumber: google.com
Sumber: google.com

G11: Terjadi penghancuran otot & dag ing G12: otot & daging hancur
Sumber: google.com Sumber: google.com
G13: Pembusukan lanjutan G14: Tulang sudah terlihat
Sumber: allthatsinteresting.com Sumber: google.com
2.7. Hal-Hal Lainnya
2.7.1. Faktor-Faktor Yang Mempercepat Terjadinya Perubahan Pasca Kematian

2.7.1.1. Algor Mortis/Dingin Mayat


1. Suhu sekitar
Suhu mayat akan turun lebih cepat, jika perbedaan suhu tubuh dan sekitar
jauh (Parinduri, 2020; Amir A, 2009).
2. Gizi
Pada mayat yang tubuhnya kurus tingkat penurunan suhu lebih cepat turun
dibandingkan dengan mayat yang tubuhnya gemuk (Amir A, 2009; Dahlan
S, 2019; Parinduri, 2020).
3. Usia
Mayat bayi dan orang tua lebih cepat mengalami penurunan suhu
dibandingkan mayat orang dewasa dan remaja (Parinduri, 2020; Dahlan S,
2019; Amir A, 2009).
4. Jenis kelamin
Penurunan suhu lebih cepat turun pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan (Parinduri, 2020).
5. Pakaian
Semakin tipis pakaian yang dikenakan, semakin cepat tingkat penurunan
suhunya (Dahlan S, 2019; Amir A, 2009).
6. Penyakit
Mayat yang mati karena penyakit kronis, penurunan suhu tubuhnya lebih
cepat (Parinduri, 2020). Suhu tubuh yang tinggi pada saat meninggal
(seperti pada penderita infeksi atau perdarahan otak) akan mengakibatkan
tingkat menurunnya suhu menjadi lebih cepat (Dahlan S, 2019).
7. Keadaan udara sekitar
 Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar.
Hal ini disebabkan udara yang lembab merupakan konduktor yang
baik. Pada udara yang terus berembus angin, tingkat penurunannya
semakin cepat (Dahlan S, 2019).
 Aliran udara mempercepat penurunan suhu mayat sedangkan udara
yang lembab merupakan konduktor yang baik, sehingga penurunan
suhu lebih cepat. Udara dengan kelembaban tinggi akan lebih
menghantarkan panas dari pada udara yang kering (Yudianto A,
2019).
8. Media
Jenis media air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air
merupakan konduktor yang baik (Dahlan S, 2019).
9. Posisi tubuh
Posisi tubuh mempengaruhi luasnya area kulit yang menyebarkan panas
melalui radiasi dan konveksi. Sehingga tidak semua permukaan tubuh
menyebarkan panas ke lingkungan, seperti pada bagian dalam lengan dan
kaki. Jadi hanya bagian kulit yang langsung terpapar langsung dengan
udara yang bisa melepaskan panas. Posisi terlentang lebih cepat
mengalami penurunan suhu tubuh (Yudianto A, 2019).
2.7.1.2. Livor Mortis/Lebam Mayat
1. Volume darah yang beredar banyak menyebabkan lebam mayat lebih cepat
dan lebih luas. Pada korban dengan congestive heart failure, polisitemia
lebam mayat lebih cepat timbul (Nirmalasari N, 2020; Hoediyanto, 2020;
Yudianto A, 2019).
2. Lamanya darah dalam keadaan tetap mencair. Bila koagulasi darah
terganggu, lebam mayat lebih cepat timbul (Nirmalasari N, 2020;
Hoediyanto, 2020).
2.7.1.3. Rigor Mortis/Kaku Mayat
1. Umur
Pada anak-anak dan orang tua kaku mayat terjadi dengan cepat dan
hilangnya cepat (Amir A, 2009; Dahlan S, 2019; Yudianto A, 2019;
Hoediyanto, 2020).
2. Cara kematian
Pada pasien dengan penyakit kronis, kaku mayat cepat terjadi dan
berlangsung tidak lama (Parinduri, 2020).
3. Suhu sekitar
Bila suhu sekitarnya tinggi, kaku mayat akan cepat timbul dan cepat hilang
(Amir A, 2009; Hoediyanto, 2020).
4. Keadaan otot
 Pada orang yang melakukan aktivitas secara berlebihan sebelum
kematiannya, kaku mayatnya akan terjadi lebih cepat (Dahlan S, 2019;
Nirmalasari N, 2020; Parinduri, 2020).
 Pada otot-otot yang sudah lemah dan lelah seperti kematian yang
disebabkan penyakit kolera, keracunan opium dan lain-lain, rigor
mortis akan berlangsung cepat demikian juga otot yang terkuras
tenaganya seperti sesudah perkelahian (Amir A, 2009; Yudiyanto,
2019).
 Keadaan otot saat meninggal, apabila korban meninggal dalam
keadaan lelah, rigor mortis akan cepat timbul (Hoediyanto, 2020).
5. Gizi
 Tubuh mayat kurus lebih cepat mengalami kaku mayat dari pada
tubuh gemuk (Parinduri, 2020; Dahlan S, 2000; Amir A, 2005).
 Kaku mayat akan terjadi lebih cepat pada mayat dengan gizi yang
buruk (Amir A, 2009; Dahlan S, 2019; Yudianto A, 2019;
Hoediyanto, 2020).
6. Penyakit
Pada mayat dengan penyakit kronis kaku mayat cepat terjadi dan
berlangsung lama (Parinduri, 2020).

2.7.1.4. Decomposition/Pembusukan Mayat


1. Media
 Media dimana mayat berada berperan penting dalam dalam kecepatan
pembusukan mayat, digambarkan dengan rumus klasik Casper yaitu
perbandingan tanah : air : udara = 1 : 2 : 8 artinya mayat diruangan
terbuka lebih cepat pembusukannya dibandingkan dengan mayat yang
dikubur didalam tanah umumnya 8 kali lebih lama dari pada mayat
yang terdapat di udara terbuka (Nirmalasari N, 2020; Gani, 2001).
 Pembusukan pada media udara terjadi lebih cepat dibandingkan pada
medium air dan pembusukan pada medium air lebih cepat
dibandingkan pada media tanah (Dahlan S, 2019).
2. Kelembapan
 Udara lembab akan mempercepat terjadinya pembusukan
dibandingkan tempat yang kering (Amir A, 2009; Hoediyanto, 2020).
 Seperti diketahui bahwa proses pembusukan diperlukan kelembapan
udara. Oleh sebab itu, semakin tinggi kelembapannya semakin cepat
pembusukannya (Dahlan S, 2019).
3. Suhu sekitar
Proses pembusukan yang paling optimal terjadi pada suhu 21 C - 38 C.
0 0

Suhu yang optimal akan membantu pemecahan proses biokimiawi dan


sangat menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri sehingga proses
pembusukan dapat terjadi lebih cepat (Nirmalasari N, 2020).
4. Kondisi tubuh mayat
 Proses pembusukan yang cepat terjadi pada mayat dengan luka-luka
(Dahlan S, 2019; Budiyanto, 1997, Nirmalasari N, 2020, Hoediyanto,
2020).
 Tubuh yang luka akan cepat mengalami pembusukan karena masuk
bakteri-bakteri melalui luka (Amir A, 2009).
5. Penyakit
 Penyakit infeksi seperti septikemia, peritonitis, dan lain-lain
mempercepat jalannya pembusukan (Amir A, 2009).
 Mayat penderita yang meninggal karena penyakit kronis lebih cepat
membusuk dibandingkan mayat orang sehat (Parinduri, 2020).
6. Jenis kelamin
Pada wanita jumlah lemak subkutan lebih banyak, sehingga dapat
mempercepat proses pembusukan (Nirmalasari N, 2020).
Wanita yang baru melahirkan dan kemudian meninggal lebih cepat
membusuk (Yudianto A, 2019).
2.7.2. Faktor-Faktor Yang Memperlambat Terjadinya Perubahan Pasca Kematian

2.7.2.1. Algor Mortis/Dingin Mayat


1. Jenis Kelamin
Penurunan suhu lebih lama pada perempuan karena umumnya
mengandung lemak lebih banyak (Amir A, 2009; Parinduri, 2020; ).
2. Penutup tubuh
Tubuh mayat yang terbungkus atau tertutup rapat lebih lama penurunan
suhunya (Amir A, 2009; Parinduri, 2020).
3. Obesitas
 Pada mayat yang tubuhnya gemuk tingkat penurunan suhu tubuh akan
lebih lambat (Dahlan S, 2019; Nirmalasari N, 2020; Hoediyanto,
2020; Amir A, 2009).
 Apabila tubuh korban gemuk, yang berarti mengandung banyak
jaringan lemak, maka penurunan suhu mayat lambat. Jika korban
berotot sehingga permukaan tubuhnya relatif lebih besar, maka
penurunan suhu mayat lebih lambat daripada korban yang kurus
(Yudianto A, 2020).
4. Ruangan
Mayat dalam ruangan tertutup akan lebih lambat turun suhunya dibanding
mayat yang terletak di ruang terbuka (Amir A, 2009).
5. Pakaian
Faktor yang sangat jelas pengaruhnya terhadap penurunan suhu adalah
penghambat eksternal, seperti pakaian. Makin tebal pakaian makin lambat
penurunan suhu mayat (Yudianto A, 2020).
6. Penyakit
 Kematian dengan demam akut lebih lambat menurun suhunya oleh
karena terjadinya proses post mortem caloricity atau post mortem
glycogenolysis (Amir A, 2009; Parinduri, 2020).
 Suhu tubuh yang rendah (hypotermia) pada saat meninggalnya akan
mengakibatkan tingkat penurunan suhu menjadi lambat (Dahlan S,
2019).
7. Aliran Udara dan Kelembaban Udara
Tubuh mayat yang berada pada ruangan yang sempit akan mengalami
penurunan suhu lebih lambat dari pada yang ada di udara terbuka
(Yudianto A, 2020).
2.7.2.2. Livor Mortis/Lebam Mayat
1. Lamanya darah dalam keadaan tetap mencair
 Bila darah cepat mengalami koagulasi, lebam mayat lebih lambat
terbentuk (Hoediyanto, 2020).
 Pada orang yang menderita anemia atau perdarahan maka timbulnya
lebam mayat menjadi lebih lama (Dahlan S, 2019).
2. Volume darah yang beredar
Penyebaran pada volume darah yang sedikit menyebabkan lebam mayat
lebih lambat dan lebih terbatas. Pada korban dengan perdarahan,
timbulnya lebam mayat lebih lambat (Nirmalasari N, 2020; Hoediyanto,
2020).
2.7.2.3. Rigor Mortis/Kaku Mayat
1. Cara kematian
Pada mayat yang mati tiba-tiba/ mendadak atau dalam keadaan rileks
seperti : apopleksia serebri, asfiksia, dan lainnya kaku mayat lambat terjadi
dan berlangsung lama (Amir A, 2009; Dahlan S, 2019; Parinduri, 2020;
Hoediyanto, 2020).
2. Keadaan otot
Terjadinya kaku mayat lebih lambat dan berlangsung lebih lama pada
kasus dimana otot dalam keadaan sehat sebelum meninggal, dibandingkan
jika sebelum meninggal keadaan sudah lemah (Parinduri, 2020).
3. Gizi
Pada mayat dari orang yang sebelum meninggalnya banyak menyantap
makanan yang mengandung karbohidrat maka kaku mayat akan timbul
lebih lambat (Dahlan S, 2019).
4. Suhu sekitar
Bila suhu sekitar rendah, kaku mayat lebih lama timbul serta lebih lama
hilang. Pada suhu di bawah 100 C tidak akan terbentuk rigor mortis
o

(Yudianto A, 2019; Dahlan S, 2019; Hoediyanto, 2020).


5. Umur
 Pada bayi prematur biasanya tidak ada kaku mayat. Kaku mayat baru
tampak pada bayi yang lahir mati tetapi cukup usia (tidak prematur)
(Parinduri, 2020).
 Rigor mortis terjadi dengan lambat pada orang dewasa yang sehat
(Amir A, 2009).
2.7.2.4. Decomposition/Pembusukan Mayat
1. Media
Media dimana mayat berada berperan penting dalam dalam kecepatan
pembusukan mayat, digambarkan dengan rumus klasik Casper yaitu
perbandingan tanah : air : udara = 1: 2: 8 artinya mayat yang dikubur di
dalam tanah umumnya pembusukannya 8 kali lebih lama dibandingkan
pada mayat yang terdapat di udara terbuka hal ini disebabkan karena suhu
didalam tanah lebih rendah, terlindung dari predators seperti binatang dan
insekta, dan rendahnya oksigen menghambat berkembang biaknya
organisme aerobik (Nirmalasari N, 2020).
Pada mayat yang tenggelam didalam air proses pembusukannya
umumnya berlangsung lebih lambat dari pada yang diudara terbuka. Hal
ini dipengaruhi oleh temperatur air, kandungan bakteri didalam air, kadar
garam didalamnya, dan binatang air sebagai predator (Nirmalasari N,
2020).
2. Suhu sekitar mayat
Apabila suhu sekitar rendah. proses pembusukan menjadi lebih lambat
akibat terhambatnya perkembangbiakan mikroorganisme (Dahlan S, 2019;
Hoediyanto, 2020).
3. Gizi
Orang gemuk lebih lambat membusuk karena jaringan lemak yang banyak
(Yudianto A, 2019).
4. Umur
Orang tua dan anak lebih lambat membusuk sebab lebih sedikit
mengandung H O. Mayat orang tua, proses pembusukannya lebih lambat
2

disebabkan lemak tubuhnya relatif lebih sedikit. Pembusukan yang lambat


juga terjadi pada mayat bayi yang baru lahir dan belum pernah diberi
makan, sebab pada mayat tersebut belum kemasukan bakteri pembusuk
(Budiyanto A, dkk., 1997; Amir A, 2009; Dahlan S, 2019; Parinduri,
2020).
5. Kondisi tubuh mayat
Proses pembusukan yang lambat terjadi pada tubuh mayat yang ketika
hidupnya mengalami dehidrasi (Dahlan S, 2019). Bila anggota tubuh
dipotong terutama waktu darah masih segar, maka bagian yang terpotong
(tangan atau kaki) akan memperlambat pembusukan dibandingkan bagian
tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena hilangnya darah pada bagian
tersebut (Amir A, 2009).
6. Pakaian
Baju yang ketat, perut dibawah korset, ikat pinggang, kaus atau sepatu
yang dipakai akan memperlambat pembusukan didaerah tersebut (Amir A,
2009; Parinduri, 2020). Mayat yang tidak berpakaian proses pembusukan
akan terhambat (Dahlan S, 2019).
7. Penyebab kematian
Mayat dari orang yang meninggal mendadak lebih lambat proses
pembusukannya. Dengan demikian juga proses pembusukan akan lebih
lambat bila korban meninggal dunia karena keracunan kronis dari zat asam
karbol, arsen, antimony atau carbolic acid dan zink klorida, sebab bahan
racun memiliki sifat pengawet (Dahlan S, 2019; Yudianto A, 2020;
Parinduri, 2020).
8. Penyakit
Anemia dan penyakit kronis memperlambat pembusukan karena
kurangnya darah di otot-otot dan jaringan tubuh (Amir A, 2009).
2.7.3. Faktor-Faktor Yang Memanipulasi Gambaran Perubahan Pasca Kematian
2.7.3.1. Algor Mortis/Dingin Mayat
Terjadinya proses post mortem caloricity atau post mortem glycogenolysis
yaitu keadaan dimana tubuh mayat bukannya turun, malah naik sesudah mati.
Hal ini terjadi, jika:
- Jika sistem regulasi suhu tubuh terganggu sesaat sebelum kematian,
misalnya meninggal akibat sengatan matahari
- Jika terdapat aktivitas bakteri yang berlebihan, misalnya pada septikemia
- Adanya proses peningkatan suhu tubuh akibat kejang-kejang, misalnya
pada tetanus dan keracunan striknin (Parinduri, 2020).
Cuaca yang ekstrem dapat dikaitkan dengan fenomena meteorologi yang
dapat menimbulkan bencana, merusak tatanan kehidupan dan dapat
menimbulkan korban jiwa sebagai contoh: hujan es, badai, angin puting
beliung dan kekeringan:
- Hujan es terjadi karena suhu atmosfer diatas level beku sehingga air
menguap keatas akan berubah menjadi es lalu turun kembali ke permukaan
bumi menjadi hujan es
- Kekeringan yang berkepanjangan dimana hawa panas akan meningkatkan
suhu udara secara ekstrem sehingga gambaran algor mortis termanipulasi/
sulit untuk dinilai.
Terlalu panas dan dinginnya dia tidak perlu mengalami perubahan suhu
secara bertahap, jika mayat ditemukan di es atau suhu yang ekstrem suhu tubuh
mayat tidak bisa diukur hal inilah yang membuat gambaran algor mortisnya
sulit untuk dinilai.
2.7.3.2. Livor Mortis/Lebam Mayat
Secara normal lebam mayat mempunyai warna merah kebiruan, warna lebam
mayat dapat digunakan pula untuk menentukan sebab kematian (meninggal
keracunan gas CO atau CN warna lebam mayat merah terang / cherry red,
keracunan Nitro Benzena atau Potassium Chlorat warna lebam mayatnya
chocolate brown, meninggal akibat asfiksia warna lebam mayatnya kebiruan)
(Yudianto A, 2020). Normalnya lebam mayat berwarna merah kebiruan,
keracunan CO menyebabkan lebam mayat berwarna Cherry red, keracunan CN
lebam mayat berwarna Bright red, keracunan nitrobenzena lebam mayat
berwarna Chocolate brown, asfiksia lebam mayat berwarna Dark red (Aflanie,
dkk., 2019)

Asfiksia Sianida Karbon


Monoksida

Arsen Fosfor, Nitrobenze


Klorat, Nitrit, na
Anilin

G1: Lebam mayat berwarna merah G2: Lebam Mayat Karena


pada kasus keracunan sianida Keracunan Co
Sumber: Parinduri, 2020 Sumber: google.com
2.7.3.3. Rigor Mortis/Kaku Mayat
1. Heat Stiffening
Heat Stiffening atau kekakuan karena panas adalah kekakuan otot akibat
koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku,
tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati
terbakar. Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga
menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap petinju
(pugilistic attitude) (Budiyanto A, dkk., 1997). Keadaan ini terjadi jika
mayat terpapar pada suhu yang lebih tinggi dari 75 C, atau jika mayat
o

terkena arus listrik tegangan tinggi (Parinduri, 2020).


Otot yang telah menjadi kaku akibat heat stiffening ini tidak dapat
mengalami kaku mayat. Tetapi sebaliknya heat stiffening dapat pada otot
yang sudah mengalami kaku mayat. Heat stiffening terdapat pada korban
yang mati terbakar, korban yang tersiram air panas, dan jenazah yang
dibakar. Heat stiffening ini berlangsung terus sampai terjadi proses
pembusukan (Yudianto A, 2020).
2.maFreezing/ Cold Stiffening
Cold Stiffening atau kekakuan karena dingin adalah kekakuan tubuh
akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh,
termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot,
sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga
sendi (Budiyanto A, dkk., 1997).
3. Cadaveric Spasm (Instanteneous rigor)
Cadaveric Spasm atau kejang mayat adalah bentuk kekakuan otot yang
terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya
merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa
didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya
cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis
cokelat
karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal
(Budiyanto A, dkk., 1997).
Cadaveric spasm adalah sesuatu kekakuan yang timbul segera setelah
mati (instantaneous). Di sini otot-otot yang telah berada di dalam keadaan
kontraksi waktu hidup, menjadi kaku segera setelah kematian tanpa melalui
fase relaksasi. Oleh karena itu sikap korban waktu meninggal dipertahankan
setelah kematian. Kejang mayat ini terjadi karena ketegangan saraf (nervous
tension) sebelum kematian (Amir A, 2009). Keadaan ini dapat terjadi pada
otot seluruh tubuh, korban yang meninggal dengan stadium somatic death
yang sangat cepat disertai emosi yang hebat sesaat sebelum korban
meninggal, kelompok otot tertentu (misal otot tangan) seperti korban bunuh
diri dengan senjata api/ pisau, korban yang meninggal sewaktu mendaki
gunung tinggi, dan korban pembunuhan yang menggenggam robekan
pakaian si pembunuh (Hoediyanto, 2010).
G1: kaku karena panas G2: heat stiffening
Sumber: Parinduri, 2020 Sumber: google.com

G3: kaku karena dingin Sumber: G4: cold stiffening


google.com Sumber: google.com

G5: Cadaveric Spasm, rumput G6: Cadaveric Spasm


mencengkeram erat di tangan Sumber: Sumber: Autopsi@RSB
google.com
2.7.3.4. Decomposition/Pembusukan Mayat
1. Adipocere (Lilin mayat)
Adipocere adalah terbentuknya bahan berwarna keputihan, lunak, atau
berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca
mati (Budiyanto A, dkk., 1997).
Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami
hidrolisis dan hidrogenasi pada jaringan lemaknya, dan hidrolisis ini
dimungkinkan oleh karena terbentuknya lesitinase, suatu enzim yang
dihasilkan oleh clostridium welchii, yang berpengaruh terhadap jaringan
lemak. Dengan demikian akan terbentuk asam-asam lemak bebas (asam
palmitat, stearat, oleat), pH tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat
bakteri untuk pembusukkan dengan demikian proses pembusukan oleh
bakteri akan terhenti. Tubuh yang mengalami adipocere akan tampak putih-
kelabu, perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah,
keju, amoniak, manis dan tengik (Idries A, 1997).

G1: adiposera atau lilin mayat G2: adiposera atau lilin mayat
Sumber: Parinduri, 2020 Sumber: Parinduri, 2020

2. Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang
cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat
menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering,
berwarna gelap, berkeriput, dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat
berkembang pada lingkungan yang kering (Yudianto A, 2020; Budiyanto A,
dkk., 1997).
G1: mummifikasi Sumber: G2: mummifikasi pd daerah tangan
google.com Sumber: Parinduri, 2020

G3: mummifikasi Sumber: G4: mummifikasi


google.com Sumber: google.com

2.7.4. Penilaian Lama Kematian Dan Saat Kematian

2.7.4.1. Definisi Lama Kematian


Kata “Lama” menurut KBBI adalah panjangnya waktu (antara waktu),
sedangkan kata “Mati” memiliki arti sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi.
Jadi Lama kematian adalah Durasi sejak kematian tersebut terjadi. (KBBI).
2.7.4.2. Definisi Saat Kematian
Kata “Saat” menurut KBBI adalah waktu yang pendek sekali, sedangkan kata
“Mati” memiliki arti sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi. Saat kematian
adalah Ketika/momen terjadinya kematian tersebut (KBBI).
2.7.4.3.Cara Penilaian Lama Kematian Dan Saat Kematian Selain Menggunakan Atau
Dengan Cara Penentuan Perubahan Pasca Kematian
a. Isi Lambung
 Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi. Keadaan lambung
dan isinya mungkin membantu dalam membuat keputusan.
Ditemukannya makanan tertentu (pisang, kulit tomat, biji-bijian)
dalam isi lambung dapat untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum
meninggal telah makan makanan tersebut (Budiyanto A, dkk., 1997).
 Pengosongan lambung terjadi 4-6 jam setelah makan terakhir.
 Isi lambung masih utuh, diperkirakan waktu kematian terjadi beberapa
saat setelah makan terakhir.
 Makanan sudah lunak/ mencair, diperkirakan waktu kematian <6jam
setelah makan terakhir.
 Isi lambung kosong, diperkirakan waktu kematian >6 jam setelah
makan terakhir (Parinduri, 2020; Hoediyanto, 2010).
b. Isi Kandung Kemih
Kandung kemih biasanya dikosongkan sebelum tidur, di dalam waktu tidur
isi kandung kemih akan bertambah. Bisa didapatkan pada mayat pada pagi
hari dengan kandung kemih kosong, kemungkinan ia meninggal menjelang
pagi hari dan bila masih penuh tentu meninggalnya lebih awal (Amir A,
2009). Produksi urin 1-2 ml/kg/jam, volume kandung kemih 500 ml.
Contoh: seseorang dengan BB 50 kg didapatkan volume urin 100 ml
dalam VU, diperkirakan waktu kematian 1 jam setelah miksi terakhir.
c. Jam tangan
Bila korban memakai jam tangan pada waktu mengalami cedera, maka
saat kematian dapat ditunjukkan secara tepat dari jarum jam berhenti,
misalnya dalam peristiwa kebakaran (Amir A, 2009).
d. Pakaian
Pakaian dapat menentukan lama kematian karena orang mempunyai
kebiasaan menggunakan pakaian sesuai dengan waktu. Pakaian kantor/
sekolah, pakaian tidur, pakaian renang/ olah raga dan lain-lain, kadang-
kadang pakaian dapat dijadikan petunjuk. Bila korban terbunuh sedang
memakai pakaian tidur tentu diperkirakan waktu kematian adalah malam
atau sebelum bangun tidur (Parinduri, 2020).
e. Benda lainnya: Tiket parkir, tiket menonton, resep obat, kwitansi, kado,
dll.
2.7.5. Kurva Gabungan Algor Mortis, Livor Mortis, Rigor Mortis, dan Decomposition

Algor Mortis
0 30’ 2 6 8 12 18 24 36 72
Livor Mortis
Satuan waktu : Menit dan Jam Pembusukan DiniPembusukan Lanjut
37 ºC
36 ºC Rigor Mortis
30 ºC
25 ºC Decomposition

20 ºC

Suhu
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Thanatologi adalah ilmu yang bermanfaat untuk seorang dokter menentukan
seseorang sudah meninggal atau belum, berapa lama orang telah meninggal
dan membedakan perubahan PM dengan tanda yang lainnya.
2. Keilmuan thanatologi sangat diperlukan bagi dokter untuk membantu
mendiagnosis kematian serta membantu proses penegakkan hukum, sehingga
perlu dipelajari dan dipahami oleh kalangan dokter.
3. Sebagai seorang dokter harus mampu mengetahui tanda-tanda pasti kematian
untuk menegakkan diagnosis pada kematian.
4. Seorang dokter harus mengetahui pemeriksaan tanda pasti yang mudah di
nilai dengan pemeriksaan klinis.
5. Seorang dokter harus mengetahui istilah-istilah tentang mati, antara lain: mati
somatik/ mati klinis, mati seluler/ mati molekuler, mati suri, mati serebral,
mati batang otak untuk membedakan kematian sejati dan kematian palsu.
6. Dalam ilmu thanatologi dipelajari perubahan-perubahan pasti kematian yang
terjadi pada tubuh mayat (algor mortis, livor mortis, rigor mortis, dan
dekomposition) yang harus dikuasai oleh dokter umum.
7. Thanatologi bermanfaat untuk mendiagnosa kematian, memperkirakan lama
dan saat kematian serta posisi jenazah sebelum atau saat kematian terjadi.
3.2. Saran
1. Bagi Mahasiswa Kedokteran
Perlu lebih meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu
Thanatologi, di mana berdasarkan SKDI 2012 untuk pemeriksaan lebam
mayat, kaku mayat, penerbitan sertifikat, dan pembuatan visum et repertum
kematian termasuk kompetensi 4A.
2. Bagi Masyarakat
Perlu sosialisasi mengenai fungsi dan kedudukan Visum Et Repertum dalam
perkara pidana kepada masyarakat karena masyarakat banyak yang menolak
untuk dilakukan otopsi terhadap suatu korban yang mengalami tindak pidana
dengan berbagai macam alasan.
3. Bagi Penegak Hukum
Dalam suatu kematian yang terjadi karena adanya unsur pidana, pihak
penyidik harus lebih selektif dengan melihat tanda-tanda yang ada pada tubuh
korban, perlu adanya kerja sama antara pihak penyidik dan saksi ahli dalam
hal ini dokter forensik untuk mengungkapkan suatu kematian yang terjadi
karena adanya unsur pidana secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Kedokteran Forensik:
1. Aflanie, I., Nirmalasari N, N., Arizal, MH., 2017. Ilmu Kedokteran Forensik &
Medikolegal Edisi 1 Cetakan 3 Tentang Thanatologi. Jakarta: Rajawali Pers.
2. Amir A., 2009. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 2 Cetakan 7 Tentang Tanatologi.
Medan : Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Tentang Thanatologi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Amir A., 2004. Autopsi Medikolegal Cetakan 2. Medan : Percetakan Ramadhan.
4. Budiyanto A, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 1 Cetakan 2 Tentang
Thanatologi. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
5. Dahlan S., 2019. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum Edisi Revisi Tentang Thanatologi. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
6. Fauzi. 2019. Mati Otak Diagnosis dan Aplikasi Klinis Cetakan 1 Tentang
Diagnosis Klinis. Jakarta: Penerbit Indeks.
7. Gani, H., 2001. Ilmu Kedokteran Forensik Tentang Tanatologi. Padang : Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
8. Hengky et al. (2017) Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Cetakan 1
Tentang Tatalaksana Kematian Di Instalasi Kedokteran Forensik. Rajawali
Pers.Denpasar: Udayana University Press.
9. Hoediyanto., Hariadi. 2010. Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal edisi 7
Tentang Thanatologi. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
10. Idries A, Abdul M. 2013. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan Edisi Revisi. Jakarta : CV. Sagung Seto.
11. Nirmalasari N., 2020. Tanatologi Forensik Perubahan Pasca Kematian Cetakan 1.
Sleman: Fajar Copy Paste.
12. Parinduri, AG., 2020. Buku Ajar Kedokteran Forensik & Medikolegal Cetakan 2
Tentang Thanatologi. Medan : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
13. Singh S. Kematian Mendadak. Kedokteran forensik FK USU; Medan: 2014.
14. Yudianto A., 2020. Ilmu Kedokteran Forensik Tentang Thanatologi-Post Mortem
Interval. Surabaya : Scopindo Media Pustaka.
Karya Ilmiah:
1. Ariani, M. D. 2015. Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan
Kompleks Pelayanan Kematian di Bantul, DIY (Doctoral dissertation, UAJY).
2. Mega, M. R. 2021. Gambaran Penyebab Kematian Jenazah Yang Masuk Ke
Bagian Forensik Rsup Dr M. Djamil Padang Tahun 2019 (Doctoral dissertation,
Universitas Andalas).
3. Suberata, I. W. (2021). Metabolisme Mikroba. simdos. unud. ac. id.
Artikel:
1. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2021. Profil Kesehatan Provinsi Lampung
Tahun 2020. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Diakses pada
17 Agustus 2022.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia.[Online]. Tersedia di
kkbi.kemdikbud.go.id/entri/religus (Diakses pada tanggal 17 Agustus 2022).
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 117 (Diakses pada tanggal 17 Agustus 2022).
4. https://google.com/
5. https://www.pathologyoutlines.com/topic/forensicspostmortem.html (Diakses
pada tanggal 17 Agustus 2022).
6. https://www.perspectivas.med.br/en/2021/06/rigor-mortis-physiology/ (Diakses
pada tanggal 17 Agustus 2022).
7. https://aminoapps.com/c/sfx/page/blog/livor-mortis-sfx-makeup/ (Diakses pada
tanggal 17 Agustus 2022).
8. https://amuedge.com/livor-mortis-provides-crucial-evidence-for-investigators/
(Diakses pada tanggal 17 Agustus 2022).
9. https://www.jmsjournal.net/viewimage.asp?img=JResMedSci_2017_22_1_126_2
19387_f1.jpg (Diakses pada tanggal 01 September 2022).
10. https://allthatsinteresting.com/body-farms (Diakses pada tanggal 01 September
2022).
11. https://www.slideshare.net/mynameisfarah/tanatologi (Diakses pada tanggal 01
September 2022).
12. https://www.jaypeedigital.com/eReader/chapter/9789350904688/chl (Diakses
pada tanggal 01 September 2022).
13. https://www.vice.com/en/article/avjgzg/body-farm-643-v16n2 (Diakses pada
tanggal 01 September 2022).
14. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/ca.21154 (Diakses pada tanggal
01 September 2022).
15. https://blog.docsity.com/es/consejos-de-estudio/news-medicina/todo-lo-que-un-
estudiante-de-medicina-debe-saber-sobre-la-livor-mortis/ (Diakses pada tanggal
01 September 2022).
16. https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/livor-mortis
(Diakses pada tanggal 01 September 2022).
17. https://www.researchgate.net/figure/Clenched-both-hands-with-cadaveric-
spasm_fig1_342568293 (Diakses pada tanggal 01 September 2022).
18. https://www.sallymann.com/body-farm (Diakses pada tanggal 10 September
2022).
19. https://www.minews.id/kisah/inilah-firaun-yang-ditenggelamkan-di-laut-merah
(Diakses pada tanggal 10 September 2022).
20. https://www.google.com/search?q=mumi+termuda&tbm=isch&ved=2ahUKEwjnt
dilkpH6AhW1ktgFHT5IAtoQ2-
cCegQIABAA&oq=mumi+termuda&gs_lcp=CgNpbWcQA1D3C1ixHWCaJGgA
cAB4AIABAIgBAJIBAJgBAKABAaoBC2d3cy13aXotaW1nwAEB&sclient=im
g&ei=byMgY6fCJrWl4t4PvpCJ0A0&bih=643&biw=1349&client=firefox-b-
d&hl=id (Diakses pada tanggal 10 September 2022).
21. https://telltalebones.wordpress.com/2016/04/21/beyond-decomposition-the-use-
of-body-farms-in-research/ (Diakses pada tanggal 10 September 2022).
22. https://www.scoopwhoop.com/news/farms-where-dead-bodies-are-left-outside/
(Diakses pada tanggal 10 September 2022).
23. https://allthatsinteresting.com/body-farms (Diakses pada tanggal 10 September
2022).
24. https://www.texastribune.org/2015/07/25/slideshow-body-farm/ (Diakses pada
tanggal 10 September 2022).
Jurnal:
1. V., Gutevska A., Stankov A., Pavlovski G., Jakovski Z., Janeska B., P. (2013).
Estimation of Time Since Death by Using Algorithm in Early Postmortem Period.
Global Journal Of Medical Research, 13(3), 16-26.
2. Kristanto, E., & Wangko, S. (2015). Patofisiologi Rigor Mortis. Jurnal Biomedik:
JBM, 6(3).
3. Umboh, R. B., Mallo, N. T., & Kristanto, E. G. (2016). Pengaruh Kadar
Hemoglobin Terhadap Lebam Mayat (Livor Mortis). E-CliniC 4(1).
4. Senduk, E. A., Mallo, J. F., & Tomuka, D. C. (2013). Tinjauan Medikolegal
Perkiraan Saat Kematian. Jurnal Biomedik: JBM, 5(1).
5. Nurwidayati, A. (2009). Penerapan Entomologi Dalam Bidang Kedokteran
Forensik. Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 3 No. 2, 55-65.

Anda mungkin juga menyukai